Wednesday, August 2, 2017

Melakukan Pūjā

0 comments

Melakukan Pūjā

Pūjā ca pūjanīyānaṃ etaṃ maṅgalamuttamaṃ
Menghormat pada mereka yang patut dihormati adalah berkah utama
(Maṅgala Sutta: Sn. 262)

Pendahuluan
Tradisi pūjā  memang tidak asing lagi bagi umat Buddha. Dalam pengertian umum, pūjā  diartikan sebagai kegiatan memberikan persembahan atau melakukan pernghormatan pada objek-objek yang dipuja . Namun masih banyak di antara umat Buddha sendiri yang masih kurang memahami maksud pūjā  yang sesungguhnya. Kesalahpamahaman ini membuat pengertian pūjā  bergeser pada arti yang sesungguhnya. Sering kali pūjā  disalahartikan sebagai meminta. Padahal pūjā  yang sesungguhnya adalah menghormat atau memberikan persembahan. Oleh karena itu, artikel pendek ini akan memberikan sedikit penjelasan mengenai pūjā  dan panduan-panduan untuk melakukan pūjā.

Pūjā dalam Arti Menghormat
Kata ‘pūjā’ merupakan kata yang berasal dari akar kata pūj baik dalam bahasa Pāli maupun Sansekerta. Pūjā berarti menghormat, menyembah, respek, memuja, dll. Dalam kanon pāli kata pūjā sering kali didampingi dengan kata sakkaroti, garukaroti, dan māneti (M. I. 336). Sebagai contohnya dalam Māratajjanīya Sutta, ‘etha, tumhe bhikkhū sīlavante kalyāṇadhamme sakkarotha garuṃ karotha mānetha pūjetha’ (M. I. 336). Dalam hal ini, pūjā adalah melakukan penghormatan.

Pūjā dalam Arti Memberi
Aṅguttara Nikāya memberikan dua macam dāna – āmisa dāna dan dhamma dāna (A. I. 91). Selain itu, juga disebutkan dua macam pūjā – āmisa pūjā dan dhamma pūja (A. I. 93). Di sini, baik āmisa dāna maupun āmisa pūjā memberikan arti persembahan atau donasi kebutuhan-kebutuhan pokok bhikkhu kepada bhikkhu saṅgha. Kebutuhan pokok bhikkhu antara lain jubah (cīvara), makanan (piṇḍapāta), tempat tinggal (senāsana), dan obat-obatan (gilānappaccaya). Dalam hal ini, pūjā  adalah memberi.

Pūjā dalam Arti Menghormat Sekaligus Mempersembahkan
Pūjā  dalam arti menghormat sekaligus mempersembahkan adalah pūjā  yang sudah umum kita ketahui. Biasanya ini digambarkan dengan kegiatan pergi ke Vihāra, melakukan pūjābakti, mempersembahkan bunga, lilin, dupa dan lain sebagainya di depan altar.

Terdapat dua macam pūjā, yaitu āmisa pūjā dan patipatti pūjā. Āmisa pūjā adalah bentuk penghormatan dengan malakukan persembahan-persembahan berbentuk materi kepada objek yang dipuja. Sementara patipatti pūjā adalah bentuk penghormatan dengan mempraktikkan ajaran Buddha. Ringkasnya, mempraktikkan ajaran Buddha adalah mempraktikkan kemoralan (sīla), meditasi (samādhi) dan kebijaksanaan (paññā). Buddha lebih menyetujui penghormatan dalam bentuk praktik daripada sekadar ritual. Buddha mengingatkan bahwa bhikkhu, bhikkhuni, umat awam laki-laki dan perempuan mana pun yang mempraktikkan Dhamma dengan benar, dan dengan sempurna menuntaskan jalan Dhamma, ia telah memberikan penghormatan dan pemujaan tertinggi kepada Buddha (D. II. 138).

