Wednesday, June 14, 2017

Pendekatan Buddhisme tentang Estetika

0 comments
Pendahuluan
Pada dasarnya Buddhisme memang berpusat pada penderitaan (dukkha) dan akhir dari penderitaan (nirodha). Namun bukan berarti Buddhisme mengabaikan sisi sosial, ekonomi, dan bahkan estetika. Sepintas memang Buddhisme melihat keindahan sebagai rintangan dan dipandang sebagai negatif. Sebagai contohnya Buddha menggambarkan nyanyian seperti halnya ratapan (ruṇṇaṃ); dan tarian seperti kegilaan (ummattakaṃ). Bernyanyi dan menari merupakan hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh para samaṇa. Namun kalau kita menjelajah lebih jauh ke dalam literatur Pāli, baik Konon maupun kitab komentar, kita akan menjumpai bahwa Buddhisme juga tidak mengesampingkan dan menolak estetika. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan pendekatan Buddhisme tentang estetika.

Estetika dalam Buddhisme
Estetika adalah cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya. Ini dapat berbentuk seni rupa, seni suara, dan bahkan seni bahasa. Konsep estetika yang ada di masyarakat ketika Buddha masih hidup tidak sepenuhnya ditolak atau diterima oleh Buddha. Sementara itu, mereka disinkretisisasikan dengan interpretasi-interpretasi Buddhis dengan penolakan aspek-aspek negatif dan mempertahankan aspek-aspek positifnya. Namun estetika tetap harus dipandang sebagai tidak kekal (aniccā), tidak memuaskan (dukkhā), dan bukan diri (anattā). Walau sesuatu memberikan keindahan, mereka pada dasarnya tidak kekal karena suatu saat akan berubah. Oleh sebab itu, mereka seharusnya tidak dilekati. 

Yang dipandang negatif oleh Buddhisme sebenarnya bukan karena estetikanya, tetapi kemelekatan terhadapnya. Apapun kemelekatan dan keinginan akan menyebabkan penderitaan. Dukacita dan ketakukan muncul dari keinginan. 
Terdapat dua jenis estetika:
  1. Estetika luar atau fisik
  2. Estetika moral atau spiritual

Dari dua macam estetika tersebut, Buddhisme memuji estetika moral atau spiritual. Kecantikan atau keindahan yang sesungguhnya berasal dari dalam (inner beauty). Ketika seseorang memiliki kecantikan dalam, maka kecantikan luar juga akan muncul dengan sendirinya. Sebagai contohnya, ketika seseorang memiliki cinta kasih yang besar, maka dari raut wajahnya pun terpancar aura cinta kasih pula. Sebagai hasilnya, baik manusia maupun dewa juga akan menyukainya.

Estetika Rupa
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa estetika dapat berbentuk seni rupa. Ini adalah jenis estetika yang dapat dinikmati dengan indera penglihatan. Dalam Kanon Pali, kita juga menemukan beberapa bukti bahwa Buddha dan murid-muridnya juga menghargai estetika. Terutama tentang keindahan alam. Di Ariyapariyesana Sutta menceritakan bahwa ketika petapa Gotama masih dalam pencarian apa yang bermanfaat (kiṃ kusalagavesī) dan kondisi tertinggi dari kedamaian tertinggi (anuttaraṃ santivarapadaṃ), beliau mengembara dan akhirnya sampai di Senanigāma. Beliau melihat sebidang tanah yang nyaman (ramaṇīyaṃ bhūmibhāgaṃ), hutan yang indah (pāsādikañca vanasaṇḍaṃ), dan aliran sungai yang jenih dengan tepian yang halus (nadiñca sandantiṃ setakaṃ supatitthaṃ ramaṇīyaṃ). Beliau menetapkan pilihannya untuk berjuang demi pencerahan. 

Dilaporkan pula bahwa Bhikkhu Ananda menganjurkan Buddha yang sedang berdiam tidak jauh di kepertapaan Brahmana Rammaka untuk mengunjunginya demi belas kasih. Bhikkhu Ananda melaporkan bahwa tempat kepertapaan itu cocok (ramaṇiyo) dan menyenangkan (pāsādiko). Di dalam Mahāparinibbāna Sutta, kita menjumpai situasi di mana Buddha memuji estetika tempat-tempat yang menyenangkan. Mereka antara lain Vesāli, Rajagaha, Veluana, Bukit Burung Hering, Gotama Nigroda, Gua Sattapaṇṇī di lereng gunung Vebhāra, Kalasila di lereng gunung Isigili, kolam Sappasondika di Sītavana, Kalaṇdanivāpa di Veluana, dan Cetiya Buddha-Buddha masa lalu sepeti Udena, Gotamaka, Sattambaka, Bahuputtaka, Sārandada dan Cāpāla. Buddha mengatakan “Ramaṇīyaṃ Ānanda Cāpāla Chetiyaṃ.” Ini menunjukkan bahwa Buddha mengapresiasi situs-situs demikian ketika melintasinya.

