Thursday, February 9, 2017

Berdana Membangun Kepedulian

0 comments
Berdana Membangun Kepedulian
Akkhodhena jine kodhaṁ, asādhuṁ sādhunā jine
Jine kadariyaṁ dānena, saccena alikavādinaṁ
Kalahkan kemarahan dengan ketidakmarahan,
Kalahkan kejahatan dengan kebaikan,
Kalahkan kekikiran dengan kedermawanan,
Kalahkan dusta dengan kejujuran
(Dhammapada: 223)

Pendahuluan
Kehidupan akan jauh lebih bermakna jika seseorang memiliki kepedulian terhadap sesama. Memberi atau yang lebih dikenal dengan berdana, merupakan salah satu wujud sikap kepedulian. Ini adalah sikap di mana seseorang membuka hati dan mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap tolong menolong adalah sikap yang sangat diperlukan dalam membangun kerukunan.

Sangatlah menghawatirkan, budaya saling tolong menolong dewasa ini mengalami kemerosotan. Zaman modern yang serba instan telah memperdayakan manusia untuk melupakan budaya tolong menolong. Kehidupan zaman modern telah merubah pola pikir yang membentuk sikap individualis. Tidak jarang kita menemukan orang-orang yang hanya berlalu lalang dengan kepentingannya sendiri, sementara orang-orang pinggiran mengeluh kesusahan dan menjerit minta pertolongan. 

Kehidupan yang berkecukupan juga belum dapat merubah seseorang untuk menumbuhkan kepedulian. Banyak orang kaya, makmur, memiliki harta berlimpah, tetapi masih miskin hati. Dengan kata lain, banyak orang yang berkecukupan masih sulit untuk mengulurkan tangannya untuk membantu orang lain. Padahal setiap agama juga telah mengajarkan tentang pentingnya sikap tolong menolong. Sangatlah ditekankan sekali bahwa kehidupan bukan hanya untuk mengejar materi semata, tetapi kehidupan juga perlu digunakan dalam hal berbuat kebajikan sebagai jalan spiritual. Kebahagiaan bukan karena memiliki harta kekayaan yang melimpah, tetapi kebahagiaan adalah ketika melihat orang lain bahagia atas pertolongan yang kita berikan. 

Signifikansi sikap memberi dalam upaya menumbuhkan rasa kepedulian ditekankan oleh semua agama. Agama Buddha juga sangat menekankan sikap memberi kepada makhluk lain yang membutuhkan. Artikel ini bertujuan untuk membahas bagaimana perbuatan memberi dalam Buddhisme untuk membangun kepedulian.

Perbuatan Memberi Dalam Pengertian Umum
Perbuatan memberi merupakan suatu perbuatan baik yang sudah diketahui oleh pengertian umum. Setiap agama apapun juga mengakui perbuatan baik lewat memberi. Meskipun dengan bahasa dan cara penyampaian yang berbeda-beda, tetapi pada intinya sama, yaitu perbuatan memberi sebagai wujud kepedulian. Agama apapun juga menyetujui bahwa perbuatan memberi adalah baik.

Semua agama memuji perbuatan baik dengan berdana atau memberi. Banyak pernyataan baik di mata umum bahwa memberi merupakan perbuatan yang baik. Tidak hanya agama Buddha saja yang mengajarkan tentang perbuatan memberi, namun semua agama juga mengajarkan perbuatan baik ini. 

Dalam tradisi budaya pedesaan biasanya sangat kental dengan budaya memberi, baik itu dalam bentuk materi maupun tenaga. Sebagai contohnya, ketika salah satu keluarga mengadakan suatu acara seperti hajatan, pernikahan, kitanan, ataupun acara apa saja, termasuk mendirikan rumah baru, dan ketika ada sanak keluarga yang meninggal, warga desa memiliki kebiasaan “nyumbang”. Itu merupakan contoh dari kebiasaan memberi dalam bentuk materi, namun ada pemberian dalam bentuk tenaga yang merupakan ciri khas dari masyarakat desa, yaitu gotong-royong atau kerja bakti. Biasanya budaya ini terwujud ketika salah satu warga membangun rumah, membangun jalan, panen, atau pun kegiatan yang lainnya, tanpa diundang dan diminta sekali pun warga kampung turut berdatangan untuk membantu. Budaya memberi ini telah diterapkan oleh masyarakat desa, bahkan sudah menjadi kebiasaan yang apabila tidak dipatuhi akan mendapat sanksi sosial, seperti menjadi topik pembicaraan banyak orang. Sehingga dengan ini, budaya malu juga tumbuh bersama motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan itu.

