Konsili pertama diadakan sesegera mungkin setelah Sang Buddha mencapai mahāparinibbāna. Tiga bulan atau seratus hari setelah Buddha wafat, konsili pertama diadakan di gua Sattapanni, di dekat kota Rajagaha.
Alasan utama yang mendasari diadakannya konsili ini adalah perkataan buruk yang diucapkan oleh Bhikkhu Subhadda setelah Sang Buddha wafat. Bhikkhu Subhadda adalah seorang bhikkhu yang belum mencapai tingkatan tertentu dari pemahaman Dhamma. Dia memasuki Sangha atau menjadi bhikkhu di usia yang sudah cukup lanjut.
Dia menjadi sāmaṇera ketika Sang Buddha berkunjung ke Ātumā. Sebelum meninggalkan kehidupan rumah tangga, ia mempunyai dua anak laki-laki. Ketika ia mendengar bahwa Sang Buddha akan datang, dia mengutus kedua putranya untuk mempersiapkan berbagai macam makanan untuk Sang Buddha dan seribu dua ratus lima puluh bhikkhu yang menemaninya. Sang Buddha sampai di tempat kediamannya, di Ātumā, di malam hari, tetapi sepanjang malam dia pergi memberikan intruksi mengenai persiapan makanan.
Di pagi hari berikutnya, Sang Buddha pergi berpindapata. Dia mencoba untuk mengundang Sang Buddha ke tempat kediamannya, tetapi Sang Buddha menolaknya dan memberitahu kepada para bhikkhu yang lain untuk tidak menerimanya setelah mendengarkan caranya mempersiapkan makanan.
Ini yang membuatnya marah dan menyimpan masalah ini dalam hati karena tak berani mengungkapkan. Namun setelah Sang Buddha wafat, ia berasa memiliki kesempatan untuk menumpahkan semua kemarahannya dengan mengucapkan kata-kata buruk kepada para bhikkhu.
Sebagaimana yang dikisahkan dalam Mahāparinibbāna Sutta dan Cūḷavaggapali, para bhikkhu yang belum mencapai kesucian terlihat sedih dan menangis karena Sang Buddha telah wafat. Melihat mereka yang sedang bersedih, Bhikkhu Subhadda berkata: “Cukup, teman, jangan menangis dan bersedih! Kita sekarang sudah bebas dari Mahāsamana. Kita dulu tertekan bahwa ini diijinkan dan ini tidak diijinkan. Sekarang kita bisa melakukan apa yang kita inginkan. Apa yang tidak kita inginkan, tidak akan kita lakukan (D. II. 163; Cūḷavaggapali. II. 162).
Bhikkhu Mahā Kassapa Thera yang sedang menempuh perjalanan menuju tempat di mana tubuh Sang Buddha akan dikremasikan, dari kota Pāvā ke Kusināra, mendengar perkataan yang diucapkan oleh Bhikkhu Subhadda. Setelah mendengar perkataan itu, Bhikkhu Mahā Kassapa Thera bergagasan untuk mengadakan konsili sesegera mungkin.
Tujuannya adalah untuk mengulang Dhamma dan Vinaya sebelum apa yang bukan Dhamma bersinar dam Dhamma tersembunyi, sebelum apa yang bukan vinaya bersinar dan vinaya tersembunyi, sebelum mereka yang mengatakan apa yang bukan Dhamma menjadi kuat dan mereka yang mengatakan Dhamma menjadi lemah, sebelum mereka yang mengatakan apa yang bukan Vinaya menjadi kuat dan mereka yang mengatakan Vinaya menjadi lemah (Vin. ii. 284).
Perkataan buruk yang diucapkan oleh Bhikkhu Subhadda menjadi pengingat bagi Bhikkhu Mahā Kassapa Thera untuk segera mengambil tindakan demi masa depan Buddhasāsana. Dia berpikir jika bhikkhu-bhikkhu berucap seperti apa yang diucapkan Bhikkhu Subhadda, bahkan sebelum jasad Sang Buddha dikremasikan, lantas bagaimana dengan masa depan.
