Latar Belakang
Pindah agama sepertinya topik yang sangat perlu kita bahas sehubung ini merupakan fakta di lapangan yang semakin hari semakin meruncing. Menurunnya jumlah umat Buddha, terutama di desa-desa, sebagaian besar disebabkan karena perpindahan agama. Faktor utama yang menyebabkan umat Buddha pindah agama adalah pernikahan. Tidak ada masalah yang lebih serius untuk pindah agama selain tentang pasangan hidup dan keputusan menikah. Saya sendiri adalah salah satu di antara sekian banyak orang yang sempat ingin pindah agama. Alasannya pun sangat sepele karena pacarku dulu bukanlah Buddhis dan pergaulanku menciptakan pola pikir bahwa wanita yang cantik adalah yang berkerudung.
Kasus yang saya alami pada saat itu merupakan kasus yang wajar di saat saya berhadapan dengan kebimbangan. Pergaulan yang terbatas, aktivitas komunitas muda-mudi Buddhis yang sempat lumpuh, kurangnya wadah untuk menapung kreativitas, dan kurangnya pembinaan memicu tekad untuk pindah agama. Hal yang sama juga dialami oleh teman-temanku. Namun rupanya mereka tidak kunjung menemukan jalan keluar, hingga akhirnya teman-temanku sudah banyak yang pindah agama karena terbentur dengan pernikahan.
Bagaimana Pandangan Agama Buddha tentang Pindah Agama?
Kalau kita menyusuri Tipiṭaka, kita akan menjumpai berbagai kasus tentang pindahnya keyakinan. Kebanyakan, orang-orang dari keyakinan luar setelah mengenal ajaran Buddha memutuskan untuk masuk menjadi pengikut Buddha. Dengan kata lain menjadi Buddhis. Kasus yang paling terkenal adalah perumah tangga Upāli, pengikut dan penyokong utama dari sekte Nigaṇṭha, setelah kalah berdebat dengan Buddha, memutuskan untuk menjadi Buddhis (M. I. 379). Namun kita juga menjumpai pengikut Buddha yang memutuskan pindah keyakinan. Sebagai contohnya adalah Sunakkhatta. Alasannya karena Buddha tidak mau menujukkan kesaktian dan dia berpikir bahwa petapa terlanjang yang mengumpulkan makanan dengan empat postur, merangkak di tanah, mengunyah makanan hanya dengan mulut saja, sebagai petapa yang lebih suci dari Buddha. (D. III. 2).
Ketika perumah tangga Upāli menyatakan ingin menjadi pengikutnya, Buddha malah memintanya untuk mempertimbangkan kembali. Ini yang membuat perumah tangga Upāli menjadi terheran karena biasanya guru-guru sekte lain akan menerimanya, membuatkannya umbul-umbul, dan mengumumkannya di sepanjang kota Nāḷandā. Tekad perumah tangga Upāli menjadi semakin bulat untuk pindah menjadi Buddhis (M. I. 379).
Sebenarnya dalam agama Buddha tidak ada aturan ketat atau hukuman bagi mereka yang pindah agama atau mengundurkan diri sebagai pengikut Buddha dan menjalani praktik keagamaan lain. Bagi agama Buddha, terlepas dari status agama, siapapun yang selalu berusaha berbuat baik, menghindari segala bentuk kejahatan, dan membersihkan batin dari bentuk-bentuk pikiran jahat, dapat terlahir di alam bahagia, Surga, setelah kematian. Namun Buddha juga memberikan jawaban keras tentang kasus pengunduruan diri Sunakkhatta sebagai muridnya. Buddha menyebutnya sebagai ‘moghapurisa.’
Buddha bukanlah tipe guru yang menginginkan banyak pengikut dengan menghalalkan segala cara. Ketika Kevaddha memohon Buddha agar mau mengutus murid-muridnya untuk menunjukkan berbagai kesaktian supaya banyak orang semakin yakin terhadap agama Buddha, Beliau menjelaskan tiga macam kesaktian, yaitu kesaktian kekuatan psikis, kesaktian telepati, dan kesaktian nasihat. Dari tiga kesaktian ini, Buddha menyetujui kesaktian nasihat (D. I. 212). Buddha sama sekali tidak bernafsu untuk membuat orang di seluruh dunia menjadi pengikutnya. Misionaris Buddhis yang diutusnya untuk menyebarkan Dhamma ke seluruh penjuru bukan bermaksud membuddhiskan seluruh umat, tetapi dhamma diperkenalkan demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk (bahujanahitāya bahujanasukhāya. Vin. I. 20). Kehidupan brahmacariya di bawah bimbingan Buddha bukan dijalani untuk menipu, membujuk-bujuk mereka; bukan untuk kepentingan perolehan, kehormatan, dan pujian; bukan untuk memenangkan perdebatan; juka bukan dengan pikiran “Semoga orang-orang mengenalku demikian” (A. II. 26). Lagi pula ajarannya hanya untuk orang-orang yang bijaksana, bukan untuk orang-orang yang tidak bijaksana (paññavantassa ayaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo duppaññassa; A. IV. 229).
