Friday, January 13, 2017

Menciptakan Perlindungan dengan Hidup Sesuai Dhamma

0 comments
Menciptakan Perlindungan dengan Hidup Sesuai Dhamma

Dhammo have rakkhati dhammacāriṃ,
dhammo suciṇṇo sukhamāvahati;
Esānisaṃso dhamme suciṇṇe, na duggatiṃ gacchati dhammacārī.
Dhamma akan melindungi mereka yang mempraktikkan Dhamma.
Praktik Dhamma akan membawa kebahagiaan
Barang siapa mengikuti Dhamma tidak akan pergi ke alam penderitaan.
(Therāgatha: 303)

Pendahuluan
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Manusia dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga apa pun yang manusia lakukan pada umumnya demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Menurut teori Abraham Maslow, manusia termotivasi untuk melakukan sesuatu karena dorongan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Teori Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki lima macam kebutuhan hidup, di antaranya selain kebutuhan fisiologis, salah satu lainnya adalah kebutuhan akan perlindungan dan keamanan. Kebutuhan akan perlindungan dan keamanan mencakup dua hal diantarannya adalah perlindungan fisik yang meliputi perlindungan atas ancaman terhadap tubuh atau hidup seperti penyakit, kecelakaan, bahaya dari lingkungan dan sebagainya. Sedangkan satu yang lainnya adalah perlindungan psikologis, yaitu perlindungan atas ancaman dari pengalaman yang baru dan asing, meliputi kekhawatiran, ketakutan, tekanan mental, dan sebagainya. Maka tidaklah mengherankan jika orang-orang pada umumnya selain mencari kebutuhan fisiologis, juga mencari perlindungan dan keamanan didalam hidupnya. Akibatnya jimat, dukun, tempat-tempat keramat, serta agama menjadi jalan untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan. Oleh karena itu, melaui artikel ini alangkah baiknya jika kita melihat bagaimana perspektif agama Buddha tentang hal itu.

Pembahasan
Agama Buddha tidak jauh beda dengan agama–agama lainnya yang juga menawarkan perlindungan bagi penganutnya, namun cara untuk memperoleh itu agama Buddha memiliki konsep yang berbeda dengan agama-agama pada umumnya. Umumnya agama-agama lain memberikan pengarahan tentang cara memperoleh hal itu dengan cara berdoa, memohon, dengan landasan keimanan atau keyakinan sebagai prioritasnya, tetapi agama Buddha memberikan cara yang berbeda. 
Dalam Theragāthā dikatakan bahwa dhamma melindungi seseorang yang hidup sesuai dengan dhamma (dhammo have rakkhati dhammacāriṃ; Thag. 303. p. 34). Dengan demikian pendekatan Agama Buddha dalam memenuhi kebutuhan manusia dalam hal perlindungan dan keamanan adalah dengan hidup sesuai dhamma. Maksud dari hidup sesuai  dhamma adalah menggunakan hidup dengan banyak berbuat kebajikan. Dengan pengertian demikian yang menjadi pelindung kita adalah kebajikan yang kita lakukan sendiri. 

Maka dari itu, sebagai solusinya adalah hendaknya seseorang banyak berbuat kebajikan. Kriteria dari perbuatan bajik (kusala) telah dijelaskan oleh Buddha. Di dalam Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta, Majjhima Nikāya, berisi tentang nasihat Buddha kepada Rahula tentang bagaimana membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran itu membawa kerugian dan penderitaan bagi diri sendiri atau orang lain atau keduanya adalah perbuatan buruk (akusala). Sedangkan jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran itu tidak membawa kerugian dan penderitaan diri sendiri atau orang lain, ataupun keduannya adalah perbuatan baik (kusala) (M. 61. p. 524-525). 

Dalam kitab Itivuttaka Buddha menguraikan bahwa terdapat tiga esensi dasar dari perbuatan baik yaitu dasar perbuatan baik dari memberi (dāna), dasar perbuatan baik dari menjaga moral (sīla), dan dasar perbuatan baik dari pengembangan batin (bhāvanā) (It. p. 148).

