Thursday, February 9, 2017

Diri Sendiri Sebagai Penentu

0 comments
Diri Sendiri Sebagai Penentu
Tumhehi kiccamātappaṃ, akkhātāro Tathāgatā;
Paṭipannā pamokkhanti, jhāyino mārabandhanā.
Kamu sendiri yang harus berusaha, Tathāgatā hanya sebagai petunjuk jalan;
Orang yang mengikuti jalan dan bermeditasi akan terbebas dari ikatan Māra
(Dhammapada 276)

Pendahuluan
Diri sendiri memegang peranan penting dalam menentukan masa depan, meraih apa yang dicita-citakan. Tujuan yang ingin seseorang capai terletak pada apa yang telah seseorang libatkan dalam upaya mencapainya. Dengan cara yang sama, Buddhisme menawarkan tujuan untuk terlepas dari ikatan penderitaan dan diri sendiri memegang peranan penuh dalam mencapainya. Karena Buddhisme bukanlah agama juru selamat yang menjajikan tujuan hanya sekadar mempercayainya, Buddhisme lebih menekankan bagaimana seseorang mau bangkit berusaha untuk mempraktikkan ajaran Buddha demi terealisasinya tujuan. Buddha sendiri mengakui bahwa dirinya hanya sebagai petunjuk jalan. Dalam hal ini kita diminta untuk melangkah di jalan yang telah ditunjukkannya demi tercapainya tujuan. Konsep diri sendiri sebagai penentu merupakan topik yang menarik untuk kita bahas lebih lanjut di sini.

Pembahasan
Dari sekian banyak agama di dunia, Buddhisme muncul dengan fitur yang berbeda. Ketika banyak agama pada umumnya menjamin siapapun yang meyakini agamanya akan mencapai tujuan, dalam Buddhisme pengertian yang demikian tidak ditemukan. Sebatas keyakinan tanpa diikuti praktik dalam melangkah menjalankan Dhamma, tujuan akan hanya menjadi sebuah mimpi. Diibaratkan sebagaimana seseorang yang ingin berpergian menuju suatu tempat, mobil sudah tersedia di depannya dan seseorang sudah memasuki mobil tersebut, tetap orang tersebut tidak akan mencapai tujuan selama mobilnya tidak dikendarai. Dengan cara yang sama, meskipun seseorang mengenal Buddhisme dan menjadi Buddhis, ketika seseorang tidak berjalan di jalan Dhamma, seseorang tidak akan mampu mencapai tujuan tersebut. 

Diri sendiri memegang peranan penting dalam mencapai tujuan tersebut. Buddha hanya sebagai petunjuk jalan, dan kita sendiri yang harus melangkah (akkhātāro tathāgatā; Dhp. 276. p. 164). Jalan telah dengan jelas ditunjukkannya, tanpa adanya usaha untuk melangkah, kita tidak mungkin sampai tujuan. Sebelum mencapai parinibbāna, Buddha memberikan nasihat kepada Bhikkhu Ananda untuk menjadikan diri sendiri dan Dhamma sebagai pulau dan sebagai pelindung (attadīpā viharatha attasaraṇā anaññasaraṇā, dhammadīpā dhammasaraṇā anaññasaraṇā: D. 15. p. 245). Hal ini karena diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri (attā hi attano nātho: Dhp. 160. p. 137). Oleh diri sendiri perbuatan buruk dilakukan, oleh diri sendiri seseorang terkotori. Dengan cara yang sama, oleh diri sendiri perbuatan buruk ditinggalkan dan oleh diri sendiri pula seseorang tersucikan (attanā va kataṃ pāpaṃ, attanā saṃkilissati; attanā akataṃ pāpaṃ, attanāva visujjhati: Dhp. 166. p. 139). 