Theragāthā dan Therīgāthā memuat beberapa syair yang diucapkan para Thera dan Theri atau bhikkhu dan bhikkhuni Arahat sebagai bentuk kegembiraannya. Beberapa Thera dan Theri memuji keindahan alam. Para Arahat dan Buddha yang sudah terbebaskan sekalipun tetap mengarhagai keindahan alam. Arahat Sappaka Thera mengungkapkan kegembiraannya kepada keindahan Sungai Ajakarṇī.

“Yadā balākā sucipaṇḍaracchadā, kāḷassa meghassa bhayena tajjitā;
Palehiti ālayamālayesinī, tadā nadī ajakaraṇī rameti maṃ.”
Ketika burung bangau dengan sayap-sayap yang cemerlang, takut kepada awan hitam, terbang ke sarangnya, dan Sungai Ajakarṇī membuatnya bahagia. 

Sappaka Thera mengatakan bahwa pohon-pohon jambu di belakang guanya menghiasi tepian sungai. Beliau juga enggan untuk pergi menjauh dari sungai ketika katak-katak menguak suara merdu. Menurutnya Sungai Ajakarṇī damai, menyenangkan, dan menggembirakan (khemā ajakaraṇī sivā surammā’’’ti).

Vimala Thera mengungkapkan bahwa 
“Dharaṇī ca siñcati vāti, māluto vijjutā carati nabhe;
Upasamanti vitakkā, cittaṃ susamāhitaṃ mamā’’ti.”
“Bumi diperciki, angin berembus, cahaya menyinari langit. Pikiranku terpusat, dan tekonsentrasi dengan baik.”

Vanavaccha Thera mengungkapkan bahwa
“Acchodikā puthusilā,gonaṅgulamigāyutā;
Ambusevālasañchannā, te selā ramayanti ma’’nti.”
“Dengan air yang jernih dan tebing batu terjang yang luas, sering didatangi kera-kera dan rusa-rusa, terlapisi dengan lumut perembesan, bebatuan itu menggembirakanku.”

Masih banyak contoh yang bisa ditunjukkan untuk membuktikan bahwa para Arahat mengapresiasi keindahan alam. Diantaranya yaitu; Mahākassappa Thera, Kāḷudāyi Thera, Ekavihāriya Thera, Mahākoṭṭhikattha Thera, Siṅgalapitā Thera, Cittaka Thera, Sirivaḍḍha Thera, Rāmaṇeyyaka Thera.

Estetika Suara
Dalam literatur Pali, kita memiliki bukti bahwa Buddha juga mengapresiasi estetika suara. Buddha memuji penampilan Bhikkhu Soṇa Kuṭikaṇṇa dalam mengulang Aṭṭhavagga dengan indah baik intonasi maupun pelafalan tanda baca. Buddha juga mengapresianya dan menempatkannya sebagai pembicara terbaik di antara para siswanya. Di Sakkapañha Sutta, Buddha juga mengapresiasi penampilan Gandhabba Pañcasikha yang melantunkan syair puisi cinta yang dikombinasikan dengan Buddha, Dhamma, dan Arahat. Pañcasikha adalah penyanyi surgawi yang diutus Dewa Sakka untuk pergi ke bumi untuk membangunkan Buddha karena Dewa Sakka ingin bertemu dengannya. Pañcasikha memang pandai dalam memilih kata dan merangkainya menjadi puisi. Dia menggunakan simile yang indah untuk menggambarkan gadis pujaannya, Sūriyavacchasa. Sebagai contohnya:

“Vātova sedataṃ kanto, pānīyaṃva pipāsato;
Aṅgīrasi piyāmesi, dhammo arahatāmiva.”
“Seperti semilir angin yang berembus menyegarkan orang yang berkeringat, atau seperti air bagi orang yang haus; Kecantikan cahayamu menyenangkanku, seperti Dhamma bagi para Arahat.”

“Āturasseva bhesajjaṃ, bhojanaṃva jighacchato;
Parinibbāpaya maṃ bhadde, jalantamiva vārinā.”
“Seperti obat bagi yang sakit, atau makanan bagi yang lapar, bawalah aku, gadis cantik, ke pembebasan yang manis, dengan air sejuk untuk api yang membakarku.”