Tidaklah mengherankan jika suatu kelompok masyarakat pedesaan tergolong memiliki kepedulian yang lebih tinggi. Bersama kepedulian dari perwujudan berdana, tolong menolong, serta kerja sama inilah yang menjadikan suasana kekeluargaan menjadi lebih akrab. Dari sana muncul keharmonisan yang terjalin bersama antar warga masyarakat. Di situlah sesungguhnya makna dari perbuatan memberi yang menumbuhkan kepedulian. Peduli secara subjektif maupun objektif. Dengan kata lain, peduli terhadap diri sendiri, dan juga peduli terhadap lingkungan masyarakat.

Ajaran Agama Buddha tentang Kebaikan dari Memberi
Dalam agama Buddha sikap tolong menolong atau berdana, merupakan landasan dasar berbuat kebajikan. Perbuatan memberi dalam bahasa Buddhis lebih dikenal dengan istilah dāna. Secara umum dāna dapat diartikan dalam bahasa indonesia sebagai dana, amal, sedekah, pemberian, atau hadiah. Berdana atau memberi inilah yang akan membangun sikap kepedulian. Berdana dalam agama Buddha lebih ditekankan dalam praktik kebajikan. Buddha  sendiri menggunakan dana sebagai dasar kebajikan sebelum berbuat kebajikan yang lebih tinggi. Ini dibuktikan bahwa banyak sekali ajaran Buddha yang mengajarkan tentang pentingnya berdana. Biasanya dana diletakkan dalam posisi yang lebih awal sebelum seseorang berbuat kebajikan yang lebih tinggi. Ini karena dana dikelompokkan sebagai kebajikan yang paling mudah dilakukan. Siapapun orangnya, apapun agamanya, bagaimanapun moralnya, bahkan orang yang jahat yang tidak memiliki moral dan pengertian yang benar sekalipun dapat melakukan perbuatan berdana.

Ketika Buddha mengajarkan ‘Khotbah Bertingkat”, Buddha mengawalinya dengan perbuatan berdana. Dalam “Tiga Landasan Perbuatan Berjasa”, dana merupakan unsur pertama dari ketiga perbuatan lainnya. Setelah perbuatan memberi (dāna), kemudian disusul dengan praktik moral (sīla), dan pengembangan batin (bhāvanā). 

Berdana juga merupakan perbuatan yang pertama dari ajaran sepuluh pāramitā yang harus disempurnakan oleh seorang Budhisatta. Untuk menjadi seorang Buddha, seorang Bodhisatta perlu menyempurnakan paramita. Masih banyak contoh yang lainnya tentang pentingnya berdana. Dalam sudut pandang yang lain, dāna juga didefinisikan sebagai cāga, yaitu kedermawanan. Sehingga praktik memberi adalah langkah untuk membangun sifat hati yang dermawan - sifat di mana seseorang memiliki banyak kepedulian yang sudah terlatih dalam perbuatan memberi. 

Bentuk-Bentuk Pemberian
Perlu diketahui bahwa, dalam praktik berdana bukan hanya memberi dalam bentuk materi. Namun di mata umum, pengertian berdana biasa di diartikan sebagai memberi dalam bentuk materi. Sementara dalam ajaran Buddha, ada banyak macam bentuk pemberian. Dari semua jenis bentuk pemberian dapat diklarifikasikan menjadi tiga bentuk dana, yaitu:

Āmisa-dāna adalah pemberian dana dalam bentuk materi, benda, atau barang-barang. Bentuk dana jenis ini adalah dana yang umum diketahui di mata orang banyak. Ini tergolong mudah untuk dilakukan, dan semua orang bisa melakukan ini. Bentuk barang dapat berupa makanan, minuman, uang, pakaian, dll.