Dāna
Kata ‘dāna’ berasal dari akar kata dā yang berarti melimpahkan atau memberi. Dalam literatur Pali lainnya terdapat pengertian yang serupa, yaitu cāga yang lebih dikenal dengan arti kerelaan hati. Tindakan berdana dapat diartikan sebagai perbuatan memberi sesuatu kepada orang lain. 

Terdapat dua macam pemberian yaitu pemberian materi dan non materi (A. p. 182). Dalam Dhamma dikatakan terdapat tiga macam bentuk pemberian (dāna), antara lain; pemberian dalam bentuk materi atau barang (āmisa-dāna), berarti tindakan memberikan sesuatu kepada orang lain berupa barang, uang, obat, makanan, dsb. Kemudian bentuk pemberian yang kedua adalah pemberian kenyamanan atas makhluk lain. Ini adalah pemberian yang dapat membebaskan makhluk lain dari ketakutan atau pun bahaya (abhaya-dāna), berarti tindakan memberikan kebebasan bagi makhluk lain sehingga terhindar dari ketakutan, seperti melepaskan satwa atau binatang ke alam bebas (fangsen). Contohnya melepas burung, ikan, belut, jangkrik, dsb. Pemberian yang terakhir adalah pemberian dalam bentuk dhamma atau nasihat, pendidikan (dhamma-dāna), berarti tindakan memberikan sesuatu kepada orang lain dalam bentuk nasihat-nasihat baik, pendidikan, pengarahan, motivasi, dorongan, penyampaian dhamma, dsb. Pemberian jenis ini adalah pemberian yang paling tinggi (Dhp. 354. p. 183; It. p. 181).

Di dalam Aṅguttara Nikāya, Buddha menguraikan tentang bagaimana cara berdana yang baik, yang pertama ialah memberi dengan keyakinan, maksudnya memberikan sesuatu dengan menyerahkan langsung kepada si penerima dengan penuh keyakinan bahwa apa yang diberikan dapat bermanfaat baginya. Kemudian yang kedua ialah memberi dengan penuh hormat, maksudnya menyerahkan dana dengan sopan tidak seperti membuang sesuatu yang tidak berguna lagi, dengan kata lain tidak dilempar. Selanjutnya adalah memberi pada saat yang tepat, maksudnya memberi sesuatu pada orang lain sesuai dengan waktu dan kebutuhan, seperti contohnya berdana makanan kepada para Bhikkhu dan Sāmaṇera sesuai dengan waktunya yaitu tidak lebih dari tengah hari. Contoh lain yaitu memberi bantuan pada waktu terjadi bencana alam, musibah, banjir, dan sebagainya. Yang keempat ialah memberi dengan hati dermawan, maksudnya memberikan sesuatu dilandasi dengan perasaan bahagia sebelum memberikan, pada saat menyerahkan, dan setelah menyerahkan, sehingga tidak ada penyesalan. Sedangkan yang terakhir ialah memberi tanpa menjelekkan, maksudnya perasaan senang yang disertai ungkapan terimakasih tanpa merendahkan si penerima (A. p. 763).

Kebutuhan manusia akan perlindungan dan rasa aman dapat terealisasi dengan kebajikan dari praktik berdana. Secara fisiologis manfaat dari berdana adalah seperti penjelasan Buddha dalam Aṅguttara Nikāya bahwa dengan berdana makanan akan memperoleh umur panjang (āyu), paras yang bagus (vaṇṇo), kebahagiaan (sukhaṁ), dan kekuatan (balaṁ) (A. p. 662). Mengapa demikian? Karena ketika seseorang memakan apa yang kita berikan, dia akan menjadi segar kembali dari rasa lapar sehingga kelangsungan hidup akan terjaga, setelah makan dapat merubah raut wajah yang semula pucat menjadi tampak segar kembali, karena badan terasa segar kembali maka berpengaruh ke mental psikologi menjadi bahagia dan lebih bersemangat. Selain itu manfaat psikologi dari berdana dapat kita ketahui dalam Aṅguttara Nikāya di mana terjadi perbincangan antara Buddha dengan Siha mengenai manfaat berdana yang salah satunya yaitu memperoleh reputasi baik atau kemansyuran nama baik (A. p. 660). Dengan reputasi baik yang diperoleh seseorang mewujudkan rasa percaya diri yang memungkinkan dirinya terbebas dari tekanan batin serta kekhawatiran ataupun ketakutan ketika menghadapi hal baru di dunia sosial. 

