Friday, January 13, 2017

Bisa Berbuat Baik adalah Berkah

0 comments
Bisa Berbuat Baik adalah Berkah
Sukarāni asādhūni attano ahitāni ca
yaṁ ve hitañ ca sādhuñ ca taṁ we paramadukkaraṁ
Sungguh mudah melakukan hal-hal buruk dan tak bermanfaat
Sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri
(Dhp: 163)

Pendahuluan
Melihat kondisi yang terjadi sekarang ini menunjukkan tanda bahwa kita berada dalam kondisi krisis moral. Berita yang selalu beredar di berbagai media umumnya berita tentang tindakan kriminal. Fakta memang mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan jahat lebih mudah dilakukan ketimbang perbuatan-perbuatan baik. Menahan diri untuk tidak berbuat kejahatan saja sudah dianggap baik. Apa lagi, jika seseorang selain menahan diri untuk tidak berbuat kejahatan dan ditambah melakukan  kebajikan, itu akan sangat lebih baik. Yang disebut berkah dalam agama Buddha bukanlah tentang praktik-praktik mistis. Penghindaran dari perbuatan buruk dan melakukan perbuatan baik itulah yang sesungguhnya disebut berkah. Oleh karena itu, melalui artikel ini, kita akan mengetahui bagaimana berbuat baik bisa disebut berkah.

Pembahasan
Buddhisme menekankan pengikutnya untuk menghindari perbuatan buruk, memperbanyak perbuatan baik, dan membersihkan batin (Dhp. 183. p. 143). Pemahaman tentang berkah dalam agama Buddha juga tidak lepas dari tiga poin penting tersebut. Berkah bukanlah sesuatu yang dicari di tempat-tempat tertentu, tetapi berkah adalah sesuatu yang diciptakan dengan dasar menghindari kejahatan, memperbanyak perbuatan baik, dan membersihkan batin. Dalam Mahāmaṅgala Sutta, secara jelas perbuatan menghindari dan tidak melakukan kejahatan merupakan berkah (Sn. 264. p. 29). Perbuatan baik seperti berdana, berperilaku sesuai Dhamma, dan melakukan perbuatan tanpa cela merupakan berkah (ibid. 263). Memiliki kualitas diri seperti rasa hormat, kerendahan hati, kepuasan hati, dan berterima kasih merupakan berkah (ibid. 265).

Ketika banyak orang beranggapan bahwa berkah adalah tentang hal-hal mistis, atau datang dalam bentuk wahyu, Buddha sendiri memberikan uraian tentang berkah sebagai tindakan menjauhi kejahatan, memperbanyak kebaikan, dan membersihkan batin. Perealisasian nibbāna yang merupakan tujuan utama dari Buddhisme, disebut sebagai berkah utama (Sn. 267. p. 30). Dalam Mahāmaṅgala Sutta, di sana dijabarkan tiga puluh delapan berkah yang dapat dipahami secara akal dan bisa dipraktikkan oleh siapa saja.

Dalam Dhamma, kita diminta untuk bergegas berbuat kebajikan dan mengendalikan pikiran dari kejahatan (Dhp. 116. p. 127). Apabila kita telah berbuat jahat, hendaknya kita tidak mengulanginya lagi dan apabila kita berbuat baik hendaknya kita mengulanginya lagi dan lagi (ibid. 117, 118). Sekecil apapun perbuatan baik atau buruk seharusnya tidak dipandang sebagai remeh. Ibarat air yang menetes demi tetes akan memenuhi isi tempayan (ibid. 121, 122). 

Kriteria perbuatan baik dan buruk bisa dilihat di dalam Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta. Jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran itu membawa kerugian dan penderitaan bagi diri sendiri atau orang lain atau keduanya, itu dianggap sebagai perbuatan buruk. Sedangkan jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran itu tidak membawa kerugian dan penderitaan diri sendiri atau orang lain, ataupun keduannya, adalah perbuatan baik (M. 61. p. 524-525). Lebih lanjut dalam sutta ini diceritakan bahwa Buddha memberikan perumpamaan cermin dhamma kepada Rahula. Sebelum seseorang bertindak, berucap, dan berpikir, seseorang seharusnya merenungkan hal ini. Seseorang bisa bercermin kepada diri sendiri sebelum bertindak kepada yang lainnya. Ketika seseorang menyadari bahwa semua orang takut pada hukuman dan kematian, setiap makhluk mencintai hidup, setelah membandingkan dirinya sendiri dengan yang lainnya, ia seharusnya tidak memukul atau membunuh yang lain (Dhp. 129, 130. p. 130). Begitu juga dengan perbuatan-perbuatan yang lainnya. 

Veḷudvāreyya Sutta dari Saṁyutta Nikāya memberikan uraian menarik tentang membandingkan perasaan diri sendiri dengan yang lain sebagai tolak ukur sebelum seseorang bertindak (attupanāyiko dhammapariyāyo: S. p. 1797). Di sini seseorang harus merenungkan demikian ‘saya adalah orang yang ingin hidup, tidak ingin mati; saya menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan; ketika saya menginginkan demikian, jika ada seseorang yang ingin mengambil hidup saya, ini tidak menyenangkan bagiku. Demikian orang lain yang juga menginginkan hal yang sama denganku, jika aku ingin mengakhiri hidupnya, ini tidak menyenangkan baginya.’ Dengan merenungkan demikian, seseorang akan berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap orang lain, karena orang lain adalah sama dengan dirinya sendiri. Dengan cara yang sama, seseorang merenungkan dan membandingkan orang lain dengan dirinya sendiri, tidak akan melakukan pencurian, perbuatan asusila, berbohong, berucap memecahbelah, berkata kasar, dll.

