Friday, January 13, 2017

Sistem Kasta dalam Pandangan Buddhis

0 comments
Sistem Kasta dalam Pandangan Buddhis
Na jaccā brāhmaṇo hoti, na jaccā hoti abrāhmaṇo; 
Kammunā brāhmaṇo hoti, kammunā hoti abrāhmaṇo.
Seseorang bukanlah brahmana karena kelahiran, bukan pula bukan brahmana karena kelahiran. Karena perbuatan seseorang adalah brahmana, dan karena perbuatan pula seseorang bukanlah brahmana.
(Vāseṭṭha Sutta, Majjhima Nikāya)

Pendahuluan
Dalam sejarahnya, sistem kasta telah dikenal masyarakat India bahkan jauh sebelum Buddha muncul. Ketika Buddha muncul, keberadaan sistem kasta sangatlah kuat. Diketahui, terdapat empat penggolongan kasta berdasarkan kelahiran; brahmana, khattiya, vessa, dan sudra. Di India waktu itu terdapat dua kelompok tradisi, yaitu brahmana dan sramana. Tradisi brahmana menyetujui sistem kasta tersebut, sementara tradisi sramana menolak sistem kasta. Buddha adalah pemimpin agama yang termasuk dalam tradisi sramana. Ini sungguh menarik membahas bagaimana pandangan Buddhis mengenai sistem kasta. Oleh karena itu, melalui artikel ini, kita akan mengulas sistem kasta dalam pandangan Buddhis.

Konsep Varṇa dalam Literatur Veda
Varṇa adalah nama lain dari kasta. Sebenarnya, sistem kasta atau varna tidak ditemukan di Rig Veda selain di Purusha Sukta yang sekarang diterima sebagai penambahan belakangan (Ariyadeva, Wilegoda. The Theory and Practice of Social Revolution in Early Buddhism. p. 16). Purusha Sukta yang menyatakan bahwa empat kasta mucul dari Brahma, belakangan dipertimbangkan oleh para sarjana sebagai penambahan belakangan. 

Kata ‘varṇa’ merupakan bahasa Sansekerta yang berasal dari akar kata ‘vṛ’, berarti “meliputi, membungkus, menghitung, mengklasifikasikan, mendeskripsikan, atau memilih.” Dalam Rig Veda, kata ‘varṇa’ muncul dengan arti sebagai “warna, penampilan luar, bagian luar, bentuk, atau bentuk.” Di dalam Mahabharata, ‘varṇa’ berarti “warna, mencelup, atau pigmen”. Di dalam beberapa Veda dan teks-teks pertengahan, secara kontekstual, ini berarti “warna, ras, suku, jenis, macam, sifat, karakter, kualitas, atau properti” dari sebuah objek atau orang. Sementara di Manusmriti, varṇa mengacu pada pembagian sosial.

Melihat dari definisi varṇa yang telah diberikan di atas, sebenarnya, di Veda awal tidak ditemukan sistem kasta. Sistem kasta muncul setelah invasi dari orang-orang suku Arya (Ariyadeva, Wilegoda. The Theory and Practice of Social Revolution in Early Buddhism. p. 14). Rhys Davids mengatakan bahwa dasar dari perbedaan sosial adalah hubungan; atau karena orang-orang Arya bangga dengan warna kulitnya yang lebih cerah (Davids, Rhys. Buddhist India. p. 53). Jadi, sejarah munculnya kasta diperkirakan sejak kedatangan orang-orang Arya yang melakukan invasi di India. Setelah kemenangannya, orang-orang Arya menganggap diri mereka paling unggul dengan warna kulit yang lebih cerah daripada penduduk lokal. Mereka memanggil penduduk lokal sebagai dasyus atau orang barbar. 

Sebagaimana yang tertulis dalam Purusha Sukta, Rig Veda, terdapat empat pembagian kasta. Dikatakan bahwa brāhmaṇa dilahirkan dari mulut Brahma, kṣatriya dari bahunya, vaiśya dari pahanya, dan sūdra dari kakinya (Brāhmano asya mukhamāsid, bāhurājanyah krtah, ūruh tadsya yad vaisyam, padbhyām sūdro ajāyata: RV 10.90.11-12).

