Wednesday, January 11, 2017

Kemarahan dan Cara Menyikapinya dalam Pendekatan Buddhis

2 comments

Kemarahan dan Cara Menyikapinya dalam Pendekatan Buddhis

Kuddho atthaṃ na jānāti, kuddho dhammaṃ na passati;
Andhatamaṃ tadā hoti, yaṃ kodho sahate naraṃ
Orang yang marah tidak mengetahui apa yang baik dan tidak bisa melihat Dhamma. Ketika kemarahan menguasai seseorang, hanya kebutaan dan kegelapan pekat yang ada pada saat itu.
(Kodhanasutta, Aṅguttara Nikāya)

Pendahuluan
Marah merupakan sikap batin yang menolak atas ketidaksinkronan antara apa yang diharapkan dengan apa yang dihadapinya. Ini dapat terjadi oleh siapapun yang tidak mampu mengontrol emosinya. Bibit-bibit kemarahan berakar dari kekotoran batin baik keserakahan, kebencian, maupun kebodohan batin. Konsekuensi dari marah dapat muncul beragam. Selain membuat orang lain menderita, sudah tentu orang tersebut dalam kondisi yang amat menderita ketika kemarahan menguasainya. Lebih daripada itu, kemarahan selalu menjadi perintang untuk mencapi kesucian. Buddha menyadari betul akan bahaya dari kemarahan dan memberikan solusi bagaimana seseorang dapat mengontrol kemarahan. Artikel ini bertujuan untuk membahas bagaimana kemarahan dan cara menyikapinya dalam pendekatan Buddhis.

Kemarahan 
Terjadinya kesinkronan antara harapan dengan kenyataan menyebabkan benih kemarahan mencuat tak terkendalikan. Pada saat ini, batin seseorang dikuasai oleh api kebencian dan di sana tidak terdapat kedamaian. Akibatnya ketika seseorang marah, seseorang terbutakan dengan pekatnya kebencian yang pada akhirnya tidak bisa melihat mana yang baik dan benar. Buddha menyadari fenomena seperti ini, dan oleh karenanya Beliau berkata bahwa orang yang marah tidak mengetahui apa yang baik dan tidak bisa melihat Dhamma. Ketika kemarahan menguasai seseorang, hanya kebutaan dan kegelapan pekat yang ada pada saat itu (A. p. 1068).

Dalam Brahmajāla Sutta, Buddha menasihati kepada para bhikkhu untuk tidak marah, tersinggung, ataupun terganggu ketika ada seseorang yang menghina Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Karena dengan marah atau pun tidak senang ini akan menjadi rintangan batin, dan tentunya menjauh dari kedamaian. Di samping itu, Buddha juga menjelaskan bahwa dengan kemarahan, menuntup mata seseorang untuk dapat mengetahui apakah sesungguhnya yang dikatakan itu benar atau salah (D. 1. p. 68). Visuddhimagga memberikan ilustrasi menarik mengenai kemarahan. Dikatakan bahwa dengan marah, seseorang mungkin bisa membuat orang lain menderita atau terkadang tidak. Tetapi dengan marah sudah barang tentu menghukum dirinya sendiri di waktu itu juga (Vsm. p. 296). Ini seperti halnya seseorang yang mengambil bara api atau tahi dengan tangannya untuk melukai orang lain, sebelum ia melemparnya ke orang lain sudah barang tentu dia terluka atau terkotori lebih dulu (Vsm. p. 297). 
Benih kemarahan dapat muncul dengan berbagai sebab. Āghātavatthu Sutta, Aṅguttara Nikāya menyebutkan sembilan sebab yang mendasari kemarahan. Sembilan itu antara lain sebagai berikut:

Berpikir ‘dia telah berbuat merugikanku’ (anatthaṃ me acarī’ti āghātaṃ bandhati).
Berpikir ‘dia sedang berbuat merugikanku’ (anatthaṃ me caratī’ti āghātaṃ bandhati).
Berpikir ‘dia akan berbuat merugikanku’ (anatthaṃ me carissatī’ti āghātaṃ bandhati).
Berpikir ‘dia berbuat merugikan kepada orang yang kucintai dan kusenangi’ (piyassa me manāpassa anatthaṃ acarī’ti āghātaṃ bandhati).
Berpikir ‘dia sedang berbuat merugikan kepada orang yang kucintai dan kusenangi’ (piyassa me manāpassa anatthaṃ caratī’ti āghātaṃ bandhati).
Berpikir ‘dia akan berbuat merugikan kepada orang yang kucintai dan kusenangi’ (piyassa me manāpassa anatthaṃ carissatī’ti āghātaṃ bandhati).
Berpikir ‘dia telah berbuat menguntungkan kepada orang yang tidak kucintai dan kusenangi’ (appiyassa me amanāpassa atthaṃ acarī’ti āghātaṃ bandhati).
Berpikir ‘dia sedang berbuat menguntungkan kepada orang yang tidak kucintai dan kusenangi’ (appiyassa me amanāpassa atthaṃ caratī’ti āghātaṃ bandhati).
Berpikir ‘dia akan berbuat menguntungkan kepada orang yang tidak kucintai dan kusenangi’ (appiyassa me amanāpassa atthaṃ carissatī’ti āghātaṃ bandhati: A. p. 1286).