Abhaya-dāna adalah pemberian dana dalam bentuk kenyamanan atau kebebasan makhluk lain. Pemberian jenis ini dapat berupa dengan praktik sila yang baik, sehingga membuat orang lain merasa nyaman dan tidak takut dengan kehadiran kita. Sila yang paling dasar ialah lima latihan moral, yaitu berlatih untuk tidak membunuh, mencuri, berbuat asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Dengan demikian, kita memberikan kebebasan, kedamaian, ketenangan, cinta kasih dan banyak hal positif lainnya. Contoh yang lain adalah dengan membebaskan makhluk lain dari ketakutan dan ketidaknyamanan, seperti melepas bintang-bintang ke alam bebas.

Dhamma-dāna adalah pemberian dalam bentuk dhamma, nasihat-nasihat, atau pengertian-pengertian yang baik. Pemberian jenis ini dikategorikan pemberian yang paling tinggi. Sebagaimana Buddha mengatakan dalam syair dhammapada bahwa pemberian kebenaran (dhamma) mengalahkan segenap pemberian lainnya (Sabbadānaṁ dhammadānaṁ jināti; Dhp. 354. p. 183; It. p. 181). Dengan kata lain pemberian dhamma adalah pemberian yang tertinggi dari semua jenis pemberian. Pemberian ini tergolong tinggi karena ini merubah dari yang tidak tahu menjadi tahu. Seperti kata pepatah mengatakan bahwa, “pengetahuan adalah harta yang tertinggi”, sehingga memberikan pengetahuan merupakan pemberian yang tertinggi.

Itu adalah tiga jenis bentuk pemberian. Dan dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa dana merupakan praktik yang paling dasar. Alasannya adalah ketika seseorang melakukan kebajikan yang lainnya, seperti praktik moral, mengembangkan batin, dan kebajikan yang lainnya, di dalam praktik tersebut terdapat unsur-unsur dana. Praktik moral berarti berdana kenyamanan bagi makhluk lain. Praktik pengembangan batin, khususnya metta bhavana, seseorang memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk, yang ujung-ujungnya terwujud dalam kepedulian di kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam segala aspek perbuatan baik terdapat unsur-unsur dana di dalamnya.

Kepada Siapa Dana Hendaknya Diberikan
Ada keyakinan dan kemantapan yang berbeda-beda ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain. Apa lagi jika orang yang menerima pemberian kita adalah orang yang tepat dan pantas untuk menerima pemberian kita. Tidak jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, orang yang kita berikan kepedulian serta uluran tangan, ternyata tidak pantas menerima itu semua. Akibatnya pikiran negatif kita menjadi tumbuh bersama kebencian, timbul penyesalan, ataupun kecewa. Oleh karena itu, berbagai sutta telah merangkum siapa saja yang benar-benar pantas menerima pemberian itu. Namun bukan berarti kita membenci mereka yang tidak pantas diberi, kalaupun ada sesuatu yang lebih, mereka juga pantas diberi belaskasihan, yang terpenting adalah jangan biarkan kebencian menjadi tumbuh bersama kebajikan yang kita lakukan.

Di dalam Nidhikaṇḍa Sutta, terdapat catatan tentang bagaimana memendam harta karun kebajikan, salah satunya dengan praktik berdana. Di sini disebutkan tentang kepada siapa perbuatan itu ditujukan. Dalam sutta ini tercatat kepada cetiya, pada saṅgha, pada orang atau pun pada para tamu, ibu dan ayah, serta saudara tua (Khp. p. 8-10). Mereka semua adalah orang yang sesungguhnya pantas menerima pemberian, namun jangan disalahartikan bahwa pemberian hanya boleh kepada mereka semata. Pemberian boleh diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, tidak hanya pada mereka. Namun lazimnya, yang disebutkan di sini adalah orang yang lazim diberikan pemberian. 

