Saturday, July 15, 2017

Kriteria Perbuatan Baik dan Buruk dalam Buddhisme

0 comments
Pendahuluan
Buddhisme adalah agama yang sepenuhnya mempertimbangkan perkembangan moral dan mental. Dengan kata lain, Buddhisme mengedepankan kemajuan moral dan juga spiritual. Ini dikuatkan dengan ajaran dasar para Buddha tentang mengindari kejahatan (sabbapāpassa akaraṇaṃ), memperbanyak kebaikan (kusalassa upasampadā), dan membersihkan pikiran (sacittapariyodapanaṃ: Dhp. 183). Dalam pembahasan moral, kriteria antara baik dan buruk sangat penting untuk diketahui. Pertama-tama seseorang perlu memahami apa yang baik dan apa yang buruk sebelum bertindak. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang kriteria baik dan buruk dalam Buddhisme.

Pembahasan
Dalam bahasa Pāli, perbuatan baik disebut kusala; perbuatan buruk disebut akusala. Terkadang term lain juga digunakan untuk membedakan antara yang baik dan buruk. Misalnya puñña dan pāpa (perbuatan berjasa dan perbuatan tidak berjasa), karaṇīya dan akaraṇīya (perbuatan yang harus dilakukan dan tidak dilakukan), sevitabba dan asevitabba (yang harus didekati dan tidak didekati), sukka dan kaṇha (putih dan hitam), bhāvetabba dan pahātabba (yang harus dikembangkan dan dihindari).

Kriteria baik dan buruk dalam Buddhisme tidak ditentukan oleh sesosok dewa atau Brahma. Baik dan buruk dalam Buddhisme berdasar pada aspek psikologi dan penerapan. Dari aspek psikologi, semua hal yang berakar dan menyebabkan berkembangnya keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha) dianggap sebagai perbuatan buruk, karena tiga hal itu disebut sebagai akar dari perbuatan buruk (lobho, doso, moho akusalamūlaṃ; M. I. 47). Sebaliknya, perbuatan yang dapat mengurangi keserakahan, kebencian, dan kebodohan dipertimbangkan sebagai perbuatan yang baik (alobho, adoso, amoho kusalamūlaṃ) Dari aspek penerapan, kriteria baik dan buruk ditentukan dengan melihat segi manfaatnya. Selain itu, dampak dari perbuatan yang mengakibatkan kerugian, bahaya, atau penderitaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan buruk. Sementara yang baik adalah yang sebaliknya.

 Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta menjelaskan kriteria baik dan buruk dengan menggunakan diri sendiri sebagai tolak ukur. Dikatakan jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran itu membawa kerugian dan penderitaan bagi diri sendiri atau orang lain atau keduanya, itu dianggap sebagai perbuatan buruk. Sedangkan jika perbuatan yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran itu tidak membawa kerugian dan penderitaan diri sendiri atau orang lain, ataupun keduannya, adalah perbuatan baik (M. I. 415-416).

Sebelum seseorang bertindak, seseorang hendaknya merenungkan apakah perbuatan itu:

  • Membahayakan diri sendiri (attabyābādhāyapi saṃvatteyya)
  • Membahayakan yang lain (parabyābādhāyapi saṃvatteyya)
  • Membahayakan keduanya (ubhayabyābādhāyapi saṃvatteyya)

Jika perbuatan yang akan dilakukan dapat menyebabkan hal itu, maka seseorang hendaknya segera membatalkan dan berusaha untuk tidak melakukannya. Namun, seseorang hendaknya melakukan perbuatan apabila perbuatan itu:

  • Tidak membahayakan diri sendiri (nevattabyābādhāyapi saṃvattati)
  • Tidak membahayakan yang lain (na parabyābādhāyapi saṃvattati)
  • Tidak membahayakan keduanya (na ubhayabyābādhāyapi saṃvattati)

Dari pernyataan ini jelas bahwa diri sendiri sangat menentukan kriteria baik dan buruk. Di sini, seseorang juga tidak bisa mengatakan bahwa itu perbuatan yang baik apabila itu sepenuhnya merugikan dirinya sendiri. Karena itu pula dalam Dhammapada dikatakan bahwa hendaknya seseorang tidak mengabaikan kesejahteraannya sendiri demi kepentingan orang lain (attadatthaṃ paratthena, bahunāpi na hāpaye: Dhp. 166).

