Itthīpi hi ekacciyā, seyyā posa janādhipa;
Medhāvinī sīlavatī, sassudevā patibbatā.
Seorang wanita, oh raja, bisa menjadi lebih baik daripada pria
Dia bisa menjadi bijaksana, bermoral, istri yang taat, dan hormat pada ibu mertua
(Mallikā Sutta: S. I. 85)
Pendahuluan
Buddhisme adalah salah satu agama yang merombak tradisi-tradisi yang mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Sistem kasta yang membagi kelompok masyarakat berdasarkan kelahiran dan keberadaan wanita yang diposisikan sebagai budak, dikritik keras oleh Buddhisme dan akhirnya Buddhisme memperkenalkan kesetaraan gender. Pembahasan ini akan menjadi semakin menarik karena di sini kita akan membahas tentang kasta, posisi wanita, pembebasan akhir bagi wanita, yang dikaji dengan sudut pandang Buddhisme.
Sistem Kasta
Sistem kasta muncul setelah invasi orang-orang Arya di peradaban lembah Indus. Penggolongan masyarakat ini tidak muncul begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup lama. Menurut Purusha Sukta, Rig Veda, terdapat empat pembagian kasta. Dikatakan bahwa brāhmaṇa dilahirkan dari mulut Brahma, kṣatriya dari bahunya, vaiśya dari pahanya, dan sūdra dari kakinya (Brāhmano asya mukhamāsid, bāhurājanyah krtah, ūruh tadsya yad vaisyam, padbhyām sūdro ajāyata: RV 10.90.11-12). Di sini para brahmana menduduki posisi yang paling tinggi di masyarakat. Kemudian disusul oleh kasta-kasta di bawahnya. Orang-orang sūdra adalah orang-orang yang paling rendah dan bahkan tidak memiliki banyak kebebasan untuk bekerja selain sebagai budak dari kasta-kasta di atasnya. Penggolongan ini ditentukan berdasarkan garis kelahiran. Orang yang dilahirkan dari keluarga brahmana akan tetap menjadi brahmana, sementara orang yang dilahirkan di keluarga sudra, akan tetap sebagai sudra dan takdirnya tidak bisa diubah.
Gagasan ini mendapat penolakan keras dari tradisi Sramana. Tradisi sramana bukan hanya menolak otoritas Veda, tetapi juga menolak sistem kasta. Buddha adalah salah satu guru yang termasuk di tradisi Sramana. Buddhisme menyikapi penggolongan masyarakat bukan berdasarkan kelahiran, tetapi penggolongan masyarakat terjadi karena pekerjaan. Aggañña Sutta juga melaporkan bahwa karena tugas dan profesi yang seseorang kerjakanlah yang membuat seseorang disebut khattiyā, brāhmaṇā, vessā, ataupun suddā (D. III. 96). Vāseṭṭha Sutta, Sutta Nipāta mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan antara manusia dari segi mata, hidung, telinga, rambut, dll. Yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya hanyalah persetujuan. Sebagai contohnya, jika seseorang memelihara sapi dan hidup dari pekerjaannya itu, ia disebut petani (kassako); hidup dengan keterampilan disebut pengrajin (sippiko), hidup dengan berdagang disebut pedagang (vāṇijo), hidup dengan upah melayani orang disebut pegawai (pessiko), hidup dengan mencuri disebut pencuri (coro), hidup dengan keterampilan memanah disebut prajurit (yodhājīvo), hidup dengan melayani kegiatan ritual disebut pendeta (yājako), atau orang yang hidup dengan mengatur negara atau desa disebut raja (rājā: Sn. 608-619).
Selain itu, kualitas dari setiap individu tidak bisa dinilai dari segi kelahiran, tetapi dinilai dari segi perbuatan. Dikatakan bahwa karena perbuatan seseorang adalah brahmana, dan karena perbuatan pula seseorang bukan-brahmana (Na jaccā brāhmaṇo hoti, na jaccā hoti abrāhmaṇo; Kammunā brāhmaṇo hoti, kammunā hoti abrāhmaṇo. M. II. 122; Dhp. 393). Itulah sebabnya di dalam Buddhisme pembebasan akhir tidak ada kaitannya dengan kasta. Buddha mendeskripsikan kesucian untuk semua empat kasta (samaṇo gotamo cātuvaṇṇiṃ suddhiṃ paññapeti. M. II. 147). Diibaratkan sebagaimana air samudra yang memiliki satu rasa, yaitu rasa garam (ekaraso loṇaraso), demikian pula ajaran Buddha memiliki satu rasa, rasa pembebasan (A. IV. 203). Semua dari kasta apapun bisa mencapai kesucian, dan Buddha mengijinkan kasta apapun untuk menjadi bhikkhu atau bhikkhuni di bawah bimbingan beliau.