Selain itu, manfaat dari berdana adalah dapat membantu seseorang dalam mengatasi sifat egoisme atau individualis sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas. Seperti yang dikatakan Buddha ‘orang yang murah hati memiliki banyak teman’ (dadaṃ mittāni ganthati: Sn. 187. p. 20). Sehubungan dengan psikologi orang yang memiliki banyak teman akan menjadi tenang dan penuh percaya diri ketika mereka bergaul. Dengan memiliki teman yang banyak selain memberi kepuasan batin yang melindungi, teman juga mampu menjadi pelindung eksternal ketika berhadapan dunia luar. Inilah kebajikan dari bermurah hati yang mampu melindungi si pelaksana dalam setiap sudut pandang.

Sīla
Kata ‘Sīla’ berasal dari bahasa Pāli yang artinya kemoralan, perilaku baik, karakter baik, sifat baik. Sehingga pengertian orang yang memiliki sīla adalah ia yang bertingkah laku sesuai dengan moral, baik melalui pikiran, ucapan, maupun perbuatan. 

Umumnya terdapat tiga sistem norma moral yang dijadikan patokan, yakni norma berdasarkan keyakinan dan kewajiban mutlak (deontologis), norma berdasarkan tujuan perbuatan (teleologis), dan norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain (relasional) (Priastana, Jo. Buddha Dharma Kontekstual. p. 100). Sehingga seseorang yang melaksanakan sīla tidak hanya berhadapan dengan kebutuhan individu intern, tetapi juga mencakup hubungan masyarakat luas. Oleh karena itu sebab terdekat yang mendukung pelaksanaan sīla adalah hiri (malu berbuat salah) dan ottappa (takut akan akibat dari perbuatan salah) (Vsm. p. 12). 

Kebajikan dari perilaku bermoral mengandung dua aspek, yaitu aspek negatif dari penghindaran kejahatan (pāpassa akaraṇa) dan aspek positif dari penanaman kebajikan (kusalasa upasampadā) (Kalupahana, David J. Buddhist Philosophy: A Historical Analysis. p. 58). Dalam kenyataanya kedua aspek tersebut merupakan satu paket yang tidak dapat dipisahkan. Aspek negatif mencakup pañcasīla sedangkan aspek positif mencakup pañcadhamma. 

Kebajikan moral yang paling dasar mencakup lima latihan moral (pañcasīla) yaitu antara lain latihan menghindari pembunuhan makhluk hidup, menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan, menghindari perbuatan asusila, menghindari berbohong, dan menghindari minum minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran. Tetapi moral (sīla) tidak hanya sebatas latihan untuk menghindari lima aturan moral seperti diatas, tetapi kebajikan moral dari segi aspek positif adalah untuk mengembangkan kebajikan (pañca dhamma) seperti dengan menghindari pembunuhan kita dianjurkan untuk mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang (mettā-karunā), dengan menghindari pencurian kita berlatih untuk memiliki mata pencaharian yang benar (sammā ajiva), dengan menghindari perbuatan asusila kita berlatih untuk memiliki rasa puas serta bersusila (santutthi), dengan menghindari ucapan bohong kita berlatih untuk berkata jujur (sacca), dengan menghindari minum minuman yang memabukkan kita berlatih untuk selalu sadar dan waspada (sati-sampajañña).

Dalam agama Buddha, kemoralan sangat dititikberatkan. Buddha lebih menekankan untuk menegakkan moral atau menjalankan sila dan hidup bersusila, yang melebihi sekadar melakukan upacara maupun ritual mantra-mantra. Walaupun dalam agama Buddha sendiri terdapat suatu ritual, membaca paritta, serta bentuk penghormatan lainnya, namun itu semua hanyalah sebagai sarana pemahaman yang membantu kepuasan psikologi, yang terpenting adalah bagaimana kita mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan masyarakat. Membaca paritta, mengulang sutta-sutta dalam acara pujabakti di vihara tidak sekadar pengucapan ataupun intelektual semata, tetapi yang lebih penting adalah menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Karena dhamma adalah ajaran praktik dari jalan hidup yang sesungguhnya. Perlindungan menurut dhamma adalah perlindungan dari jasa kebajikan yang kita lakukan. Dengan kata lain perlindungan diciptakan oleh diri kita sendiri melalui praktik kebajikan (sīla), bukan dari makhluk exsternal, dewa-dewa, jin, makhluk halus, jimat, serta dukun-dukun peramal. 