Tidak ada pandangan bahwa kejahatan yang dilakukan seseorang adalah kehendak suatu makhluk pencipta. Demikian pula dengan kebahagiaan, kesakitan. Sebagaimana yang dikritik  dalam Devadaha Sutta, jika kebahagiaan dan kesakitan yang seseorang rasakan adalah disebabkan oleh sang pencipta, berarti para Nigaṇṭhas pasti diciptakan oleh pencipta yang jahat karena sekarang mereka merasakan sakit yang begitu menyakitkan dan mengiris perasaan (M. 101. p. 833). Dalam Jātaka-aṭṭhakatthā, dikatakan jika dunia diciptakan oleh dewa pencipta, kejahatan-kejahatan tertentu tidak dapat dijelaskan. Kalau memang ada sesosok dewa atau makhluk  yang menciptakan seluruh isi alam semesta ini, lalu mengapa dia menciptakan orang-orang malang di dunia ini tanpa membuat seluruh makhluk bahagia; atau lalu apa tujuannya diciptakan dunia yang penuh ketidakadilan, penipuan, kebohongan, sombong; atau sang pencipta yang jahat menciptakan ketidakadilan sementara sebenarnya terdapat keadilan (JA. VI. p. 208). Sebagai tambahan, jika sang pencipta telah menciptakan alam semesta dan memerintahnya, manusia tidak akan bertanggung jawab atas moralnya dan pencipta menjadi jahat karena kejahatan-kejahatan dan penderitaan-penderitaan adalah ciptaannya juga (A. p. 266). Mengetahui hal ini, seseorang tidak akan mencari perlindungan di luar diri mereka, tetapi akan menjadikan dirinya sendiri sebagai pelindungnya dengan cara menanamkan hirī dan ottappa di dalam diri mereka sendiri. Hirī adalah malu berbuat kejahatan. Ottappa adalah takut akan akibat perbuatan jahat (Pug. Pañ. p. 34-35). Dengan menanamkan ini di dalam diri masing-masing, seseorang akan memproleh perlindungan karena hirī dan ottappa adalah Dhamma pelindung dunia (A. p. 143). Karena hirī dan ottappa adalah sebab terdekat dari praktik pengendalian diri, maka dengan menjadikannya sebagai pondasi, seseorang akan menjadi terkendali. Dikatakan dengan terkendalinya diri sendiri sepenuhnya, seseorang memperoleh perlindungan yang sulit untuk diperoleh (attanā hi sudantena, nāthaṃ labhati dullabhaṃ: Dhp. 160. p. 137).

Diri sendiri juga berperan dalam menentukan kriteria dari perbuatan. Baik dan buruknya perbuatan bisa dilihat dengan menjadikan diri sendiri sebagai objeknya. Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta memberikan contoh kriteria baik dan buruk dengan perbandingan diri sendiri. Jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran itu membawa kerugian dan penderitaan bagi diri sendiri atau orang lain atau keduanya, itu dianggap sebagai perbuatan buruk. Sedangkan jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran itu tidak membawa kerugian dan penderitaan diri sendiri atau orang lain, ataupun keduannya, adalah perbuatan baik (M. 61. p. 524-525). Di kalimat ini jelas bahwa diri sendiri sangat menentukan kriteria baik dan buruk. Di sini, seseorang juga tidak bisa mengatakan bahwa itu perbuatan yang baik apabila itu sepenuhnya merugikan dirinya sendiri. Karena itu pula dalam Dhammapada dikatakan bahwa hendaknya seseorang tidak mengabaikan kesejahteraannya sendiri demi kepentingan orang lain (attadatthaṃ paratthena, bahunāpi na hāpaye: Dhp. 166. p. 62). Perbuatan baik adalah perbuatan yang tidak merugikan diri sendiri (nevattabyābādhāyapi saṃvattati), orang lain (na parabyābādhāyapi saṃvattati), atau kedua belah pihak (na ubhayabyābādhāyapi saṃvattati (M. 61. p. 524-525).

