Thursday, February 9, 2017

Tidak Berpikir Sempit

0 comments
Tidak Berpikir Sempit
Issāmacchariyasaṃyojanā kho, devānaminda, devā manussā asurā nāgā gandhabbā ye caññe santi puthukāyā, te – ‘averā adaṇḍā asapattā abyāpajjā viharemu averino’ti iti ca nesaṃ hoti, atha ca pana saverā sadaṇḍā sasapattā sabyāpajjā viharanti saverino’’ti.
Pemimpin para Dewa, karena iri hati dan kekikiran, seseorang hidup dengan membenci, melukai satu sama lain, bermusuhan, dendam meskipun mereka menginginkan hidup tanpa membenci, melukai satu sama lain, bermusuhan, dan menginginkan kedamaian
(Sakkapañha Sutta, Dīgha Nikāya)

Pendahuluan
Dangkalnya pemahaman yang benar membuat banyak permusuhan, diskriminasi, dan bahkan perang terjadi di tengah-tengah kita. Pola pikir sempit kerap kali membuat seseorang menjadi fanatik dengan pandangan yang sempit. Sekarang ini dunia sedang menghadapi tantangan besar di mana cinta kasih, toleransi, dan kebijaksanaan sangat perlu ditumbuhkan. Semua agama diharapkan mampu memberikan sumbangsih dalam menyelesaikan permasalahan ini. Sayangnya, agama yang seharusnya memberikan kontribusi untuk menyelesaikan permasalahan seperti perang, permusuhan, diskriminasi, dan tindak kriminalitas malah beralih fungsi menjadi penyebab adanya masalah-masalah ini. Hal ini seharusnya menjadi renungan bagi kita semua. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk membahas tentang bagaimana pandangan Buddhisme tentang pola pikir sempit yang membuat seseorang menjadi fanatik.

Pembahasan
Pola pikir sempit menyebabkan seseorang tidak bisa melihat segala sesuatu secara luas. Kefanatikan terhadap keyakinan yang diyakininya merupakan bentuk pola pikir sempit. Ini bukan hanya sebagai keyakinan, kefanatikan membuat orang tersebut terjebur dalam pandangan bahwa apa yang diyakininya adalah yang paling benar, sementara pandangan yang lain dianggap salah. Ini akan selalu berkaitan dengan agama. Permasalahan-permasalahan yang muncul belakangan ini selalu ada kaitannya dengan perbedaan agama. 

Ketika agama diterjemahkan sebagai “ageman” tidak akan ada alasan untuk menghakimi satu sama lain. Sangat lucu apabila mereka yang berpakaian dengan merek beda atau warna berbeda kemudian menghakimi mereka yang tidak sama dengannya. Demikian juga agama / ageman yang seharusnya menjadi landasan untuk mempersatukan dalam keharmonisan dan kedamaian menjadi sangat lucu apabila digunakan untuk menghakimi mereka yang berbeda warna.

Menarik untuk dilihat bagaimana Raja Asoka berupaya menciptakan keharmonisan di tengah-tengah perbedaan agama dan keyakinan di waktu itu. Sebagaimana yang terpahat dalam prasastiya, Rock Edict XII, beliau mengukapkan tentang bagaimana seseorang mesti hidup dalam keharmonisan di dalam perbedaan agama dan saling menghargai satu sama lain. Tertulis bahwa jangan membanggakan agamanya sendiri dengan menjelekkan agama orang lain. Siapapun yang membanggakan ajaran agamanya sendiri karena keyakinan yang fanatik, kemudian menghina yang lain dengan pikiran bahwa ini untuk mengagungkan agamanya, ini sesungguhnya akan merugikan agamanya sendiri (Dhamika, S. The Edicts of King Asoka. p. 9).

Di India di zaman Buddha masih hidup atau bahkan jauh sebelumnya, perdebatan untuk menahklukkan penganut lain atau pemuka ajaran lain adalah hal yang wajar ditemukan. Mereka berdebat dan menjatuhkan satu sama lain. Bahkan kebanyakan dari kota-kota di India Utara disediakan tempat untuk berkumpul, yang boleh disebut sebagai “aula perdebatan religius (samayappavādaka sālā)” di mana para pemuka ajaran menyampaikan pendapatnya dan saling menyanggah ajaran lain yang bertentangan dengannya. Mereka saling mengujat dan mengatakan bahwa ini yang paling benar dan yang lain salah (idaṁ eva saccaṁ moghaṁ aññaṁ).

Seringkali para, para ahli debat yang telah menguasai ajaran mereka dengan baik, datang ke Buddha untuk menyanggah atau menantang Buddha untuk berdebat. Mereka dengan angkuh ingin mengalihkan Buddha sebagai pengikutnya. Tetapi apa yang terjadi? Mereka malah yang beralih menjadi pengikut Buddha. 

