Kematian adalah hal yang pasti dalam hidup ini. Orang-orang yang kita kenal maupun tidak, dekat maupun jauh, ada hubungan keluarga atau tidak, teman atau musuh, semuanya pasti akan mati. Biasanya, kalau ada kerabat atau teman yang meninggal, orang-orang turut menyampaikan bela sungkawa atau turut berduka atas kematian kerabat, teman, atau orang yang dikenalnya. Setiap agama biasanya memiliki kalimat khusus yang digunakan untuk menyampaikan bela sungkawa. Umat Buddha pun bertanya-tanya, bagaimana caranya menyampaikan bela sungkawa dalam bahasa Buddhis atau bahasa Pāli.
Ada banyak kesalahpahaman yang sepertinya sudah merambah di masyarakat Buddhis mengenai penyampaian bela sungkawa. Umumnya kalau ada orang yang meninggal, umat Buddha mengatakan “Sabbe saṅkhārā aniccā.” Padahal kalimat tersebut sama sekali tidak mengandung arti ucapan bela sungkawa. Kalimat “Sabbe saṅkhārā aniccā,” bisa kita temukan dalam Tipitaka, yang berarti “Segala bentukan adalah tidak kekal.” Sabbe (semua, segalanya) + saṅkhārā (bentukan, yang terdiri dari perpaduan unsur) + aniccā (tidak kekal, selalu berubah).
Kalimat “Sabbe saṅkhārā aniccā,” sesungguhnya bukan bela sungkawa, tetapi sebuah nasihat untuk memahami hukum ketidakkekalan dalam hidup ini. Kematian adalah wujud dari hukum ketidakkekalan. Karena hidup ini tidaklah kekal, maka siapapun akan mengalami kematian. Kalimat “Sabbe saṅkhārā aniccā,” lebih tepat sebagai pengingat bagi kita semua yang masih hidup, bahwa hidup ini pun tidaklah kekal, dan juga akan mengalami kematian.
Lalu bagaimana cara mengucapkan belasungkawa dalam agama Buddha?
Sangha Theravada Indonesia (STI) telah memperkenalkan istilah “Saṃvegacitta” untuk kepentingan mengungkapkan rasa empati kepada dan kenalan sesama umat Buddha yang berada dalam suasana duka. Seperti
“Turut ber-saṃvegacitta atas kewafatan mendiang Ibu/Bapak/Saudara/Saudari ... (nama orang yang telah meninggal) ...”
Ditambah “Sugatiṃ vā saggaṃ lokaṃ uttariṃ vā upapajjatu,” yang berarti “Semoga (mendiang) terlahir di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu.”
Dengan catatan kalau yang meninggal lebih dari satu orang atau subjeknya adalah jamak, maka kata “upapajjatu” diganti dengan “upapajjantu.”
Sesuai dengan penjelasan yang telah diputuskan oleh Sangha Theravada Indonesia, saṃvegacitta merupakan pikiran yang disertai hal-hal batiniah yang kuat, muncul sebagai tanggapan atas kejadian yang menggugah hati, mengarah ke perenungan pada pengetahuan kebenaran alamiah, misalnya pada saat kejadian orang yang dicinta/dihormat meninggal dunia.
Ada sebuah kronologis, pada waktu Sang Buddha parinibbāna, para awam menangis berderai air mata, sedangkan para ariyasāvaka memasuki pikiran yang diwarnai oleh saṃvega (hal-hal batiniah yang kuat). Hal-hal batiniah (cetasika) di sini mengacu ke nilai-nilai positif, seperti: paññā (kebijaksanaan), mettā (cinta kasih), karuñā (welas asih), upekkhā (keseimbangan batin), dll, khususnya adalah paññā (kebijaksanaan) dan upekkhā (keseimbangan batin).
Dari penjelasan tersebut, berarti cara menyampaikan ungkapan bela sungkawa menurut pandangan agama Buddha harus disertai dengan adalah paññā (kebijaksanaan) dan upekkhā (keseimbangan batin). Itu berarti, saat orang yang dicinta, dihormat, dikenal baik meninggal, kita tidak boleh kehilangan akal sehat, tetapi tetap memiliki kebijaksanaan dan keseimbangan batin.
Kalau di Sri Lanka, ketika para bhikkhu hadir dalam upacara kematian, biasanya bhikkhu mengucapkan kalimat “saṃvega praptha’ yang dalam bahasa Sansekerta “saṃvega prāpta” atau yang dalam bahasa Pali disebut “saṃvega patto / saṃvegappatto.” Kalimat “saṃvega patto / saṃvegappatto,” berarti “sampai pada suasana empati.”
"Sabbe saṅkhārā aniccā" (Segala sesuatu yang terkondisi tidaklah kekal)
ReplyDeleteKemudian pesannya bisa disampaikan dengan bahasa Indonesia.
Sebagai penutup akhiri dengan kalimat “Sugatiṃ vā saggaṃ lokaṃ uttariṃ vā upapajjatu,” yang berarti “Semoga (mendiang) terlahir di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu.”
“Sugatiṃ vā saggaṃ lokaṃ uttariṃ vā upapajjatu,” ucapan bela sungkawa palsu karena bertentangan dengan hukum kamma. Sebaiknya hanya mengucapkan gatha pengingat akan ketidakkekalan dan keterbebasan dari kemelekatan adalah kebahagiaan (kedamaian) tertinggi seperti:
ReplyDeleteopsi 1. "Sabbe saṅkhārā aniccā"
opsi 2. seperti cara Deva Sakka waktu Bhagava parinibbana dan juga kebiasaan para Thera (ariya puggala - Arahant) jaman dahulu dan masih dipertahankan di vihara hutan thailand (kalau tidak salah), yaitu (mohon perbaiki tata cara penulisan palinya).
"Anicca vata sankhara
Uppada vaya dhammino
Upajitva nirujhanti
Tesang vupassamo sukho"
Apa ini artinya kak?
DeleteApakah umat Buddha boleh mengucapkan RiP ke kerabat. Saudara yg lg berduka?
ReplyDeleteKalau dia berbeda agama kurasa boleh. Biasanya saya mengucapkan "sabbe sankhara anicca" kepada yang meninggal meski beda agama. Tapi kepada keluarganya yang beda agama, saya pakai bahasa Indonesia
Delete-
Delete