Thursday, February 9, 2017

Efek Gaya Hidup Modern dan Gelapnya

0 comments
Efek Gaya Hidup Modern dan Gelapnya 
Nafsu Keinginan yang Menyesatkan
Taṇhāya jāyati soko, taṇhāya jāyati bhayaṃ
Dari nafsu keinginan muncul kesedihan
Dari nafsu keinginan muncul ketakutan
 (Dhammapada. 216)

Pendahuluan
Perkembangan zaman yang semakin pesat berhasil memikat masyarakat untuk mengalir mengikutinya. Akibatnya, orang-orang kini berusaha meninggalkan gaya hidup lama dan beralih ke gaya hidup modern. Ternyata, efek dari modernitas tidak hanya berunjung pada akibat yang positif saja. Efek modernitas juga membawa dampak negatif dalam bentuk rangsangan nafsu keinginan dalam pola hidup yang penuh keglamoran. Ini mengakibatkan seseorang dituntut untuk memenuhi penawaran gaya hidup modern agar tidak menjadi ketinggalan zaman. Tuntutan untuk memenuhi pola hidup ini sering kali membuat seseorang gelap dan tenggelam dalam keinginan yang yang menyesatkan. Artikel ini akan membahas tentang bagaimana sudut pandang agama Buddha beserta solusi yang bisa diberikan terhadap gaya hidup modern dan gelapnya nafsu keinginan yang menyesatkan.

Agama Buddha dan Perubahan Zaman
Agama Buddha menerima perubahan zaman sebagai hal yang lumrah karena memang segala sesuatu adalah tidak kekal. Waktu dibagi menjadi tiga; lampau (atīta), sekarang (paccupanna), dan yang akan datang (anāgata). Perubahan kondisi tidak bisa dielakkan. Sebab musabab yang tersusun secara komplek bekerja sesuai dengan penyebab-penyebabnya.

Seseorang boleh saja mengikuti pola hidup modern dengan berbagai macam kemudahan yang ditawarkan. Hanya saja seseorang juga perlu mewaspadai efek negatif yang akan muncul. Kemajuan teknologi memberikan kemudahan-kemudahan dengan berbagai fasilitas. Di satu sisi ini membuat pengguna teknologi menjadi terbantu dengan adanya fasilitas-fasilitas yang semakin canggih. Namun di sisi lain, akibat adanya kemajuan teknologi ini pula seseorang menjadi gelap dengan keinginan membuta untuk memilikinya. Konsekuensinya baik dan buruk terbutakan oleh nafsu tersebut. Keinginan untuk menuruti apa yang menjadi nafsunya ini yang menyebabkan seseorang sering kali ambil jalan keliru untuk memenuhinya. 

Ambil contoh, kasus anak yang membunuh orangtuanya sendiri lantaran tidak dibelikan sepeda motor hendaknya sebagai refleksi tentang bahayanya nafsu keinginan. Selain itu, belum lama ini juga, ada kasus karena tidak dibelikan Iphone 6s oleh pacar, seorang wanita rela bugil di tempat umum. Kasus-kasus kriminal lain juga terjadi seiring banyaknya keinginan manusia yang bergengsi agar tidak dikatakan ketinggalan zaman. Ini menunjukkan betapa gelapnya batin seseorang sehingga tidak bisa berpikir jernih ketika nafsu keinginan menguasai batin seseorang.

Waktu akan terus berputar, demikian juga dengan teknologi akan semakin canggih sesuai dengan perkembangannya. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan zaman tak ada hentinya. Keinginan menyebabkan ketidakpuasan. Ketika dia yang menginginkan sesuatu, dan kemudian keinginannya terpenuhi, keinginan-keinginan menyelimutinya lebih dan lebih, sebagaimana dahaga di saat panas yang menyengat. Sementara keinginan tidak akan terpuaskan ketika seseorang terus mengejarnya. Ibarat minum air garam di saat haus, dahaga tidak akan menjadi terpuaskan. 