“Yathāpi muni nandeyya, patvā sambodhimuttamaṃ;
Evaṃ nandeyyaṃ kalyāṇi, missībhāvaṃ gato tayā.”
“Seperti halnya petapa (Buddha) yang bergembira setelah mencapai pencerahan; demikian juga aku akan berbahagia setelah bersama denganmu.”

Dari kutipan syair itu, kita bisa melihat estetika bahasa yang digunakan Pañcasikha. Ketika syair ini dilantunkan di hadapan Buddha, Buddha sendiri mengapresianya. 

Estetika Bahasa
Estetika dalam bentuk bahasa dapat kita contohkan seperti penggunaan majas dan simile untuk memberikan rasa dari ungkapan atau puisi. Penggunaan simile bagi Buddha bukan hanya sekadar keindahan, tetapi juga untuk memudahkan memahami arti. Buddha juga menambahkan bahwa beberapa orang bijaksana memahami apa yang dikatakan melalui perumpamaan. Oleh sebab itu, Buddha juga menggunakan berbagai macam simile atau perumpamaan untuk menyapaikan ajarannya. Sebagai contohnya Kakacūpama Sutta, Alagaddūpama Sutta, Vammika Sutta, Rathavinīta Sutta, Nivāpa Sutta, Ariyapariyesanā Sutta, Cūḷahatthipadopama Sutta, Mahāhatthipadopama Sutta, Mahāsāropama Sutta, Cūḷasāropama Sutta. 

Alagaddūpama Sutta, Majjhima Nikāya, memberikan perumpamaan yang indah sebagai berikut:
Kullūpamaṃ vo, bhikkhave, dhammaṃ desessāmi nittharaṇatthāya, no gahaṇatthāya.
Bagaikan rakit para bhikkhu, Dhamma yang Kuajarkan adalah untuk menyebrang, bukan untuk dilekati.

Dalam Ratana Sutta, Buddha menggambarkan Dhamma sebagaimana hutan yang di awal musim panas di kerumuni oleh bunga-bunga yang bermekaran indah. Puppha Vagga di dalam Dhammapada mengilustrasikan kemoralan Buddhist yang diumpamakan dengan bunga-bunga yang indah, berwarna, dan wangi. Bagaikan sekuntum bunga yang indah dan berbau harum, demikian pula kata-kata yang indah yang diucapkan oleh orang-orang yang melaksanakannya. Seperti kumpulan bunga yang diuntai menjadi banyak karangan bunga, demikian pula banyak kebajikan yang hendaknya dilakukan manusia di dunia ini.

Kesimpulan
Pada intinya walaupun ajaran Buddha selalu berkecipung dalam permasalahan dukkha, tetapi Buddha juga tidak mengabaikan aspek-aspek lain seperti estetika. Buddha dan para arahat sekalipun tetap menghargai estetika. Buddha juga menggunakan estetika untuk penyampaian ajarannya agar mudah dipahami, terutama estetika bahasa, yaitu dengan membuat simile yang indah dan bermakna. Theragāthā dan Therīgāthā memberikan cukup banyak bukti bahwa para Arahat yang telah bebas dari noda-noda batin tetap mengapresiasi keindahan alam, tetapi tidak melekatinya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Buddhisme menerima estetika, tetapi tidak boleh dilekati. Estetika tetap harus dipandang sebagai tidak kekal (aniccā), tidak memuaskan (dukkhā), dan bukan diri (anattā). Seseorang boleh menciptakan karya yang memiliki nilai estetika tinggi. Namun yang paling ditekankan adalah estetika spiritual, di mana seseorang memiliki keindahan batin. Ketika seseorang selalu mengembangkan hal-hal baik, maka dikatakan ia memiliki keindahan batin.

Referensi
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: The Buddha’s Path of Wisdom. Trans. Ācarya Buddharakkhita. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Khuddakapāṭha: The Minor Readings. Trans.  Bhikkhu Ñānamoli. London: The Pali Text Society, 1978.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Theragāthā: Poems of Early Buddhist Monks. Trans. K. R. Norman. Oxford: The Pali Text Society, 1997.
Therīgāthā: Poems of Early Buddhist Nuns. Trans. Mrs. C.A.F. Rhys Davids dan K.R. Norman. 2009.
Udāna and Itivuttaka. Trans. John D Ireland. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Thera, Wegama Piyarathana. 2010. Buddhist Attitude towards Aesthetics. Maharagama: Tharanjee Prints.
Wanarathana, Rideegama dan Rathnayaka, Rathnasiri. 2017. Ethical & Philosophical Teaching in Buddhism. Puwakpitiya: Māgadhī.

No comments:

Post a Comment