Sikap Melakukan Pūjā
Sikap fisik dalam melakukan pūjā  dapat kita temui di literatur Pāli. Di zaman Buddha dahulu, sikap menghormat dengan cara demikian sudah dianggap umum. Sikap-sikap itu antara lain:

  1. Añjali adalah sikap menghormat dengan cara merangkapkan kedua telapak tangan membentuk seperti kuncup teratai. Dalam literatur Pāli, sikap ini muncul dalam kalimat añjaliṃ paṇāmeti, añjaliṃ paggaṇhāti, atau añjaliṃ karoti. Umumnya sikap añjali ini dilakukan di depan dada.
  2. Namakkāra adalah sikap bersujud dengan lima titik (lutut, ujung jari-jari kaki, dahi, siku, dan telapak tangan) menyentuh lantai kepada objek yang dipuja . Bentuk menghormat dengan cara ini biasa muncul dalam literatur Pāli sebagai namassati, vandati, atau abhivādeti. Umumnya sikap ini disertai dengan sikap añjali. 
  3. Padakkhiṇa adalah sikap mengelilingi objek yang diPūjā  dengan bahu kanan menghadap pada objek yang dipuja . Di India pada waktu itu, karena mereka berpakaian semacam selendang, jadi sebelum melakukan Padakkhiṇa, mereka menyibakkan selendang di bahu kanannya dan membiarkannya terbuka kemudian berjalan perlahan mengelilingi objek yang dipuja. Bentuk menghormat dengan cara ini biasa muncul dalam literatur Pāli sebagai padakkhiṇaṃ karoti. 

Objek yang Dipuja
Stupa atau Cetiya
Pada zaman ketika Buddha masih hidup, para bhikkhu dan umat menghormat Buddha, baik dengan cara añjali, namakkāra, atau padakkhiṇa. Namun setelah Buddha mencapai parinibbāna, umat melakukan pūjā  kepada stupa di mana relik Buddha disimpan. Dalam Mahāparinibbāna Sutta, Bhikkhu Ānanda bertanya kepada Buddha tentang bagaimana memperlakukan jenazahnya setelah Buddha wafat nanti. Buddha kemudian memberikan petunjuk bahwa jenazah Buddha harus diperlakukan seperti halnya Raja Cakkavatti dan dibangunkan stupa di persimpangan jalan (cātumahāpathe tathāgatassa thūpo kātabbo. D. II. 142). Lebih lanjut, Buddha mengatakan bahwa para umat awam yang mempersembahkan bunga atau wewangian dan warna-warna di sana dengan ketulusan hati, akan memperoleh manfaat dan kebahagiaan untuk waktu yang lama (tattha ye mālaṃ vā gandhaṃ vā cuṇṇakaṃ vā āropessanti vā abhivādessanti vā cittaṃ vā pasādessanti tesaṃ taṃ bhavissati dīgharattaṃ hitāya sukhāya. Ibid.). Dari sini kita tahu bahwa objek yang dapat dipuja adalah stupa atau cetiya yang sengaja didirikan untuk menyimpan relik Buddha. Namun Buddha juga menambahkan bahwa ada empat orang yang layak dibangunkan stupa, antara lain: Sammāsambuddho, Paccekasambuddho, Tathāgatassa Sāvako, dan Rājā Cakkavattī (Ibid.).