Alasan untuk Tidak Pindah Agama
Meskipun agama Buddha memberikan kebebasan berpikir dan memilih agama, ada beberapa alasan untuk tetap menjadi Buddhis dan menjalankan praktik ajaran Buddha. Menurut Buddha, untuk dapat telahir sebagai manusia amatlah sulit (kiccho manussapaṭilābho). Apalagi memiliki kesempatan untuk mendengarkan Dhamma yang baik (kicchaṃ saddhammassavanaṃ; Dhp. 182). Betapa tidak beruntungnya dia, ketika seseorang memiliki kesempatan terlahir di alam manusia dan Dhamma yang baik masih terjaga, malah memilih meninggalkannya.
Buddha menjelaskan tiga jenis anak. Ketika anak yang orangtuanya tidak berlindung pada Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Saṅgha) dan tidak menjalankan pañcasīlā Buddhis, tetapi anaknya berlindung pada Tiratana dan menjalankan pañcasīlā Buddhis, ia disebut sebagai anak yang berkualitas tinggi (atijāta putta). Ketika anak yang orangtuanya berlindung pada Tiratana dan menjalankan pañcasīlā Buddhis, demikian juga dia, ia disebut sebagai anak yang berkualitas serupa (anujāta putta). Dan anak disebut sebagai anak yang berkualitas rendah (avajāta putta) apabila orangtuanya berlindung pada Tiratana dan menjalankan pañcasīlā Buddhis, tetapi dia tidak berlindung pada Tiratana dan tidak menjalankan pañcasīlā Buddhis (It. 63). Dari sini jelas bahwa, agar tidak dikategorikan sebagai anak yang berkualitas rendah (avajāta putta), seseorang diharapkan untuk tetap menjadi Buddhis dan menjalankan pañcasīlā Buddhis.
Orangtua menginginkan lima hal dari anak yang terlahir di keluarga mereka. Lima itu antara lain:
- Setelah disokong oleh kita, dia akan menyokong kita (bhato vā no bharissati)
- Dia akan melakukan pekerjaan untuk kita (kiccaṃ vā no karissati)
- Garis keturunan akan terjaga (kulavaṃso ciraṃ ṭhassati)
- Dia akan menjaga warisan (dāyajjaṃ paṭipajjissati)
- Setelah kita mati, dia akan melakukan persembahan yang ditujukan kepada kita (atha vā pana petānaṃ kālaṅkatānaṃ dakkhiṇaṃ anuppadassatīti; A. III. 43)
Kalau anak pindah agama, dia tidak bisa menjaga garis keturunan keluarga. Kalaupun kulavaṃso diartikan sebagai tradisi keluarga, anak yang pindah agama mungkin masih bisa menjaga tradisi-tradisi baik yang telah diterapkan oleh orangtuanya dulu, tetapi pasti ada beberapa kasus yang bisa ditinggalkan. Ambil contoh, ketika orangtuanya merupakan penyokong para bhikkhu, ketika orangtuanya meninggal, anaknya pasti meninggalkan kebiasaan orangtua tersebut. Dengan demikan anak, tidak bisa melakukan kewajibannya sebagai anak terhadap orangtua untuk menjaga garis keturunan keluarga (D. III. 189).
Kalau anaknya pindah agama, harapan orangtua yang terakhir bisa pupus. Orangtua menginginkan, setelah kematiannya, anaknya melakukan persembahan, pelimpahan jasa, atau patidāna yang ditunjukkan kepadanya. Namun karena beda keyakinan, pelimpahan jasa mungkin diabaikan. Kalau ini terjadi, ia bukan hanya mengecewakan orangtua, tetapi ia juga tidak mampu menjalankan kewajibannya terhadap orangtua untuk melakukan pelimpahan jasa setelah mereka meninggal (D. III. 189).