Buddha sendiri menyadari kecenderungan manusia yang lebih mudah melakukan kejahatan ketimbang melakukan kebajikan (ibid. 163. p. 138). Ketidaktahuan yang membuatnya demikian. Ketidaktahuan membuat seseorang tidak menyadari pentingnya berbuat baik dan buruknya kejahatan. Untuk bisa berbuat baik, seseorang perlu memiliki pandangan benar terlebih dahulu. Pandangan benar membantu seseorang untuk melihat bahwa ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, ada kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya, dsb. (M. 117. p. 935). Seseorang dikatakan memiliki pandangan benar apabila ia memahami perbuatan buruk beserta akarnya dan juga memahami perbuatan baik beserta akarnya (M. 9. p. 132). Seseorang dipertimbangkan sebagai tumpul dan dungu apabila ia tidak mengetahui mana kualitas perbuatan baik atau buruk, perbuatan terpuji atau tercela, dan superior atau rendah (A. p. 758). 

Tanpa adanya pandangan benar, seseorang akan beranggapan bahwa perbuatan baik tidak memberikan manfaat terhadapnya. Kejahatan bagi yang tidak tahu dianggap seperti manisnya madu (Dhp. 69. p. 115). Pembuat kebajikan mungkin mengaggap buruk selama buah dari perbuatan baik belum dipetik (ibid. 120. p. 128). Oleh karena itu, pandangan benar sungguh dibutuhkan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Di samping itu, pandangan benar membuat seseorang memiliki hiri dan ottappa yang menjadi sebab terdekat pendukung praktik moralitas (Vsm. p. 12). Bahkan dengan memiliki hiri dan ottappa, dunia akan menjadi lebih terlindungi dari perbuatan-perbuatan buruk. Dalam Aṅguttara Nikāya, dikatakan bahwa hiri dan ottapa adalah pelindung dunia (A. p. 143). Karena jika tidak ada hiri dan ottappa, jika kedua hal ini tidak menjadi pelindung dunia, maka seseorang tidak akan menghargai ibunya, tidak akan menghargai bibinya, tidak akan menghargai kakak iparnya, tidak akan menghargai istrinya, tidak akan menghargai gurunya, dan lain sebagainya (ibid).

Selain kecenderungan dari dalam, terkadang faktor eksternal juga bisa membuat seseorang enggan untuk berbuat baik. Pergaulan adalah faktor penting yang bisa berdampak pada hal baik atau buruk. Di antara faktor-faktor eksternal, Buddha sendiri tidak melihat satu pun faktor yang mengarah pada bahaya yang begitu besar selain dari pertemanan yang buruk. Demikian juga tidak satu pun faktor yang mengarah pada manfaat besar selain dari pertemanan yang baik (A. p. 101-104). Oleh karena itu, dari tiga puluh delapan berkah yang disebutkan di dalam Mahāmaṅgala Sutta, aspek pergaulan diletakkan di bagian awal (Sn. 259. p. 29). Karena faktor eksternal pula terkadang seseorang memilih melakukan jalan kejahatan. Terkadang keterbatasan yang dimiliki seseorang membuat seseorang tidak bisa melakukan kebajikan lebih. Oleh karena itu, bisa berbuat baik adalah berkah. Bahkan berkah yang didapat dari berbuat baik tidak hanya untuk orang yang melakukan saja. Orang-orang yang bergaul dengan orang tersebut juga memperoleh berkahnya (ibid). Berkah yang dibuat seseorang akan mampu menjadi berkah bagi orang lain juga.

Berbuat baik juga tidak seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Kesempatan untuk berbuat baik sesungguhnya ada di mana-mana, namun karena ketidaktahuan kita, berbuat baik seakan-akan menjadi sulit sehingga menimbulkan keengganan untuk dilakukan. Untuk menciptakan berkah pun juga sebenarnya tersedia di mana-mana. Berkah tidak hanya terletak pada suatu tempat-tempat ritual. Ambil contoh dalam lingkup pergaulan, tidak bergaul dengan orang dungu dan senantiasa bergaul dengan orang yang bijak adalah berkah (ibid). Di lingkup keluarga, menyokong ibu dan ayah, menyayangi istri dan anak, dan membantu kerabat sanak keluarga merupakan berkah (ibid. 262, 263). Oleh karena itu berkah bisa diciptakan di mana saja dan oleh siapa saja. 

Kesimpulan
Berkah dalam Buddhisme tidak mengarah pada praktik ritual mistis. Yang disebut berkah dalam Buddhisme masih berdasarkan asas menjauhi kejahatan, memperbanyak perbuatan baik, dan membersihkan batin. Hasil dari praktik tersebut juga disebut berkah. Tak bisa dipungkiri, bisa berbuat baik adalah berkah. Di satu sisi, seseorang yang bisa berbuat baik berarti telah mengerti pentingnya perbuatan baik dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Di sisi lain, bisa berbuat baik disebut berkah karena cara untuk mendapatkan berkah adalah dengan menjauhi kejahatan, memperbanyak kebajikan, dan membersihkan batin. Berkah berguna bagi kemajuan diri sendiri dan juga bermanfaat bagi orang lain juga. 

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Visuddhimagga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.

No comments:

Post a Comment