Kepada cetiya atau kepada sangha merupakan wujud penghormatan dalam aspek spiritual keagamaan. Pemberian kepada tamu, orangtua, serta saudara merupakan wujud implementasi dari penghormatan yang disertai moralitas. Dalam lingkup sosial, pemberian terhadap tamu, orangtua, dan saudara merupakan hal yang sudah umum dikenal masyarakat. Di sana, ada unsur penghormatan serta sikap menghargai oranglain, termasuk kepada orangtua. Budaya Jawa perihal pemberian terhadap apa yang disebutkan di atas, merupakan hal yang sudah lazim dikenal. 

Dalam Sakkasaṁyutta, Saṁyutta Nikāya, terdapat sebuah kisah di mana pada suatu ketika Buddha sedang berada di Rajagaha, di puncak Gunung Nasar, terdapat sesosok Dewa Sakka yang mengajukan pertanyaan kepada Buddha, “Bagi orang-orang yang memberikan dana makanan, bagi makhluk-makhluk hidup yang mencari jasa kebajikan, melakukan jasa berjenis duniawi, di manakah pemberian menghasilkan buah yang besar?” Sebagai jawabannya adalah pemberian yang diberikan kepada Saṅgha ialah yang memberikan buah yang besar (S. p. 332-333). Sebenarnya Saṅgha yang dimaksud di sini adalah empat pasang makhluk suci atau yang terdiri dari delapan jenis makhluk suci (cattari purisayugāni, aṭṭha purisapuggalā). Mereka adalah ‘Ariya Saṅgha’ yakni, makhluk-makhluk yang telah mencapai Sotāpattimagga, Sotāpattiphala, Sakadāgāmimagga, Sakadāgāmiphala, Anāgāmimagga, Anāgāmiphala, Arahattamagga, Arahattaphala.

Saṅgha sering diumpamakan sebagai ladang subur, yang dapat menghasilkan buah yang baik. Orang yang berdana kepada mereka diibaratkan sebagai petani yang sedang menanam benih. Ketika seseorang menanam di ladang yang subur dengan di ladang yang tandus, tentu di ladang yang suburlah buah akan membuahkan kualitas yang baik. Ini adalah mengapa penerima dana juga dikategorikan sangat penting dalam aspek manfaat. Penerima dana yang berperilaku lurus adalah ladang subur yang cocok untuk ditanami benih kebajikan. Kepada orang yang hidupnya lurus adalah pemberian yang amat dipuji. 

Kemudian di dalam Magha Sutta, Sutta Nipata, diceritakan bahwa pada suatu hari, seorang brahmana muda yang bernama Magha, datang untuk menemui Buddha. Dia bertanya, ‘Orang-orang yang bagaimanakah yang pantas mendapat persembahan?’ (Sn. 489. p. 56). Sebagai jawabannya akhirnya Buddha mengatakan, ‘Ada orang yang berkelana di dunia ini tanpa kemelekatan, tanpa harta benda, tanpa apa pun. Mereka telah utuh dan lengkap, dan mereka memiliki pengendalian diri. Jika tiba waktunya untuk memberi, itulah orang-orang yang pantas diberi. Kepada orang-orang itulah para brahmana yang berniat baik seharusnya memberi (Sn. 490. p. 56). Dalam sutta ini mencatat semua orang yang patut diberi persembahan, yang pada intinya adalah mereka yang telah melenyapkan kotoran batin.

Telah disinggung dalam Aṅguttara Nikāya, bahwa persembahan yang diberikan kepada orang yang luhur akan memberikan buah yang besar (A. p. 255). Di sini, Buddha juga menyatakan bahwa pemberian kepada orang yang tidak luhur tidak sebanding dengan pemberian yang diberikan kepada orang yang luhur. Identifikasi orang yang luhur adalah orang yang telah meninggalkan lima sifat, nafsu indera, niat jahat, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan dan kecemasan, dan keragu-raguan. Orang yang luhur, selain meninggalkan lima sifat tersebut juga memiliki keluhuran, konsentrasi, kebijaksanaan, pembebasan, dan pengetahuan. Jadi, dapat dikatakan bahwa kepada siapa pemberian itu diberikan sangat memengaruhi buah yang dihasilkan.