Ada tiga macam Cetiya (J. 479. 228), yaitu:
  • Sārīka-Cetiya adalah yang berhubungan dengan relik Buddha atau sisa tubuh Buddha.
  • Pāribhogika-Cetiya adalah barang-barang yang pernah digunakan oleh Buddha.
  • Uddesika-Cetiya adalah penggambaran tentang beliau. Dengan demikian Stupa atau Cetiya yang menyimpan relik Buddha adalah objek yang selayaknya dipuja. Sārīka-Cetiya dalam hirarkinya mendapat tempat yang paling mulia (paribhogacetiyato hi sārīka cetiyaṃ mahantataraṃ. AA. II. 6). 
Pohon Bodhi
Pohon Bodhi, pohon di mana Buddha mencapai penerangan sempurna, mendapat tempat penting sebagai objek yang dipuja. Ini dikategorikan sebagai Pāribhogika-Cetiya atau barang-barang yang pernah digunakan oleh Buddha. Kāliṅgabodhi Jātaka (J. 479. 228-230), melaporkan bahwa ketika Buddha masih hidup, Bhikkhu Ānanda memiliki semaian biji pohon Bodhi yang berasal dari Gayā di mana Buddha mencapai pecerahan, dan menanamnya di depan Vihāra Jetavana. Dikatakan pohon ini sengaja di tanam di sana dengan tujuan sebagai objek pemujaan (pūjanīyaṭṭhāna) bagi para umat yang datang di saat Buddha sedang tidak ada di vihara. Pohon ini dikenal sebagai Ānanda-bodhi. Bentuk lain dari Pāribhogika-Cetiya, antara lain jubah, patta, saringan air, dan berbagai alat-alat yang pernah digunakan oleh Buddha.

Buddha-rūpaṃ atau Patung Buddha
Patung atau gambar Buddha adalah objek pemujaan yang paling sering ditemui. Objek pemujaan ini dikategorikan dalam Uddesika-Cetiya atau penggambaran tentang Buddha. Sebenarnya, kalau kita mau melihat sejarahnya, patung Buddha atau gambar Buddha dibuat sangat belakangan sekali. Dengan kata lain, di saat Buddha masih hidup atau bahkan puluhan tahun setelah Buddha wafat, belum ada keberanian umat untuk menggambarkan Buddha, karena tidak mampu menggambarkan keagungan Buddha. Alhasil, Buddha hanya digambarkan dalam bentuk simbol-simbol seperti roda dhamma (dhammacakka), telapak kaki Buddha (sirīpādā), dll.

Panduan untuk Melakukan Pūjā 
Sebenarnya, tidak ada aturan khusus dalam melakukan pūjā. Bahkan tidak ada mantra-mantra khusus yang harus dilafalkan dalam melakukan pūjā. Siapapun bisa melakukan pūjā. Dan siapapun berhak menyusun syair-syair pujian untuk menghormat Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Namun, para bhikkhu pendahulu sudah menyusun beberapa syair yang biasa digunakan untuk memuja sesuai dengan bentuk persembahan yang akan dipersembahkan. Ini memudahkan kita dalam melakukan pūjā. Namun perlu dicatat bahwa syair-syair ini bukanlah sebuah mantra, tetapi hanyalah syair yang disusun indah sesuai dengan irama dan meter bahasa Pāli untuk memuja Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Di sini saya memberikan beberapa syair pūjā yang biasa digunakan oleh umat Buddha di Sri Lanka dalam melakukan pūjā.

Padipa Pūjā – Memuja dengan Lentera atau Cahaya
Ghana sārappa dittena - dīpena tama dhansinā
Tiloka dīpaṃ sambuddhaṃ - pūjayāmi tamonudaṃ
Dengan cahaya yang bersinar terang, menghapuskan kegelapan ini, saya memuja Sang Buddha, yang melenyapkan gelapnya kebodohan.


Sugandha Pūjā – Memuja dengan Dupa

Gandha sambhāra yuttena - dhūpenāhaṃ sugandhinā
Pūjaye pūjanīyaṃ taṃ - pūjā bhājana muttamaṃ
Dengan wangi dupa yang terbuat dari bahan keharuman, saya memuja Sang Buddha, yang layak dipuja, yang melenyapkan gelapnya kebodohan.


Puppha Pūjā – Memuja dengan Bunga

Vaṇṇa gaṇda guṇopetaṃ - etaṃ kusuma santatiṃ
Pūjayāmi munindassa - sirīpāda saroruhe
Pūjemi buddhaṃ kusumena nena - puññena me tena ca hotu mokkhaṃ
Pupphaṃ milāyāti yathā idaṃ me - kāyo tathā yāti vināsa bhāvaṃ
Kumpulan bunga-bunga ini, berwarna segar, wangi, dan terpilih, kupersembahkan di kaki-kaki seperti bunga teratai suci dari seorang Petapa Mulia. Kupersembahkan bunga-bunga ini kepada Buddha. Semoga kebajikan ini bermanfaat bagi pembebasanku. Seperti bunga-bunga ini yang harus layu, demikian tubuh kita juga mengalami kehancuran.

