Wednesday, January 11, 2017

Menyikapi Kematian dalam Agama Buddha

0 comments

Menyikapi Kematian dalam Agama Buddha

Daharā ca mahantā ca, ye bālā ye ca paṇḍitā;
Sabbe maccuvasaṃ yanti, sabbe maccuparāyaṇā.
Baik yang muda maupun tua, tak peduli apakah mereka dungu atau bijaksana, akan terjebak dalam kematian. Semua makhluk bergerak menuju kematian.
(Salla Sutta: 578)

Pendahuluan
Kematian merupakan sifat alami dari kehidupan. Keniscayaan tentang kematian tidak bisa dielakkan oleh siapapun yang hidup. Entah diharapkan atau tidak, kematian akan mengampiri setiap makhluk hidup. Kehidupan dan kematian adalah satu paket yang tidak dapat dipisahkan. Di mana ada kehidupan di sana pasti akan ada kematian. Pembahasan tentang kematian seharusnya tidak dipahami sebagai hal yang tabu. Kematian juga seharusnya dipahami sebagai proses alami dari kehidupan, sehingga tak ada yang perlu ditakutkan dalam menghadapi kematian. Arah dari artikel ini adalah untuk menunjukkan perspektif Buddhis mengenai kematian dan bagaimana menyikapinya.

Kematian
Kematian (maraṇa) adalah berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan kehidupan, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, meninggalnya, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan terbaringnya tubuh (M. 141. p. 1098). Terdapat tiga macam kematian; kematian akhir dari seorang Buddha atau Arahat yang tidak diikuti dengan kelahiran kembali atau biasa disebut sebagai kematian dengan terbebasnya dari saṃsara (samuccheda-maraṇa); kematian yang dipahami dalam fenomena sementara terputusnya gugusan-gugusan (khaṇika-maraṇa - saṅkhārānaṃ khaṇabhaṅgasaṅkhātaṃ khaṇika-maraṇaṃ); dan kematian yang dipahami secara umum (samutti-maraṇa: Vsm. p. 225).

Menurut waktunya kematian dikategorikan menjadi dua yaitu; kematian menurut waktunya (kālamaraṇaṃ) dan kematian yang tidak sesuai dengan waktunya (akālamaraṇaṃ: ibid.). Kematian yang sesuai dengan waktunya datang dengan habisnya kebajikan (puññakkhayena) atau dengan habisnya jangka kehidupan (āyukkhayena) atau keduanya (ubhayakkhayena). Sementara kematian yang tidak sesuai dengan waktunya datang akibat kamma yang memotong (kammupacchedakakammavasena. Ibid.).

Kematian dapat datang sebagaimana analogi sebuah lampu pelita padam karena beberapa alasan berikut:
Minyaknya sudah habis (sebagaimana puññakkhayena-maraṇaṃ)
Sumbunya sudah habis terbakar (sebagaimana āyukkhayena-maraṇaṃ)
Minyak dan sumbunya habis terpakai (sebagaimana ubhayakkhayena-maraṇaṃ)
Faktor luar seperti tertiup angin (sebagaimana kammupacchedakakammavasena-maraṇaṃ)

Menyikapi Kematian
Rasa takut terhadap kematian telah diterima oleh kalangan masyarakat sebagai kebenaran yang konvensional. Buddha juga menyadari bahwa semua orang takut terhadap kematian (sabbe bhāyanti maccuno: Dhp. 129. p. 130). Orang-orang amat ketakutan ketika melihat bahwa mereka terperangkap oleh kematian (Sn. 587. p. 69).
Kematian akan dialami oleh siapapun, tak peduli muda maupun tua, tak peduli apakah mereka dungu atau bijaksana (Sn. 578. p. 68). Tidak seorang pun yang bisa melarikan diri dari kematian. Tiada di langit, tiada di tengah samudra, juga tidak di dalam gua, di puncak gunung, tak ada satu pun tempat di dunia ini yang dapat dipakai seseorang untuk menghindarkan dirinya dari kematian (Dhp. 128. p. 130). Diibaratkan dengan buah masak yang bisa jatuh di pagi hari, demikian pula makhluk yang dilahirkan bisa mati kapan pun juga (Sn. 576. p. 68). Dedaunan yang gugur dari tangkainya pun juga tidak harus yang tua saja. Baik yang menguning, hijau, bahkan yang masih dalam bentuk tunas pun bisa gugur kapan saja. Ini karena kematian adalah sifat alami kehidupan. Mungkin saja seseorang bisa hidup lebih dari seratus tahun, namun suatu saat nanti ia pasti akan terpisah dari sanak kelurganya dan ia pun akan mengalami kematian juga (Sn. 589. p. 69). Tak ada seorang ayah pun yang dapat menyelamatkan putranya dari kematian. Tak ada keluarga yang dapat menyelamatkan sanak saudaranya dari kematian (Sn. 579. p. 68). Tidak ada tawar menawar dengan kematian (M. 131. p. 1039). Semua makhluk bergerak menuju kematian (Sn. 578. p. 68).