Perkataan Bhikkhu Subhadda tersebut memang menjadi cambukan keras untuk mengadakan konsili, tetapi tentu itu bukanlah satu-satunya alasan yang mendorong untuk diadakannya konsili. Perilaku sekelompok bhikkhu dan interpretasi-interpretasi salah dari bhikkhu-bhikkhu yang khususnya datang dari agama lain, kemungkinan juga mempengaruhi untuk diadakannya konsili pertama. Bahkan ketika Sang Buddha sendiri masih hidup, hal semacam ini telah terjadi.
Chabbaggiyā bhikkhu adalah salah satu contoh kelompok bhikkhu yang kerap kali membuat masalah. Kosambiya Sutta menceritakan perselisihan antara sekolompok bhikkhu Dhammadhara dan Vinayadhara (M. i. 321). Selain itu, kita bisa melihat bagaimana kisah Bhikkhu Devadatta dan pengikutnya yang berusaha memecah belah saṅgha dengan mengajukan lima hal peraturan tambahan, bahkan ketika Sang Buddha masih hidup. Lima usulan Bhikkhu Devadatta itu antara lain:
- Bhikkhu seumur hidupnya harus tinggal di hutan.
- Bhikkhu seumur hidupnya harus mencari makanannya hanya dengan berpiṇḍapāta.
- Bhikkhu seumur hidupnya harus menggunakan jubah dari kain usang.
- Bhikkhu seumur hidupnya harus tinggal di bawah pohon.
- Bhikkhu seumur hidupnya harus tidak makan daging atau ikan.
Sementara Sang Buddha menolak usulan Bhikkhu Devadatta tersebut dan menegaskan bahwa siapapun yang ingin mempraktikkannya, dipersilakan, tetapi bagi yang tidak mau, biarkan berjalan sebagaimana adanya.
Interpretasi-interpretasi salah mengenai ajaran Buddha juga muncul ketika Buddha masih hidup. Mahātaṇhasankhaya Sutta melaporkan bahwa Bhikkhu Sati salah memahami ajaran Buddha bahwa kesadaran yang sama berlari dan mengembara sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain. Sementara menurut Buddha, kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal mula kesadaran (M. i. 255).
Dalam Alagaddūpama Sutta diceritakan bahwa Bhikkhu Aṛṛitha juga salah memahami ajaran Buddha bahwa apa yang disebut rintangan oleh Buddha tidak dapat merintangi seseorang yang terlibat di dalamnya. Sementara Buddha, dalam beberapa kesempatan telah mengatakan bahwa kesenangan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, keputusasaan, dan masih banyak lagi (M. i. 131).
Perilaku para bhikkhu dan misinterpretasi-misinterpretasi yang diberikan oleh para bhikkhu mendorong para Thera untuk membahas masalah-masalah yang muncul dengan damai. Kalau tidak, perilaku buruk dan misinterpretasi-misinterpretasi terhadap ajaran Buddha akan semakin banyak.
Kekisruhan antara pengikut Mahavira setelah gurunya meninggal, menjadi latar belakang Sang Buddha membabarkan Sāmagāma Sutta, agar hal yang sama tidak terjadi setelah Sang Buddha meninggal (M. II. 246). Selain itu, pesan Sang Buddha untuk menjadikan Dhamma dan Vinaya sebagai penggantinya setelah dia wafat (D. II. 154), menjadi penggerak para Thera karena ini adalah kewajiban kita semua.
Seratus hari atau tiga bulan setelah Sang Buddha wafat akhirnya gagasan untuk mengadakan konsili terwujud. Ini terjadi di sekitar tahun 543 S.M. Konsili ini diadakan di gua Sattapaṇṇi, Rajagaha. Ini terletak di lereng gunung Vebhāra, di mana pohon Sattapaṇṇi (alstonia scholaris) yang agung tumbuh. Sejak Sang Buddha masih hidup, gua ini digunakan sebagai tempat singgah para bhikkhu tamu karena ini dekat dengan salah satu jalan-jalan jaringan sibuk untuk orang-orang yang datang dari jarak jauh (Vin. ii. 76; iii. 159). Dikatakan dalam Mahavaṃsa, ini seperti gedung pertemuan para dewa (Mhv. iii. 20).