Menurut Buddha, diri sendiri sesungguhnya pelindung bagi dirinya sendiri. Siapa lagi yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari (attā hi attano nātho, Ko hi nātho paro siyā, Attanā hi sudantena, nāthaṁ labhati dullabhaṁ: Dhp. 160. p. 137).

Seperti yang telah diutarakan diatas, bahwa perlindungan yang manusia cari mencakup perlindungan fisik serta perlindungan psikologi. Dengan mempraktikkan sīla serta hidup bermoral akan memberikan perlindungan secara fisik dan psikologi. Secara fisik orang yang bermoral baik akan memiliki perlindungan reputasi, serta ancaman bahaya dari luar. Dengan kata lain, orang yang memiliki moral yang baik berarti telah membuat benteng pertahanan bagi dirinya. Seperti contohnya jika kita tidak melakukan pembunuhan, pencurian, perzinaan, berbohong, mabuk, serta perbuatan buruk lainnya, maka kita terbebas dari ancaman hukum ataupun pihak lain yang ingin mencelakai kita karena perbuatan buruk yang kita lakukan. 

Ini adalah konsekuensi dari apa yang kita lakukan, sehingga dalam hal ini penerapan sila didorong oleh pengertian hukum kamma. Sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya, pembuat kebaikan memetik kebaikan pula, pembuat kejahatan memetik kejahatan pula (yadisaṃ vaphate bijaṃ, tadisaṃ labhate phalam, kalyanakari ca kalyanaṃ, papakari ca papakaṃ; S. p. 328). 

Sedangkan secara psikologis, praktik sila dapat memberikan rasa tenang tanpa penyesalan, kekhawatiran ataupun ketakutan. Karena seperti penjelasan Buddha dalam Aṅguttara Nikāya bahwa kebiasaan baik dari perilaku bermoral (sīla) bermanfaat tiada penyesalan (avippaṭisāratthāni kho, ānanda, kusalāni sīlāni avippaṭisārānisaṃsānī; A. p. 1339), dengan demikian hati merasa tenang, damai, bebas dari kekhawatiran, penuh percaya diri  dan bebas dari tekanan batin. Oleh karena itu dengan memiliki sīla yang baik sangat mendukung dalam pelaksanaan meditasi, sehingga batin akan merasa nyaman bebas dari rintangan ketakutan dan kekhawatiran.  

Bhāvanā
Kata bhāvanā berasal dari kata kerja kausatif “bhāveti”, sebab untuk menjadi, memproduksi, mengolah, yang mengandung arti pengembangan batin. Istilah bhāvanā yang lebih diartikan sebagai meditasi , mencakup berbagai macam metode pengembangan batin, menjadi salah satu praktik kebajikan yang sangat penting untuk dilakukan. Selain merupakan kebajikan yang bernilai tinggi, meditasi juga menjadi keistimewaan dalam agama Buddha. Pengembangan batin melalui meditasi memberi kontribusi yang sangat besar terhadap pikiran. Semua  perbuatan, baik  yang dilakukan oleh pikiran itu sendiri,  melalui  ucapan,  ataupun melalui tindakan jasmani, semuanya bersumber pada pikiran. Sebagaimana yang diutarakan Buddha bahwa pikiran merupakan pelopor dari segala sesuatu (manopubbaṅgamā dhammā; Dhp. 1. p. 99), sehingga seseorang yang berusaha mengendalikan pikirannya dengan baik maka ucapan dan perbuatannya pun juga akan dapat terkendalikan dengan baik. Terkendalinya pikiran, ucapan, serta perbuatan jasmani adalah perlindungan sejati. Buddha mengatakan bahwa adalah baik pengendalian melalui jasmani, juga baik pengendalian melalui ucapan; pengendalian melalui pikiran, dan pengendalian di mana-mana adalah baik. Sungguh terkendali di mana-mana, seseorang dikatakan terlindungi (S. p. 168).

