Wednesday, January 11, 2017

Kejahatan dan Hukuman dalam Buddhisme

0 comments

Kejahatan dan Hukuman dalam Buddhisme

Sabbe tasanti daṇḍassa
Sabbe bhāyanti maccuno
attānaṃ upamaṃ katvā
na haneyya na ghātaye
Semua makhluk takut akan hukuman
Semua makhluk takut akan kematian
Setelah membandingkan dirinya sendiri dengan yang lainnya
Seseorang seharusnya tidak membunuh yang lain atau menyebabkan yang lain terbunuh
(Dhammapada; 129)

Pendahuluan
Apakah hukuman perlu diberikan kepada pelaku kejahatan atau tidak merupakan pertanyaan yang menyimpan banyak jawaban. Sebagian orang setuju karena hukuman adalah cara untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Sebagian orang yang menolak berpegang pada alasan bahwa hukuman bukanlah solusi tepat untuk menyelesaikan permasalahan. Problema tentang kejahatan dan hukuman menarik untuk dibahas di sini. Oleh karena itu, artikel ini mencoba memberikan gambaran tentang bagaimana Buddhisme memandang kejahatan dan pemberian hukuman.

Definisi Kejahatan dan Hukuman
Menurut definisi modern, kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial, kegagalan, atau penolakan untuk hidup dengan tindakan yang sesuai dengan standarisasi dari norma yang berlaku di masyarakat (EOB. Vol. V. p. 264). Hukuman diberikan sebagai konsekuensi dari pelanggaran norma yang telah disepakati bersama demi berlangsungnya stabilitas dan kesejahteraan banyak orang.

Dalam The Sociology of Crime and Delinguency, kejahatan adalah tindakan kesalahan tentang aturan yang dilarang oleh hukum masyarakat untuk melindungi masyarakat umum dan lembaga yudisial dapat memberikan hukuman kepada yang melakukannya (Turner, Bryan. The Cambridge Dictionary of Sociology. p. 97). Sedang menurut Criminology, kejahatan merupakan kekejaman dari perilaku masyarakat sebagai wujud dari expresi kode kejahatan hukum yang diciptakan oleh orang-orang yang menggenggam urusan politik dan sosial (Ibid. p. 99). Hukuman diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukuman didefinisikan sebagai siksaan yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang, keputusan yang dijatuhkan oleh hakim, atau hasil atau akibat menghukum (KBBI. p. 511).

Bentuk-bentuk Hukuman
Berkenaan dengan bentuk-bentuk hukuman, dalam KBBI, disebutkan sebagai berikut:
Hukuman buang adalah hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana dengan dibuang ke tempat terpencil.
Hukuman gantung adalah hukuman mati dengan cara digantung.
Hukuman kawalan adalah hukuman yang berupa pencabutan kebebasan orang (orang yang dihukum tidak boleh berpergian secara bebas).
Hukuman kurungan adalah hukuman yang berupa penyekapan di dalam penjara (tapi bukan karena kejahatan).
Hukuman mati adalah hukuman yang dijalankan dengan membunuh (menembak, menggantung) orang yang bersalah.
Hukuman pancung adalah hukuman yang dilakukan dengan memancung atau menebas leher terpidana.
Hukuman penjara adalah hukuman yang berupa penyekapan di dala rumah penjara.
Hukuman percobaan adalah hukuman penjara yang dijalani di lembaga permasyarakatan, tetapi selama dalam masa percobaan itu, terpidana tidak boleh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, apabila dalam masa percobaan itu terpidana melawan hukum, hukuman yang diterimanya harus dijalani di lembaga permasyarakatan.
Hukuman rotan adalah hukuman yang dijalankan dengan menyebat orang yang bersalah dengan rotan.
Hukuman titipan adalah hukuman kurungan.

