Tuesday, March 14, 2017

Bahasa Jawa yang Hampir Mengalami Nasib yang Sama Seperti Bahasa Pāli

0 comments

Bahasa Pāli dikenal sebagai bahasa kitab suci agama Buddha, khususnya tradisi Theravāda. Ini dipercaya sebagai dialek Pertengahan Indo-Aryan, yang disebut sebagai māgadhi. Komentator Bhikkhu Buddhaghosa, mengatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh Buddha dalam pengembaraan membabarkan Dhamma adalah māgadhi. Meskipun seiring berlalunya waktu, bahasa māgadhi mengalami perubahan. Perubahan ini menyebabkan terjadinya pengelompokkan menjadi tiga bentuk; māgadhī (bahasa istana dan orang-orang terpelajar), addhamāgadhī (bahasa para pedagang), dan suddhamāgadhī (bahasa murni māgadhī, yang kenal sebagai Pāli). Bahasa kitab suci agama Buddha terkadang disebut sebagai suddhamāgadhī untuk membedakan dengan addhamāgadhī, yang merupakan bahasa yang digunakan oleh Jainisme. 

Dialek Pertengahan Indo-Aryan, yang disebut sebagai māgadhi, adalah bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat. Di waktu itu, perbedaan kasta juga mempengaruhi penggunaan bahasa. Orang-orang berkasta tinggi berbicara dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Bahasa Sansekerta ini dianggap sebagai bahasa suci, hanya orang-orang berkasta tinggi yang dipekenankan untuk menggunakannya. Sehingga orang-orang yang berkasta rendah tidak boleh menggunakannya. Buddha setelah mencapai pencerahannya, membabarkan Dhamma dengan menggunakan bahasa Pāli atau māgadhi. Bahasa ini dipilihnya karena bahasa ini merupakan bahasa yang dipahami oleh semua kalangan. Sementara niat Buddha adalah untuk membabarkan Dhamma tanpa ikatan kasta. 

Tak bisa dibayangkan bagaimana bahasa Pāli adalah bahasa yang umum dibicarakan banyak orang. Semua orang bisa berbicara dengan bahasa Pāli. Memang, di waktu itu kitab Tipitaka belum ditulis. Semua apa yang telah diajarkan oleh Buddha diingat baik-baik oleh para siswanya dalam ingatannya masing-masing. Bahkan setelah Buddha parinibbāna, kitab suci agama Buddha pun belum juga dituliskan. Kitab Suci Tipitaka mulai ditulis setelah agama Buddha diperkenalkan ke Sri Lanka oleh Bhikkhu Mahinda Thera dan rekan-rekannya sebagai hasil dari Konsili ke tiga yang dipimpin oleh Bhikkhu Moggaliputtatissa Thera yang didukung oleh Raja Asoka. Setelah sekian lama agama Buddha berjaya di Sri Lanka, ada saat di mana Sri Lanka mengalami musim paceklik yang sangat lama. Pada saat itu, banyak bhikkhu yang wafat karena tidak mendapat sokongan makanan. Sisi positifnya, karena jumlah bhikkhu yang semakin berkurang, muncullah gagasan untuk menuliskan semua ajaran Buddha ke dalam daun lontar supaya generasi-generasi mendatang bisa membaca dan memahami hakikat ajaran Buddha. Ini terjadi di Aluvihāra, di Sri Lanka di abad pertama.