Peran Orangtua Supaya Anaknya Tidak Pindah Agama
Dalam agama Buddha, anak bukanlah titipan, melainkan kekayaan dari manusia itu sendiri (puttā vatthu manussānaṃ; S. I. 37). Dengan pertimbangan ini, maka sudah menjadi kewajiban orangtua untuk menjaganya baik-baik. Orangtua berkewajiban melarang anaknya berbuat jahat, mendorongnya untuk selalu berbuat baik, memberikannya pendidikan, menentukan pasangan yang sesuai untuk anaknya, dan menyerahkan warisan di waktu yang tepat (D. III. 189). Orangtua juga hendaknya berperan serta agar anaknya tidak pindah agama. Orangtua sudah semestinya mendorong anaknya untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan Buddhis dan memberikan pendidikan yang dapat meningkatkan keyakinan anak terhadap Tiratana dengan cara menyekolahkannya di sekolah yang ada fasilitas untuk memperdalam agama Buddha.
Lebih daripada itu, orangtua berkewajiban untuk menentukan pasangan hidup anaknya. Dengan melihat alasan diatas, pasangan yang cocok untuk anaknya mestinya yang sama-sama Buddhis agar sejalan pemikirannya. Agama Buddha juga menganjurkan apabila pasangan istri ingin hidup harmonis baik di kehidupan ini maupun selanjutnya, pasangan istri haruslah sepadan dalam keyakinan (samasaddhā), kedermawanan (samacāgā), kemoralan (samasīlā), dan kebijaksanaan (samapaññā; A. II. 62).
Alasan yang mendasar mengapa pasangan harusnya sesama Buddhis, karena ketika sama-sama Buddhis, keduanya akan menaruh keyakinan pada Tiratana, hukum kamma, dan hukum kammavipāka. Dengan memiliki keyakinan yang demikian, maka mereka akan menjadi lebih dermawan karena agama Buddha mengajarkan kedermawanan. Dengan memiliki keyakinan terhadap hukum kamma dan hukum kammavipāka, mereka akan terkendali dalam kemoralan. Secara bertahap mereka akan semakin bijaksana dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Solusi yang Sudah Diberikan untuk Mengurangi Pindah Agama
Selain pernikahan, kelemahan di sektor pendidikan dan hubungan antar pemuda Buddhis sepertinya juga menjadi faktor kuat untuk pindah agama. Saya mengapresiasi atas didirikannya sekolah-sekolah tinggi agama Buddha. Setidaknya ini mampu bersumbangsih dalam meningkatkan mutu pendidikan pelajar Buddhis sekaligus sebagai benteng untuk tidak pindah agama. Sekolah-sekolah tinggi ini bukan hanya membantu para mahasiswa untuk memperdalam agama Buddha, tetapi juga memberikan peluang kerja di masa depan. Sekolah tinggi agama Buddha juga berperan sebagai wadah yang menapung para generasi Buddhis untuk bisa saling berinteraksi satu sama lain.
Saya juga mengapresiasi atas keterlibatan para bhikkhu berserta donatur yang menyediakan wadah untuk memberikan pendidikan pada generasi Buddhis. Pemberian beasiswa, pembangunan sekolah-sekolah Buddhis, penyediaan sarana prasarana yang memadai, mampu menjadi jembatan bagi para generasi Buddhis untuk tetap bersekolah dan juga tidak meninggalkan agamanya demi memasuki sekolah yang berbasis agama lain. Walau bisa dibilang sudah terlambat ketika para pemuda Buddhis di desa saya sudah banyak telanjur pindah agama, namun setidaknya ini memberikan peluang bagi generasi berikutnya.
Sampai sejauh ini, beberapa pemuda di desa saya terselamatkan untuk tidak pindah agama dengan memasuki kuliah di STAB Syailendra, STIAB Smaratungga, STAB Sriwijaya, dan ada beberapa yang menjadi suhu sambil melanjutkan pendidikan di STAB Dutavira. Untuk generasi-generasi tingkat SMA, sebagian diasuh oleh Bhante Bodhi di Gunung Kidul, Yogyakarta, sambil melanjutkan sekolah, dan ada juga beberapa yang menjadi anak asuh di Vihara Mahavira Semarang. Pusdiklat Buddhis Bodhidharma di Bandungan, Jawa Tengah, juga memberikan bantuan yang besar terhadap muda-mudi Buddhis di desa saya dengan menjadikannya sebagai anak asuh dan dibiayai untuk melanjutkan pendidikan lebih lanjut. Ada juga beberapa bantuan dari beberapa donatur pribadi untuk membantu menyekolahkan anak-anak Buddhis yang kurang mampu. Saya juga mengapresiasi kontribusi Saṅgha Theravāda Indonesia, yang sudah berperan aktif membantu menyediakan fasilitas-fasilitas sekolah Buddhis untuk PAUD dan TK di berbagai pelosok desa. Secara khusus ucapan terima kasih saya tunjukkan kepada Bhante Cattamano Thera, selaku padesanāyaka Jawa Tengah dari Saṅgha Theravāda Indonesia. Beliau telah berperan aktif dalam mengupayakan pendidikan untuk generasi muda-mudi Buddhis di daerah Jawa Tengah. Sebelum memutuskan untuk menjadi sāmaṇera, saya adalah anak asuh beliau yang akan didukung melanjutkan kuliah. Sudah ada beberapa anak asuh beliau yang menyandang gelar sarjana, masih kuliah, dan sebagian masih melanjutkan sekolah menengah. Tentu peran beliau cukup besar untuk menanggulangi perpindahan agama muda-mudi Buddhis yang semakin hari semakin bertambah.