Dalam literatur Buddhis, terdapat manifestasi yang sering digunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk hukuman. Dalam Mahādukkhakkhandha Sutta, Majjhima Nikāya, hukuman diwujudkan dalam bentuk mencambuk, memukul dengan rotan, memukul dengan pentungan, memotong tangan mereka, kaki mereka, tangan dan kaki mereka, telinga mereka, hidung, telinga dan hidung; disiksa dengan ‘panci bubur’, ‘cukuran kulit kerang yang digosok’, ‘mulut Rahu’, ‘lingkaran api’, ‘ tangan menyala’, ‘helai rumput’, ‘pakaian kulit kayu’, ‘kijang’, ‘kain daging’, ‘kepingan uang’, ‘cairan asin’, ‘tusukan berporos’, ‘gulungan tikar jerami’; dan mereka disiram dengan air mendidih, dibuang agar dimangsa oleh anjing-anjing, ditusuk dengan kayu panjang hidup-hidup, dan dipenggal kepalanya dengan pedang (M. 13. p. 182. Lihat juga di dalam Balapaṇḍita Sutta yang memberikan perumpamaan yang sama untuk menggambarkan betapa menderitanya orang dungu di dunia ini. M. 129. p. 1016-1017).

Dalam Cakkavati Sīhanadā Sutta, Dīgha Nikāya, bentuk hukuman dicirikan dengan mengikat orang di punggung dengan tali yang kuat, mencukur rambutnya, mengaraknya dengan tabuhan genderang ke jalan dan lapangan, keluar melalui gerbang selatan dan di sana dia dihukum dengan memenggal kepalanya (D. 26. p. 399).

Sementara dalam Payasi Sutta, seorang pencuri yang tertangkap akan diberikan hukuman dengan cara membunuh orang itu dengan tanpa melukai kulit luar, kulit dalam, daging, urat, tulang, atau sumsum. Ia dibaringkan menghadap ke atas, membalikkan wajahnya ke bawah, samping, diberdirikan dengan kepala dibawah, dipukul dengan genggaman tangan, dilempari dengan batu, dipukul dengan tongkat, tusuk dengan pedang, kemudian diobang-ambingkan kesana kemari (D. 23. p. 359).

Pandangan Buddhisme Terhadap Hukuman
Pemberian hukuman terhadap pelaku kejahatan sebenarnya bukan paradigma baru yang diberikan suatu sistem kenegaraan sebagai sanksi sekaligus efek jera bagi pelaku kejahatan. Buddhisme memandang segala sesuatu memiliki sebab dan konsekuensinya. Pemberian hukuman juga merupakan akibat dari apa yang telah dilakukannya. Sebagaimana benih yang ditaburnya, demikian pula yang akan dipetiknya (S. p. 328). Apabila seseorang tidak melakukan pelanggaran, maka hukuman juga tidak akan diberikan.

Dalam literatur Pāli, tidak disebutkan bahwa Buddhisme menolak ataupun menyetujui pemberian hukuman terhadap pelaku kejahatan. Buddhisme menganggap tindakan kejahatan sebagai persoalan etis. Menurut Buddhisme, perbuatan terdiri dari tiga jenis, yaitu perbuatan melalui jasmani (kāya-kamma), melalui ucapan (vacī-kamma), dan melalui pikiran (mano-kamma). Dari ketiga jenis perbuatan tersebut, perbuatan melalui pikiran merupakan hal yang paling penting. Dhammapada menyebutkan bahwa pikiran merupakan pelopor dari segala sesuatu (manopubbaṅgamā dhammā: Dhp. 1 dan 2. p. 99). Selain itu, definisi kamma dalam aksioma buddhis menunjukkan bahwa pikiran menjadi faktor yang sangat penting dalam suatu perbuatan. Dikatakan bahwa apa yang disebut kamma adalah perbuatan yang didasari dengan kehendak (Kehendak, para bhikkhu, yang Aku sebut sebagai kamma (cetanāhaṁ bhikkhave kammaṁ vadāmi) A. p. 963. Lihat juga Upāli Sutta yang menunjukkan bahwa pikiran adalah yang paling utama dari dua jenis perbuatan lainnya. M. 56. p. 479).