Brāhmaṇa
Kedudukan brahmana dalam masyarakat adalah sebagai perantara keagamaan. Mereka adalah pemimpin agama. Mereka mengaku sebagai yang paling murni. Dalam kitab Buddhis, Assalāyana Sutta, seorang brahmana murid dari brahmana Assalāyana mendeskripsikan brahmana sebagai casta tertinggi (Brāhmaṇova seṭṭho vaṇṇo), sementara yang lain adalah rendah (hīno añño vaṇṇo); brahmana adalah casta terterang (brāhmaṇova sukko vaṇṇo), sementara yang lain gelap (kaṇho añño vaṇṇo); hanya brahmana yang tersucikan (brāhmaṇāva sujjhanti), bukan non-brahmana (no abrāhmaṇā); brahmana sendiri yang merupakan putra-putra Brahma, keturunan Brahma, lahir dari mulutnya, lahir dari Brahma, diciptakan oleh Brahma, ahli waris dari Brahma (brāhmaṇāva brahmuno puttā orasā mukhato jātā brahmajā brahmanimmitā brahmadāyādā’ti. M. 93. p. 764). Kautilya dalam Arthasastra-nya menyebutkan tugas-tugas seorang brahmana berdasarkan Dharmasutras sebagai berikut: belajar (adhyayana), mengajar (adhyapana), melakukan puja (yajana), memimpin puja (yajana), membuat pemberian (dāna), dan menerima pemberian (pratigraha).

Kṣatriya
Kedudukan kṣatriya adalah nomer dua setelah brahmana. Mereka adalah raja, prajurit, atau orang-orang bekerja di bindang administrasi kenegaraan. Dalam Dharma Sutras, tugas-tugas ‘svadharma’ seorang kṣatriya adalah sebagai berikut: belajar (adhyayana), melakukan pemujaan (yajana), membuat pemberian (dāna), berpenghidupan dengan pekerjaan yang berhubungan dengan persenjataan (sastrajiva), melindungi makhluk hidup (bhūtaraksana).

Vaiśya
Kasta vaisya merupakan kasta ketiga dari empat kasta. Tugas vaisya adalah mengurus hal-hal yang berkaitan dengan perekonomian seperti perdagangan, agrikultural, atau pertanian. Umumya mereka adalah pedagang atau petani. Menurut Manu, tugas khusus dari vaisya adalah menjaga ternak yang diserahkan kepadanya sebagai tugas selama pembuatan dunia. Tugas-tugas vaisya juga disebutkan di dalam Dharma Sutra sebagaimana yang disebutkan Kautilya dalam Asrthasatra-nya sebagai berikut: belajar (adhyayana), melakukan pemujaan (yajana), membuat pemberian (dāna), bertani (krishi), menggembala ternak (pasupatya), berdagang (vanijya).

Sūdra
Sudra adalah kasta terendah dari empat kasta tersebut. Tugas Sudra adalah melayani orang-orang dari kasta-kasta di atasnya. Mereka adalah pembantu atau pekerja kasar dari tiga kasta di atasnya. Dalam Dharma Sutra, tugas seorang sudra adalah sebagai berikut: melayani tiga kasta terlahir dua kali di atasnya (dvijātiśuśrusha), memproduksi kekayaan (varta), berseni (karakarma), bertukang atau berketerampilan (kusilavakarma). Kedudukan Sudra sangatlah rendah dan diperlakukan secara kasar oleh kasta-kasta di atasnya. Sudra tidak diperkenankan melakukan puja (samskārās) atau mendengarkan kitab suci (veda) dengan sengaja (Manu. IV. 99; x.4). Jika sengaja mendengarkan ketika Veda sedang dibacakan kupingnya harus diisi dengan timah yang dicairkan. Bila mengucapkannya lidahnya harus dipotong. Bila dia berusaha mengingatnya maka tubuhnya harus dipotong menjadi dua (Manu. 1. 88).
Selain empat kasta tersebut, di sana masih terdapat di luar kasta. Beberapa diantaranya telah disebutkan dalam teks-teks Buddhis seperti chandālas, pukkusa (pemulung), vena (penenun), nesāda (pemburu burung), rathakāra (pembuat kereta) (Davids, Rhys. T.W. Buddhist India. p. 52). Keberadaan orang-orang di luar kasta dianggap lebih rendah daripada sudra. 

Pandangan Buddhis mengenai Sistem Kasta
Literatur Buddhis, seperti Madhura Sutta, Kannakatthala Sutta, Assalāyana Sutta, dll. menyadari keberadaan empat kasta (cattāro vaṇṇā) - khattiyā, brāhmaṇā, vessā, dan suddā. Namun Buddha menolak sistem kasta yang digariskan berdasarkan kelahiran. Menurut Buddha, seseorang bukanlah brahmana karena kelahiran, bukan pula bukan-brahmana karena kelahiran. Karena perbuatan seseorang adalah brahmana, dan karena perbuatan pula seseorang bukan-brahmana (Na jaccā brāhmaṇo hoti, na jaccā hoti abrāhmaṇo; Kammunā brāhmaṇo hoti, kammunā hoti abrāhmaṇo. M. 98. p. 806; Dhp. 393. p. 192). Pendekatan yang dilakukan Buddha mengenai kasta merupakan pendekatan moralis yang menggariskan pada perbuatan daripada kelahiran. Di lain kesempatan, dalam vasalā sutta, Beliau kembali menekankan bahwa seseorang disebut sebagai kasta buangan bukan karena kelahiran, tetapi karena perbuatan (Sn. 136. p. 14). Sebagai contohnya, Buddha mengatakan bahwa seorang anak yang tidak mau menyokong ayah dan ibunya yang sudah tua dan lemah, padahal dia hidup dalam berkecukupan, dialah yang disebut manusia buangan atau berkasta rendah (yo mātaraṃ pitaraṃ vā, jiṇṇakaṃ gatayobbanaṃ; pahu santo na bharati, taṃ jaññā vasalo iti. Sn. 124. p. 14). 