Konsili ini berlangsung selama masa Vassana. Satu bulan pertama digunakan untuk mempersiapkan dan memperbaiki bangunan. Sementara dua bulan berikutnya adalah berlangsungnya konsili (Vin. ii. 285). Para bhikkhu yang tidak ikut dalam konsili ini tidak diperkenankan tinggal di Rajagaha selama konsili berlangsung (ibid). Dan konsili ini berakhir sampai tujuh bulan (Mhv. iii. 37).
Konsili ini didukung oleh Raja Ajatasattu di tahun kedelapan kepemimpinannya. Sebuah gedung besar didirikan di depan gua untuk tujuan konsili ini. Pintu masuk gua didekorasi dengan seni yang terbuat dari batu. Raja juga menyiapkan matras untuk para bhikkhu sesuai dengan jumlah bhikkhu yang akan berpartisipasi. Sebuah gedung ekstra didirikan dengan banyak ruangan untuk menyimpan makanan dan keperluan lain untuk lebih dari sembilan ratus bhikkhu. Raja Ajatasattu menyediakan semua makanan dan keperluan lainnya untuk para bhikkhu yang berpartisipasi dalam konsili.
Bhikkhu Mahā Kassapa Thera memimpin pelaksanaan konsili ini. Empat ratus empat puluh sembilan arahat ditunjuk oleh Bhikkhu Mahā Kassapa Thera untuk berpartisipasi dalam konsili ini. Para bhikkhu kemudian mengajukan usul kepada Bhikkhu Mahā Kassapa Thera untuk mengundang Bhikkhu Ānanda. Walaupun Bhikkhu Ānanda masih dalam tahap berlatih, dia tidak mungkin mengikuti jalan salah melalui nafsu, kemarahan, kebodohan, ketakutan; dan dia pun telah menguasai banyak Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha.
Ini karena Bhikkhu Ānanda telah menjadi pelayan pribadi Sang Buddha dan telah mendengar seluruh ajaran Sang Buddha karena sebelum dia dipilih menjadi pelayan pribadi Sang Buddha ia pernah mengajukan persyaratan-persyaratan, yang salah satunya adalah memohon kepada Sang Buddha untuk mengulang Dhammadesana yang diberikan Sang Buddha ketika Bhikkhu Ānanda tidak hadir pada saat itu. Itulah mengapa Bhikkhu Ānanda juga disebut sebagai Bendaharawan Dhamma atau Dhamma Bhāṇḍāgārika. Selain itu Sang Buddha sendiri juga telah memuji Bhikkhu Ānanda karena memiliki daya ingat yang luar biasa.
Mengingat pentingnya Bhikkhu Ānanda, akhirnya Bhikkhu Mahā Kassapa Thera mengundangnya untuk turut berpartisipasi dalam konsili ini. Karena merasa belum mencapai Arahat, sementara para bhikkhu yang dipilih semuanya adalah arahat, maka Bhikkhu Ānanda berpikir “Besok adalah hari pertemuan, tidak selayaknya bagiku yang masih berlatih, pergi ke pertemuan itu.”
Akhinya ia berjuang keras untuk segera mencapai Arahat. Dikisahkan bahwa Bhikkhu Ānanda keras semalaman. Namun karena tidak kunjung berhasil, sementara malam hampir berlalu, dia memutuskan untuk beristirahat sebentar. Ketika ia sedang merebahkan tubuh, yaitu ketika kepala belum menyentuh alas tidur dan ketika kaki telah terangkat dari tanah. Di interval waktu itulah batinnya terbebaskan dari seluruh kekotoran batin. Ia mencapai kearahatan sehari sebelum konsili diadakan. Jadi genaplah lima ratus arahat bhikkhu berpartisipasi dalam konsili ini.