Pānīya Pūjā – Memuja dengan Air
Adhivāsetu no bhante - pānīyaṃ parikappitaṃ
Anukampaṃ upādāya – patiganhātu muttamaṃ
Bhante, terimalah air ini sebagai persembahan untukmu, demi kasih sayang kepada kita.


Āhāra / Bhojana Pūjā – Memuja dengan Makanan

Adhivāsetu no bhante - bhojanaṃ parikappitaṃ
Anukampaṃ upādāya – patiganhātu muttamaṃ
Bhante, terimalah makanan ini sebagai persembahan untukmu, demi kasih sayang kepada kita.


Gilānapaccaya Pūjā – Memuja dengan Obat-obatan

Adhivāsetu no bhante - gilānapaccayaṃ imaṃ
Anukampaṃ upādāya – patiganhātu muttamaṃ
Bhante, terimalah obat-obatan ini sebagai persembahan untukmu, demi kasih sayang kepada kita.

Vandana
Cetiya-Vandana
Vandāmi cetiyaṃ sabbaṃ - sabbattānesupatiṭṭhitaṃ
Sāririkadhātu mahābodhiṃ - Buddha rūpaṃ sakalaṃ sadā
Saya menghormat kepada semua cetiya / stupa yang berdiri di mana saja, relik-relik tubuh Sang Buddha, pohon Mahā Bodhi, dan semua penggambaran Buddha / patung Buddha.

Bodhi-Vandana
Yassa mūle nisinno va – sabbāri vijayaṃ akā
Patto sabbaññutaṃ satthā – vande taṃ bodhi pādapaṃ
Ime ete mahā bodhi – loka nāthena pūjitā
ahaṃ pi te namassāmi – bodhirājā namatthu te
Duduk di akarnya, Sang Guru mengatasi semua musuh, menjadi maha mengetahui, kepada pohon Bodhi itu aku memuja.
Pohon-pohon Bodhi itu, dipuja oleh Pelindung Dunia (Buddha), demikian saya juga akan memujamu. Semoga ada penghormatan padamu, oh Mahā Bodhi.

Kesimpulan
Pūjā  bukanlah meminta, melainkan memberikan penghormatan dan persembahan kepada mereka yang patuh menerima persembahan. Pada awalnya pūjā  hanyalah sebagai bentuk penghormatan, namun berangsur-rangsur berlangsung seperti ritual keagamaaan. Ketika Buddha masih hidup, para bhikkhu dan para umat menghormat kepada Buddha dengan cara añjali, namakkāra, atau padakkhiṇa. Setelah Buddha wafat, umat Buddha menghormatnya dengan mempersembahkan persembahan seperti bunga, dupa, air, dll. ke objek-objek pemujaan yang disarankan oleh Buddha - sārīka, pāribhogika, dan uddesika cetiya. Namun Buddha juga menunjukkan bahwa penghormatan yang terbaik adalah menghormatinya dengan cara mempraktikkan ajarannya.

Referensi
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Dhammananda, K. Sri. 1991. Daily Buddhist Devotions. Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society.
Jātaka: Stories of the Buddha’s Former Births. Vol. IV. Trans. E.B. Cowel. New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers. 2015.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Malalasekera, G. P (founder editor-chief). 2000. Encyclopaedia of Buddhism. Vol. IV. Sri Lanka: The Department of Buddhist Affairs.
Malalasekera, G. P (founder editor-chief). 2011. Encyclopaedia of Buddhism. Vol. VII. Sri Lanka: The Department of Buddhist Affairs.

No comments:

Post a Comment