Sehubungan dengan hal ini, perlindungan sejati bersumber pada kemampuan internal yang dapat dikembangkan sendiri dari dalam, bukan dari kemampuan luar. Oleh karena itu, Buddha mengingatkan “jadilah pulau bagi dirimu sendiri, jadilah perlindungan bagi dirimu sendiri, berdiamlah dengan dhamma sebagai pulau, dengan dhamma sebagai suatu perlindungan, jangan mencari perlindungan diluar dirimu sendiri (D. 16. p. 245)’.

Dengan latihan pengembangan batin memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan manusia akan perlindungan, baik secara fisik dan psikologi. Manfaat terdekat dari pengembangan batin adalah ketenangan, serta bebasnya dari gangguan mental. Menurut teori medis, dikatakan bahwa orang yang batinnya tenang dapat membantu kesehatan seseorang, sehingga tidak mudah terkena penyakit. Selain itu, meditasi juga membantu memperkuat selaput otak sehingga bertambah kecerdasan serta tidak mudah lupa. Sehingga meditasi bukan hanya memberikan perlindungan terhadap batin, tetapi juga secara fisik.

Itulah kebajikan dasar yang patut dipraktikkan oleh orang yang ingin terpenuhi kebutuhan atas perlindungan menurut dhamma. Setelah itu dilanjutkan dengan praktik kebajikan yang lebih tinggi lagi yang berguna untuk memperoleh perlindungan akhir dari pembebasan dari dukkha yaitu perlindungan Nibbāna.

Kesimpulan
Seperti yang dinasihatkan Buddha bahwa kita sendiri yang harus berusaha, karena Beliau hanya sebagai petunjuk jalan (akkhātāro tathāgatā; Dhp. 276. p. 164), maka untuk mendapatkan perlindungan kita sendirilah yang harus berusaha. Buddha telah menunjukkan jalan bagaimana untuk mencapainya, tinggal kita sendirilah yang harus melangkah untuk mempraktikkannya.

Pandangan agama Buddha untuk memperoleh perlindungan bergitu berbeda dengan agama-agama lain yang menjanjikan perlindungan hanya dengan menganut agama tersebut.  Menurut Buddhisme, sekadar pengakuan beragama Buddha tidak mampu memberikan hasil yang cukup apabila tidak disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan dhamma. Hanya dengan berdoa dan berharap saja seseorang tidak akan memperoleh hasil nyata. Hendaknya harapan juga disertai dengan tindakan kebajikan sebagai pendukungnya. 

Ada sebuah analogi dalam Tevijja Sutta, Digha Nikaya, di mana Buddha bertanya kepada Vāseṭṭha, “seandainya seseorang datang ke tepi sungai Aciravatī...dia ingin menyeberang ke tepi yang lain, lalu berseru: Datanglah tepi seberang; Datanglah kemari!; apakah tepi lain itu datang padanya karena berkat seruan, doa, permohonan, dan pujian orang itu? (D. 13. p. 190)”.

Dari kutipan sutta tersebut dapat diketahui bahwa Buddha telah membuat analogi tentang seseorang yang ingin menyebrang sungai. Jika seseorang hanya duduk dan berdoa saja tanpa diiringi dengan usaha maka seseorang tidak akan pernah sampai ke seberang sungai itu. Namun jika seseorang memang benar menginginkan sampai ke seberang sungai, maka hendaknya dia berusaha mencari alat untuk menyeberang, baik itu menggunakan rakit, perahu, jembatan, dsb. Demikian pula dengan menciptakan perlindungan tidak hanya diperoleh dari doa, mantra kitab suci, jimat, dukun-dukun, tetapi adalah praktik kebajikan yang seseorang praktikkan. Dengan demikian, perspektif agama Buddha tentang pemenuhan kebutuhan manusia akan perlindungan adalah dengan hidup sesuai dhamma, atau singkatnya hidup dengan banyak berbuat kebajikan. 

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Udāna and Itivuttaka. Trans. John D Ireland. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Visuddhimagga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.
Kalupahana, David J. 1976. Buddhist Philosophy A Historical Analysis. Honolulum: The University Press of Hawaii.
Priastana, Jo. 2000. Buddha Dharma Kontekstual. Jakarta: Yasodhara Puteri.

No comments:

Post a Comment