Menyikapi Nafsu Keinginan dan Solusi yang Bisa Diberikan oleh Buddhisme
Nafsu keinginan umumnya disebut sebagai tanhā. Buddha memandang nafsu keinginan (tanhā) sebagai penyebab dari penderitaan.  Dukacita diciptakan oleh nafsu keinginan, dan dari nafsu keinginan ketakutan diciptakan. Nafsu keinginan disebut sebagai anak panah oleh Buddha. Nafsu keinginanlah yang menyebabkan pencarian. Lebih lanjut dikatakan bahwa nafsu keinginan adalah akar, penyebab, asal mula pencarian. Berdasarkan teori paticcasamupada, kontak menyebabkan perasaan; dari perasaan menyebabkan nafsu keinginan; nafsu keinginan menyebabkan kemelekatan. 

Bahkan dampak dari nafsu dapat memunculkan tindakan kriminal untuk memenuhi apa yang diinginkannya. Perasaan mengondisikan keinginan, keinginan mengondisikan pencarian (pariyesanā), pencarian mengondisikan perolehan (lābha), perolehan mengondisikan pengambilan keputusan (vinicchaya), pengambilan keputusan mengondisikan nafsu keinginan (chanda-rāga), nafsu keinginan mengondisikan keterikatan (ajjhosāna), keterikatan mengondisikan kepemilikan (pariggaha), kepemilikan menyebabkan ketamakan (macchariya), ketamakan menyebabkan penjagaan atas apa yang dimiliki (ārakkha), dari penjagaan ini memunculkan pengambilan tongkat dan pedang, pertengkaran, perselisihan, perdebatan, percekcokan, caci-maki, kebohongan, dan kejahatan lainya.

Nafsu keinginan yang terus diumbar untuk memperoleh apa yang diinginkan juga mempengaruhi kemerosotan pengelolaan penghasilan. Buddha memberikan anjuran bahwa penghasilan seharusnya dikelola dengan satu bagian (25 %) untuk dinikmati, dua bagian (50 %) untuk investasi, dan satu bagian lagi (25 %) disimpan untuk keperluan tak terduga. Saat nafsu keinginan terus mengejar untuk mendapatkan ini dan itu, bisa jadi pengeluaran bahkan tidak seimbang dengan apa yang didapatkan. Akibatnya orang terlibat hutang di sana sini untuk memenuhi keinginan. Bahkan kondisi seperti ini bisa mendesak seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, seperti pembunuhan, pencurian, penipuan, korupsi, dan lain sebagainya.

Buddhisme dapat memberikan solusi melewati ajaran-ajaran yang kebetulan bersesuaian. Ajaran tentang kepuasan dapat diterapkan untuk mengurangi nafsu keinginan pada kepemilikan yang berlebihan. Penekanan untuk mengurangi tiga macam kekotoran batin, seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, membantu seseorang untuk lebih berhati-hati dalam mengontrol diri dari dalam. Ajaran tentang kebijaksanaan dan pandangan benar yang selalu ditekankan dalam Buddhisme akan dapat membantu seseorang melihat perubahan zaman dan apa yang ditawarkan dengan kebijaksanaan. Ini berarti seseorang harus melihat fungsi dan menggunakan dengan baik tawaran modernisasi sesuai dengan kebutuhan. Seseorang boleh saja memiliki alat-alat teknologi yang canggih selama itu diperoleh dengan cara yang benar dan menggunakannya sebagaimana mestinya.

Kesimpulan
Perubahan zaman dianggap sebagai hal yang lumrah. Kemajuan teknologi dan efek modernisasi harus dilihat dari dua sisi. Selain melihat sisi positif, seseorang hendaknya menyadari sisi negatif yang bersembunyi dibaliknya. Dengan adanya pemahaman yang benar mengenai hal ini, diharapkan seseorang tidak lagi terjebak oleh perangkap modernisasi yang membuat seseorang menjadi gelap untuk menuruti nafsu keinginan. 

Referensi:
Dhammapada: The Buddha’s Path of Wisdom. Trans. Ācarya Buddharakkhita. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Jātaka: Stories of Buddha’s Former Births. Vol. IV. Edit. E. B. Cowell. New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd, 2015.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.

No comments:

Post a Comment