Rehabilitasi Moral dan Mental sebagai Sarana Menciptakan perlindungan
Dveme, bhikkhave, dhammā sukkā lokaṃ pālenti. Katame dve? Hirī ca ottappañca.
Para Bhikkhu, dua hal ini baik secara moral
Melindungi dunia. Apakah yang dua itu?
Malu dan Takut
(Cariyā Sutta – Aṅguttara Nikāya)
Pendahuluan
Terjadinya kemerosotan moral serta banyaknya kekacauan dalam masyarakat dewasa ini membuat orang-orang mencari dan membutuhkan perlindungan diri. Seringkali seseorang memiliki pengertian keliru tentang arti perlindungan dan bagaimana cara memperolehnya. Banyak orang mengira bahwa perlindungan diperoleh dari luar yang berkaitan dengan hal-hal mistis. Namun sesungguhnya menurut Dhamma, perlindungan dapat diciptakan oleh setiap manusia melalui praktik Dhamma.
Dhamma yang diajarkan oleh Buddha pada intinya memiliki konsep merehabilitasi mental serta moral yang kacau menjadi terkendali sebagai jalan untuk mencapai tujuan akhir. Jalan hidup sesuai Dhamma mengupayakan pengikisan keserakahan, kebencian, serta keegoan yang menjadi dasar penyebab penderitaan, sehingga mengarah pada kebahagiaan, perlindungan, serta kedamaian hidup, baik secara subjektif maupun objektif. Oleh karena itu artikel akan membahas tentang rehabilitasi moral dan mentak untuk menciptkan sebuah perlindungan.
Rehabilitasi Moral Sebagai Sarana Menciptakan Perlindungan
Sekarang ini, dunia sedang mengalami krisis moral. Umumnya orang-orang mengabaikan moral dan lebih mengedepankan kebebasan dalam bertindak yang tidak berdasar asas normatif. Konsekuensinya kesenjangan sosial, kekacauan masyarakat, kriminalitas, serta runtuhnya nilai-nilai kedamaian terjadi. Kemoralan atau kesusilaan (Sīla) menjadi sarana rehabilitasi yang merupakan ajaran penting sebagai landasan hidup bermasyarakat. Nilai-nilai dari moral adalah untuk memunculkan sikap berperikemanusiaan, di dalamnya terdapat cinta kasih & welas asih dan kejujuran. Moral yang baik bagi setiap individu menjadi sangat penting, karena ketika setiap individu berperilaku sesuai dengan moral secara otomatis hubungan masyarakat menjadi baik. Dengan demikian keamanan serta perlindungan dari Dhamma dapat terealisasi.
Proses rehabilitasi dari moral adalah dengan menegakkan moral sesuai kaidah normatif. Artinya tidak bertentangan dengan hukum negara dan hukum universal, tetapi berselaras dengan keharmonisan. Kemoralan yang paling mendasar untuk dipraktikkan umat Buddha adalah lima latihan moral yang disertai dengan pengembangan kebajikan lainnya. Alangkah baiknya juga jika pada hari-hari tertentu ditingkatkan menjadi delapan latihan kemoralan. Satu dari lima latihan moral yang paling dasar adalah berlatih untuk menghindari membunuh atau pun menganiaya makhluk hidup. Tidak bisa dibayangkan jika orang-orang saling membunuh serta menganiaya satu sama lain. Tentunya jika hal itu terjadi, dunia akan hancur ditangan orang-orang yang tidak bermoral.
Latihan untuk tidak membunuh ataupun menganiaya makhluk hidup memberikan kontribusi positif kepada orang-orang untuk dapat menghargai kehidupan makhluk hidup. Di dalamnya tertanam benih-benih kerukunan dan keharmonisan dari adanya cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk, tak terkecuali pada binatang. Namun tak dapat dipungkiri lagi bahwa latihan ini terhambat oleh keserakahan, kebencian, serta ego yang menggelora. Bagaimana mungkin, ketika seseorang memiliki keserakahan yang meledak-ledak sehingga apapun yang mereka lakukan adalah demi memenuhi obsesi untuk memiliki lebih. Akibatnya pembunuhan, pembantaian, ataupun penganiayaan digunakan sebagai sarana atau profesi untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Contoh adalah usaha pejagalan hewan dan bahkan ada beberapa orang yang karena keserakahannya sebelum penjagalan terjadi mereka menyiksa binatang itu dengan memberikan air sebanyak mungkin dengan tujuan dapat terlihat gemuk. Selain itu aspek kebencian juga sangatlah menghambat dalam latihan. Atas dasar kebencian seseorang membunuh makhluk lain yang dianggapnya sebagai pengganggu. Ketidaksukaan yang disertai dengan kebencian, dendam, iri hati, tidak menutup kemungkinan untuk berubah menjadi tindak kriminalitas, tak terkecuali pembunuhan. Sementara aspek ego serta kegelapan batin menjadi penghalang utama dalam menjalankan latihan untuk tidak membunuh. Kegelapan batin serta ego menjadi kacamata untuk melihat yang lainnya, ketika kacamata berwarna hitam maka semuanya akan nampak hitam. Demikian juga dengan ketidaktahuan mendasari semua perbuatan buruk. Pada intinya keserakahan, kebencian, serta ego mendasari munculnya semua perbuatan buruk, menjadi penghalang untuk berbuat baik, termasuk dalam latihan moral.
