Setelah konsili kedua diadakan, Sangha terpisah menjadi dua kelompok yang dikenal sebagai Sthaviravāda dan Mahāsaṅghika. Dalam periode konsili ke dua menuju konsili ke tiga ini, dua kelompok tersebut terpecah lagi manjadi delapan belas sekte. Dua belas cabang muncul dari Sthaviravāda dan tujuh cabang muncul dari Mahāsaṅghika. Catatan sejarah Sri Lanka, Mahāvaṃsa, menyebutkan sebagai berikut (Mhv. V. 5-10):
- Sthaviravāda = Mahiṃsāsakā (Mahīśāsaka), Sabbattha (Sarvāstivāda), Kassapiyā (Kāśyapīya), Saṃkantika (Sankrantika), Sutta (Sautrāntika), Dhammagupttika (Dharmaguptaka), Vajjiputtiya (Vatsīputrīya), Dhammuttariyā (Dharmottarīya), Bhadrayānika (Bhadrayānīya), Chandāgārikā (Sannāgarika), Saṃmitī (Samitīya).
- Mahāsaṅghika= Gokulika, Paṇṇatti (Prajñaptivāda), Bahulikā (Bahuśrutīya), Ekavyahārika, Cetiya (Caitika).
Konsili ketiga diadakan di abad ke tiga SM di saat bertahtanya raja Asoka. Dalam tradisi Theravada, ini dianggap sebagai konsili terakhir yang diadakan di India. Alasan yang mendasari diadakannya konsili ini adalah tentang masuknya bhikkhu-bhikkhu heretik ke dalam komunitas Sangha.
Meskipun konsili ini dianggap sebagai konsili yang sangat penting dalam perkembangan Buddhisme, tetapi sejarah ini tidak dituliskan di dalam sumber-sumber utama, Kanon Pali. Tidak seperti sejarah konsili pertama dan kedua, berita tentang diadakannya konsili ketiga ini tidak ditemukan di dalam Cullavagga Pali, di Vinaya Pitaka. Namun kisah berlangsungnya konsili ketiga ini dapat kita temukan di kitab komentar dari Vinaya Pitaka (Samantapāsādika) dan catatan-catatan sejarah Sri Lanka (Dīpavaṁsa, Mahāvaṁsa, dan Mahābodhivaṁsa).
Konsili ketiga kembali diadakan 236 tahun setelah parinibbāna Sang Buddha atau 118 tahun setelah konsili kedua diadakan. Konsili ini diadakan di Pataliputta selama sembilan bulan dan didukung oleh Raja Asoka. Bhikkhu Mogaliputtatissa thera berperan sebagai pemimpin dan seribu bhikkhu ortodok yang dipilihnya ikut serta dalam konsili ini.
Dikisahkan bahwa Raja Asoka dulunya adalah orang yang sangat kejam. Makanya ia dikenal sebagai Caṇḍāsoka. Dia naik tahta setelah membunuh saudara-saudaranya. Ayahnya, Bindusāra, memiliki seratus putra dari ibu yang berbeda-beda. Asoka membunuh sembilan puluh sembilan saudaranya. Dia juga telah membunuh ribuan orang saat perang Kalinga. Setelah melihat mayat-mayat yang berserakan dengan darah di mana-mana ia menjadi jijik dan tidak senang. Ketika ia sedang di istana ia melihat samanera Nigroda yang sedang berjalan menyebrangi kebun istana. Lalu ia meminta pembantunya untuk memanggilnya ke dalam istana. Raja melayaninya dengan berbagai makanan keras dan lunak. Setelah itu mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai ajaran Sang Buddha. Setelah mendengar nasihat dari samanera tentang appamādavagga, Raja Asoka menjadi sadar dan akhirnya ia pindah menjadi Buddhis. Sejak itu ia mendukung para bhikkhu dengan memberikan persembahan secara rutin.
Setelah menjadi raja yang berpedoman pada moral-moral Buddhis, Raja Asoka dengan kekayaan berlipah yang dimilikinya, ia tidak tanggung-tanggung membangung delapan puluh empat ribu vihara. Dia juga membangun Asokārāma. Semua kebutuhan para bhikkhu disediakannya.