Dalam Aggañña Sutta, Buddha menjelaskan bahwa baik khattiyā, brāhmaṇā, vessā, ataupun suddā yang melakukan pembunuhan, mencuri, berbuat asusila, berbohong, memfitnah, berkata kasar, gosip, melekat, dengki, dan berpandangan salah dipertimbangkan sebagai tidak bermoral, patut dicela, harus dihindari, tidak bermanfaat di jalan Ariya, buruk berbuah buruk, dicela oleh para bijaksanawan (D. 27. p. 408). Sehingga dengan demikian, baik kualitas gelap dan terang, dicela atau dipuji oleh bijaksanawan bukan karena empat kasta (ibid.). 

Vāseṭṭha Sutta, Sutta Nipāta, menjelaskan bahwa di antara manusia, tidak ada yang berbeda dari segi mata, hidung, telinga, rambut, dll. Manusia tidak seperti binatang yang memiliki banyak spesies. Perbedaan yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya hanyalah persetujuan. Sebagai contohnya, jika seseorang memelihara sapi dan hidup dari pekerjaannya itu, ia disebut petani (kassako); hidup dengan keterampilan disebut pengrajin (sippiko), hidup dengan berdagang disebut pedagang (vāṇijo), hidup dengan upah melayani orang disebut pegawai (pessiko), hidup dengan mencuri disebut pencuri (coro), hidup dengan keterampilan memanah disebut prajurit (yodhājīvo), hidup dengan melayani kegiatan ritual disebut pendeta (yājako), atau orang yang hidup dengan mengatur negara atau desa disebut raja (rājā: Sn. 608-619. p. 72). Aggañña Sutta juga melaporkan bahwa karena tugas dan profesi yang seseorang kerjakanlah yang membuat seseorang disebut khattiyā, brāhmaṇā, vessā, ataupun suddā (D. 27. p. 413). 

Diceritakan asal usul khattiyā bermula dari munculnya kejahatan-kejahatan yang mendorong orang-orang berkumpul dan memilih seseorang yang bisa mengatur jalannya hukum, atau menegur orang yang patut ditegur, dll. ‘Pilihan penduduk’ adalah arti dari mahāsammata. ‘Tuan Tanah’ adalah arti dari khattiyā. ‘Ia yang menggembirakan orang lain dengan Dhamma’ disebut raja (ibid.). Sementara orang-orang yang menyadari kemorosotan manusia dengan munculnya berbagai tindakan kejahatan, berpikir untuk menjauhi kejahatan dan yang tidak bermanfaat. Mereka yang melakukan itu disebut brahmana. Mereka yang melakukan meditasi disebut sebagai jhāyaka, dan mereka yang tidak melakukan meditasi, tinggal di dekat pedesaan menulis buku, disebut ajjhāyaka. Sementara orang-orang yang setelah berpasangan, melakukan berbagai jenis perdagangan. Ini disebut sebagai vessa. Orang-orang yang pergi berburu dan hidup dari hasil berburu, mereka disebut sudda (D. 27. p. 414). Beberapa khattiya yang tidak puas dengan dhammanya sendiri, pergi dari kehidupan berumah menjadi kehidupan tanpa rumah, dan menjadi petapa. 