Agama Buddha menyebar di berbagai negara berkat bantuan Raja Asoka. Agama Buddha menyebar dengan bahasanya, bahasa Pāli. Sebagai contohnya, Sri Lanka. Buddhisme pertama kali diperkenalkan di Sri Lanka oleh Bhikkhu Mahinda Thera dan menjadi agama resmi negara di zaman Raja Devanampiyatissa. Tak bisa dipungkiri, banyak kosa kata bahasa Pāli yang diserap ke dalam bahasa Sinhala. Buddhisme berkembang pesat di negara ini. Untuk memudahkan dalam memahami kitab suci, dibuatlah catatan oleh para Thera. Di abad ke lima, Bhikkhu Buddhaghosa datang dari India ke Sri Lanka berniat untuk menerjemahkan Komentar Sinhala ke dalam bahasa Pāli. Keinginannya kemudian disampaikan oleh para bhikkhu thera di Mahāvihāra, Anuradhapura. Sebagai ujiannya, beliau menulis buku yang dikenal sebagai Visuddhimagga. Dibantu oleh para bhikkhu thera, Bhikkhu Buddhaghosa berhasil menyelesaikan kitab komentar dalam bahasa Pāli. 
Nasib agama Buddha di tanah sendiri berada dalam ancaman. Brahmanisme berangsur-angsur memegang kekuasaannya kembali. Buddhisme tradisi Mahayana berkembang dengan bahasa Sansekerta. Pada saat itu, Buddhisme Theravada berserta bahasanya mulai dilupakan. Bahasa Sansekerta yang dulunya hanya digunakan oleh para kaum berkasta tinggi mulai menetral menjadi bahasa yang sering diucapkan. Hingga kini bahasa Sansekerta masih digunakan, bahkan ada beberapa daerah yang masih berkomunikasi dengan bahasa Sansekerta di dalam kehidupan sehari-hari. Namun sayangnya bahasa Pāli tidak ditemukan lagi di tanah asalnya. Bahasa Pāli diakui sebagai bahasa kitab suci semata. Dengan sangat terpaksa, bahasa Pāli dipertimbangkan sebagai bahasa mati. Ini karena, tidak ada satu pun daerah yang masih menggunakan bahasa ini di dalam komunikasi kesehariannya. Kini bahasa Pāli adalah bahasa bagi para sarjana. Tak bisa dibayangkan bagaimana bahasa Pāli yang awalnya adalah bahasa umum berubah menjadi bahasa yang langka. Ini juga merupakan tantangan bagi para sarjana Pāli, karena mempelajari bahasa mati tanpa komunikasi, hasil pembelajaran tidak dapat diserap sepenuhnya. Tidak heran apabila para sarjana Pāli masih menemui berbagai kendala dalam berkomunikasi bahasa Pāli jika tanpa persiapan.

Kisah tentang bagaimana bahasa Pāli yang awalnya merupakan bahasa umum berubah menjadi bahasa langka, seharusnya juga dijadikan pelajaran dalam menyikapi bahasa Jawa. Tak bisa dipungkiri, bahasa Jawa yang dulunya merupakan bahasa umum sekaligus bahasa kerajaan berangsur-rangsur mulai dilupakan. Banyak masyarakat mulai meninggalkan bahasa ini karena dianggap sebagai bahasa yang kurang gaul. Popularitas bahasa Indonesia menjadi semakin meningkat karena memang bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu negara. Di samping itu, semua media masa, baik tertulis maupun suara, kebanyakan ditulis maupun disiarkan melalui bahasa Indonesia. Bahasa Jawa semakin tidak diminati, bahkan orang Jawa sendiri. Padahal bahasa Jawa sesungguhnya memiliki kelebihan. Pertama dari segi tulisan, bahasa Jawa memiliki huruf sendiri. Kedua, kosa kata bahasa Jawa lebih kaya dan kebanyakan mirip dengan bahasa Sansekerta dan Pali. Lagi, penggunaan kosa kata bahasa Jawa berbeda-beda tegantung pada siapa seseorang berbicara. 

Sudah kelihatan bahwa bahasa Jawa mulai dilupakan. Banyak orang Jawa, terutama generasi muda, tidak bisa membaca tulisan dalam huruf Jawa. Ketika menghadiri upacara pernikahan dalam tradisi Jawa, banyak generasi muda yang tidak paham apa yang sedang dipidatokan. Seseorang mungkin menyanggah bahwa dalam kehidupan sehari-hari bahasa jawa masih digunakan. Jawabannya benar, tetapi belum sepenuhnya benar. Bahasa yang umum digunakan oleh generasi muda, menengah, ataupun tua sekarang ini lebih mengarah pada bahasa pergaulan yang seharusnya ditunjukkan kepada orang yang seumur. Bahasa ini disebut sebagai Ngoko, yang di dalamnya masih terdapat dua bentuk varian yaitu; Ngoko Lugu dan Ngoko Alus. Ini adalah bahasa yang seharusnya tidak gunakan ketika sedang berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua, tetapi ini bisa digunakan oleh orang yang seumur atau orangtua kepada orang yang lebih muda. Sementara orang muda yang ingin berbicara dengan orang yang dihormati atau orang yang lebih tua seharusnya menggunakan bahasa Krama, yang di dalamnya masih mempunyai tiga bentuk varian, yaitu Krama Lugu, Krama Andhap, dan Krama Alus. 

