Saturday, June 24, 2017

Buddhisme di Mata Para Ilmuwan

0 comments
Pendahuluan
Buddhisme berdiri sejak abad ke enam sebelum masehi, dipelopori oleh putra Sakya yang meninggalkan istana dan menjadi Buddha. Sejak saat itu Buddha bersama dengan murid-muridnya menyebarkan ajaran kebenaran ke setiap penjuru hingga akhirnya Buddhisme menjadi agama yang mendominasi di wilayah India. Di abad ketiga sebelum masehi, berkat bantuan Raja Asoka, Buddhisme menyebar ke berbagai wilayah hingga di luar India. Kini sudah lebih dari dua ribu lima ratus tahun, Buddhisme masih eksis di berbagai negara. Belakangan, Buddhisme juga mendapat dukungan dari para ilmuan barat. Para ilmuwan tidak meragukan lagi isi dari ajaran Buddhisme. Artikel ini bermaksud untuk memberikan rangkuman tanggapan positif dari para ilmuwan terhadap Buddhisme. Secara singkat, kita akan membahas tentang Buddhisme di mata para ilmuwan.

Buddhisme di Mata Para Ilmuwan
Walau Buddhisme seringkali dianggap sebagai agama kuno, namun siapa sangka isi dari ajaran Buddha memiliki banyak relevansi dengan dunia ilmu pengetahuan. Ambil contoh, Albert Einstein yang mengungkapkan kesalutannya terhadap Buddhisme. Dia adalah fisikawan kelas dunia dengan penemuannya ‘Realitas Universal’ dan hukum alam E = mc2. Dalam seminarnya tentang ‘Science and Religion’ yang diadakan di Princetown, New Jersey, Amerika Serikat, dia mengungkapkan bahwa:

“Agama masa depan akan menjadi agama semesta. Itu harus melampaui sebuah Tuhan personal, menghindari dogma-dogma, dan teologi; bertemu baik alami dan spiritual. Itu harus berdasar pada sebuah arti keagamaan yang muncul dari pengalaman terhadap segala sesuatu, alami, dan spritual sebagai sebuah kesatuan yang berarti. Buddhisme menjawab deskripsi ini ... Jika seandainya ada agama yang dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhan ilmu pengetahuan modern, agama itu adalah Buddhisme.”

Buddhisme menjawab kebutuhan ilmu pengetahuan. Dikatakan agama harus melampaui sebuah Tuhan personal. Dalam Buddhisme, konsep penciptaan atas nama makhluk adi kuasa tidak ditemukan. Buddhisme percaya pada dewa-dewa, namun bukan sebagai sang pencipta. Buddhisme lebih menekankan pada setiap individu. Setiap individulah yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Bahkan Buddha sendiri hanya sebagai guru yang menunjukkan jalan (akkhātāro tathāgatā; Dhp. 276). Sehingga para pengikutnya harus berjalan masing-masing di jalan yang telah ditunjukkannya. Buddha menyadari bahwa oleh diri sendiri perbuatan buruk dilakukan, oleh diri sendiri seseorang terkotori. Dengan cara yang sama, oleh diri sendiri perbuatan buruk ditinggalkan dan oleh diri sendiri pula seseorang tersucikan (attanā va kataṃ pāpaṃ, attanā saṃkilissati; attanā akataṃ pāpaṃ, attanāva visujjhati: Dhp. 166).

Buddha bahkan mengkritik gagasan tentang penciptaan. Menurutnya, sebagaimana yang tercantum dalam Devadaha Sutta, jika kebahagiaan dan kesakitan yang seseorang rasakan adalah disebabkan oleh sang pencipta, berarti para Nigaṇṭhas pasti diciptakan oleh pencipta yang jahat karena sekarang mereka merasakan sakit yang begitu menyakitkan dan mengiris perasaan (M. II. 222). Dalam Jātaka-aṭṭhakatthā, dikatakan jika dunia diciptakan oleh dewa pencipta, kejahatan-kejahatan tertentu tidak dapat dijelaskan. Kalau memang ada sesosok dewa atau makhluk yang menciptakan seluruh isi alam semesta ini, lalu mengapa dia menciptakan orang-orang malang di dunia ini tanpa membuat seluruh makhluk bahagia; atau lalu apa tujuannya diciptakan dunia yang penuh ketidakadilan, penipuan, kebohongan, sombong; atau sang pencipta yang jahat menciptakan ketidakadilan sementara sebenarnya terdapat keadilan (JA. XXII. 406). Jika sang pencipta telah menciptakan alam semesta dan memerintahnya, manusia tidak akan bertanggung jawab atas moralnya dan pencipta menjadi jahat karena kejahatan-kejahatan dan penderitaan-penderitaan adalah ciptaannya juga (A. I. 174).