Motif-Motif Berdana
Seringkali kita berhadapan dengan motif-motif yang mendorong seseorang untuk memberikan sesuatu. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa motif-motif berdana telah diselidiki oleh Buddha sendiri. Dalam identifikasinya, ada beberapa alasan mengapa seseorang berdana. Dalam Aṅguttāra Nikāya, Buddha menunjukkan beberapa motif-motif yang mendorong seseorang untuk berdana (A. p. 1165-1166). 

Motif-motif itu antara lain:
Āsajja dānaṁ deti adalah memberi dengan kejengkelan, atau sebagai cara untuk menyinggung si penerima, atau dengan gagasan untuk menghina si penerima.
Bhaya dānaṁ deti adalah memberi karena dorongan rasa takut.
Adāsi me ti dānaṁ deti adalah berdana dengan alasan balas jasa kebajikan orang lain atas apa yang telah diberikan kepada dirinya di waktu lamapu.
Dassati me ti dānaṁ deti adalah seseorang berdana dengan harapan agar mendapatkan bantuan yang serupa di masa yang akan datang.
Sādhu dānaṁ ti dānaṁ deti adalah seseorang berdana karena mengetahui bahwa perbuatan berdana merupakan perbuatan yang baik.
Ahaṁ pacāmi, ime ne ñnti, na aharāmi pacanto apacantanaṁ adātun ti dānaṁ deti adalah seseorang yang berdana karena berpikir, “aku memasak, sedangkan mereka tidak. Tidaklah pantas bila aku yang memasak tidak memberi mereka yang tidak memasak.”
Imaṁ me dānaṁ dadato kalyāṇo kittisaddo abbuggacchati ti dānaṁ deti adalah berdana dengan tujuan untuk mendapatkan popularitas atau reputasi baik di mata umum.
Cittālankāra-cittaparikkharattham dānaṁ deti adalah berdana dengan tujuan untuk menghiasi dan memperindah pikiran.

Dari delapan motif yang mendorong seseorang berdana, dapat diketahui bahwa chanda, dosa, dan moha juga merupakan faktor yang mendorong seseorang melakukan praktik berdana. Ada banyak alasan-alasan mengapa seseorang berdana. Dalam kehidupan sehari-hari motif karena ingin mendapat popularitas adalah motif yang sering dijumpai. Banyak orang bertampang dan berlagak dermawan tetapi ada maksud di balik itu semua. Motif-motif rendah dengan harapan agar mendapatkan seperti apa yang telah diberikan juga banyak terjadi. Terlebih lagi motif ingin terlahir kembali di alam surga adalah motif yang sudah umum dalam pengertian masyarakat. Dalam masing-masing agama juga memiliki daya tarik yang mendorong umat untuk melakukan praktik memberi, daya tarik itu adalah jaminan masuk surga atau alam-alam bahagia setelah kematian. Agama Buddha sendiri juga memiliki konsep layaknya agama-agama yang lain yang menyatakan bahwa dengan praktik memberi akan membawa pada alam-alam bahagia di kehidupan yang akan datang.

Padahal sesungguhnya berdana memiliki karakteristik untuk melepas kemelekatan, termasuk melepas harapan-harapan dari berdana. Berdana yang baik adalah dengan tidak mengharapkan apa pun. Dana hendaknya diberikan tanpa pengharapan apa pun (na sāpekho dānaṁ deti). Dari harapan-harapan tersebut yang sesungguhnya menghambat ketulusan dan keikhlasan dalam memberi. Motif-motif dalam memberi yang baik hendaknya untuk memperindah batin, mengikis keserakahan, kebencian, serta ego.