Dari sini kita tahu bahwa kriteria baik dan buruk dalam Buddhisme dilihat dengan mempertimbangkan dua aspek; diri sendiri dengan orang lain. Membandingkan diri sendiri dengan orang lain ini disebut sebagai cermin Dhamma. Cermin ini berfungsi untuk melihat diri sendiri di posisi orang lain (attānaṃ upamaṃ). Kita sadar bahwa semua makhluk takut pada hukuman (sabbe tasanti daṇḍassa), takut pada kematian (sabbe bhāyanti maccuno), dan semua makhluk mencintai kehidupan (sabbesaṃ jīvitaṃ piyaṃ). Setelah menempatkan diri kita di posisi makhluk lain yang sama-sama ingin hidup, maka hendaknya seseorang tidak membunuh atau menyebabkan yang lain terbunuh (attānaṃ upamaṃ katvā, na haneyya na ghātaye: Dhp. 129-130).

Veḷudvāreyya Sutta dari Saṁyutta Nikāya memberikan uraian menarik tentang membandingkan perasaan diri sendiri dengan yang lain sebagai tolak ukur sebelum seseorang bertindak (attupanāyiko dhammapariyāyo: S. V. 353-356). Di sini seseorang harus merenungkan demikian ‘saya adalah orang yang ingin hidup, tidak ingin mati; saya menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan; ketika saya menginginkan demikian, jika ada seseorang yang ingin mengambil hidup saya, ini tidak menyenangkan bagiku. Demikian orang lain yang juga menginginkan hal yang sama denganku, jika aku ingin mengakhiri hidupnya, ini tidak menyenangkan baginya.’ Dengan merenungkan demikian, seseorang akan berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap orang lain, karena orang lain adalah sama dengan dirinya sendiri. Dengan cara yang sama, seseorang merenungkan dan membandingkan orang lain dengan dirinya sendiri, tidak akan melakukan pencurian, perbuatan asusila, berbohong, berucap memecahbelah, berkata kasar, dll.

Dari sutta ini kita belajar memahami bahwa semua makhluk menginginkan hidup dan tidak ingin mati (jīvitukāma amaritukāma); menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan (sukhakāma dukkhappaṭikūla). Setelah membandingkan dirinya dengan orang lain, seseorang tidak akan merebut kebahagiaan orang lain sebagaimana dirinya tidak ingin kebahagiaanya hilang.

Anumāna Sutta, Majjhima Nikāya juga memberikan penjelasan yang serupa. Kriteria diri sendiri (attūpamā) dapat digunakan untuk menentukan baik dan buruk (M. I. 98). Setelah seseorang merenungkan bahwa orang yang dengan keinginan buruk dan dipenuhi dengan niat buruk tidak membuatnya nyaman, maka ia tidak akan menjadi seperti itu. Namun, terkadang seseorang bisa menghindari perbuatan buruk dengan pertimbangan-pertimbangan berikut:

  • Akan menyalahkan dirinya sendiri setelah melakukan perbuatan itu (attāpi maṃ upavadeyya).
  • Setelah memeriksanya, bijaksawan akan mencela (anuviccāpi maṃ viññū garaheyyuṃ).
  • Sebagai akibatnya seseorang akan terlahir di alam rendah setelah kematian (kāyassa bhedā paraṃ maraṇā duggati pāṭikaṅkhā; M. I. 361).

