Sunday, April 2, 2017

Konsili Buddhis Kedua

0 comments
Konsili kedua kembali diadakan seratus tahun setelah Sang Buddha wafat. Konsili ini didukung oleh Raja Kalasoka di Valukarama di Magadha. Terdapat tujuh ratus bhikkhu yang menguasai Dhamma dan Vinaya dengan baik berpartisipasi dalam konsili ini. Ini berlangsung selama delapan bulan untuk menyelesaikan pokok pembahasan. Alasan utama yang mendorong diadakannya konsili kedua yaitu tentang sepuluh poin yang diajukan oleh para Vajjiputtaka bhikkhu.

Selama seratus tahun sebelumnya tidak ada permasalahan yang begitu serius dalam komunitas para bhikkhu. Sangha masih bersatu dan belum ada perpecahan menjadi beberapa sekte. Dan keberadaan Sangha masih didukung baik oleh para raja. Sehingga, Buddhisme masih kuat di Magadha. Namun kali ini Buddhisme kehilangan kekuatan dan popularitas di kalangan raja Magadha. Ketidakstabilan kekuatan politik di Magadha mempengaruhi jatuhnya Buddhisme di kerajaan Magadha. Sementara Brahmanisme secara bertahap merangkak untuk mengambil kembali kekuasaannya. 
Buddhisme yang selalu menekankan penderitaan dan akhir dari penderitaan dibelokkan oleh para brahmana untuk menjatuhkan Buddhisme karena dianggap tidak membawa kebahagiaan dalam kehidupan ini. Sementara orang-orang pada umumnya lebih menyukai dengan iming-iming kebahagiaan sekarang.

Memburuknya kondisi politik yang terjadi di Magadha juga mempengaruhi keberadaan para bhikkhu. Raja Ajatasattu dibunuh oleh anaknya, Udyabhaddaka, yang ingin naik tahta sebagaimana dulu Ajatasattu membunuh ayahnya Raja Bimbisara. Setelah Udyabhaddaka menjadi raja, anaknya yang bernama Anuruddhaka membunuhnya, sehingga ia naik tahta. Kemudian putra dari Raja Anuruddhaka yang bernama Muṇḍa juga melakukan hal yang sama. Setelah itu putra dari Raja Muṇḍa yang bernama Nāgadāsaka membunuh ayahnya. Sehingga dari generasi ke generasi, anak dari raja saling membunuh ayahnya sendiri dan setelah menjadi raja dibunuh oleh anaknya sendiri (Mhv. IV. 1-4).

Para pemimpin setelah Raja Ajatasattu tidak cukup kuat untuk menjaga status Magadha yang merupakan kerajaan yang paling kuat di zaman Sang Buddha. Karena keadaan politik kerajaan yang sedang guncang dan para bhikkhu sudah tidak mendapat dukungan lagi dari kerajaan, akhirnya para bhikkhu memutuskan untuk meninggalkan Magadha untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Buddhisme yang berkembang di daerah-daerah setelah Sang Buddha wafat, terpengaruhi oleh budaya dan praktik-praktik daerah-daerah tersebut. Para bhikkhu yang tinggal di sana harus menghadapi perubahan sosial. Sehingga para bhikkhu bernisiatif untuk mengambil langkah agar mereka diterima di masyarakat. 

Bhikkhu Sabbakami, bhikkhu arahat yang paling senior, tidak memiliki otoritas untuk mengatur semua bhikkhu. Beliau tidak punya kuasa untuk menjaga para bhikkhu untuk tetap stabil mengahadapi perubahan sosial.

Daerah Vajji dalam periode ini sedang mencapai puncak kejayaan. Banyak bhikkhu yang tinggal di daerah Vajji dan Visala Mahanuvara. Mereka hidup dalam kemewahan. Pada saat yang sama, di daerah Vajji, Brahmanisme juga muncul. Akibatnya bhikkhu yang tinggal di sana memilih untuk hidup moderat.

Para bhikkhu muda yang tinggal di sini tidak mampu menghadapi perubahan ekonomi dan sosial. Mereka menderita apabila mereka tetap mempertahankan vinaya secara ortodok. Mengingat Sang Buddha pernah mengijinkan para bhikkhu untuk merubah peraturan minor dan kecil, maka para bhikkhu muda yang tinggal di daerah Vajji memohon kepada para Thera untuk merubah vinaya minor dan kecil. 