Albert Einstein mengatakan bahwa agama masa depan itu harus menghindari dogma-dogma. Buddhisme tidak meragukan hal ini, karena pada prinsipnya Buddhisme tidak mempercayai dogma-dogma. Menurut Buddhisme, agama tidak boleh diyakini sebagai dogma. Manusia yang menggenggam pandangan dogmatis tertentu dan menganggapnya sebagai yang tertinggi, akan menyatakan: ‘inilah yang paling hebat’. Pandangan lain yang berbeda dianggapnya sebagai rendah. Sebagai akibatnya, dia tidak akan terbebas dari perselisihan (Sn. 796.). Dalam Alagaddūpama Sutta, Buddha mengingatkan kita bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan diibaratkan sebagai rakit yang membantu untuk menyebrang dari lautan samsara, bukan untuk dilekati dan dijadikan bahan perdebatan (kullūpamaṃ vo, bhikkhave, dhammaṃ desessāmi nittharaṇatthāya, no gahaṇatthāya: M. 22. I. 134). Keyakinan dalam Buddhisme harus berdasar atau didasari dengan pemahaman (ākāravatī saddhā dassanamūlikā daḷhā), bukan keyakinan yang tak berdasar (amūlikā saddhā: M. I. 320).

Buddhisme tidak menjadikan tradisi dan penalaran sebagai sumber mencapai kebenaran tertinggi. Orang yang mendasarkan kebenara dari tradisi disebut sebagai anussavikā. Kebenaran menurutnya berdasarkan tradisi lisan (anussavena), tradisi turun-temurun (paramparaya), pendapat umum (itikiriya), kitab suci (piṭakasampadāya), orang pakar (bhauyarūpatāya), dan guru sendiri (samano no guru). Buddha dalam Kalama Sutta memberikan pandangan yang sebaliknya untuk tidak hanya sekadar mempercayai tradisi itu (A. I. 189). Buddha mengkritik anussava karena anussava tidak membawa pada titik pasti sebagai sumber kebenaran. Sesuatu yang berlandaskan anussava bisa saja mempunyai keterbatasan dalam hal memori pada saat penyampaian atau pada saat mewariskan teori itu secara turun-temurun. Selain itu, bahkan jika itu disampaikan secara tepat tanpa gangguan memori serta gangguan lainnya, tetap saja hal itu memiliki dua kemungkinan yaitu bisa benar dan bisa juga salah (anussavikassa kho pana...satthuno anussavasaccassa sussatampi hoti dussatampi hoti, tathāpi hoti aññathāpi hoti; M. I. 520).

Sementara orang yang mendasarkan kebenaran berdasarkan penalaran disebut takki vimaṃsi. Dalam Kālāma Sutta, yang tergolong sebagai takki vimaṃsi antara lain penalaran logika (takkahetu), penalaran lewat penyimpulan (nayahetu), melalui perenungan atas alasan (ākāraparivitakkena), penerimaan pandangan setelah menimbangnya (diṭṭhinijjhānakkhantiyā: A. I. 189). Lagi, Buddha tidak menyetujui bila penalaran dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran. Dalam Caṅki Sutta, dikatakan bahwa sesuatu yang mungkin sepenuhnya disetujui, disampaikan dengan baik, dinalar dengan baik, direnungkan dengan baik, dikatakan bisa saja kosong, hampa, dan salah. Sebaliknya, sesuatu yang tidak nalar dengan baik bisa saja benar, fakta, dan tidak salah (M. II. 170). Singkatnya, terdapat empat kemungkinan, yaitu dianggap baik kenyataannya benar (sutakkitaṃ tathā), dianggap baik kenyataannya salah (sutakkitaṃ aññathā), dianggap salah kenyataannya benar (dutakkitaṃ tathā), dianggap salah kenyataannya salah (dutakkitaṃ aññathā). Oleh karena itu, tidaklah tepat bagi yang bijaksana yang melindungi kebenaran datang dengan kesimpulan pasti bahwa ini yang paling benar dan yang lain salah (idaṃ eva saccaṃ moghaṃ aññaṃ) (M. II. 171).