Posisi Wanita
Sebenarnya posisi wanita sebelum tradisi brahmanisme mendapat posisi yang cukup tinggi. Di peradaban Mohenjodharo dan Harappa, wanita sepertinya lebih tinggi daripada pria. Ini terbukti dengan adanya istilah Jagan-matta atau dewi Sri. Bahkan di masa-masa awal setelah kedatangan bangsa Arya, posisi wanita belum goyah. Menurut Rig-Veda-Saṃhita, wanita mendapatkan posisi tinggi di masyarakat. Di waktu itu banyak wanita yang menyusun sutras. Di antara wanita yang cukup terkenal antara lain Vishvatara, Ghosha, Apala, Romasa, dan Lopamudra. Secara umum wanita-wanita tersebut dikenal sebagai Rishika atau Brahmavadini. Wanita memiliki kesempatan untuk belajar dan mengajar. Selain itu mereka juga memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan keagamaan.
Setelah tradisi brahmanisme berkembang, posisi wanita menjadi semakin menurun. Di dalam Bhagavathgita, posisi turun sebagaimana posisi Shudra atau kasta terendah. Manusmruti mencatat bahwa wanita tidak perlu melakukan pengorbanan atau mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. Wanita cukup patuh pada suami untuk bisa terlahir di alam surga. Di salah satu teks dikatakan bahwa wanita diciptakan sebagai pemuas nafsu pria saja. Menurut Satapatha Brahmana, tubuh wanita bukanlah milik wanita itu sendiri. Ketika wanita melawan suami, dia harus meminta maaf di depan umum. Ini tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan Shudra.
Di periode Upanishad, kedudukan waanita naik lagi. Wanita seperti Gargi dan Maitri mengangkat perdebatan filosofis dengan laki-laki. Oleh karena itu, wanita dipertimbangkan setara dengan pria atau bahkan bisa lebih.
Agama Buddha menyikapi posisi wanita setara dengan laki-laki. Mallikā Sutta dari Saṁyutta Nikāya mencatat sebuah cerita di mana istrinya Raja Kosala melahirkan anak perempuan. Raja Kosala terlihat sedih karena pada waktu itu masih banyak anggapan bahwa posisi wanita adalah rendah. Melihat ini kemudian Buddha memberikan nasihat bahwa seorang wanita dapat lebih baik dari pada seorang laki-laki. Seorang wanita bisa menjadi bijaksana dan bermoral, menjadi istri yang taat, dan hormat kepada mertua. Selain itu, anak laki-laki yang dia lahirkan bisa menjadi orang yang bijaksana atau raja yang mulia (S. I. 85).
Di lain kesempatan wanita dikatakan sebagai benda yang paling baik (Itthī bhaṇḍānaṃ uttamaṃ: S. I. 44). Ini karena wanita adalah barang yang seharusnya tidak diberikan (avissajjanīyabaṇḍattā); karena semua Bodhisatta dan raja pemutar roda dikandung dalam rahim seorang ibu. Bahkan permata yang paling berharga tidak disebut “benda terbaik” karena masih termasuk dalam kelompok barang yang dapat diberikan; tetapi seorang perempuan yang telah meninggalkan keluarganya tidak boleh dilepaskan kepada orang lain. Itulah mengapa wanita disebut sebagai benda terbaik. Lebih jauh lagi, seorang perempuan disebut benda terbaik karena ia adalah sumber pertama, tubuhnya adalah tempat lahirnya manusia berdarah murni yaitu para Buddha dan Arahanta.
Selama periode Brahmanisme, wanita tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan. Menurutnya, kegiatan keagamaan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki saja. Oleh karenanya, masyarakat pada umumnya berkeinginan untuk memiliki anak laki-laki supaya kelak anaknya bisa melakukan perbuatan-perbuatan berjasa yang bisa disalurkan kepadanya setelah mereka meninggal. Namun menurut Buddhisme, siapapun bisa melakukan perbuatan-perbuatan berjasa dan siapapun bisa menyalurkan jasa kebajikan yang telah mereka lakukan kepada sanak keluarga yang telah meninggal.