Kematian merupakan keniscayaan dalam hidup ini. Kehidupan adalah tidak menentu (addhuvaṃ me jīvitaṃ), tapi kematian sudah tentu (dhuvaṃ me maraṇaṃ); kehidupan tidaklah pasti (jīvitameva aniyataṃ), tetapi kematianlah yang pasti (maraṇaṃ niyatanti: DhpA. Vol. III. p. 14). Kehidupan tidak pasti karena delapan kondisi dunia (aṭṭha lokadhammā) dapat datang silih berganti. Delapan kondisi dunia tersebut antara lain untung (lābho), rugi (alābho), terkenal (yaso), tidak dikenal (ayaso), dipuji (pasaṃsā), dicela (nindā), bahagia (sukhaṃ), dan menderita (dukkhaṃ. A. p. 1116). Sementara kematian merupakan muara dari kehidupan yang sudah pasti akan dialami oleh siapapun yang hidup.

Dunia ini dibungkus dengan usia tua dan ditutup dan dirundung dengan kematian (S. p. 132). Konsekuensi dari hidup adalah kematian yang bisa datang kapan saja. Buddha tidak mengajarkan kita untuk menghindar atau menolak sifat kehidupan itu, tetapi Buddha mengajarkan kita tentang bagaimana seseorang dapat menerima realitas kehidupan dengan cara yang bijaksana, hingga akhirnya berkontribusi pada ketidakmelekatan, dan kemudian diarahkan pada jalan bagaimana cara menghentikan lingkaran kelahiran dan kematian dengan perealisasian nibbāna. 

Buddha menyadari betul sebab seseorang takut terhadap kematian. Dalam Aṅguttara Nikāya, Buddha menjelaskan bahwa terdapat empat sebab yang menjadikan seseorang takut pada kematian. Empat sebab itu antara lain; tidak bebas dari nafsu keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indera, tidak bebas dari nafsu keinginan terhadap jasmani, belum melakukan hal-hal baik dan bermanfaat tetapi malah melakukan kejahatan, dan masih memiliki keraguan dan kebingungan tentang dhamma yang baik dan belum sampai pada kepastian di dalamnya (A. p. 550). Sebaliknya, orang yang terbebas dari nafsu keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indera, terbebas dari nafsu keinginan terhadap jasmani, tidak melakukan kejahatan dan telah melakukan banyak perbuatan yang baik, dan tidak memiliki keraguan di dalam Dhamma, tidak akan takut dalam menghadapi kematian (A. p. 551-552).

Ketika rasa takut terhadap kematian dipahami sebagai hal yang umum, melakukan perenungan-perenungan terhadap kematian adalah salah satu cara untuk mengurangi rasa takut dan membiasakan diri dalam pemahaman realitas kehidupan. Merenungkan realitas kematian juga merupakan salah satu objek meditasi yang disebut sebagai maranānussati. Dalam praktiknya, seseorang hendaknya merenungkan bahwa dirinya akan mengalami kematian – ‘saya wajar mengalami kematian, saya takkan mampu menghindari kematian (maraṇadhammomhi, maranaṁ anatīto)’. Ini merupakan salah satu dari lima hal yang seharusnya sering direnungkan (abhinhaṃ paccavekkhitabbāni) baik pria maupun wanita, atau perumah tangga maupun seorang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga (A. p. 686). 