Organisasi muda-mudi Buddhis yang dulu sempat mati suri akibat vakumnya pengurus berserta programnya, kini mulai merangkak kembali di desa saya. Dukungan dari pemerintah dengan dibangunkannya sekolah Dhammasekha mampu memberikan kontribusi positif untuk mengumpulkan kembali muda-mudi Buddhis beserta anak-anak sekolah minggu. Penyelenggaran berbagai kegiatan Buddhis yang melibatkan pemuda-pemudi Buddhis desa yang diadakan oleh organisasi muda-mudi Buddhis berskala nasional, seperti PATRIA, memberikan dampak positif karena dengan cara itu seluruh muda-mudi Buddhis dapat berkumpul bersama dan saling mengenal satu sama lain. Yang lebih penting adalah membuka mata para pemuda Buddhis desa supaya tidak minder sebagai umat minoritas karena di luar sana juga banyak teman yang sama-sama Buddhis.
Kesimpulan
Meskipun Tipiṭaka tidak memberikan penjelasan tentang larangan pindah agama, tetapi ada beberapa alasan supaya generasi muda tidak pindah agama. Agar anak tidak dikategorikan sebagai anak yang berkualitas rendah, ia diharapkan untuk tetap menjadi Buddhis (berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha) dan menjalankan pañcasīlā Buddhis sebagaimana orangtuanya. Kalau anak pindah agama, ia bukan hanya mengingkari kewajibannya terhadap orangtua, tetapi juga membuat orangtua kecewa. Anak yang pindah agama akan memutus garis keturuan keluarga atau menghilangkan tradisi baik keluarga dan juga mengabaikan upacara pelimpahan jasa untuk orangtuanya yang telah meninggal. Mengingat anak adalah kekakayaan dari orangtua itu sendiri, maka sudah semestinya orangtua menjaganya baik-baik dan memantabkan keyakinannya supaya tidak pindah agama.
Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Itivuttaka: The Buddha’s Sayings. Trans. John D Ireland. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Mahāvagga Vol. IV. London: Luzac & Company LTD, 1971.
Untuk poin ke 5 dari "orang tua menginginkan 5 hal dari anak yang terlahir di keluarga mereka"
ReplyDeleteKalau anaknya pindah agama, lalu orang tuanya meninggal, apa yang akan terjadi dengan orang tuanya ketika tidak mendapatkan persembahan dari anaknya ??
Apabila ia terlahir di alam yang kurang menguntungkan, ia tidak mendapat persembahan jasa kebajikan dari anaknya, karena anaknya tidak melakukannya. Banyak makhluk menderita yang berusaha mengganggu sanak keluarganya yang masih hidup supaya sanak keluarganya mengirim jasa kebajikan untuk mereka. Namun banyak yang gak sadar, bahkan berusaha untuk mengusirnya. Lebih jelasnya silakan baca asal mula Pattidāna
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteBerarti yang melakukan persembahan kepada mereka (yang sudah meninggal), tidak hanya keturunannya? Sanak keluarga juga melakukannya?
DeleteBisa dikatakan semuanya memiliki tugas untuk melakukan pelimpahan jasa, karena sebelum kita terlahir di dunia ini pun kita memiliki banyak sanak keluarga. Terutama sebagai anak, kita berkewajiban melakukan pelimpahan jasa yang ditujukan kepada orangtua yg telah meninggal, dan sanak keluarga, kerabat, atau teman yg telah meninggal. Iya, bukan hanya anak saja, semua sanak keluarga memiliki tugas untuk melakukan pelimpahan jasa.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteuntuk menjadi budhis harus mengucapkan triratna dalam hati. itu adalah dijaman sang budha ketika budha masih ada dan tradisi itu dilakukan sampai sekarang. sekarang ketika budha sudah tidak ada, hanya ada sangha dan darma, mengapa masih harus belindung pada budha? bagaimana berlindung pada budha ketika budha sudah parinibbana?? apakah cukup belindung pada sangha dan darma untuk menjadi budhis?
ReplyDelete