Ketika keinginannya disampaikan, para bhikkhu Thera mengingatkannya untuk tetap mengikuti vinaya tanpa adanya perubahan. Ini yang menyebabkan para bhikkhu muda memisahkan diri dari bhikkkhu sesepuh. Tanpa menghiraukan nasihat bhikkhu senior, mereka memutuskan untuk merubah vinaya minor dan kecil. Mereka mengajukan sepuluh poin (dasa vatthūni), yang isinya sebagai berikut:
  1. Siṅgilona kappa = praktik membawa garam dalam tanduk binatang untuk digunakan apabila dibutuhkan. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 38, yang melarang bhikkhu untuk menyimpan makanan.
  2. Dvaṅgula kappa = Praktik makan setelah lewat tengah hari, yaitu ketika bayangan matahari lebarnya dua jari. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 37, yang merlarang bhikkhu untuk tidak makan setelah lewat tengah hari. 
  3. Gāmaṅtara kappa = Praktik pergi ke kampung lain untuk makan kembali setelah makan di kampung yang berbeda. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 35 yang melarang bhikkhu untuk makan berlebihan.
  4. Āvāsa kappa = Praktik melakukan Uposatha di tempat yang berbeda namun wilayah sima yang sama. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan dalam Mahavagga II.8.3, yang melarang bhikkhu untuk melakukan uposatha di wilayah sima yang sama.
  5. Anumati kappa = praktik memperoleh sangsi setelah tindakan dilakukan. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan dalam Mahavagga Ix 3.5 
  6. Ācinna kappa = praktik menggunakan penasbih sebagai autoritas atau praktik melakukan sesuatu karena itu merupakan hal yang dipraktikkan oleh penasbis. Dengan kata lain, tidak ada pembenaran tentang pelanggaran vinaya walau penabisnya juga melakukan. Namun apabila apa yang dilakukan penasbis adalah baik dan tidak bertentangan dengan vinaya, maka murid harus mengikutinya. Itulah mengapa dalam kasus ini, para Thera tidak menemukan pelanggaran dari praktik ini selama apa yang diikuti tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan vinaya.
  7. Amathita kappa = praktik minum air dadih susu setelah makan. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 35, yang melarang bhikkhu untuk makan berlebihan.
  8. Jalogim pātum = praktik minum jus palm yang berfermentasi tetapi belum menjadi tuak. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 51, yang melarang bhikkhu untuk minum-minuman keras. 
  9. Adasaka-nisīdanam kappa = praktik menggunakan alas (nisīdana) yang tidak berbordir untuk duduk. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 89.
  10. Jātarūpa-rajatam kappa = Praktik menerima emas dan perak. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Nissaggiya Pācittiya 18, yang melarang bhikkhu untuk menerima emas dan perak.

Bhikkhu Yasa, putra Kākaṇḍaka, mendengar berita ini dan pada saat itu ia sedang melakukan perjalanan di tengah-tengah penduduk Vajji. Ia sampai di Vesālī dan ia menetap di Mahāvana, di aula yang beratap segitiga. 

Pada saat itu para Bhikkhu Vajji dari Vesālī telah menempatkan kendi yang terbuat dari perunggu dan memenuhinya dengan air di tengah-tengah para bhikkhu Kemudian mereka berkata kepada umat awam untuk memberikan satu kāhapaṇa untuk Sangha dan setengah pādai dan satu māsaka bergambar dengan segera, karena akan ada yang harus dilakukan oleh Sangha sehubungan dengan barang-barang kebutuhan. 

Namun Bhikkhu Yasa melarangnya dengan mengatakan bahwa ini tidak sesuai. Kāhapaṇa, māsaka, emas, dan perak tidak diperbolehkan bagi para bhikkhu. Rupanya umat tidak menggubris perkataan Bhikkhu Yasa dan tetap memberikannya kepada para bhikkhu. Kāhapaṇa, māsaka, emas, dan perak itu akhirnya dikumpulkan oleh para bhikkhu Vajji dan membagikannya kesetiap bhikkhu. Mereka juga memberikan satu porsi emas untuk Bhikkhu Yasa, namun  Bhikkhu Yasa menolaknya karena ini tidak sesuai.