Pada kenyataanya, bahasa yang halus ini jarang digunakan karena berbagai alasan. Banyak anak berbicara dengan orangtua menggunakan bahasa Ngoko yang sebenarnya kurang tepat. Walau dengan orang-orang yang dianggapnya terhormat, mereka mencoba berbicara dengan bahasa Krama Alus, tetapi ketika pada orangtuanya sendiri, kebanyakan dari mereka tidak berbahasa Krama Alus. Alasan utama yang membuatnya demikian adalah malu dan terasa kurang akrab. Ambil contoh di kampung saya, bahasa Jawa masih terbilang kuat karena bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Meskipun demikian, dari sekian ratus penduduk yang ada, anak yang berbicara dengan Krama Alus kepada orangtuanya sendiri bisa dihitung dengan jari. 

Saya pribadi awalnya juga tidak berbahasa Krama Alus dengan orangtuaku sendiri. Sejak ibu meninggal, seiring kisah perubahan cara hidupku, aku mulai berusaha berbahasa Krama Alus dengan bapakku dan semua sanak keluargaku yang lebih tua. Usaha ini menyimpan kisah yang panjang. Tak bisa diceritakan bagaimana groginya pertama kali saya meminta uang bulanan kos dengan menggunakan bahasa Krama Alus kepada bapakku. Beruntung hasilnya, selain mendapat uang saku tambahan, aku juga mendapat kemeja putih baru sebagai hadiah di hari Maghapuja. Sejak saat itu aku menjadi anak langka. Bahkan tidak sedikit yang menyindirku, terutama teman-teman dekatku, karena aku memanggil mereka menggunakan kata ‘sampeyan’. Orangtuaku menjadi salah satu orangtua yang berhasil karena kedua anak laki-lakinya berbahasa Krama Alus terhadapnya.
Nasib bahasa Jawa yang memprihatinkan ini sayangnya tidak mendapat respon dari pemerintah. Bahasa Jawa hampir mengalami nasib yang sama dengan bahasa Pāli – akan dipertimbangkan sebagai bahasa mati apabila tidak dilestarikan. Sebagai samanera, rupanya saya tidak bisa memperbaiki keadaan. Ketika saya pulang, tak ada satu pun yang menyapa dan mengajakku berbicara menggunakan bahasa Jawa. Suatu ketika, ketika saya datang, bapak saya tiba-tiba muncul dihadapan saya dan menanyakan kabar saya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Saya tahu bahwa bapak saya tidak bisa berbicara bahasa Indonesia, tetapi dia memaksa untuk berbicara walau hanya sebatas menanyakan kabar. Saya menjadi kelihatan seperti tamu yang datang dari kota. Semua mencoba berbicara denganku menggunakan bahasa Indonesia. Teman-temanku yang bukan Buddhis, termasuk keluargaku, menjadi terheran kenapa semua orang berbicara denganku menggunakan bahasa Indonesia, padahal saya bisa berbahasa Jawa. 

Ketika bahasa Indonesia menjadi lebih populer, bahasa Jawa berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Kisah di balik hilangnya bahasa Pāli juga dipengaruhi oleh penggunaan bahasa Sansekerta dan bahasa lain yang semakin populer. Untuk menanggulangi terjadinya permasalahan yang sama, bahasa Jawa juga tetap harus dilestarikan. Memang setiap orang berhak menggunakan bahasa populer, tetapi jangan sampai melupakan bahasanya sendiri. Dengan cara yang sama, ketika bahasa asing seperti bahasa Inggris, Mandarin, Korea, dll. menjadi semakin populer, ini seharusnya tidak menyebabkan seseorang meninggalkan bahasa Indonesia.

No comments:

Post a Comment