Kemudian, latihan kemoralan yang ke dua adalah berlatih untuk menghindari mengambil barang yang tidak diberikan atau mencuri. Latihan ini memilki makna yaitu selain seseorang melatih menghindari pencurian, seseorang hendaknya memiliki mata pencaharian yang benar. Akan lebih baik lagi jika disertai dengan perbuatan memberi, saling tolong menolong, peduli dengan orang lain. Seperti apa yang telah dijelaskan dalam latihan moral yang pertama bahwa keserakahan, kebencian, serta ego menjadi penghalang dalam pelatihan moral. Sangat jelas bahwa seseorang yang serakah selalu menginginkan lebih dan tidak lagi mempedulikan apakah cara yang diperolehnya sesuai atau tidak. Singkatnya, benar atau salah cara yang digunakan untuk memperolehnya tidaklah begitu penting bagi mereka yang tertutup oleh keserakahan. Keserakahan membuat seseorang menjadi buta tentang bagaimana membedakan antara perbuatan baik dan buruk, akibatnya semua perbuatan dianggapnya baik menurut mereka. Terjadinya pencurian ataupun korupsi juga diakibatkan karena adanya kemalasan seseorang untuk bekerja keras. Kebutuhan hidup serba instan, menghendakinya memperoleh apa yang diinginkan dengan cara instan pula. Akibatnya pencurian sebagai cara memperoleh sesuatu dengan cara yang instan.
Oleh karena itu rehabilitasi moral seperti ini diperlukan untuk menumbuhkan kedamaian, kenyamanan, bebas dari ketakutan serta kekhawatiran terhadap hilangnya barang kita. Dengan pengendalian diri dalam latihan moral ini menjadi salah satu sarana bagi umat manusia untuk saling menghagai hak miliki orang atau makhluk lain. Di dalamnya terdapat hubungan baik, tiada kekhawatiran, saling percaya, tertib sosial dan kejujuran untuk memperoleh penghidupan benar. Dengan demikian, perlindungan diri dari ancaman hukum maupun ancaman sosial dapat diatasi dengan menerapkan latihan moral ini sebagai jalan hidup.
Latihan kemoralan yang ke tiga adalah berlatih untuk menghindari perbuatan asusila. Maksud dari rumusan latihan moral ini adalah untuk menciptakan kepuasan diri terhadap pasangannya, serta dapat mengontrol diri dari kesenangan-kesenangan indera. Hal ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan kesetiaan terhadap pasangan hidupnya dari segala sudut. Setia berarti jujur, saling percaya, saling mengerti satu sama lain, bukan mengedapankan ego demi kepuasan pribadi. Permasalahan rumah tangga umumnya diakibatkan oleh kurangnya rasa kepuasan serta kesetiaan terhadap pasangannya. Oleh karena itu, para pelaksana Dhamma dalam mengemban latihan moral ini membantu mewujudkan kerukunan, keharmonisan, dan terlindungi dari percecokan keluarga. Keharmonisan rumah tangga merupakan sebab kebahagiaan.
