Thursday, March 21, 2019

Pedoman Moral Umat Buddha

0 comments
Pedoman moral yang mesti dipraktikkan sebagai umat Buddha adalah lima latihan moral (pañcasīla / pañca sikkhāpadāni). Lima latihan moral tersebut antara lain menghindari pembunuhan makhluk hidup (pāṇātipātā veramaṇī), menghindari mencuri (adinnādānā veramaṇī), menghindari berbuat tindakan asusilla (kāmesumicchācārā veramaṇī), menghindari berbohong (musāvādā veramaṇī), dan menghindari minum-minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (surāmerayamajjappamādaṭṭhānā veramaṇī. D. III. 235).

Lima latihan moral ini disebut sebagai landasan dasar untuk menjalani hidup sebagai umat Buddha perumah tangga karena disebut sebagai Gahaṭṭhasīla. Umat Buddha harus melatihnya setiap hari, karena ini disebut sebagai Niccasīla, yang berbeda dengan delapan latihan moral yang bisa dipraktikkan di hari-hari tertentu saja. Yang disebut sebagai umat Buddha bermoral (sīlavā upāsaka) adalah mereka yang mempraktikkan lima latihan moral ini dalam kehidupannya sehari-hari.

Ajaran Buddha pada dasarnya selalu menekankan pentingnya menghargai hak makhluk lain untuk hidup. Makhluk sekecil, sebuas, atau sehina apapun, mereka berhak untuk hidup, dan sebagai umat Buddha, kita dianjurkan untuk tidak menghancurkan haknya. Yang tidak boleh dibunuh bukan hanya manusia saja, tetapi semua makhluk yang memiliki kehidupan. Binatang sekalipun berhak untuk hidup bebas. Dalam agama Buddha tidak ada pandangan bahwa binatang diciptakan untuk manusia di mana manusia bisa semena-mena berlaku bebas terhadap binatang. Manusia dan binatang sama-sama makhluk hidup yang sama-sama menginginkan hidup, tidak ingin mati, dan ingin hidup bebas dan bahagia. Oleh karena itu, sebagai umat Buddha, seharusnya kita tidak membunuh makhluk hidup atau menyakiti mereka. Buddha berkata bahwa, “Semua makhluk takut pada hukuman, semua makhluk mencintai kehidupan. Setelah membandingkan dirinya demikian, seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan yang lain terbunuh (Sabbe tasanti daṇḍassa, sabbesaṃ jīvitaṃ piyaṃ; Attānaṃ upamaṃ katvā, na haneyya na ghātaye. Dhp. 130).

Dengan menghindari membunuh makhluk hidup, kita dapat dengan mudah mengembangkan kualitas-kualitas baik seperti cinta kasih, welas asih dan kepedulian. Kualitas-kualitas baik ini bila selalu dikembangkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, hidup kita akan menjadi lebih bahagia dan orang-orang di sekitar kita pun tak menjadi merasa dirugikan. Perbuatan baik selalu memberikan manfaat kepada para pelakunya dan orang-orang disekitarnya.

Semua orang mencintai barang kepemilikannya masing-masing. Mereka menjaga dan menyimpannya agar tidak hilang. Apabila barangnya hilang, mereka menjadi sedih. Mencuri barang milik orang lain berarti membuat pemiliknya menjadi sedih. Membuat orang lain bersedih adalah perbuatan yang buruk. Oleh karena itu seseorang seharusnya tidak mencuri barang milik orang lain. Bila seseorang menginginkan sesuatu, seharusnya hal itu diperoleh dengan cara yang benar. Mencuri bukanlah cara yang benar untuk mendapatkan sesuatu. 

Berbuat asusila atau melakukan tindakan-tindakan seksual yang salah bukanlah hal dipuji para bijaksanawan. Selingkuh, pergi dengan kekasih orang lain, atau hal-hal yang berhubungan dengan tindakan asusila seharusnya dihindari oleh umat Buddha. 

Siapapun tak suka dibohongi. Semua orang mengingikan kebenaran. Oleh karena itu berbicara bohong kepada orang lain hendaknya dihindari. Kita seharusnya melatih untuk senantiasa berbicara sesuai dengan kebenaran. Meskipun itu pahit, kebenaran akan membuktikan manfaatnya. Sementara kebohongan akan merugikan tatkala kebohongan itu terbongkar. Seberapapun rapi seseorang menyembunyikan kebohongan, lama kelamaan kebohongan tersebut akan menampakkan sifat busuknya. Berbohong bukan hanya merugikan orang yang dibohongi, orang yang berbohong juga akan mendapatkan akibatnya. Ketika orang lain sudah mengetahui kebiasaannya yang suka berbohong, orang lain pun menjadi tidak mempercayai omongan-omongannya. Pembohong akan kehilangan kepercayaan dan tidak disukai oleh teman-temannya. 