Karena Bhikkhu Yasa menolak pemberian mereka, akhirnya bhikkhu-bhikkhu Vajji memberikannya sangsi yang disebut sebagai Paṭisāraṇiyakamma. Paṭisāraṇiyakamma berarti kembali pada keramah-tamahan, dan itu memerlukan lebih dari permintaan maaf. Itu memerlukan pengokohan kepercayaan kembali. Mereka berpikir bahwa bhikkhu Yasa mencela dan menghina para umat yang berkeyakinan dengan menolak pemberian itu.

Kemudian Bhikkhu Yasa menemui orang-orang penduduk Vajji untuk menyampaikan maaf kepada mereka karena menurut bhikkhu Vajji, tindakannya adalah salah. Di saat Bhikkhu Yasa menyampaikan ini, dia juga menjelaskan apa yang semestinya dari ajaran Buddha, hingga akhirnya umat-umat percaya kalau Bhikkhu Yasa adalah satu-satunya bhikkhu pengikut Putra Sakya, sementara para bhikkhu Vajji bukanlah petapa yang sesungguhnya. Mendengar hal itu, para bhikkhu vajji berkumpul bersama untuk melakukan ukkhepanīyakamma atau tindakan resmi penangguhan terhadap Bhikkhu Yasa karena dia mengatakan kepada umat di luar perintahnya.

Bhikkhu Yasa mengirim utusan kepada para bhikkhu di Pāvā dan bhikkhu-bhikkhu yang tinggal di wilayah selatan Avantī untuk menghadiri pertanyaan resmi sebelum apa yang bukan Dhamma bersinar dam Dhamma tersembunyi, sebelum apa yang bukan vinaya bersinar dan vinaya tersembunyi, sebelum mereka yang mengatakan apa yang bukan Dhamma menjadi kuat dan mereka yang mengatakan Dhamma menjadi lemah, sebelum mereka yang mengatakan apa yang bukan Vinaya menjadi kuat dan mereka yang mengatakan Vinaya menjadi lemah.

Bhikkhu Yasa juga pergi meminta dukungan kepada Bhikkhu Sambhūta, seorang bhikkhu yang memakai jubah rami kasar yang tinggal di gunung Ahogaṅghā, untuk ikut hadir dalam acara ini. Bhikkhu Sambhūta pun menyetujui. Dan akhirnya terdapat enam puluh bhikkhu dari Pāvā berkumpul di lereng gunung Ahogaṅghā. Terdapat pula delapan puluh bhikkhu dari wilayah selatan Avantī. Semuanya adalah penghuni hutan (āraññikā), pemakan makanan yang didanakan (piṇḍapātikā), pemakai jubah dari kain buangan (paṃsukūlikā), pemakai tiga jubah (tecīvarikā), dan merupakan arahat.

Para bhikkhu Thera mempertimbangkan bahwa ini adalah masalah yang serius. Maka mereka meminta bantuan kepada Bhikkhu Revata Thera yang tinggal di Soreyya untuk memperkuat kelompok. Mereka tahu bahwa Bhikkhu Revata Thera adalah bhikkhu yang telah banyak mendengar, ia adalah seorang yang kepadanya tradisi diwariskan, ia adalah orang yang ahli dalam Dhamma, ahli dalam vinaya, dan ahli dalam topik-topiknya; bijaksana, berpengalaman, cerdas; teliti, seksama, dan senang dengan praktik.

Namun rupanya bukan hal yang mudah bagi para bhikkhu untuk menemui Bhikkhu Revata Thera. Mereka harus berkeliling ke mana-mana karena Bhikkhu Revata Thera menghindar dari mereka. Akhirnya mereka bertemu di Sahajāti. Setelah menceritakan semuanya, akhirnya Bhikkhu Revata Thera menyanggupinya.

Rupanya kelompok bhikkhu Vajji juga berpikir sama tentang Bhikkhu Revata Thera. Mereka merancang untuk mengundang Bhikkhu Revata Thera untuk berpihak kepadanya agar kelompoknya menjadi semakin kuat. Mereka mempersiapkan berbagai keperluan bhikkhu yang berlimpah untuk membujuknya. Mereka berlayar dengan perahu menuju Sahajāti. 