Sementara Buddha mengaku sendiri bahwa Beliau merupakan salah satu petapa dan brahmana yang setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk diri mereka sendiri di antara hal-hal yang belum pernah didengar sebelumnya, mengaku mengajarkan dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan langsung di sini dan saat ini. Maka beliau termasuk salah satu guru empiris. Buddha merupakan guru yang mendasarkan ajaran tentang kehidupan yang baik pada apa yang telah dipahami dengan kemampuan super kognitifnya (abhiññā), tanpa tergantung pada sumber-sumber tradisi di luar pengalaman dan penyelidikan (pubbesu ananussutesu dhammesu sāmaṃ veva abhiññāya). Sumber pengetahuan yang dimaksudkan Buddhisme adalah pengetahuan yang bersumber dari pengetahuan exstrasensori (abhiññā), yaitu kekuatan magis (iddhividha), telinga batin (dibbasota), telepati (cetopariaññāṇa), kemampuan melihat kehidupan lampau (pubbenivāsānussatiññāṇa), mata batin (dibbacakkhuññāṇa), dan kemampuan penghancuran kotoran batin (āsavakkayaññāṇa). Pengetahuan yang dicapai dari pelenyapan kekotoran batin adalah pengetahuan yang paling valid.

Seorang filsuf German bernama Friedrich Nietzsche dengan berani mengungkapkan pernyataannya mengenai Buddhisme. Dia berpendapat bahwa:

“Buddhisme seratus kali lebih realistik dari pada agama-agama lain.”

Buddhisme bukan psimistik ataupun optimistik, melainkan realistik. Buddhisme menunjukkan kenyataan tentang penderitaan. Namun Buddhisme tidak berhenti sampai di situ saja, Buddhisme juga menunjukkan bahwa penderitaan dapat diakhiri dan jalan untuk mengakhiri penderitaan telah ditunjukkan. Metode untuk mengakhiri penderitaan sebagaimana yang dijelaskan lewat ajaran Empat Kebenaran Mulia bersesuaian dengan ilmu pengetahuan modern. Melalui Empat Kebenaran Mulia, Buddha menganalisa penderitaan, mendiagnosisnya, penyembuhannya, dan perawatan agar sembuh. Dengan kata lain, dukkha adalah penyakitanya, nafsu keinginan adalah hasil diagnosisnya, nibbāna adalah penyembuahannya, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah pengobatannya.

H.G. Wells, seorang jurnalis dan penasihat Inggris mengungkapkan bahwa:

“Buddhisme telah melakukan sesuatu yang lebih untuk kemajuan peradaban dunia dan kebudayaan yang benar dibandingkan dengan pengaruh-pengaruh (agama) lain dalam sejarah kehidupan manusia.”

Buddhisme memang telah merombak peradaban dan kebudayaan masyarakat India dan di sekitarnya. Pertama adalah persetaraan status sosial yang bebas dari sistem kasta. Buddhisme tidak menyejui sistem kasta yang selama ini telah mendiskriminasi manusia berdasarkan kelahiran. Menurut Buddhisme, penggolongan masyarakat terjadi karena pekerjaan. Karena tugas dan profesi yang seseorang kerjakanlah yang membuat seseorang disebut khattiyā, brāhmaṇā, vessā, ataupun suddā (D. III. 96). Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara manusia dari segi mata, hidung, telinga, rambut, dll. Yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya hanyalah persetujuan. Sebagai contohnya, jika seseorang memelihara sapi dan hidup dari pekerjaannya itu, ia disebut petani (kassako); hidup dengan keterampilan disebut pengrajin (sippiko), hidup dengan berdagang disebut pedagang (vāṇijo), hidup dengan upah melayani orang disebut pegawai (pessiko), hidup dengan mencuri disebut pencuri (coro), hidup dengan keterampilan memanah disebut prajurit (yodhājīvo), hidup dengan melayani kegiatan ritual disebut pendeta (yājako), atau orang yang hidup dengan mengatur negara atau desa disebut raja (rājā: Sn. 608-619).