Menarik untuk dilihat, Nigaṇṭha Digha Tapassi tidak setuju bila Nigaṇṭha Nataputta yang merupakan gurunya, mengijinkan perumah tangga Upali untuk menyangkal Buddha mengenai doktrinnya. Karena Petapa Gotama adalah seorang penyihir dan menguasai ilmu sihir untuk mengalihkan keyakinan para penganut sekte lainnya (Samaṇo hi, bhante, gotamo māyāvī āvaṭṭaniṃ māyaṃ jānāti yāya aññatitthiyānaṃ sāvake āvaṭṭetī). (M. 56. p. 480).

Walaupun demikian, Buddha tidak menyukai perdebatan. Signifikansi dari Atthakavagga dalam Sutta Nipata adalah untuk memahami bahwa perdebatan tidak membawa manfaat untuk kemajuan batin. Ketika seseorang masuk dalam ranah perdebatan untuk mempertahankan ajaran yang dianutnya sendiri, maka seseorang akan terjebak pada kebencian dan saling memusuhi mereka yang tidak sepaham dengannya. Pencarian kebenaran membuat seseorang akan terjebak pada penghujatan terhadap apa yang tidak sepaham dan mengatakan bahwa ini yang paling benar dan yang lain salah. Hingga akhirnya melupakan kedamaian dari dalam dan lebih memilih menghujat yang lain dengan api kebencian yang membara.

Ketika seseorang berdebat dengan yang lain, pikiran tentang dirinya rendah, sederajat, maupun yang paling unggul adalah alasan yang menyebabkan perselisihan (Sn. 842. p. 99). 

Sakkapañha Sutta menyadari bahwa perselisihan merupakan hal yang umum muncul di antara makhluk hidup. Meskipun sebenarnya semua makhluk hidup menginginkan keharmonisan, tetap saja perselisihan muncul. Ini karena seseorang terikat oleh iri hati dan kekikiran (issa-macchariya: D. 21. p. 328).

Buddha sendiri selalu mengingatkan kepada siswa-siswanya bahwa perselisihan tidak akan membawa kedamaian pembebasan. Alagaddūpama Sutta mengajak kita untuk menyadari bahwa Dhamma yang diajarkan oleh Buddha diibaratkan sebagai rakit yang membantu untuk menyebrang dari lautan samsara, bukan untuk dilekati dan dijadikan bahan perdebatan (kullūpamaṃ vo, bhikkhave, dhammaṃ desessāmi nittharaṇatthāya, no gahaṇatthāya: M. 22. p. 224). 

Caṅki Sutta memberitahu kita bawa setiap pengikut agama seharusnya tidak menganggap bahwa ini yang paling benar kemudian menyalahkan diluar ajaran ini (M. 99. p. 775). Sikap tolerasi tercemin dalam Upāli Sutta di mana Buddha menyuruh Upali yang baru saja beralih menjadi Buddhis untuk tetap memberikan penghormatan kepada guru agama yang dulu dianutnya dengan tetap memberikannya makanan sebagaimana yang dilakukannya dulu (M. 56. p. 477). 

Keyakinan terhadap Buddha bahkan perlu di dasari dengan kebijaksanaan (ākāravatī saddhā: M. 47. p. 418). Keyakinan terhadap Buddha bukanlah keyakinan yang membabi buta atau tanpa dasar (amūlikā saddhā: M. 95. p. 780). Keyakinan (saddha) mengacu pada tiga aspek yaitu; usaha, kebahagiaan, dan pemahaman. (Jayatileke, K. N. Early Buddhist Theory of Knowledge. p. 386). 

Kesimpulan
Agama seharusnya dijadikan media pemersatu dari setiap perbedaan dan sekaligus sebagai pembimbing untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan. Perbedaan agama seharusnya dipahami sebagai hal yang lumrah karena setiap orang memiliki kriteria dan kecocokan masing-masing. Kita tidak bisa menghakimi mereka yang suka makan makanan pedas-pedas apabila kita suka makan makanan yang manis-manis. Kita juga tidak seharusnya menyalahkan seseorang ketika mereka mengenakan pakaian dengan warna, merek, atau model yang berbeda-beda. Ini semua adalah kecocokan dan pilihan masing-masing. Demikian juga dengan agama. Menyadari bahwa setiap orang menginginkan hidup damai dan harmonis, sudah sepantasnya kita mesti menciptakan kerukunan di tengah-tengah perbedaan. Kedamaian dan kaharmonisan bukan milik agama tertentu. Semua pemeluk agama apapun atau bahkan yang tidak memeluk agama sekalipun berhak untuk mendapatkan kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian.

Referensi:
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Dhammika, S. 1993. The Edicts of King Asoka: an English Rendering. Kandy: Buddhist Publication Society.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Gnanarama. 2012. An Approach to Buddhist Social Philosophy. Sri Lanka.
Jayatilleke, K. N. 2015. Early Buddhist Theory of Knowledge. Delhi: Motilal Banarsidass.

No comments:

Post a Comment