Setelah mereka sampai, mereka kemudian mempersembahkan semua perlengkapan bhikkhu yang dipersiapkannya kepada Bhikkhu Revata Thera. Namun Bhikkhu Revata Thera menolaknya karena dia sudah merasa cukup dengan tiga jubah yang dimilikinya. Kemudian mereka menemui Bhikkhu Uttara yang telah menjadi bhikkhu selama dua puluh tahun dan merupakan pelayan Bhikkhu Revata Thera.

Pada awalnya Bhikkhu Uttara menolak pemberian mereka, tetapi karena dibujuk lagi dan lagi akhirnya dia menerima satu jubah. Para bhikkhu Vajji meminta Bhikkhu Uttara untuk menyampaikan berita kepada Bhikkhu Revata Thera bahwa bhikkhu-bhikkhu dari Timur adalah bhikkhu pembabar Dhamma, sementara bhikkhu yang dari Pāvā bukanlah pembabar Dhamma. Setelah ini disampaikan, Bhikkhu Uttara diusir oleh Bhikkhu Revata Thera karena mencoba membujuknya untuk melakukan apa yang bukan Dhamma.

Pada saat itu Bhikkhu Sabbakāmi Thera sedang berdiam di Vesālī. Beliau adalah bhikkhu yang paling tua dalam saṅgha, dan memiliki vasa seratus dua puluh tahun. Beliau pernah berdiam di kuti Bhikkhu Ananda. Dan beliau adalah murid dari Bhikkhu Ananda sendiri. Kemudian Bhikkhu Sambhūta menceritakan permasalahan ini semua kepada Bhikkhu Sabbakāmi Thera. 

Akhirnya para bhikkhu pergi ke Vesālī untuk menyelesaikan permasalahan. Bhikkhu Revata kemudian pergi ke tengah-tengah perkumpulan para bhikkhu memecahkan masalah dengan cara Ubbāhikā (memecahkan masalah dengan menyerahkan ke tangan bhikkhu yang ditunjuk). Dia menunjuk empat bhikkhu dari Timur, empat bhikkhu dari Pāvā, untuk melakukan Ubbāhikā demi menyelesaikan sisa permasalahan. Empat bhikkhu thera dari Timur tersebut antara lain Bhikkhu Sabbakāmi, Sāḷha, Khujjasobhita, dan Vāsabhagāmika. Sementara empat bhikkhu thera dari Pāvā antara lain Bhikkhu Revata, Saṃbhūta, Yasa, dan Sumana. Mereka semua adalah arahant yang pernah bertemu dengan Sang Buddha sendiri. Bhikkhu Sabbakāmi, Sāḷha, Revata, Khujjasobhita, Yasa dan Saṃbhūta adalah murid dari Bhikkhu Ānanda. Sementara Bhikkhu Vāsabhagāmika dan Sumana adalah murid dari Bhikkhu Anuruddha (Mhv. IV. 57).

Bhikkhu Sabbakāmi Thera ditanyai satu persatu dari sepuluh poin itu dan dengan mengacu banyak sumber, ia menolak sepuluh poin tersebut karena itu tidak sesuai dengan tradisi. Setelah permasalahan sepuluh poin dijelaskan sebagaimana mestinya, mereka datang pada kesimpulan untuk menolak sepuluh poin yang dipraktikkan oleh sepuluh ribu bhikkhu Vajji tersebut karena sepuluh poin tersebut bertentangan dengan Dhamma dan Vinaya, dan bukan intruksi Sang Buddha. 

Dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengulang Dhamma dan Vinaya bersama-sama. Bhikkhu Revata thera di bawah perlindungan Raja Kālāsoka menyusun Dhamma di Valukarama atau Vālikārāma dengan dibantu oleh tujuh ratus bhikkhu terpelajar. Dikatakan dalam Mahāvaṃsa tujuh ratus bhikkhu yang dipilih oleh Bhikkhu Revata tersebut adalah arahant yang memiliki empat pengetahuan spesial, pemahaman arti, dan mengetahui Tipitaka (Mhv. IV. 62). Bhikkhu Sabbakāmi Thera berperan sebagai sesepuh sangha, sementara Bhikkhu Revata thera berperan sebagai pemimpin. Ini berlangsung selama delapan bulan di gedung yang bernama Kūṭāgāra (Dpv. V. 30).