Tujuan diadakannya konsili Buddhis yang pertama ini adalah untuk mengumpulkan semua ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah beliau babarkan selama empat puluh lima tahun. Para Thera menyadari betapa pentingnya konsili ini demi keberlangsungan Buddhasāsana di masa depan. Itulah mengapa para bhikkhu yang hadir dalam konsili ini bukanlah bhikkhu-bhikkhu biasa, tetapi mereka adalah para Arahat yang telah menguasai betul ajaran Buddha yang sesungguhnya.
Dalam konsili ini, Bhikkhu Upāli yang dikenal sebagai bhikkhu yang ahli dalam vinaya ditunjuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang vinaya. Bhikkhu Upāli menguraikan pertanyaan yang diajukan oleh Bhikkhu Mahā Kassapa Thera yang diawali tentang pelanggaran pārājika, latar belakangnya, pelakunya, apa yang ditetapkan, apa yang ditetapkan lebih lanjut, apa yang merupakan pelanggaran, dan apa yang bukan merupakan pelanggaran (Vin. ii. 286). Demikian pembahasan vinaya terus berlanjut dan Bhikkhu Upāli menguraikannya satu demi satu dengan baik. Yang menjadi ciri khas dari pembahasan vinaya ini adalah Bhikkhu Upāli selalu mengawalinya dengan kalimat ‘Tena samayena’ atau ‘pada kesempatan itu’. Setelah di uraikan oleh Bhikkhu Upāli, para bhikkhu yang lain mengulangnya setelahnya (Mhv. iii. 33).
Sementara Bhikkhu Ānanda yang dikenal sebagai Bendaharawan Dhamma atau Dhamma Bhāṇḍāgārika, dalam konsili ini ditunjuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Dhamma. Bhikkhu Ānanda duduk di atas kursi yang disiapkan untuk berkotbah, menguraikan seluruh Dhamma. Pembahasan dimulai dengan Brahmajāla Sutta; tempat pembabarannya, kepada siapa khotbah disampaikan, dan latar belakangnya. Bhikkhu Ānanda selalu mengawali pembahasan dengan kalimat ‘Evaṃ me sutaṃ’ atau ‘demikian telah saya dengar’.
Dalam konsili ini pula Bhikkhu Ānanda melaporkan bahwa sebelum wafat Sang Buddha mengijinkan kepada Saṅgha untuk merubah peraturan-peraturan ringan (khuddānukhuddakāni sikkhāpadāni) bila itu diperlukan. Namun karena Bhikkhu Ānanda tidak bertanya kepada Sang Buddha tentang apa yang dimaksud peraturan-peraturan ringan tersebut, Bhikkhu Mahā Kassapa Thera meminta pendapat kepada para Thera yang lainnya. Para Thera memberikan definisi yang berbeda-beda.
- Beberapa mengatakan bahwa kecuali empat pārājikā, maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
- Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā dan tiga belas saṅghādisesa, maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
- Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā, tiga belas saṅghādisesa, dan dua aniyata, maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
- Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā, tiga belas saṅghādisesa, dua aniyata, dan tiga puluh nissaggiya pācittiya maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
- Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā, tiga belas saṅghādisesa, dua aniyata, tiga puluh nissaggiya pācittiya, dan sembilan puluh pācittiya, maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
- Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā, tiga belas saṅghādisesa, dua aniyata, tiga puluh nissaggiya pācittiya, sembilan puluh pācittiya, dan empat pāṭidesanīya maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
Kemudian Bhikkhu Mahā Kassapa Thera mengajukan usul bahwa terdapat peraturan-peraturan kita yang berpengaruh kepada umat perumah tangga dan perumah tangga tahu tentang kita. Jika kita hendak menghapuskan peraturan-peraturan latihan kecil dan minor maka akan ada di antara mereka yang mengatakan: “Hingga pada saat kremasi Beliau, peraturan-peraturan latihan telah ditetapkan oleh Petapa Gotama untuk para siswa-siswanya; sewaktu Sang Guru masih ada di tengah-tengah mereka, mereka berlatih dalam peraturan-peraturan latihan, tetapi karena Sang Guru telah mencapai mahāparinibbāna, sekarang mereka tidak lagi berlatih peraturan-peraturan latihan.”
Karena tidak ada kesepakatan tentang apa yang disebut sebagai peraturan minor itu, akhirnya mereka memutuskan untuk tidak mengubah peraturan maupun menambah peraturan yang baru. Mereka tetap akan menjalankan semua vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha tanpa adanya revisi ataupun adisi. Mereka tetap berpegang pada prinsip bahwa Vinaya adalah hidup dan dasar dari Sāsana.
Dalam pembahasan ini terlihat jelas bahwa hanya Dhamma dan Vinaya yang diulang di konsili pertama ini. Di sana tidak disebutkan tentang pembahasan Abhidhamma. Itulah mengapa menurut Warder, dalam sekte Theravāda dan Mahāsaṅgika, tidak menyebutkan pembahasan tentang Abhidhamma. Namun dalam sekte Sarvastivada dan Dhammagupta mengatakan bahwa Abhidhamma diulang oleh Bhikkhu Ananda. Menurut catatan kejadian yang lain, Matika atau skema Abhidhamma juga di ulang oleh Bhikkhu Ananda. Dalam kitab Samantapāsādikā, komentar dari Vinaya, tujuh buku dari Abhidhamma Pitaka juga diulang di sini, namun banyak sarjana yang menyangkalnya karena sangat jelas ini tidak disebutkan di sumber utama dan juga Kathāvatthuppakaraṇa jelas-jelas disusun belakangan di konsili ketiga oleh Bhikkhu Mogaliputtatissa Thera.
Setelah pengulangan Dhamma dan Vinaya, Bhikkhu Ānanda melaporkan bahwa Sang Buddha menginginkan hukuman Brahmadanda diberikan kepada Bhikkhu Channa. Ini adalah hukuman di mana Bhikkhu Channa boleh mengatakan apapun yang ia suka kepada para bhikkhu, tetapi Bhikkhu Channa tidak boleh diajak bicara, juga tidak boleh dinasihati atau diintruksi oleh para bhikkhu yang lain. Ini karena tindakan Bhikkhu Channa yang terlalu arogan dan sombong di hadapan para bhikkhu lain, merasa dirinya sangat berjasa besar kepada Sang Buddha ketika masih sebagai kusirnya. Karena dia Pangeran Siddhatta melihat empat peristiwa. Karena dia juga yang mengantarkan Pangeran meninggalkan istana. Sejak itu Bhikkhu Channa dikenal kejam dan keras. Namun setelah konsili berakhir dan hukuman ini diberikan kepadanya, Bhikkhu Channa menjadi menyesal dan akhirnya mengerahkan seluruh usahanya dalam penyendirian hingga akhirnya mencapai kesucian Arahat.
Di akhir konsili, Bhikkhu Ānanda yang walaupun telah berperan penting dalam konsili ini mendapat kritikan dari para bhikkhu thera. Terdapat lima hal yang membuat Bhikkhu Ānanda mendapat kritik dari para bhikkhu yang berkumpul dalam konsili itu. Lima hal itu antara lain:
- Bhikkhu Ānanda tidak mendapatkan definisi pasti tentang peraturan-peraturan minor ketika Sang Buddha mengijinkannya untuk dirubah bila diperlukan. Ketika kritikan ini diberikan kepadanya, Bhikkhu Ānanda mengakuinya karena pada saat itu dia sedang dalam situasi yang sedih karana Sang Buddha akan wafat.
- Bhikkhu Ānanda menginjak jubah musim hujan Sang Buddha sewaktu dia menjahitnya. Ketika kritikan ini diberikan kepadanya, Bhikkhu Ānanda mengakuinya tapi itu bukan karena tidak hormat, karena pada saat itu tidak ada seorang pun yang mampu membantunya menjahit jubah Sang Buddha.
- Bhikkhu Ānanda mengijinkan para wanita untuk menghormat kepada jasad Sang Buddha. Karena mereka menangis maka jasad Sang Buddha ternodai oleh air mata mereka. Ketika kritikan ini diberikan kepadanya, Bhikkhu Ānanda mengakuinya karena dia melakukan ini demi keyakinan para wanita yang datang dari jarak yang jauh untuk menghormat tubuh Sang Buddha untuk yang terakhir kalinya.
- Bhikkhu Ānanda tidak meminta Sang Buddha untuk melanjutkan hidupnya sampai beberapa kappa. Ketika kritikan ini diberikan kepadanya, Bhikkhu Ānanda mengakuinya karena pada saat itu dia sedang dalam pengaruh Mara.
- Bhikkhu Ānanda adalah perantara dalam pendirian Bhikkhuni Sāsana. Ketika kritikan ini diberikan kepadanya, Bhikkhu Ānanda mengakuinya dan menjelaskan bahwa dia melakukan ini sebagai bentuk penghormatan kepada Prajapati Gotami, bibi Sang Buddha, yang telah merawat dan mengasuh Sang Buddha sejak sejak kecil setelah ibunya meninggal (Vin. ii. 288)
Ketika lima kritikan yang disampaikan kepada Bhikkhu Ānanda oleh para bhikkhu yang hadir dalam konsili tersebut, Bhikkhu Ānada memberikan alasan satu persatu. Bhikkhu Ānada mengelak bahwa dia tidak melihat hal ini sebagai pelanggaran, namun karena dia menghormati para bhikkhu senior, dia mengakuinya.
Di dalam Dulva, terdapat dua tambahan kritikan lain yang diberikan kepada Bhikkhu Ānanda. Dua itu antara lain:
- Bhikkhu Ānanda gagal memberikan air minum kepada Sang Buddha meskipun Sang Buddha telah memintanya tiga kali. Sebagai jawabannya, Bhikkhu Ānanda menjawab bahwa air sungai sedang berlumpur.
- Bhikkhu Ānanda menunjukkan karakter privasi. Sebagai jawabannya, Bhikkhu Ānanda menjawab dengan menunjukkan bagian privasi akan membebaskan mereka yang gelisah dengan sensualitas.
Sebagai hasil dari diadakannya konsili pertama ini dapat kita ringkas menjadi empat poin. Mereka antara lain:
- Penyelesaian Vinaya oleh Bhikkhu Upāli
- Penyelesaian Dhamma oleh Bhikkhu Ānanda
- Kritikan yang ditujukkan kepada Bhikkhu Ānanda
- Hukuman brahmadanda yang dijatuhkan kepada Bhikkhu Channa.
Sebagai tambahan, ketika berita tentang berlangsungnya dan hasil kesepakatan dari konsili ini, disampaikan kepada seorang bhikkhu bernama Purana yang tinggal di Dakkhiṇāgiri yang sedang berkunjung ke Veḷuvana arama beserta para bhikkhu pengikutnya, dia menjawabnya: “Para Thera telah mengulang Dhamma dan Vinaya dengan baik. Tapi aku akan tetap mengikuti Dhamma dan Vinaya yang telah saya dengar dari Sang Buddha sendiri.”
Pernyataan Bhikkhu Purāṇa tersebut dianggap sebagai pernyataan netral menurut Theravada. Tetapi menurut Dharmaguptika, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dia tidak setuju dengan vinaya yang disusun di konsili itu karena pengecualian mengenai peraturan-peraturan makanan yang diakuinya telah didapatkan dari Sang Buddha tetapi tidak dimasukkan ke dalamnya. Menurutnya terdapat delapan hal yang sebenarnya tidak bertentangan dengan peraturan. Delapan hal tersebut antara lain sebagai berikut:
- Menyimpan makanan di dalam rumah
- Memasak di dalam rumah
- Memasak sesuai diri sendiri
- Mengambil makanan sesuai diri sendiri
- Menerima makanan di pagi-pagi sekali
- Membawa makanan ke rumah sesuai dengan kehendak pemberi
- Memiliki bermacam-macam buah-buahan
- Makan sesuatu yang tumbuh dari kolam
Dalam volume ke dua dari Dulva, Vinaya Tibetan sekte Sarvāstivāda, terdapat sebuah pembahasan tentang konsili ini. Di sana tertulis Kanon berdasarkan urutannya; (1) Dharma oleh Bhikkhu Ānanda, (2) Vinaya oleh Bhikkhu Upāli, (3) Mātṛkā (Abhidhamma) oleh Bhikkhu Mahākāśyapa. Ini berarti menurut Dulva, Abhidhamma disusun di konsili pertama ini. Fa-hian dan Hiuen-thsang juga menyebutkan tentang konsili Buddhis yang pertama dan menyebutkan pembahasan oleh Mahākāśyapa.
Fitur penting lainnya dalam Konsili pertama ini adalah pengelompokan ajaran-ajaran Buddha sesuai dengan kategorinya. Vinaya sebagaimana yang dibahas oleh Bhikkhu Upāli dalam konsili ini dikelompokkan menjadi Vinaya Piṭaka. Dalam konsili ini Ubhatovibhaṅga atau Suttavibhaṅga yang terdiri dari kumpulan peraturan-peraturan para bhikkhu dan bhikkhuni disusun.
Dhamma sebagaimana yang dibahas oleh Bhikkhu Ānanda dalam konsili ini dikelompokkan menjadi Sutta Pitaka. Pada saat ini Sutta Pitaka terdiri dari Dīghanikāya, Majjhimanikāya, Saṃyuttanikāya, Aṅguttaranikāya, dan empat buku dari khuddakanikāya.
Akhirnya seluruh Vinaya dan Dhamma diulang bersama-sama dan semua sepakat untuk menjaga keutuhan ajaran Sang Buddha sesuai dengan apa yang Sang Buddha ajarkan dengan memilih beberapa bhikkhu Thera terpelajar untuk bertanggung jawab menjaga kemurnian ajaran dengan para siswa-siswanya. Tradisi ini disebut sebagai bhāṇaka.
- Vinaya Piṭaka: Bhikkhu Upāli dan murid-muridnya
- Dīgha Nikāya: Bhikkhu Ānanda dan murid-muridnya
- Majjhima Nikāya: Murid-murid Bhikkhu Sāriputta
- Saṁyutta Nikāya: Bhikkhu Mahākassapa dan murid-muridnya
- Aṅguttara Nikāya: Bhikkhu Anuruddha dan murid-muridnya
- Khuddaka Nikāya: Semua bhikkhu
Itulah mengapa konsili pertama ini merupakan konsili yang sangat signifikan bagi sejarah dan perkembangan Kanon Pali. Namun dalam konsili ini, kita hanya mengenal dvepiṭaka: Vinaya Piṭaka dan Sutta Piṭaka. Abhidhamma Piṭaka yang kita kenal sekarang ini memiliki tujuh buku di dalamnya, di kosili pertama belum ada.
Walau terlihat signifikan, namun ternyata banyak ketidakbulatan kesepakatan mengenai keotentikan konsili pertama ini di mata sarjana. Oldernbergn menolak kisah konsili Buddhis pertama ini karena ini tidak dicantumkan dalam Mahāparinibbāna Sutta dari Dīgha Nikāya. Mahāparinibbāna Sutta dipertimbangkan sebagai sutta yang dikembangkan oleh penulis belakangan. Jika mereka menambah kejadian-kejadian penting dalam sutta ini, cerita tentang konsili seharusnya sudah dimasukkan ke dalam sutta ini.
Prof. Finot menyangkal argument Oldernbergn, karena menurutnya, sejarah konsili Buddhis yang pertama ini juga ada di dalam Vinaya Sarvastivada. Dr. Obermiller setuju dengan pendapat Prof. Finot. Prof. Kern memiliki keraguan tentang konsili Buddhis ini.
Apapun itu, konsili Buddhis pertama ini sangat signifikan. Bukti nyata yang bisa kita lihat sekarang adalah terkumpulnya ajaran-ajaran Buddha sesuai dengan penggolongannya. Lagi pula banyak sumber telah mencantumkan pembahasan tentang konsili ini. Cullavagga dalam Vinaya Pitaka dan Mahāvaṃsa, catatan sejarah Sri Lanka, memberikan pembahasan tentang konsili Buddhis pertama secara detail.