Ketika seseorang diliputi pikiran yang demikian, kemarahan bisa terlampiaskan, dan pada saat itu pula seseorang benar-benar dalam kondisi yang menderita. Orang yang marah menderita dengan kemarahannya sendiri dan membiarkan kebenciannya meningkat. Buddha selalu mengingatkan bahwa kebencian tidak bisa dibalas dengan kebencian, tetapi harus dibalas dengan cinta kasih (Dhp. 5. p. 100). Ibarat api yang membara akan padam apabila disiram dengan air, bukan dengan bahan bakar. Dengan cara yang sama, kemarahan harus diatasi dengan ketidakmarahan (Dhp. 223. p. 152). Apabila kemarahan bertemu dengan kemarahan, perbuatan yang destruktif akan terjadi. Oleh karena itu, seseorang harus menyadari bahwa orang yang marah terhadapnya sedang memiliki penderitaan yang mendalam sehingga diluapkan terhadapnya. Sehubungan dengan hal itu, dengan tidak membalas orang yang marah dengan kemarahan, seseorang telah memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan (S. p. 256).

Terdapat empat jenis orang sebagaimana empat jenis ular berbisa. Orang yang mudah marah tetapi tidak berlangsung lama diibaratkan sebagaimana ular yang bisa-nya cepat bereaksi tetapi tidak mematikan. Orang yang tidak mudah marah tetapi kalau marah kemarahannya berlangsung lama diibaratkan sebagaimana seekor ular yang berbisa mematikan tetapi tidak mudah bereaksi. Orang yang mudah marah dan berlangsung lama diibaratkan sebagaimana seekor ular bisa-nya mudah bereaksi dan mematikan. Orang yang tidak mudah marah dan kemarahannya tidak berlangsung lama diibaratkan sebagaimana seekor ular yang tidak berbisa dan juga tidak mudah bereaksi (A. p. 491). Memang idealnya adalah tidak mudah bereaksi dan tidak mudah marah. Walaupun begitu, terkadang ketika sesuatu terjadi diluar kendali, kemarahan menjadi muncul. Maka, dibutuhkan waktu untuk membiasakan mengontrol diri dan berlatih kesabaran. 

Menurut Roga Sutta, terdapat dua jenis penyakit di dunia ini, yaitu penyakit fisik (kāyiko rogo) dan penyakit mental (cetasiko rogo: A. p. 522). Menurut Buddha, selain orang yang kilesa-nya telah dihancurkan, sungguh amat sulit menemukan orang yang benar-benar sehat secara mental. Dengan kata lain, manusia awam masih memiliki gangguan mental. Dalam Vatthūpama Sutta, kemarahan (kodha) merupakan salah satu dari enam belas gangguan mental yang disebutkan (cittassa upakkilesā: M. 7. p. 118).  Sementara dalam Sallekha Sutta, di sana disebutkan empat puluh empat gangguan jiwa yang salah satunya adalah kemarahan (M. 8. p. 126). Tanpa meninggalkan kemarahan seseorang tidak akan mungkin bisa mencapai kesucian (A. p. 1326). Maka dari itu, kemarahan seharusnya dibasmi sampai ke akar-akarnya. Membunuh kemarahan dengan akar yang meracuninya dan tip yang manisnya, ini adalah pembunuhan yang orang mulia puji karena setelah membunuhnya seseorang tidak bersedih (S. p. 133).