     Menurut Mahāvaṃsa, sepuluh ribu bhikkhu yang menerima sepuluh poin tersebut akhirnya mengadakan konsili sendiri yang disebut sebagai Mahāsaṅghika (Mhv. V. p. 4). Sumber lain mengatakan bahwa sekitar lima belas tahun kemudian, bhikkhu yang bernama Mahādeva atau juga dikenal sebagai Bhadra, membuat lima pernyataan yang menentang status arahat. Kesucian arahat dari noda-noda batin dipertanyakan dengan lima poin yang diajukan oleh Bhikkhu Mahādeva. Lima poin tersebut antara lain:
  1. Arahat masih punya nafsu (atthi arahanto rago) 
  2. Arahat masih punya kebodohan (atthi arahanto agñanaṃ)
  3. Arahat masih punya keragu-raguan (atthi arahanto kaṅkha)
  4. Arahat memperoleh pengetahuan melalui bantuan orang lain (atthi arahanto paravitarana)
  5. Jalan dicapai dengan seruan ‘aho’ (samapannassa atthi vacibhedo)

Semua dari lima poin tersebut hanya ditemukan dalam literatur dalam bahasa Cina. Secara spesifik lima poin tersebut menentang status Arahat yang di dalam Theravada dianggap sebagai orang yang telah terbebaskan. Status Arahat di dalam Theravada menjadi tujuan untuk dicapai. Sementara mereka menentangnya dengan lima poin tersebut dan memperkenalkan konsep baru dengan mengangkat derajat tujuan mereka untuk menjadi Buddha, bukan untuk menjadi arahat. 

Warder telah memberikan ringkasan mengenai lima poin tersebut demikian:
“Arahat tidak menunjukkan nafsu kepada manusia wanita, tetapi mereka memiliki kertertarikan di antara apsaras (kecantikan surga). Mereka menikmatinya dalam mimpi-mimpi. Mereka bertanya nama dan detail dari orang-orang yang datang kepada mereka karena mereka tidak tahu tentang informasi demikian. Para Arahat terlihat bertanya arah di persimpangan jalan dan itu membuktikan keragu-raguan mereka. Arahat memperoleh kearahatan dengan mendengarkan Dhamma dari Sang Buddha. Faktanya Sang Buddha memanipulasi pikiran mereka dan menegakkannya dalam pencapaian. Terdapat banyak laporan bahwa beberapa arahat berseru atas claim-claim pemahaman mendadak seperti ‘aho dukkhaṃ’ (O! Suffering!).”

Bhikkhu Thera menjelaskan bahwa arahat tidak memiliki mimpi-mimpi sensual. Pencapaian arahat bukan berarti mengetahui nama-nama benda atau orang-orang di seluruh isi dunia. Ketika arahat bertanya tentang arah jalan bukan berarti pencapaian kearahatannya hilang. Mengenai seruan, memang beberapa orang mengucapkan seruan ketika mencapai jhana pertama, namun bukan pencapaian yang lebih darinya.

Karena tidak percaya pada perkataan para Thera, para bhikkhu yang utamanya adalah pendukung bhikkhu Mahādeva melakukan voting. Bhikkhu-bhikkhu muda ikut berpihak kepada mereka sehingga mereka memiliki kekuatan yang lebih kuat. Menurut Chandima Wijebandara, banyak bhikkhu biasa memilih berpihak kepada Mahādeva, karena kemungkinan mereka tidak mau memperluas kelonggaran vinaya mereka (Wijebandara, Chandima. Development of Buddhist Thought. p. 14). Akhinya mereka melakukan konsili sendiri yang disebut Mahāsaṅgiti. Disebut sebagai Mahāsaṅgiti karena kelompok ini diikuti oleh mayoritas bhikkhu, bhikkhuni bahkan mayoritas pendukung umat awam. Sejak saat itu, sangha terbagi menjadi dua sekte, yaitu Sthaviravāda dan Mahāsaṅghika.