Dalam ajaran Buddha, semua orang dari kasta apa pun bisa mencapai kesucian tanpa adanya ikatan apapun kastanya. Buddha mendeskripsikan kesucian untuk semua empat kasta (samaṇo gotamo cātuvaṇṇiṃ suddhiṃ paññapeti. M. 93. p. 763). Sebagaimana air samudra yang memiliki satu rasa, yaitu rasa garam (ekaraso loṇaraso), demikian pula ajaran Buddha memiliki satu rasa, rasa pembebasan (A. p. 1144). Sebagaimana air dari sungai-sungai berbagai arah mengalir menuju samudra yang disebut sebagai air laut, demikian pula mereka yang memasuki Sāsana dari berbagai kasta akan disebut sebagai petapa, putra Sakya (samaṇā sakyaputtiyā. Vin. Vol. V. p. 332; A. p. 1144). Walau datang dari kelahiran, nama, suku, keluarga yang berbeda, memasuki kehidupan tanpa rumah, ketika ditanya siapa kalian, kita harus menjawabnya ‘kita adalah petapa pengikut Sakya (samaṇā sakyaputtiyāmhā’ti”: D. 27. p. 409). Siapapun dari empat kasta yang menjadi bhikkhu, arahat yang telah menghancurkan kekotoran batin, yang telah menjalani kehidupan, melakukan apa yang harus dilakukan, menaruh bebannya, mencapai tujuan tertinggi, menghancurkan belenggu kemenjadian, dan menjadi terbebaskan melalui pengetahuan supernya, ia dikatakan sebagai mulia dengan kebajikan Dhamma, bukan non-Dhamma (D. 27. p. 408).

Madhurā Sutta memberikan penjelasan menarik tentang kasta. Ketika ditanya tentang pernyataan brahmana bahwa brahmana adalah yang paling unggul, diciptakan oleh Brahma, dan sebagainya, Bhante Mahā Kaccāna mengatakan bahwa itu hanyalah peribahasa dunia (ghosoyeva kho eso, mahārāja, lokasmiṃ. M. 84. p. 698). Kemudian, dalam sutta ini juga, Bhante Mahā Kaccāna menunjukkan bahwa superioritas kekayaan yang dimiliki seseorang dapat mengalahkan superioritas kasta dari kelahiran. Di sini, Bhante Mahā Kaccāna, bertanya kepada raja tentang bagaimana pendapatnya jika terdapat seorang pekerja makmur dalam kekayaan, hasil panen, perak, atau emas, adakah para pekerja yang akan bangun sebelum dirinya dan tidur setelah dirinya, yang ingin melayaninya, yang berusaha menyenangkannya, dan berkata manis dengannya, dan adakah para mulia, para brahmana, dan para pedagang yang akan melakukan hal serupa. Raja menjawabnya “pasti ada.” Percakapan dalam sutta ini menunjukkan bahwa keempat kasta ini adalah sama, tidak ada perbedaannya (Ibid.).

Dalam Aggañña Sutta, Buddha mempertanyakan pengakuan para brahmana yang menyombongkan dirinya terlahir dari mulut Brahma. Menurut Buddha, mereka telah melupakan tradisi kuno (porāṇaṃ assarantā) mereka ketika mengatakan hal itu, karena kita melihat brahmana perempuan, istri-istri dari para brahmana, yang menstruasi dan mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anaknya. Para brahmana yang mengaku lahir dari mulut Brahma dilahirkan dari rahim-rahim ini (D. 27. p. 408). Buddha menentang keberadaan brahmana sebagai yang tertinggi. Dalam Ambaṭṭha Sutta, Buddha menunjukkan bahwa kṣatriya-lah yang lebih unggul daripada brahmana (khattiyāva seṭṭhā, hīnā brāhmaṇā. D. 3. p. 118). Lagi, Buddha mempertegas bahwa kṣatriya adalah yang terbaik di antara semua kasta (khattiyo seṭṭho janetasmiṃ).

Kesimpulan
Varṇa pada awalnya tidak mengindikasikan penggolongan masyarakat seperti yang dikenal sebagai kasta. Ini lebih mengacu pada perbedaan warna kulit. Setelah kemenangan orang-orang Arya dalam invasinya, konsep kasta berdasarkan kelahiran diperkenalkan bahwa terdapat empat kasta yang dilahirkan oleh Brahma. Brahmana adalah kasta tertinggi dari keempat kasta. Menurut Buddhisme, sistem kasta merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan pekerjaannya. Baik dan buruknya seseorang tidak dilihat berdasarkan kelahiran, tetapi berdasarkan perbuatan. Pembebasan akhir menurut Buddhis tidak ada kaitannya dengan kasta. Dengan kata lain, semua orang dari kasta manapun bisa mencapai kesucian, karena ibarat air samudra yang memiliki satu rasa asin, demikian pula pembebasan dalam Buddhisme.

Referensi Primer:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012. 
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Cullavagga. Vol. V. London: Luzad & Company LTD. 1963. 

Referensi Sekunder:
Ariyadeva, Wilegoda. 2009. The Theory and Practice of Social Revolution in Early Buddhism. Dehiwala: Buddhist Publication Centre.
Gnanarama. 2012. An Approach to Buddhist Social Philosophy. Sri Lanka.
Davids, Rhys. T.W. 1911. Buddhist India. London: T. Fisher Unwin.

No comments:

Post a Comment