Kālāma Sutta juga memberikan gambaran tentang kriteria baik dan buruk (A. I. 191-193). Untuk menentukan baik dan buruk tidak semuanya karena tradisi atau karena nalar. Perlu dicatat bahwa sutta ini  sebenarnya tidak mengajarkan kita untuk menjadi skeptis terhadap tradisi dan nalar. Ada kala tradisi dan nalar ada benarnya. Tetapi tradisi dan nalar tidak boleh dijadikan sebagai patokan utama karena dalam tradisi bisa saja terdapat kesalahpahaman. Seperti misalnya membunuh yang dalam tradisi atau kitab suci dibolehkan, tapi dalam kenyataan membunuh adalah perbuatan yang kejam. Apapun perbuatan yang kejam harus dihindari. Seseorang seharusnya meninggalkan perbuatan apabila dirinya sendiri tahu bahwa perbuatan itu: tidak baik (akusalā), tercela (sāvajjā), dikritik oleh bijaksanawan (viññugarahitā), dan jika dilakukan menuntun pada bahaya dan penderitaan (samattā samādinnā ahitāya dukkhāya saṃvattanti). Sebaliknya, perbuatan yang seharusnya dilakukan adalah perbuatan yang: baik (kusalā), tidak tercela (anavajjā), dipuji oleh para bijaksanawan (viññuppasatthā), jika dilakukan menuntun pada kesejahteraan dan kebahagiaan (samattā samādinnā hitāya sukhāya saṃvattantīti).

Biasanya seseorang menentukan kriteria baik dan buruk dengan tiga cara:

  1. Hati nurani sendiri (attādhipateyya). Attādhipateyya berarti diri sendiri sebagai otoritasnya. Dalam hal ini diri sendiri mempengaruhi seseorang dalam bertindak. Seseorang memutuskan untuk berbuat sesuatu karena dasar diri sendiri. Ketika seseorang sadar bahwa perbuatan yang dilakukan dapat bermanfaat bagi diri sendiri, ia akan melakukan perbuatan itu.
  2. Apa kata dunia (lokādhipateyya). Lokādhipateyya berarti dunia luar sebagai otoritasnya. Dalam hal ini, seseorang bertindak dengan melihat dunia luar. Maksudnya karena ada dorongan dari luar atau masyarakat seseorang bertindak. Ketika dalam masyarakat perbuatan tertentu dipandang tidak baik, seseorang setelah melihat ini tidak akan melakukannya dengan alasan tidak ingin dicela oleh pihak luar.
  3. Apa kata Dhamma (dhammādhipateyya). Dhammādhipateyya berarti Dhamma sebagai otoritasnya. Dengan  Dhamma seseorang bertindak. Di sini seseorang tidak akan bertindak bila itu bertentangan dengan ajaran, dan seseorang akan bertindak bila itu sesuai dan dianjukan oleh ajaran kebenaran. Selain itu, Dhamma di sini juga bisa diartikan sebagai norma atau hukum yang berlaku di masyarakat. Karena menaati peraturan, seseorang bertindak sesuai dengan apa yang dibolehkan hukum.  (A. I. 148-150).

Kesimpulan
Perbuatan baik adalah perbuatan yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan keduanya. Sementara perbuatan jahat adalah perbuatan yang merugikan diri sendiri, orang lain, dan keduanya. Selain itu, perbuatan buruk adalah perbuatan dicela oleh para bijaksanawan. Sementara perbuatan baik selalu dipuji para bijaksanawan. Akibat dari melakukan perbuatan buruk, seseorang dapat dilahirkan di alam yang menderita. Sedangkan akibat dari melakukan perbuatan baik, seseorang dapat dilahirkan di alam bahagia setelah kematian. Seseorang yang dapat memahami apa yang baik dan apa yang buruk, disebut sebagai orang yang memiliki pandangan benar (sammādiṭṭhi) tingkat paling dasar. Karena dengan memahami ini seseorang dapat memiliki hirī dan ottappa di dalam diri mereka sendiri. Hirī adalah malu berbuat kejahatan. Ottappa adalah takut akan akibat perbuatan jahat. Dengan demikian, seseorang akan diarahkan pada perkembangan moral dan juga mental sebagaimana yang sering ditekankan oleh Buddha sendiri.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Jayatilleke, K.N. 2010. Facets of Buddhist Thought. Kandy: Buddhist Publication Society.

No comments:

Post a Comment