Latihan kemoralan yang ke empat adalah berlatih untuk menghindari dari ucapan bohong. Kebohongan, kemunafikan, serta kepura-puraan menjadi lawan dari kejujuran dan ketulusan. Kebohongan, ucapan dusta, omong kosong, memfitnah merupakan sebab dari hilangnya rasa saling percaya. Sekosong tabung kosong tanpa isi, demikian pula kualitas seseorang yang sering berbohong. Barang kali diantara kita ada yang pernah mendengar tentang instruksi Buddha kepada samanera Rahula tentang pentingnya menghindari ucapan dusta. Di dalam Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta, Majjhima Nikāya, Buddha memberikan sebuah perumpamaan bagaikan sebuah mangkuk yang didalamnya terdapat sedikit air. Kemudian Buddha meminta samanera Rahula untuk melihatnya, dan berkata “kebajikan dari renunsiasi dari orang yang tidak malu untuk berbohong adalah sedikit, seperti sedikitnya air yang ada di dalam mangkuk ini”. Kemudian Beliau membuang air dari mangkuk itu dan berkata, “Orang-orang yang tidak malu untuk berbohong membuang kebajikan mereka sebagaimana Saya membuang air ini”. Kemudian Buddha menunjukkan mangkuk yang kosong itu kepada samanera Rahula dan berkata “sekosong inilah kebajikan dari renunsiasi dari mereka yang memiliki kebiasaan berbohong” (M. 61. p. 523).
Ketulusan hati serta kejujuran dalam berucap menjalin hubungan baik kepada siapa saja. Dengan adanya kejujuran menciptakan rasa saling percaya dan saling menghargai, sehingga relasi baik dapat berjalan. Namun kecenderungan orang-orang pada umumnya menginginkan sesuatu yang lebih atas dasar keserakahan membuat nilai kejujuran dan ketulusan menjadi diabaikan. Akibatnya mata pencaharian atas dasar kebohongan dengan tujuan untuk memperoleh lebih menjadi sarana untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Contohnya adalah perdagangan curang, menipu, membajak serta memalsu merek produk, dan lain sebagainya. Kemerosotan moral dalam hal kejujuran menjadi masalah besar bagi dunia karena kebohongan membuka pintu kejahatan lainnya. Dasar ketulusan dan kejujuran diciptakan bagi mereka yang sadar akan pentingnya kehidupan bermoral. Kehidupan bermoral merupakan sarana untuk mewujudkan kenyamanan, kedamaian, kebahagiaan, keharmonisan, serta benteng perlindungan nama baik seseorang dalam kehidupan masyarakat. Orang yang jujur, tulus, dan iklas adalah orang yang terlindungi.
Latihan moral yang ke lima adalah berlatih untuk menghindari minum-minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran. Kontribusi dari praktik latihan ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran, perhatian, dan kewaspadaan dalam menjalankan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kesadaran, seseorang berupaya melepaskan segala belenggu batin, tekanan batin, masalah-masalah, sehingga menyentuh kedamaian. Pentingnya kesadaran untuk ditegakkan karena ketidaksadaran membuka semua pintu kejahatan. Kejahatan membunuh atau menganiaya, mencuri, perbuatan asusila, serta ucapan dusta, dapat terjadi ketika kesadaran seseorang berada di luar batas normal. Keruntuhan reputasi, hilangnya harta benda, muncul banyak penyakit, kebingungan, tidak disukai banyak orang merupakan akibat dari orang yang suka minum-minuman keras. Rehabilitasi dari perilaku ini menumbuhkan perilaku yang bertata susila dengan menghargai kehidupan sendiri. Hidup akan jauh bernilai jika digunakan untuk banyak berbuat kebajikan, bukan untuk dirusak dengan berbotol-botol minuman keras. Melainkan sadar, waspada, penuh perhatian, penuh pertimbangan, menggunakan akal sehat sebagai solusi, inilah yang menjadi benteng perlindungan.
Hasil dari rehabilitasi moral dengan menegakkan lima aturan moral yang paling dasar adalah tumbuhnya kerukunan, keharmonisan, serta kedamaian yang bersahabat dengan nilai-nilai kehidupan. Transformasi dari moral yang kacau menjadi terkendali dalam tata susila membawa revolusi mental bersama dengan perlindungan di dalamnya.
Rehabilitasi Mental Sebagai Sarana Menciptakan Perlindungan
Rehabilitasi mental berarti memperbaiki serta merubah pola pikir negatif menuju arah positif yang lebih berdamai dengan realita kehidupan. Di dalamnya terdapat revolusi mental yang bermuara pada kedamaian mental, yang berkontribusi menjadi ucapan yang baik, serta tindakan yang bermoral. Pola pikir orang-orang yang umumnya cenderung tidak sabar untuk mendapatkan sesuatu atas dasar keserakahan, ketidaksukaan serta iri hati yang dipicu dari kebenciaan, mudah tersinggung, marah, serta ego yang menggebu-nggebu, sangatlah penting untuk direhabilitasi dan diarahkan menuju pemahaman hakekat kehidupan. Tidak hanya orang-orang gila saja yang perlu direhabilatasi mentalnya, tetapi kita semua yang masih diliputi kecenderungan tidak sabar, mudah marah, iri hati, ketamakan, kebencian, serta arogansi ego juga sangat diperlukan. Karena pola pikir demikianlah yang membuat kekacauan batin serta kesenjangan dalam masyarakat.