Dalam Vammika Sutta, kemarahan digambarkan sebagaimana katak (M. 23. p. 239). Sementara dalam Cātumā Sutta, kemarahan diibaratkan sebagaimana sebuah ombak yang merupakan salah satu rintangan bhikkhu yang menyebabkannya melepaskan kebhikkhuannya (M. 67. p. 563; A. p. 503). Orang yang mudah marah dan gusar, hilang kesabarannya, jengkel, melawan, dan keras kepala saat dikritik, diibaratkan sebagaimana orang memiliki pikiran bagaikan luka yang terbuka. Sebagaimana luka yang bernanah akan mengeluarkan banyak cairan, demikian pula mereka yang mudah marah (A. p. 219-220). Apapun itu, kemarahan selalu menjadi perintang dalam hal apapun. Kemarahan menyebabkan seseorang menjauh dari kedamaian karena ketika kemarahan menguasai seseorang, seseorang tidak berada dalam suasana yang tenang, tetapi dalam suasana penuh kebencian. Kodhana Sutta memberikan bahaya dari kemarahan, sebagai berikut:

Ketika seseorang marah, terkuasai dan tertindas oleh kemarahan, ia akan tampak buruk meskipun ia mungkin mandi dengan bersih, berminyakan, mencukur rambut dan jenggotnya dengan rapi, atau berpakaian putih.
Ketika seseorang marah, terkuasai dan tertindas oleh kemarahan, ia tidak bisa tidur nyenyak meskipun ia mungkin tidur di atas dipan yang ditutup permadani, berselimut, beralas bertutupkan kulit rusa, dengan kanopi dan guling di kedua sisinya.
Ketika seseorang marah, terkuasai dan tertindas oleh kemarahan, apabila ia mendapat apa yang berbahaya ia berpikir bahwa ia telah mendapat apa yang bermanfaat, dan apabila ia mendapat apa yang bermanfaat ia berpikir bahwa ia telah mendapat apa yang berbahaya.
Ketika seseorang marah, terkuasai dan tertindas oleh kemarahan, raja-raja akan menyerahkan segala harta kekayaannya yang didapat dengan jerih payahnya sendiri kepada bendahara kerajaan.
Ketika seseorang marah, terkuasai dan tertindas oleh kemarahan, ia kehilangan segala kemansyhuran yang didapatnya.
Ketika seseorang marah, terkuasai dan tertindas oleh kemarahan, teman-teman dan para sahabatnya, sanak saudara dan anggota keluarganya menjauhinya.
Ketika seseorang marah, terkuasai dan tertindas oleh kemarahan, ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan buruk baik melalui jasmani, ucapan, maupun pikiran. Sebagai akibatnya, setelah kematiannya ia akan terlahir kembali di alam menderita (A. p. 1066-1069).

Cara Mengatasi Kemarahan
Melihat jerat kematian yang bersembunyi di balik kemarahan, seseorang harus memotongnya dengan berpengendalian diri, kebijaksanaan, kegigihan, dan pandangan benar (A. p. 1066-1069). Paṭhamaāghātapaṭivinaya Sutta, Aṅguttara Nikāya menunjukkan lima cara mengatasi kemarahan yang muncul, yaitu:

Mengembangkan cinta kasih (mettā) terhadap orang yang membuatnya marah.
Mengembangkan belas kasih (karuṇā) terhadap orang yang membuatnya marah.
Mengembangkan keseimbangan batin (upekkhā) terhadap orang yang membuatnya marah.
Mengacuhkan (asatiamanasikāro) orang yang membuatnya marah dan tidak memperhatikannya.
Menerapkan gagasan kamma (kammassakatā) kepada orang yang membuatnya marah, seperti ‘Orang ini adalah pemilik kammanya sendiri, pewaris kammanya sendiri; dia memiliki kamma sebagai asal mulanya, kamma sebagai saudaranya, kamma sebagai tempat peristirahatannya; dia akan menjadi pewaris atas kamma apa saja yang dilakukannya, baik atau buruk’ (A. p. 773-774).

Dengan demikian, diharapkan seseorang mampu mengontrol kemarahannya ketika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Kesabaran sangat berperan penting dalam mengontrol kemarahan. Oleh karena itu, ujian kesabaran bisa datang kapan saja, dan seseorang harus siap menghadapinya.

Kesimpulan
Kemarahan merupakan gangguan mental yang harus dihilangkan. Ketika seseorang dikuasai oleh kemarahan, seseorang sesungguhnya berada dalam penderitaan yang mendalam. Seperti halnya orang yang ingin melemparkan bara api atau tahi kepada orang lain dengan tangannya, sebelum melemparnya kepada orang lain seseorang sudah pasti terluka dan terkotorinya. Sebagai tambahan, kemarahan selalu menjadi perintang. Ketika seseorang marah, seseorang tidak bisa melihat Dhamma yang sesungguhnya, dan tidak ada kedamaian di dalamnya. Oleh karena itu, Buddha selalu mengancurkan murid-muridnya untuk senantiasa mengendalikan diri dan tidak mudah marah.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012. 
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Visuddhimagga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.

2 comments: