Thursday, February 9, 2017

Keunikan yang Dimiliki Buddhisme

0 comments
Keunikan yang Dimiliki Buddhisme
Jika terdapat agama yang dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhan ilmu pengetahuan modern, agama itu adalah Buddhisme
(Albert Einstein)

Pendahuluan
Banyak orang menganggap Buddhisme sebagai agama tua yang sudah tidak zamannya untuk diikuti. Mereka yang mengatakan demikian karena berpegang pada kenyataan bahwa Buddhisme adalah agama minoritas. Orang yang beranggapan demikian sesungguhnya tidak melihat bagaimana Buddhisme memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Ini yang membuat Buddhisme tampak beda dari agama-agama pada umumnya. Keunikan ini yang telah membawa bukti nyata bahwa sekarang Buddhisme semakin diminati oleh kaum cendekiawan Barat. Semakin seseorang mempelajari Buddhisme, seseorang akan mengetahui bagaimana keunikan-keunikan yang dimiliki Buddhisme yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kenyataan. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tentang keunikan yang dimiliki Buddhisme.

Keunikan yang Dimiliki Buddhisme
Buddhisme bisa dikatakan sebagai agama yang sangat unik dan berbeda dengan agama-agama pada umumnya. Alasan pertama terletak pada keyakinan. Ketika sebagian besar agama menekankan pentingnya keyakinan, Buddhisme lebih menekankan penyelidikan. Salah satu contoh Sutta yang cukup terkenal untuk mendukung pendapat ini adalah Kālāma Sutta di mana Buddha menganjurkan orang-orang suku Kālāma untuk tidak hanya percaya kepada tradisi lisan (anussavena), tradisi turun-temurun (paramparaya), pendapat umum (itikiriya), kitab suci (piṭakasampadāya), orang pakar (bhauyarūpatāya), dan guru sendiri (samano no guru: A. p. 280). 

Upāli Sutta juga menunjukkan bagaimana Buddhisme lebih menekankan penyelidikan. Ini terbukti bahwa ketika perumah tangga Upāli menyatakan untuk pindah menjadi pengikut Buddha setelah dirinya kalah dalam usaha menyanggah ajaran Buddha, tetapi Buddha menasihatinya untuk menyelidiki matang-matang terlebih dahulu (M. 56. p. 484). Ketika itu dikatakan, perumah tangga Upāli semakin tertarik dengan Buddhisme karena agama-agama lain pada umumnya akan segera menyetujuinya dan mengaraknya keliling kota Nāḷandā untuk mengumumkan tentang perpindahannya menjadi pengikutnya (ibid.). Itulah mengapa keyakinan dalam agama Buddha seharusnya didasari dengan kebijaksanaan (ākāravatī saddhā: M. 47. p. 418), bukan keyakinan yang tanpa dasar (amūlikā saddhā: M. 95. p. 780).

Dari sudut pandang epistemologi, Buddha menyebutkan dirinya sebagai empiris. Saṅgārava Sutta, Majjhima Nikāya menyebutkan tiga jenis pemikir beserta landasan epistemologi yang mereka pakai (M. 100. p. 820). Tiga jenis pemikir itu yaitu tradisionalis, rasionalis, dan empiris. Tradisionalis bergantung pada otoritas kitab Veda, sementara Rasionalis bergantung pada penalaran. Buddha sendiri mengaku sebagai empiris karena Beliau salah satu di antara petapa dan brahmana, yang setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk mereka sendiri di antara hal-hal yang belum pernah didengar sebelumnya, mengaku mengajarkan dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini (ibid). Ini sangatlah relevan dengan pandangan ilmu pengetahuan modern yang menghendaki adanya percobaan.

Keunikan yang lain adalah Buddhisme memiliki cara pandang yang pragmatis. Buddha menolak pembahasan tentang metafisik yang menimbulkan banyak spekulasi. Simile tentang seorang pria yang terluka oleh anak panah sebagaimana yang diterangkan dalam Cūlamāluṅkya Sutta merupakan contoh pendekatan Buddha yang bercorak pragmatis (M. 63. p. 535). Di sisi lain pertanyaan metafisik tentang dunia ini kekal atau tidak kekal, terbatas atau tidak terbatas, dan sebagainya dikategorikan sebagai pertanyaan yang dikesampingkan (A. p. 433). Perumpamaan tentang segenggam daun dalam Siṁsapa Sutta juga merupakan perumpamaan terkenal yang menunjukkan bahwa apa yang Buddha ketahui sebenarnya lebih dari apa yang Beliau ajarkan, tetapi Beliau tidak mengajarkan semuanya karena itu tidak membawa manfaat, tidak berkaitan dengan kehidupan suci, dan tidak menuntun pada kedamaian, pengetahuan langsung, dan Nibbāna (S. 1857-1858).

Lagi, Buddhisme menekankan diri sendiri untuk menggapai tujuan tertentu. Keberhasilan dan kegagalan tergantung pada diri sendiri. Ini sungguh berbeda dengan apa yang dijanjikan oleh agama-agama lain yang menekankan pasrah terhadap sesosok makhluk tertentu karena kita semua berada di bawah kuasanya. Tetapi Buddhisme menitik beratkan pada diri sendiri. Bahkan Buddha pun tidak seharusnya dianggap sebagai juru selamat yang menjanjikan segalanya buat yang meyakininya. Dikatakan bahwa Buddha hanyalah sebagai petunjuk jalan, dan kita sendiri yang harus melangkah (akkhātāro tathāgatā; Dhp. 276. p. 164). 