Dalam Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta pula Buddha memberikan perumpamaan cermin dhamma kepada Rahula. Sebagaimana cermin yang berfungsi untuk melihat diri sendiri, demikian pula cermin Dhamma berfungsi untuk melihat diri sendiri sebelum bertindak, berucap, dan berpikir terhadap orang lain (M. 61. p. 524-525). Veḷudvāreyya Sutta dari Saṁyutta Nikāya memberikan uraian menarik tentang membandingkan perasaan diri sendiri dengan yang lain sebagai tolak ukur sebelum seseorang bertindak (attupanāyiko dhammapariyāyo: S. p. 1797). Di sini seseorang harus merenungkan demikian ‘saya adalah orang yang ingin hidup, tidak ingin mati; saya menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan; ketika saya menginginkan demikian, jika ada seseorang yang ingin mengambil hidup saya, ini tidak menyenangkan bagiku. Demikian orang lain yang juga menginginkan hal yang sama denganku, jika aku ingin mengakhiri hidupnya, ini tidak menyenangkan baginya.’ Dengan merenungkan demikian, seseorang akan berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap orang lain, karena orang lain adalah sama dengan dirinya sendiri. Dengan cara yang sama, seseorang merenungkan dan membandingkan orang lain dengan dirinya sendiri, tidak akan melakukan pencurian, perbuatan asusila, berbohong, berucap memecahbelah, berkata kasar, dll.

Dalam Kālāma Sutta, ketika Buddha memberikan nasihat kepada orang-orang suku Kalama untuk tidak hanya mempercayai tradisi lisan (anussavena), tradisi turun temurun (paramparāya), desas-desus (itikirāya), kitab suci (piṭakasampadāya), orang pakar (bhvyarūpatāya), guru sendiri (samaṇo no garu), penalaran logika (takkahetu), penalaran lewat penyimpulan (nayahetu), perenungan atas alasan (ākāraparivitakkena), dan penerimaan pandangan setelah menimbangnya (diṭṭhinijjhānakkhantiya), Buddha menunjukkan bagaimana diri sendiri memegang peranan penting dalam menentukan perbuatan baik atau buruk: A. p. 280). Jika kita mengetahui diri kita sendiri bahwa ini adalah tidak baik (ime dhammā akusalā), ini adalah tercela (ime dhammā sāvajjā), ini dikritik oleh bijaksanawan (ime dhammā viññugarahitā), ini jika dilakukan menuntun pada bahaya dan penderitaan (ime dhammā samattā samādinnā ahitāya dukkhāya saṃvattanti), ini seharusnya dihindari (ibid.).

Ini adalah jalan Buddhis yang membedakan Buddhisme dengan jalan yang ditunjukkan agama-agama lainnya. Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Buddha (svākhāto bhagavatā dhammo), jelas (uttāno), terbuka (vivaṭo), terbukti (pakāsito), dan bebas dari tambal sulam (chinnapilotiko: M. 22. p. 235). Ini mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko) dan harus dialami oleh diri sendiri (paccattaṃ veditabbo). Oleh karenanya, kini tiba saatnya kita melangkah menapaki jalan yang telah ditunjukkannya. 

Kesimpulan
Diri sendiri sangat berperan penting dalam upaya mencapai tujuan. Buddhisme juga menyatakan bahwa diri sendiri adalah penentu pencapaian pembebasan. Buddha bukanlah juru selamat yang menjamin pembebasan bagi pengikutnya. Beliau hanyalah sebagai penunjuk jalan, dan masing-masing dari kitalah yang yang harus berjalan. Segala bentuk perbuatan, baik maupun buruk, semua dilakukan oleh diri sendiri. Ini tidak diatur oleh sesosok makhluk. Dengan cara yang sama, pembebasan juga direalisasi oleh diri sendiri. Ini tidak ada kaitannya sesosok makhluk tertentu. Oleh karenanya, diri sendiri adalah pelindung sejati, dan Buddha telah memberikan nasihat kepada kita untuk menjadikan diri sendiri dan Dhamma sebagai pulau dan pelindung. 

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012. 
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Puggalapaññatti: Designation of Human Types. Trans. Bimala Charan Law. London: Pali Text Society. 1979
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Jayatilleke, K.N. 2010. Facets of Buddhist Thought. Kandy: Buddhist Publication Society.

No comments:

Post a Comment