Pada saat ini, popularitas Buddhisme meningkat setelah Raja Asoka mendukung Buddhisme. Para petapa di sekte lain sedang berada dalam kondisi lemah karena dukungan yang kurang. Melihat kedermawanan raja dalam mendukung para bhikkhu putra Sakya, terdapat orang-orang yang berniat buruk ikut memasuki Sangha dengan tujuan untuk mendapatkan kebutuhan hidup yang disediakan oleh raja. Para petapa dari sekte lain yang sedang mengalami masalah karena kurang dukungan pun akhirnya sembunyi-sembunyi menyamar menjadi bhikkhu di bawah kumpulan para bhikkhu Sakya. Bhikkhu-bhikkhu heretik yang masuk ke dalam komunitas para bhikkhu mencemari Dhamma-vinaya karena mereka mengajarkan apa yang bukan Dhamma-vinaya. Para petapa dari sekte lain tersebut masih melanjutkan pandangannya dan mengajarkannya kepada umat seolah-olah ajaran Buddha. Akibatnya banyak kebingungan tentang Dhamma-vinaya dan banyak pula interpretasi-interpretasi salah tentang ajaran Buddha. Perpecahan dalam Sangha juga membawa masalah semakin rumit. Bahkan diceritakan selama tujuh tahun tidak ada kegiatan uposatha dan pavarana oleh para bhikkhu.
Dengan aggapan untuk menegakkan kembali peraturan di antara para bhikkhu, Raja Asoka mengutus duta untuk membujuk para bhikkhu di Asokarama untuk mengadakan uposatha. Namun Raja Asoka tidak memberikan utusan secara spesifik tentang apa yang mesti dilakukan. Para bhikkhu menolak untuk mengadakan uposatha bersama dengan bhikkhu-bhikkhu heretik. Karena marah, menteri yang diutus oleh raja memutuskan sendiri untuk memenggal satu persatu bhikkhu yang menentang perintahnya. Hingga akhirnya sampailah pada bhikkhu yang merupakan saudara dari Raja Asoka sendiri, Bhikkhu Tissa. Karena terkejut, akhirnya mereka berhenti membunuh dan kembali kepada raja untuk memberitakan semua kejadian ini. Raja Asoka sangat terkejut mendengar ini dan ingin mengetahui apakah dia harus bertanggung jawab atas semua kejadian ini. Para bhikkhu kemudian mengutusnya untuk menemui bhikkhu yang paling senior, Bhikkhu Mogaliputtatissa Thera.
Setelah kejadian ini diceritakan, Bhikkhu Mogaliputtatissa Thera pun juga ikut prihatin melihat tingkah para bhikkhu heretik. Dengan intruksi para bhikkhu thera, Raja Asoka mengumpulkan para bhikkhu dan menanyainya satu-persatu tentang ajaran Buddha yang sesungguhnya. Para bhikkhu yang memegang pada jawaban heretik akhirnya diminta lepas jubah dan Raja Asoka menyediakan pakaian dan pekerjaan untuk mereka. Terdapat enam puluh ribu bhikkhu heretik yang diminta lepas jubah. Sisanya 6.000.000 bhikkhu yang dikatakan sebagai Vibhajjavada, atau pengikut ajaran Buddha yang dikatakan Bhikkhu Mogaliputtatissa Thera sebagai ajaran Buddha yang sesungguhnya.