Terdapat alasan-alasan mengapa perenungan ini sangat berguna, di antaranya sebagai berikut: ketika masih hidup, para makhluk merasa sombong akan kehidupan mereka; dan karena tergila-gila dengan kesombongan kehidupan itu, mereka menjalani kehidupan yang jahat dalam perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan kepastian tentang kematian, kesombongan kehidupan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk alasan baik itulah fakta kematian harus sering direnungkan (A. p. 687).

Salla Sutta, Sutta Nipāta, memberikan banyak hal yang dapat digunakan dalam merenungkan tentang realitas kematian. Sebagai contohnya adalah dengan merenungkan bahwa ‘Kehidupan di dunia ini tidak dapat diprediksi dan tidak pasti. Kehidupan di sini ini sulit, pendek dan dipenuhi penderitaan’(Sn. 574. p. 68). Sementara dalam Visuddhi Magga, Bhante Buddhaghosa memberikan delapan cara yang dapat digunakan untuk melakukan perenungan terhadap kematian (Vsm. p. 226). 

Sebagaimana mengadapi seorang pembunuh (vadhakapaccupaṭṭhānato)
Merenungkan bahwa kematian dapat terjadi seperti pembunuh yang senantiasa siap membunuh kita.
Sebagaimana puing kesuksesan (sampattivipattito)
Merenungkan bahwa kematian ini dapat tiba setiap saat, walaupun kita banyak mempunyai kesuksesan, kejayaan, dan kesejahteraan.
Dengan membandingkan (upasaṃharaṇato)
Merenungkan bahwa kematian itu tidak membeda-bedakan makhluk. Siapa saja akan mengalami kematian, apakah dia pemimpin besar, raja, orang agung, cendekiawan termansyur, maupun budiman saleh.
Mengenai pembagian tubuh menjadi banyak (kāyabahusādhāraṇato)
Merenungkan bahwa kematian dapat disebabkan oleh karena serangan bakteri, virus, cacing, dan lain sebagainya, yang terdapat dalam jasmani maupun di luar jasmani kita.
Mengenai kelemahan hidup (āyudubbalato)
Merenungkan bahwa kematian dapat menimpa kita karena gangguan keselarasan dari pola hidup, pernapasan, gizi, dan sebagainya. Ini karena kehidupan manusia sangat bergantung dengan napas, perawakan, panas & dingin, element-element utama, dan gizi.
Tidak bertanda (animittato)
Merenungkan bahwa kematian itu datang tanpa disertai dengan isyarat kapan dan di mana. Dengan kata lain, kapan kematian datang tidak dapat diprediksi dengan pasti.
Keterbatasan tingkat (addhānaparicchedato)
Merenungkan bahwa kematian adalah sebagai akibat dari keterbatasan dan pendeknya masa usia manusia. 
Singkatnya waktu (khaṇaparittatoti)
Merenungkan bahwa kematian ini sebagai akibat dari perubahan dan kesementaraan hidup ini. Oleh karena itu, kita dapat meninggal dunia setiap saat.

Kesimpulan
Di tengah-tengah kehidupan yang tidak pasti, kematian dapat datang kapanpun dan di manapun. Siapapun orang yang hidup sudah pasti akan mengalami kematian. Ini merupakan konsekuensi dari kehidupan. Mempelajari agama Buddha bukan bertujuan untuk mengkekalkan diri atau menghindar dari keniscayaan kematian, tetapi adalah untuk memahami realitas kehidupan sehingga dapat menghadapinya dengan cara yang bijak. Ketika ketakutan terhadap kematian dipahami sebagai yang wajar, agama Buddha menganjurkan untuk tidak takut dalam menghadapi kematian. Perenungan-perenungan tentang kematian juga dapat membantu seseorang mengurangi rasa takut terhadap kematian sekaligus membiasakan diri dalam memahami realitas kehidupan.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Dhammapada Aṭṭhakathā: Buddhist Legends. Vol. III. Trans. Eugene Watson Burlingame. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers, 2015.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Visuddhimagga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.

No comments:

Post a Comment