Sebagai tambahan, tugas antara suami dan istri juga terjalin secara timbal balik. Di sini istri bukan berperan sebagai pemuas nafsu suami. Berdasarkan Sigālovāda Sutta, terdapat lima cara seorang suami harus memperlakukan istrinya seperti arah Barat.
- Dengan menghormati (sammānanāya)
- Dengan bersikap ramah-tamah (anavamānanāya)
- Dengan kesetiaan (anaticariyāya)
- Dengan menyerahkan kekuasaan rumah tangga kepadanya (issariyavossaggena)
- Dengan memberi barang-barang perhiasan kepadanya (alaṅkārānuppadānena)
Apa yang harus dilakukan istri terhadap suaminya juga terangkum dalam Sigālovāda Sutta sebagai berikut:
- Menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik (susaṃvihitakammantā)
- Bersikap ramah-tamah terhadap sanak keluarga kedua belah pihak (saṅgahitaparijanā)
- Dengan kesetiaan (anaticārinī)
- Menjaga barang-barang yang diberikan suaminya (sambhatañca anurakkhati)
- Pandai dan rajin dalam melaksanakan segala tanggung jawabnya (dakkhā ca hoti analasā sabbakiccesu) (D. III. 190)
Pembebasan Akhir Bagi Wanita
Tujuan akhir dari Buddhisme adalah untuk mencapai pembebasan dari dukkha. Tujuan ini juga disebut sebagai nibbāna. Tujuan ini tidak membedakan gender. Dengan kata lain, pria maupun wanita bisa mencapai tujuan ini.
Menjadi wanita bukan berarti tidak memiliki harapan untuk mengakhiri penderitaan. Gotami Sutta secara jelas menceritakan bahwa ketika Buddha ditanyai oleh Bhikkhu Ananda tentang kemungkinan seorang wanita untuk mencapai sotāpatti, sakādāgami, anāgāmi, dan arahat, Buddha menjawabnya bahwa itu mungkin saja (A. IV. 276). Seorang wanita apabila bersunguh-sungguh mempraktikan Dhamma bisa saja mencapai tingkatan-tingkatan kesucian. Dengan alasan itu akhirnya Buddha mengizinkan wanita untuk menjadi bhikkhuni di bawah bimbingannya. Bhikkhuni pertama yang ditahbiskan adalah Mahāpajāpatī Gotami yang merupakan ibu tirinya sendiri (A. IV. 278).
Tingkat kemampuan wanita dalam memahami ajaran Buddha juga tidak berbeda dengan kemampuan yang dimiliki oleh para pria. Buddha menyebutkan Bhikkhuni Mahāpajāpatī Gotamī sebagai bhikkhuni yang paling terkemuka di dalam senioritas; Bhikkhuni Khemā terkemuka dalam kebijaksanaan agung; Bhikkhuni Uppalavaṇṇā terkemuka dalam potensi kekuatan supranatural; Bhikkhuni Paṭācārā terkemuka dalam ketaatan pada peraturan; Bhikkhuni Dhammadinnā terkemuka dalam penyampaian Dhamma; Bhikkhuni Nandā terkemuka dalam meditasi; Bhikkhuni Soṇā terkemuka dalam memunculkan semangat; Bhikkhuni Sakulā terkemuka dengan kemampuan mata batinnya; Bhikkhuni Bhaddā Kuṇḍalakesā terkemuka dalam pencapaian pengetahuan langsung dengan cepat; Bhikkhuni Bhaddā Kāpilānī terkemuka di dalam mengingat kehidupan-kehidupan lampau; Bhikkhuni Bhaddā Kaccānā terkemuka dalam pencapaian pengetahuan langsung yang agung; Bhikkhuni Kisāgotamī terkemuka di antara para pemakai jubah kasar; dan Bhikkhuni Sigālamātā terkemuka di dalam keyakinan (A. I. 25) Therigatha merupakan kitab yang berisi kumpulan syair-syair dari para Theri yang telah mencapai kesucian. Ini adalah bukti bahwa wanita juga memiliki cukup kemampuan untuk mencapai kesucian.
Kesimpulan
Buddha mengakui kesetaraan gender dengan menempatkan wanita di tempat yang setara dengan pria. Sikapnya ini menentang pandangan yang selama ini telah mengakar di masyarakat tentang ketidakmampuan wanita. Dalam Buddhisme, wanita bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian. Buddha juga memberikan kesempatan bagi wanita untuk menjadi bhikkhuni.
Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston:
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.