Setelah menolak pandangan-pandangan heretik dan mengembalikan enam puluh ribu bhikkhu-bhikkhu heretik kembali menjadi umat awam, Bhikkhu Mogaliputtatissa Thera menyusun buku yang disebut sebagai Kathāvatthuppakarana. Buku ini mencatat dua ratus enam belas poin-poin kontroversi yang dibagi menjadi dua puluh tiga bab. Hasil tulisan ini dimasukan ke dalam Abhidhamma Pitaka dan pada saat ini pula Abhidhamma Pitaka komplit menjadi tujuh buku diantaranya:
- Dhammasaṅgaṇī
- Vibhaṅga
- Dhatukathā
- Puggalapaññatti
- Kathāvatthu
- Yamaka
- Paṭṭhāna
Dari 6.000.000 bhikkhu ortodok, hanya 1000 bhikkhu arahat yang telah menguasai Tipiṭaka, memiliki Kemampuan Analisis (paṭisambhidā) dan Tiga Pengetahuan (Tevijjā) yang dipilih untuk mengadakan konsili. Akhirnya seribu bhikkhu ortodok berkumpul bersama dan mengadakan konsili ke tiga di Pataliputta. Mereka mengulang kembali Tipitaka untuk menegakkan kembali kemurnian Kanon.
Raja Asoka berkehendak untuk mengirim para misionaris untuk menyebarkan Dhamma ke seluruh penjuru. Atas petunjuk dari Bhikkhu Mogaliputtatissa Thera, Raja Asoka mengutus bhikkhu-bhikkhu misionaris ke sembilan tempat. Kitab Mahāvaṃsa memberikan detail tentang nama-nama para bhikkhu yang diutus dengan nama-nama tempatnya sebagai berikut:
- Kashmir oleh Bhikkhu Majjhantika Thera
- Mahisamandala, oleh Bhikkhu Mahādeva Thera
- Vanavasi oleh Bhikkhu Rakkhita Thera
- Aparantaka oleh Bhikkhu Yona-Dhammarakkhita Thera
- Maharattha oleh Bhikkhu Dhammarakkhita Thera
- Yonaloka oleh Bhikkhu Maharakkhita Thera
- Himavanta oleh Bhikkhu Majjhima Thera
- Suvannabhūmi oleh Bhikkhu Sona dan Bhikkhu Uttara Thera
- Thambapanni Sīhala Dīpa oleh Bhikkhu Mahinda Thera dengan empat bhikkhu (Itthiya Thera, Uttiya Thera, Sambala Thera, Bhaddasala Thera), satu samanera (Samanera Sumana), dan umat awam (upasaka Bhanduka) (Mhv. XII).
Konsili berakhir selama sembilan bulan di bawah dukungan Raja Asoka. Konsili ini diakhiri dengan upacara pavāraṇā (Mhv. V. 280).
Pengiriman misionaris ke Sri Lanka terbukti membawa hasil yang sangat nyata. Sejak Buddhisme diperkenalkan oleh Bhikkhu Mahinda Thera dan kelompoknya, kepada Raja Devanampiyatissa dan penduduk Sri Lanka, Buddhisme diterima sebagai agama negara.
Bhikkhu-sasana berdiri setelah Ariṭṭha bersama kawan-kawannya memasuki Sangha, menjadi bhikkhu. Sementara bhikkhuni-sasana berdiri ketika Putri Anulā dan para wanita menjadi bhikkhuni setelah Bhikkhuni Sanghamita datang bersama pohon bodhi yang dibawa dari India karena undangan raja untuk mendirikan bhikkhuni-sasana di negara Sri Lanka. Bhikkhu Mahinda dan Bhikkhuni Sanghamita adalah anak kandung dari Raja Asoka sendiri.
Tujuan dari penyebaran misionaris tersebut selain untuk memperkenalkan Buddhisme, tetapi juga untuk memperkenalkan Kanon Pali. Perkembangan yang terjadi di Sri Lanka cukup membawa pengaruh besar dalam perkembangan literatur Buddhis.
Hasil diadakannya konsili ketiga ini secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:
- Pemurnian Buddha-sasana dari pandangan-pandangan heretik dengan mengembalikan enam puluh ribu bhikkhu yang berpandangan heretik ke kehidupan umat awam lagi.
- Penyelesaian Abhidhamma Pitaka dengan ditambahkannya Katthavathu yang disusun oleh Bhikkhu Mogaliputtatissa Thera.
- Pengiriman para misionaris bhikkhu untuk memperkenalkan Buddhisme ke berbagai daerah bahkan sampai ke negara-negara di luar India yang didukung oleh Raja Asoka.