Memahami Paññā dalam Buddhisme
Paññavantassa ayaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo duppaññassa
Ajaran Buddha adalah untuk orang yang bijaksana, bukan untuk orang yang tidak bijaksana
(Dasuttara Sutta, Dīgha Nikāya)
Pendahuluan
Kebijaksanaan merupakan keunikan yang dimiliki oleh Buddhisme. Tanpa adanya kebijaksanaan, Buddhisme akan tampak sama seperti agama-agama lain. Secara ajaran moral, kita bisa menemukan kesamaan dengan ajaran moral di agama lain. Namun ketika kita datang ke kebijaksanaan yang dimiliki oleh Buddhisme, kita akan menyadari bahwa Buddhisme memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Oleh karena itu, artikel bertujuan membahas tentang kebijaksanaan (paññā) yang dimiliki oleh Buddhisme.
Kebijaksanaan (paññā)
Kebijaksanaan dalam Buddhisme sering mengacu pada kata paññā. Mahavedalla Sutta di Majjhima Nikāya memberikan petunjuk untuk memahami kata paññā (M. 43. p. 387). Secara etimologi, paññā berasal dari dua kata yaitu pa + ñā. Kata pa merupakan awalan yang mengacu pada tepat, penuh. Sementara kata ñā merupakan akar dengan bentuk verbalnya sebagai “pājānāti” yang berarti untuk mengetahui, untuk memahami. Sehingga secara harfiah paññā berarti untuk memahami atau untuk mengetahui secara penuh atau tepat.
Di sutta ini, diceritakan bahwa Bhikkhu Mahā Koṭṭhita bertanya kepada Bhikkhu Sariputta tentang siapa mereka yang bijaksana dan yang bukan bijaksana. Sebagai jawabannya, Bhikkhu Sariputta mengatakan bahwa orang yang bijaksana adalah mereka yang memahami dengan bijaksana dan mereka yang tidak bijaksana adalah mereka yang tidak memahami secara bijaksana. Lebih lanjut, Bhikkhu Sariputta membahas tentang apa yang dipahami oleh orang yang bijaksana dan yang tidak bijaksana. Di sini, orang yang bijaksana adalah mereka yang memahami Empat Kebenaran Mulia; kebenaran tentang penderitaan, sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Sementara orang yang tidak bijaksana adalah mereka yang sebaliknya (Ibid. p. 388).
Fungsi dan Peran Paññā
Kebijaksanaan memiliki peran penting untuk mencapai pembebasan. Dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, bagian paññā mencangkup pandangan benar (sammādiṭṭhi) dan pikiran benar (sammāsankappa) (M. 44. p. 398).
Menurut Buddha, untuk mencapai tujuan dapat ditempuh melalui tiga tahap, yaitu moral (adhisīlasikkhā), konsentrasi (adhicittasikkhā), dan kebijaksanaan (adhipaññāsikkhā) (A. p. 321). Moral (sīla) dikatakan sebagai dasarnya. Namun perlu diingat juga, dalam Mahācattārīsaka Sutta, pandangan benar yang termasuk dalam kelompok paññā, dikatakan sebagai pendahulu (pubbangamā: M. 117. p. 934). Ketiganya bekerja saling menopang satu sama lain. Seseorang tidak mungkin menjalankan sila dengan baik apabila tidak disertai dengan kebijaksanaan. Sebab terdekat dari sīla adalah hiri dan ottappa (Vism. p. 12). Praktik sīla didukung oleh hiri dan ottappa di mana untuk memperoleh hiri dan ottappa seseorang perlu memiliki pandangan benar. Minimal mengetahui tentang sebab dan akibat dari perbuatan, karena dengan pengertian tentang hukum Kamma dan Vipakka, seseorang baru bisa memiliki malu berbuat jahat dan takut akan akibat dari perbuatan jahat. Soṇadaṇḍa Sutta lebih lanjut dikatakan bahwa kebijaksanaan dimurnikan oleh sīla, dan sīla dimurnikan oleh kebijaksanaan (sīlaparidhotā paññā, paññāparidhotaṃ sīlaṃ: D. 4. p. 131).
Buddha mengatakan bahwa Dhamma-Nya adalah untuk orang-orang yang bijaksana, bukan untuk orang yang tidak bijaksana (paññavantassa ayaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo duppaññassa: D. 34. p. 517; A. p. 1160). Ajaran Buddha akan memberikan kegembiraan bagi orang-orang yang bijaksana, namun bukan bagi orang-orang yang bodoh (M. 56. p. 489). Bahkan semua pengikut Buddha diharapkan tidak menerima ajarannya hanya dengan keyakinan, tetapi harus dilihat dengan kebijaksanaan (yathābhūtaṃ sammappaññāya daṭṭhabbaṃ). K. N. Jayatileke memberikan komentar bahwa saddha mengacu pada tiga aspek, yaitu kebahagiaan, usaha, dan kebijaksanaan (Jayatilleke, K. N. Early Buddhist Theory of Knowledge. p. 386).
Ada tiga jenis kebijaksanaan yaitu kebijaksanaan yang diperoleh melalui pemikiran (cintāmaya paññā), melalui belajar atau mendengar (sutamayā paññā), dan melaui pengembangan batin atau meditasi (bhāvanāmaya paññā) (D. 33. p. 486). Bergaul dengan orang yang baik, mendengarkan Dhamma yang baik, perhatian yang hati-hati, dan praktik berdasarkan Dhamma adalah hal yang dapat menuntun pertumbuhan kebijaksanaan (A. 612).
Paññā merupakan salah satu jenis dari kekuatan (paññā balaṁ: D. 33 p. 492: p. 502: M. 77. p. 637: A. 126. 521.). Kebijaksanaan adalah sumber cahaya di dunia (S. 148). Paññā adalah sesuatu yang harus dikembangkan (paññā bhāvetabba: M. 43. p. 388). Ketika paññā dikembangkan, maka kebodohan batin ditinggalkan (A. 152). Dengan meninggalkan kebodohan batin, di sana terdapat pembebasan melalui kebijaksanaan (A. 153). Setelah menjadi jelas di dalam kebijaksanaan, seseorang tidak akan terlahir lagi dan lagi (S. 269). Paññā disimbolisasikan sebagai pisau (sattha’nti kho, bhikkhu, ariyāyetaṃ paññāya adhivacanaṃ; M. 23. p. 238; M. 105. p. 867). Dengan paññā seseorang dapat memotong akar-akar dari kejahatan (mūlaṁ paññāya chindatha: Dhp. 340. p. 179), rintangan, dan ikatan-ikatan (M.146. p. 1123). Seseorang harus menjadi orang yang memiliki paññā untuk membebaskan dirinya dari penderitaan alam samsara (sīle patiṭṭhāya naro sapañño cittaṃ paññañ ca bhāvayaṃ ātāpī nipako bhikkhu so imaṃ vijaṭaye jaṭaṃ; S. p. 101)
Kesimpulan
Kebijaksanaan merupakan keistimewaan dari Buddhisme yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Buddha mengajak kita untuk memiliki kebijaksanaan. Tanpa ada kebijaksanaan kita tidak akan bisa memahami ajaran Buddha. Ajaran Buddha diperuntukkan oleh mereka yang bijaksana, bukan untuk orang yang bijaksana. Oleh karena itu, berjuanglah untuk memperoleh kebijaksanaan karena memperoleh kebijaksanaan merupakan kebahagiaan (sukho paññāya paṭilābho: Dhp. 333. 178).
Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Jayatilleke, K. N. 2015. Early Buddhist Theory of Knowledge. Delhi: Motilal Banarsidass.
Visuddhimagga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.