Ambalaṭṭhikārāhulovada Sutta, Majjhima Nikāya, memberikan kriteria yang sangat penting tentang bagaimana mengetahui etis tentang suatu tindakan. Di sini, Buddha memberikan nasihat kepada Rahula tentang bagaimana membedakan mana yang baik dan yang buruk. Jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran membawa kerugian dan penderitaan bagi diri sendiri dan orang lain atau keduanya, itu bisa dipertimbangkan sebagai perbuatan buruk (akusala). Sedangkan jika perbuatan itu dilakukan melalui jasmani, ucapan, maupun pikiran, membawa manfaat dan tidak merugikan diri sendiri, orang lain, dan keduanya, itu bisa dipertimbangkan sebagai perbuatan baik (kusala). Ini juga disebut sebagai cermin Dhamma (dhammādāsa) karena dengan melihat pada dirinya sendiri, seseorang akan mengetahui apakah perbuatan itu baik atau buruk untuk dilakukan (M. 61. p. 253).
Pemberian hukuman terbentuk ketika terdapat tindakan kejahatan. Dalam Agañña Sutta menceritakan bahwa konsep hukuman muncul bersama munculnya kejahatan seperti mencuri, celaan, dan berbohong (D. 27. P. 412).

Pemberian hukuman menurut Kūṭadanta Sutta dianggap sebagai bukan solusi untuk mencegah kejahatan. Dikatakan dengan mengeksekusi dan hukuman penjara, menyita, mengancam, atau mengusir, gangguan perampok tidak akan terselesaikan. Ini karena mereka yang selamat meloloskan diri akan semakin mengganggunya (D. 5. p. 135). Menurut Cakkavati Sīhanadā Sutta, Dīgha Nikāya, pemberian hukuman juga dianggap bukanlah solusi yang tepat untuk mengentaskan permasalahan sosial yang sedang terjadi. Ketika hukuman diberikan, sebagian dari mereka akan melakukan kejahatan yang lebih. Mereka akan mengambil pedang yang tajam untuk melakukan pencurian atau perampokan dan membunuhnya sekaligus (D. 26. p. 399).

David R. Loy juga menyetujui bahwa hukuman bagi pelaku kejahatan bukanlah cara bijak dalam menyelesaikan masalah. Kejahatan, kekerasan, dan kehidupan tak bermoral tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas mengenai keadilan yang menyangkut sistem sosial dan ekonomi. Masalah-masalah tersebut tidak dapat dipisahkan dari kontek sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, pemecahannya bukan dengan cara mengambil tindakan keras dengan menjatuhkan hukuman, tetapi dengan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat (Loy, David R. The Great Awakening: A Buddhist Socisl Theory. p. 129)

Hal ini juga dikatakan oleh filsuf Nāgarjuna bahwa sebagaimana seorang anak dihukum agar menjadi lebih baik, makan hukuman hendaknya diberikan atas dasar belas kasih dan bukannya kebencian dan keserakahan. Ketika kita menjadi pembunuh yang ganas, kita selayaknya menyingkirkannya tanpa harus membunuh mereka (Dhammika, Shravasti. 2010. A Guide to Buddhism: A to Z. p. 51). Ini karena Buddhisme tidak mendukung hukuman fisik yang tidak berperikemanusiaan. Hukuman diadakan secara teliti melihat bukti yang sesuai dengan hukum. Tidak ada motif membalas dendam sebagaimana “satu gigi ganti satu gigi”, tetapi berdasarkan kasih sayang dengan motif memperbaiki, mengoreksi, dan merehabilitasi (Gnanarama, Pategama. An Approach to Buddhist Social Philosophy. p. 186).

Buddhisme berpendapat bahwa pemberian hukuman merupakan setengan solusi. Untuk mengurangi kasus kejahatan, biar hukuman tidak perlu diberikan,  Kūṭadanta Sutta memberikan solusi dengan cara merehabilitasi sistem sosial yang kacau dengan memberikan kesejahteraan bagi penduduk masyarakatnya. Hukuman tidak mampu menjadi jalan keluar untuk mengatasi permasalahan sosial. Namun dengan memberikan benih dan makanan ternak kepada mereka yang bermata pencaharian bertani, memberikan modal kepada mereka yang berdagang, memberikan upah yang sesuai kepada mereka yang berkerja melayani pemerintahan, sehingga mereka akan lebih giat dalam berkerja dan kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat (D. 5. p. 135). Dengan cara ini, negeri akan lebih tentram dan aman, sehingga kejahatan akan berkurang.

Rehabilitasi dan pencegahan merupakan hal yang lebih penting ketimbang hukuman. Nandasena Ratnapala menegaskan bahwa menurut Buddhisme, pokok persoalan tentang kejahatan bukanlah hukuman, melainkan perbaikan atau rehabilitasi, dan sebagai penangkal terbaik untuk masalah kejahatan adalah dengan membantu orang-orang menyadari konsekuensi penuh atas segala tindakan mereka (Ratnapala, Nandasena. Crime and Punishment in the Buddhist Tradition. p. 12-13).

Kisah tentang Aṅgulimāla dapat dijadikan sebagai contoh bagaimana Buddha mengahadapi Aṅgulimāla, pembunuh yang kejam (M. 86. p. 714-715). Aṅgulimāla tahluk dengan cinta kasih Buddha. Tidak dengan cara dihukum, seseorang akan berubah, tetapi dengan pemahaman seseorang akan sepenuhnya berubah. Buddha juga menyadari bahwa semua makhluk gentar akan hukuman. Semua makhluk mencintai kehidupan. Oleh karenanya, setelah kita membandingkan orang lain dengan diri sendiri, kita diharapkan untuk tidak membunuh atau menyebabkan pembunuhan (Dhp. 130. p. 130). Memang benar perbuatan jahat harus dilenyapkan, tapi bukan pelaku kejahatannya. Sikap menghargai semua orang, bahkan mencintai semua kehidupan, adalah moralitas dasar untuk menumbuhkan kasih sayang kepada semua yang menderita, baik yang menjadi korban maupun para pelaku kejahatan (Pannyavaro, Sri. Media memuliakan kehidupan: Sebuah Antologi Komunikasi. p. 19).

Kesimpulan
Kejahatan dalam Buddhisme dianggap sebagai kegagalan seseorang dalam menyepadankan perilaku dengan etis. Kejahatan lebih cenderung disebabkan oleh faktor-faktor psikologi dan juga faktor ekonomi. Untuk mencegah kejahatan dan pemberian hukuman akibat perilaku kejahatan, Buddhisme mekankan untuk mengurangi keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin sekaligus mencukupi kebutuhan masayarakt sehingga lebih sejahtera. Ketika faktor-faktor psikologi dan ekonomi dapat diatasi, maka kejahatan akan berkurang. Yang lebih ditekankan, bukan masalah hukuman perlu diberikan atau tidak, tetapi bagaimana agar seseorang tidak melakukan kejahatan sehingga hukuman tidak perlu diberikan kepadanya. Merehabilitasi kekacauan masyarakat dengan menanamkan keteguhan moral yang didasari dengan rasa malu berbuat jahat dan takut akan akibatnya, merupakan hal yang lebih penting daripada sekadar pemberian hukuman. Biar bagaimanapun literatur Buddhis tidak menolak atau menyetujui pemberian hukuman. Semua urusan ini diserahkan kepada pihak yang berwenang, pemerintah atau raja yang berkuasa.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Dhammika, Shravasti. 2010. A Guide to Buddhism: A to Z. Singapore: The Buddha Dhamma Mandala Society.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Gnanarama, Pategama. 2012. An Approach to Buddhist Social Philosophy. Sri Lanka.
Loy, David R. 2003. The Great Awakening: A Buddhist Socisl Theory. Boston: Wisdom Publications.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Malalasekera, G. P. (founder editor-in chief). 2011. Encyclopaedia of Buddhism. Vol. V. Sri Lanka: Departement of Buddhist Affairs.
Pannyavaro, Sri (kolumnis). 2010. Media memuliakan kehidupan: Sebuah Antologi Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius.
Ratnapala, Nandasena. 1993. Crime and Punishment in the Buddhist Tradition. New Delihi: Mittal Publications
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Suguno, Dendy (pemimpin redaksi). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Turner, Bryan S (general editor). 2006. The Cambridge Dictionary of Sociology. New York: Cambridge University Press.

No comments:

Post a Comment