Umat Buddha seharusnya berusaha untuk selalu berucap ucapan yang benar. Bukan hanya menghindari ucapan bohong, fitnah yang memecah belas, ucapan-ucapan kasar saja, tetapi juga harus berucap ucapan yang benar. Yang disebut sebut sebagai ucapan yang benar adalah ucapan itu diucapkan pada waktunya (kālena), sesuai dengan kenyataan (bhūtena), lemah lembut (saṇhena), bermanfaat (atthasaṃhitena), dan penuh dengan cinta kasih (mettacittā. M. I. 127). Sebaliknya, ucapan yang tidak benar, yang semestinya dihindar adalah ucapan yang diucapkan tidak sesuai dengan waktunya (akālena), tidak sesuai dengan kenyataan (abhūtena), kasar (pharusena), tidak bermanfaat (anatthasaṃhitena), dan dengan penuh kebencian (dosantarā).

Minum-minuman keras bukanlah minuman yang bermanfaat bagi kesehatan, terlebih bila dikonsumsi secara berlebihan. Berbagai macam penyakit muncul diakibatkan karena mengonsumsi minuman-minuman keras. Buddha mengajarkan umatnya untuk berusaha menghindari minuman-minuman tersebut. Minuman keras tidak akan membawa pada hal yang positif. Ketika seseorang mengonsumsi minuman keras, kesadaran seseorang menjadi lemah. Ia setengah tak sadar dan sulit untuk mengontrol dirinya sendiri. Ini sangat berbahaya, karena dalam kondisi yang tak sadar demikian, seseorang yang mabuk karena minuman keras sangat riskan untuk melakukan kejahatan-kejahatan atau tindakan yang merugikan lainnya tanpa ia sadari dengan akal sehat. Berlatih menghindari mengonsumsi minuman-minuman keras bukan hanya untuk manfaat bagai kesehatan diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat luas. Biasanya, daerah di mana banyak orang minum minuman keras dan mabuk menjadi tak aman dan banyak sekali tindakan-tindakan kriminal. 

Menurut agama Buddha, menggemari minum minuman keras (surādhutto) adalah salah satu penyebab keruntuhan (parābhava. Sn. 106). Kebiasaan minum minuman yang memabukkan dan melemahkan kesadaran juga disebut sebagai penyebab kemunduran yang menghabiskan kekayaan (Surāmerayamajjappamādaṭṭhānānuyogo kho, gahapatiputta, bhogānaṃ apāyamukhaṃ. D. III. 182). Pada suatu kesempatan, Buddha menyebutkan enam bahaya dari kebiasaan mengonsumsi minuman keras, yaitu: memboroskan kekayaan seketika (sandiṭṭhikā dhanajāni), pertikaian meningkat (kalahappavaḍḍhanī), terserang penyakit (rogānaṃ āyatanaṃ), merusak nama baik (akittisañjananī), keburukan-keburukannya terbongkar (kopīnanidaṃsanī), melemahkan kecerdasan (paññāya dubbalikaraṇī. D. III. 183).

Demikianlah lima latihan moral yang mesti kita latih dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Melatih sila membawa manfaat bagi kita sendiri dan juga orang-orang di sekitar kita. Kita akan menjadi manusia bermoral dan berbudi luhur apabila kita senantiasa menerapkan lima latihan moral ini. Orang yang melatih lima latihan moral ini akan menjadi kokoh dan tidak mudah ditumbangkan dengan kejahatan-kejahatan. Mempraktikkan sila membawa kemajuan, nama baik, dan keyakinan. Buddha berkata, “Ia yang membunuh makhluk hidup, berbicara bohong, mengambil apa yang tidak diberikan, pergi dengan kekasih orang lain, kecanduan dengan minum minuman keras, orang seperti itu menggali akarnya sendiri di kehidupan ini juga (Yo pāṇamatipāteti, musāvādañca bhāsati; loke adinnamādiyati, paradārañca gacchati. Surāmerayapānañca, yo naro anuyuñjati; idhevameso lokasmiṃ, mūlaṃ khaṇati attano. Dhp. 246-247). Sebagaimana pohon yang apabila akarnya terus digali, maka pohon tersebut menjadi mudah goyah dan roboh. Demikian juga ketika seseorang melakukan lima macam perbuatan tersebut, maka ia seperti menggali akarnya sendiri untuk merobohkan dan menghancurkan dirinya sendiri.

No comments:

Post a Comment