Menurut Mahāvaṃsa, in terbentuk setelah para bhikkhu Thera menolak sepuluh poin yang dipraktikkan oleh bhikkhu-bhikkhu Vajji. Sementara sumber-sumber menurut versi Mahāyāna, ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan ajaran dan ketidakpuasan dengan para bhikkhu vesali dengan interpretasi baru tentang arahat. Dari kedua sumber tersebut, sumber dari versi Mahāyana kelihatannya lebih tepat karena memang Mahāsaṅghika sendiri memperkenalkan konsep baru yang menekankan setiap orang harus menjadi Buddha, bukan menjadi Arahat. Karena menurutnya Buddha adalah makhluk transenden, kekal, sementara arahat belum mencapai kesempurnaan secara komplit. Dari situ, mereka tidak menyetujui pencapaian nibbāna melalui tiga cara sebagaimana yang diterima oleh Theravāda. 

    Menurut Theravada, seseorang bisa mencapai nibbana melalui tiga cara, Sammāsambuddha, Paccekabuddha, dan arahat. Tetapi bagi Mahāsaṅghika, mereka menegaskan bahwa hanya dengan Sammāsambuddha seseorang bisa mencapai nibbāna.

     Dīpavaṃsa mencatat bahwa mereka memalsukan banyak sutra dan menyuruh bhikkhu-bhikkhu untuk mengarang cerita demi menyangkal pandangan lain. Mereka menolak beberapa teks-teks Theravāda, dan menambahkan pandangan mereka ke dalam Sutta dan Vinaya Pitaka.  Mereka menolak Parivara, Patisambhidamagga, Niddesa, beberapa Jataka, dan enam buku dari Abhidhamma Pitaka dan membuat penggantinya yang baru (Dpv. V. 36-37). Tetapi mereka memiliki Sutta, Vinaya, dan Abhidhamma Pitaka sendiri yang disebut sebagai Pancamatuka, yang hanya terdiri dari lima buku.

Menurut Prof. G.D. Sumanapala, sebenarnya sejak Sang Buddha masih hidup, terdapat banyak bhikkhu dan bhikkhuni yang tidak begitu suka dengan Arahat dan Sang Buddha sendiri. Mereka ingin hidup lebih bebas dan ingin mengubah vinaya. Bhikkhu Devadatta, para bhikkhu di Kosambi, Chabbagiya, Sati, Meghiya, Nagasamala, Nagita, Upavana, Radha adalah contoh dari mereka yang berusaha menentang Arahat dan Sang Buddha. Namun tendensi tersebut belum keluar ketika Sang Buddha masih hidup. Setelah Sang Buddha wafat, mereka mengorganisasikan diri mereka dan akhirnya mereka menjadi komunitas yang sangat kuat sampai konsili Buddhis kedua. Apa yang terjadi setelah konsili kedua ini, sebenarnya sudah terancang lama. Tidaklah heran apabila sasaran mereka adalah untuk merendahkan status arahat. Di tambah lagi dalam konsili pertama, para Thera bersikeras untuk tidak merubah atau menambah peraturan-peraturan yang sudah ada sementara Sang Buddha sendiri sebenarnya telah mengijinkan untuk merubah peraturan-peraturan kecil apabila dibutuhkan. 

Poin penting yang lain dalam konsili ini, Kanon Pali juga mengalami perkembangan. Para sarjana memperkirakan bahwa dalam periode ini Sutta Pitaka berkembang dengan ditambahkannya teks-teks dalam Khuddaka Nikāya, seperti Dhammapada dan Sutta Nipata sebagai bagian terpisah. Sementara dalam Vinaya Pitaka, dua teks yaitu Mahāvaggapāli dan Cullavaggapāli yang termasuk dalam bagian Khandhaka, ditambahkan dalam konsili ini. Dalam Cullavaggapāli, terdapat penjelasan tentang konsili pertama dan kedua. Ini menunjukkan bahwa kitab ini disusun setelah kejadian konsili kedua dan sebelum konsili ketiga, karena kejadian konsili ketiga tidak disebutkan. Dalam periode konsili kedua menuju ke konsili ketiga, kemungkinan besar, kitab-kitab Abhidhamma mulai disusun dan Abhidhamma Pitaka resmi menjadi bagian ketiga dari Tipitaka setelah di tambahkannya kitab Kathāvatthuppakaraṇa yang ditulis oleh Bhikkhu Mogaliputtatissa di konsili ketiga.

No comments:

Post a Comment