Upaya dari rehabilitasi mental antara lain:
Rehabilitasi mental dengan menumbuhkan hiri dan ottappa
Hiri berarti malu berbuat jahat, dan ottappa adalah takut akan akibatnya. Hilangnya rasa malu berbuat jahat serta tiadanya rasa takut akan akibatnya, menjadi sarana tumbuhnya tindak kejahatan. Ketika seseorang tidak memiliki hiri dan ottappa, seseorang akan terus terbawa arus keserakahan, kebencian, serta ego. Akibatnya menjauh dari kedamaian diri. Bahkan Buddha sendiri mengklarifikasikan bahwa hiri dan ottappa adalah dhamma pelindung dunia. Dalam Aṅguttara Nikāya, dikatakan bahwa hiri dan ottapa adalah pelindung dunia (A. p. 143). Karena jika tidak ada hiri dan ottappa, jika kedua hal ini tidak menjadi pelindung dunia, maka seseorang tidak akan menghargai ibunya, tidak akan menghargai bibinya, tidak akan menghargai kakak iparnya, tidak akan menghargai istrinya, tidak akan menghargai gurunya, dan lain sebagainya (ibid). Dengan kata lain, hilangnya malu dan takut, hilang pula rasa hormat dan penghargaan kepada orang lain. Tetapi senyatanya, dalam kehidupan sehari-hari semua orang umumnya tidak memiliki hal itu, sehingga banyak orang tidak malu dan tidak takut dalam berbuat jahat. Maka tidaklah mengherankan jika tindak kejahatan selalu menjadi topik utama dalam berita, baik media tulis maupun media audio visual.
Hiri dan ottappa berkontribusi pada pembangunan moral yang baik. Ini dipertimbangkan sebagai sebab terdekat dari praktik kemoralan (Vsm. p. 12). Dengan adanya hiri dan ottappa seseorang akan lebih terkendali dalam bertata susila, baik pikiran, ucapan, maupun perbuatan jasmani. Dengan demikian rehabilitasi mental dengan menumbuhkan malu dan dan takut berbuat jahat, mampu memberikan kontribusi penting dalam membangun sila yang terkendali, serta mentalitas luhur. Dengan terwujudnya hal itu, terbentuknya perlindungan.
Rehabilitasi mental dengan menumbuhkan cinta kasih dan kasih sayang
Cinta kasih (mettā) dan kasih sayang (karunā) merupakan mentalitas luhur yang di dalamnya tertanam kepedulian serta perhatian terhadap makhluk lain dengan rumusan mengharapkan makhluk lain berbahagia. Atas dasar cinta kasih dan kasih sayang menghendaki leburnya kebencian. Di setiap ada cinta dan kasih sayang, di sana kebencian tidak akan muncul, karena cinta tidak mungkin datang bersama dengan kebencian. Tetapi cinta kasih dan kasih sayang tidak hanya sebatas mental, tetapi hendaknya ditransformasikan ke dalam ucapan serta tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Sekadar mengharap makhluk lain berbahagia tidaklah cukup, jika tidak diimplementasikan ke dalam aksi. Kebanyakan orang menghiraukan hal ini, sehingga cinta kasih dan kasih sayang hanya sebagai objek dalam meditasi, tetapi praktik nyatanya tidak demikian. Kenyataannya banyak orang masih membuang sampah sembarangan, tidak peduli lingkungan, acuh tak acuh, serta sifat individualis, dan masih banyak lainnya. Pola seperti itulah yang harus di rehabilitasi dengan dibumbui pengertian dari kebijaksanaan. Transformasi mental dari mentalitas kacau yang dipelopori oleh kebencian menjadi mentalitas luhur yang bersekutu dengan cinta kasih dan kasih sayang inilah yang mewujudkan perlindungan.
Tidaklah mengherankan jika dewasa ini banyak orang kehilangan cinta dan kasih. Saat-saat di mana cinta dan kasih itu hilang, kebencian, ego, iri hati, dan dendam menguasai seseorang. Akibatnya perselisihan, perdebatan, menjadi salah satu perwujudan dari hilangnya cinta. Pada saat itu, kita semua berada dalam ketakutan, sehingga kita membutuhkan perlindungan dan kedamaian. Salah satu upaya untuk mewujudkan perlindungan dan kedamaian adalah dengan menumbuhkan cinta dan kasih.