Buddha memberikan nasihat kepada Bhikkhu Ananda untuk menjadikan diri sendiri dan Dhamma sebagai pulau dan sebagai pelindung (attadīpā viharatha attasaraṇā anaññasaraṇā, dhammadīpā dhammasaraṇā anaññasaraṇā: D. 15. p. 245). Hal ini karena diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri (attā hi attano nātho: Dhp. 160. p. 137). Oleh diri sendiri perbuatan buruk dilakukan, oleh diri sendiri seseorang terkotori. Dengan cara yang sama, oleh diri sendiri perbuatan buruk ditinggalkan dan oleh diri sendiri pula seseorang tersucikan (attanā va kataṃ pāpaṃ, attanā saṃkilissati; attanā akataṃ pāpaṃ, attanāva visujjhati: Dhp. 166. p. 139).

Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Buddha (svākhāto bhagavatā dhammo), jelas (uttāno), terbuka (vivaṭo), terbukti (pakāsito), dan bebas dari tambal sulam (chinnapilotiko: M. 22. p. 235). Ini mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko) dan harus dialami oleh diri sendiri (paccattaṃ veditabbo). 

Jalan Buddhis adalah jalan tengah (majjhimā paṭipadā) yang menghindari dua ekstrim; pemuasan nafsu (kāmasukhallikānuyoga) dan penyiksaan diri (attakilamathanuyoga: S. p. 1844). Penghindaran dua cara praktik ekstrim ini juga berkenaan dengan penghindaran dua pandangan hidup Eternalisme (sassatavada) dan Nihilisme (ucchedavada). Jalan tengah dalam Buddhisme mengacu pada Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (paṭiccasamuppada). Teori ini juga mendukung bahwa Buddhisme tidak mendasarkan pada keyakinan terhadap makhluk adhikodrati atau pencipta. Kritiknya dapat kita lihat diberbagai Sutta. 

Dalam Devadaha Sutta, jika kebahagiaan dan kesakitan yang seseorang rasakan adalah disebabkan oleh sang pencipta, berarti para Nigaṇṭhas pasti diciptakan oleh pencipta yang jahat karena sekarang mereka merasakan sakit yang begitu menyakitkan dan mengiris perasaan (M. 101. p. 833). Dalam Jātaka-aṭṭhakatthā, dikatakan jika dunia diciptakan oleh dewa pencipta, kejahatan-kejahatan tertentu tidak dapat dijelaskan. Kalau memang ada sesosok dewa atau makhluk  yang menciptakan seluruh isi alam semesta ini, lalu mengapa dia menciptakan orang-orang malang di dunia ini tanpa membuat seluruh makhluk bahagia; atau lalu apa tujuannya diciptakan dunia yang penuh ketidakadilan, penipuan, kebohongan, sombong; atau sang pencipta yang jahat menciptakan ketidakadilan sementara sebenarnya terdapat keadilan (JA. VI. p. 208). Sebagai tambahan, jika sang pencipta telah menciptakan alam semesta dan memerintahnya, manusia tidak akan bertanggung jawab atas moralnya dan pencipta menjadi jahat karena kejahatan-kejahatan dan penderitaan-penderitaan adalah ciptaannya juga (A. p. 266).

Kritik-kritik itu mematahkan gagasan bahwa dunia dan seisinya diciptakan dan di bawah kendali makhluk adhikodrati. Terutama ketika kita berbicara tentang karma dan alasan-alasan mengapa kita dilahirkan dengan kondisi yang berbeda-beda, ada yang cantik dan ada pula yang buruk, ada yang dilahirkan sehat dan ada pula dilahirkan yang cacat. 

Pandangan Buddhisme tentang asal mula mula terbentuknya alam semesta berbeda dengan pandangan agama-agama teistik. Pandangan Buddhis mengenai hal ini rupanya memiliki relevansi dengan Teori Big Bang yang dikemukakan oleh sains. Penjelasan ini dapat kita lihat di dalam Agañña Sutta. Sini diceritakan bahwa terdapat suatu saat di mana setelah waktu yang sangat lama dunia ini mengkerut dan hancur. Makhluk-makluk pada umumnya terlahir kembali di alam Abhasara sesuai dengan timbunan kamma masing-masing. Dan setelah dalam kurun waktu yang lama, ada saat di mana bumi mengembang dan terbentuk kembali. Makhluk bercahaya kembali ke dunia dan mengalam evolusi menjadi manusia dalam jangka waktu yang lama dan sebab-sebab yang mengondisikannya (D. 27. p. 410).

Kesimpulan
Buddhisme adalah agama yang unik. Selain memiliki kecocokan dengan pemikiran modern, Buddhisme memiliki keunikan yang membedakan Buddhisme dengan agama-agama pada umumnya. Menjadi Buddhis merupakan kebahagiaan tersendiri karena menjadi Buddhis adalah tolak ukur kita memahami realita. 

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.

No comments:

Post a Comment