Judi dan Efeknya dalam Agama Buddha

Judi dan Efeknya dalam Agama Buddha

Judi adalah permainan dengan menggunakan uang atau barang berharga sebagai taruhannya. Permainan ini dapat menimbulkan orang kecanduan. Bagi yang menang kecanduan ingin menang lagi dan bagi yang kalah kecanduan ingin mengembalikan modal dan pengen menang suatu saat.

Kecanduan judi sangatlah berbahaya. Bukan hanya berdampak buruk pada psikologis pemain, tapi juga berdampak buruk pada perekonomian keluarga. Harta dan keluarga pun bisa berantakan. 

Dampak nyata dari orang yang kecanduan judi adalah:

1. Jual ini dan itu

Ketika seseorang kalah, ia tak bisa berpikir positif lagi. Ia akan terdesak untuk menjual barang-barang yang ia miliki. Dengan harapan menang, namun sering kali yang terjadi adalah kalah.

2. Utang di mana-mana

Ketika sudah tidak punya barang lagi untuk dijual, ia mulai berani berhutang. Tidak hanya sekali atau dua kali, ia akan terus menambah hutangnya tanpa berpikir bagaimana ia bisa mengembalikannya. Harapan untuk mengembalikan hanyalah kalau nanti ia menang. Alhasil hutangnya semakin menumpuk.

3. Diomongin tetangga

Tentu saja orang yang sudah sampai pada level ini akan menjadi bahan perguncingan masyarakat. Tetangga dekat maupun jauh lama-lama akan tahu perbuatannya. Bukannya membantu, rata-rata orang akan mengecam dan tak mau bergaul dengannya.

4. Istri dan anak terlantarkan

Kesulitan ini mengancam keharmonisan rumah tangga. Ketika suaminya tercandu judi dan hutangnya di mana-mana, mana ada istri yang mau tinggal diam? Ketika istri dan anaknya sudah tidak diberikan nafkah lagi, yang ada istri dan anak-anaknya akan meninggalkan dirinya. 

Dalam agama Buddha, kecanduan judi adalah salah satu pemborosan kekayaan yang mesti dihindari. Ada pun enam bahaya dari kecanduan judi (Jūtappamādaṭṭhānānuyogo) sebagaimana yang tertera dalam Sigālovāda Sutta:

1. Ketika ia menang, ia akan dibenci (jayaṃ veraṃ pasavati)
2. Ketika kalah, ia akan menyesal (jino vittamanusocati)
3. Memboroskan kekayaan yang ia miliki saat ini (sandiṭṭhikā dhanajāni)
4. Omongannya tidak dipercaya orang banyak (sabhāgatassa vacanaṃ na rūhati)
5. Ia diremehkan para teman-temannya (mittāmaccānaṃ paribhūto hoti)
6. Ia tak pantas dijadikan calon suami, karena pejudi tidak mampu menghidupi istrinya (āvāhavivāhakānaṃ apatthito hoti – ‘akkhadhutto ayaṃ purisapuggalo nālaṃ dārabharaṇāyā’ti)