Kualitas seseorang juga tidak bisa diukur berdasarkan dengan kelahiran. Tetapi karena perbuatanlah yang menentukan apakah ia disebut brahmana / luhur atau tidak (Dhp. 393). Dari situ Buddhisme muncul dengan budaya baru. Kesucian dapat dicapai oleh siapapun tanpa ada ikatan kasta (M. II. 147). Dan apapun kastanya, Buddha menginjikannya untuk menjadi bhikkhu atau bhikkhuni di bawah bimbingan beliau. Dalam hal ini Buddhisme juga menyetujui persamaan gender. Posisi wanita yang selama ini tertindas, sekarang mendapat kesempatan untuk praktik religious bahkan diperkenankan menjadi bhikkhuni.

Prof. Max. Muller, seorang profesor kehutanan di Jerman dan pengajar di bidang dunia timur mengatakan bahwa:

“Ajaran Buddha tentang moral merupakan ajaran yang paling sempurna yang dikenal di dunia ini.”

Buddhisme memberi perhatian penuh tentang kemoralan. Menurutnya, moral adalah dasar untuk praktik yang lebih tinggi. Moral sering diibaratkan sebagai anak tangga untuk naik menuju lantai berikutnya. Tentu, sebelum memiliki tangga, seseorang perlu mengetahui perbedaan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk terlebih dahulu. Ajaran Buddha pada dasarnya adalah sīla, samadhi, dan paññā. Dengan berlatih tiga hal ini, seseorang akan mampu mencapai tujuan dari Buddhisme.

Andas Hacklee mengungkapkan bahwa:
“Di antara agama-agama besar, hanya Buddhisme yang mengajarkan penganutnya tanpa merugikan, menghina, merusak orang lain. Dari semua aspek-aspek ini membuktikan bahwa Buddhisme mempunyai sistem kemasyarakatan yang lebih unggul dari ajaran-ajaran agama lainnya.”

Cinta kasih, kasih sayang, tanpa kekerasan, dan tidak merugikan makhluk apapun memang merupakan sifat dari ajaran Buddhisme. Aspek-aspek ini mendapat tempat yang paling dominan di ajaran Buddhisme. Buddha selalu mengingatkan siswa-siswanya untuk tidak merugikan orang lain kalau mereka sendiri tidak ingin dirugikan. Ini berlaku tidak hanya untuk sesama manusia, tetapi ditunjukkan kepada semua makhluk hidup. Menurut Buddhisme, menyiksa atau bahkan membunuh makhluk hidup sekecil apapun adalah tindakan yang tak bermoral dan harus dihindari. Dari lima aturan moral yang harus dipraktikan oleh umat awam, pantangan untuk tidak membunuh menempati posisi pertama. Di sini diharapkan umat Buddha berlatih untuk tidak membunuh apapun makhluk hidup. Semua makhluk hidup mencintai kehidupan. Setelah membandingkan dirinya dengan yang lain, maka tidak seharusnya ia membunuh makhluk hidup yang sama-sama mempunyai hak untuk hidup (Dhp. 130).

Kesimpulan
Walau ajaran Buddhisme disampaikan dua ribu lima ratus tahun yang lalu, ajaran-ajaran Buddhisme tidak kalah dengan ilmu pengetahuan modern yang semakin maju. Para ilmuwan menyadari keunggulan yang dimiliki Buddhisme dan telah memberikan apresiasi positif terhadap Buddhisme. Tidak heran bila belakangan ini banyak ilmuwan barat yang mulai tertarik untuk mempelajari Buddhisme. Dari penjelasan di atas, itu seharusnya menjadikan diri kita bangga dengan ajaran Buddha, karena menjadi Buddhis dan memiliki kesempatan untuk mempelajari Buddhisme merupakan kesempatan yang luar biasa. Buddhisme adalah ajaran untuk orang-orang yang bijaksana, bukan yang sebaliknya (paññavantassa ayaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo duppaññassa; D. III. 287).

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Gnanaratana, Pategama. 2010. Glimpses of Buddhist Wisdom. Maharagama: Tharanjee Prints.
www.Buddhisme.wordpress.com

No comments:

Post a Comment