Rehabilitasi mental dengan menumbuhkan kebijaksanaan
Kebijaksanaan (pañña) berarti pemahaman yang mendalam dari hakikat kehidupan. Kebijaksanaan yang paling sederhana adalah mengerti tentang sifat dari perbuatan, yang mana seseorang memiliki pemahaman dalam membedakan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Di dalamnya terdapat pengertian benar dan pikiran benar yang merupakan dasar seseorang untuk melihat sebagaimana adanya. Pengertian benar mencakup tentang pengertian tentang hakikat kehidupan, seperti; mengerti bahwa penderitaan dapat diatasi, sehingga tidak ada kata pasrah untuk berserah diri dalam menerima nasib, tetapi berusaha untuk mencari jalan keluarnya dengan usaha rajin, tekun, ulet, pantang menyerah, dan kesabaran. Kemudian, memahami bahwa kehidupan tidak hanya sekali, tetapi ada kehidupan yang akan datang, dan semua itu kita sendiri yang menentukan, tergantung dari kebajikan yang telah dilakukan. Jadi sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan hidup yang lebih baik di alam kehidupan selanjutnya adalah dengan banyak melakukan perbuatan baik. Selanjutnya menyadari bahwa hidup bukanlah untuk mengejar materi semata, tetapi ada kebutuhan spiritual yang jauh lebih penting. Di sini seseorang dapat mengatur waktu untuk menyeimbangkan antara kebutuhan materi dan kebutuhan spiritual. Kemudian, mengerti bahwa apapun kita lakukan, pasti ada konsekuensinya. Menanam kebajikan berbuah dengan kebahagiaan, demikian pula dengan berbuat keburukan akan berbuah penderitaan. Oleh karena itu, seseorang berhati-hati dalam bertindak. Sedangkan pikiran benar mencakup, mentalitas untuk melepas atau pikiran untuk meninggalkan kemelekatan. Pemahaman tentang hal ini sangatlah penting, karena pada dasarnya esensi dari kehidupan adalah untuk melepas, apa pun itu. Entah itu orang atau barang yang kita cintai, kesenangan-kesenangan indera, ideologi, serta pandangan-pandangan yang mungkin menurut kita itulah yang paling benar. Karena di setiap ada kemelekatan di sana muncul penderitaan. Kemudian mentalitas luhur yang tidak bersekutu dengan kebencian, di dalamnya terdapat cinta kasih dan kasih sayang. Hingga akhirnya pemahaman demikan bertransformasi kedalam kebijaksanaan yang lebih tinggi, yaitu tentang pengetahuan benar serta pembebasan benar. Akhir dari penderitaan adalah perlindungan yang paling tinggi. Itu dapat diperoleh dengan rehabilitasi moral dan mental yang menumbuhkan kebijaksanaan yang tinggi bersama leburnya keserakahan, kebencian, serta ego.
Kesimpulan
Sebagaimana Buddha mengajarkan untuk merehabilitasi kekacauan moral dan batin menuju pembebasan sejati, demikian pula masalah-masalah sosial akibat kemerosotan moral dan mental yang memicu timbulnya ketidaknyamanan dapat di atasi dengan merehabilitasi moral berserta mental. Transformasi moral serta mentalitas yang lebih baik, membawa revolusi mental bersama perlindungan bagi siapa saja yang melaksanakan. Akhir dari rehabilitasi moral dan mental adalah moral yang baik, mentalitas yang luhur, serta kebijaksanaan. Tiga hal itulah yang menjadi dasar perlindungan. Praktik Dhamma akan memberikan perlindungan bagi yang melaksanakannya (Thag. 303. p. 34).
Perlindungan yang diberikan oleh Dhamma diperoleh dari praktik rehabilitasi mental serta moral yang kacau, yang bersumber dari keserakahan, kebencian, serta ego. Oleh karena itu, marilah kita semua memulai untuk merehabilitasi moral dan mental kita menuju arah yang sesuai dengan dhamma. Transformasi moral serta mental yang terkendali, terarah, dan selaras dengan nilai-nilai kedamaian mewujudkan keharmonisan, perlindungan, kenyamanan bagi diri sendiri, makhluk lain, serta masyarakat luas.
Referensi
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Theragāthā: Poems of Early Buddhist Monks. Trans. K. R. Norman. Oxford: The Pali Text Society, 1997.
Visuddhimagga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.