Cara-Cara Berdana
Berdana merupakan perbuatan baik yang mudah untuk dilakukan. Namun, bukan berarti karena mudah dilakukan, lantas seseorang berdana dengan seenaknya tanpa memperdulikan etika berdana yang baik. Perbuatan berdana yang baik adalah berdana dengan etika yang baik, di mana ada kesopanan, moral, dan sikap saling menghargai kepada siapa pun. Ajaran Buddha telah menunjukkan bagaimana pemberian yang superior. Dalam Aṅguttāra Nikāya, Buddha menunjukkan lima cara pemberian dari orang yang superior (A. p. 763). Lima cara tersebut antara lain:
Memberi dengan keyakinan 
Memberi dengan penuh hormat
Memberi dengan pada waktu yang tepat
Memberi dengan terus terang (dermawan, tanpa maksud tertentu di balik layar)
Memberi tanpa merugikan diri sendiri atau pihak lain

Praktik memberi adalah praktik yang hendaknya dilakukan sebagai kebutuhan hidup. Ketika seseorang membutuhkan praktik ini, seseorang akan selalu mengembangkan praktik memberi. Kepada siapapun itu ditujukan, praktik memberi akan selalu memberikan manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Buddha telah banyak menekankan kita semua untuk mengawali kebajikan yang paling dasar yaitu dengan praktik memberi. Dalam Dhammapada, Buddha mengatakan bahwa hendaknya orang memberi walaupun sedikit kepada mereka yang membutuhkan (Dhp. 224. p. 152). 

Dalam sebuah kisah yang dimuat dalam Magha Sutta, Sutta Nipata, dikisahkan Magha bertanya kepada Buddha, “Jika seorang umat yang dermawan dan berniat baik memberikan persembahan atau membagi-bagikan makanan serta minuman, bagaimanakah dia harus melakukannya agar persembahan itu berhasil? (Sn. 505. p. 57)”. Buddha menjawabnya, ‘Ketika melakukannya, bergembiralah di dalam pikiran. Buatlah pikiranmu sepenuhnya tenang dan puas. Pusatkan pikiran dan masukkan tindakan memberi itu ke dalam pikiran yang sedang memberi. Dari posisi yang mantap ini, engkau dapat terbebas dari kemauan jahat (ibid.). Jika engkau tidak memiliki dorongan nafsu keinginan dan dapat terbebas dari kemauan jahat, jika engkau terus menerus mengembangkan pikiran yang memiliki cinta kasih tanpa-batas dengan cermat dan waspada, siang malam, maka cinta kasih itu akan menyebar tanpa-batas ke segala penjuru.’ (ibid.)

Manfaat Berdana
Dalam hal berbuat kebajikan dengan memberi sering dipandang sebagai sesuatu yang membuang-buang kekayaan atau pemborosan. Pandangan seperti ini telah mengakar pada pola pikir orang yang diliputi oleh kekikiran. Tidaklah mengherankan jika kita melihat betapa sulitnya mereka yang kikir untuk memberikan sesuatu kepada orang lain. Padahal sesungguhnya, ada banyak sekali manfaat yang diperoleh dengan berdana. 

Berdana memiliki kontribusi yang sangat penting dalam agama Buddha, itulah mengapa kita sering menemukan ajaran tentang berdana. Selain memiliki manfaat-manfaat berupa timbunan kebajikan, berdana juga menjadi salah satu praktik untuk meredamkan kemelekatan, keserakahan, kebencian, serta ego. Berdana merupakan wujud dari kepedulian. Dengan adanya kepedulian, seseorang akan lebih jeli dalam mengikis keserakahan, kebencian, serta keegoan. Seseorang yang mampu melepas, memberikan sesuatu yang dimilikinya kepada orang lain adalah upaya mengikis keserakahan. Seperti yang tercatat dalam syair Dhammapada bahwa mengingatkan untuk mengalahkan kekikiran adalah dengan kemurahan hati (jine kadariyaṁ dānena; Dhp. 223. p. 152). 

Bersama kemurahan hati atau kedermawanan, keserakahan akan dapat terkikis sedikit demi sedikit. Seseorang yang memiliki hati dermawan, memiliki kepedulian, hal ini akan menumbuhkan cinta kasih dan kasih sayang. Sehingga dengan adanya ini, kebencian akan dapat diredamkan dengan cinta yang tumbuh bersama kepedulian. Berdana merupakan kegiatan latihan melepas, sehingga dengan adanya usaha itu, keegoan, sikap individualis yang hanya mementingkan diri sendiri akan dapat lebur bersama kepedulian yang dimunculkan dengan latihan memberi.

Buddha telah menunjukkan bahwa dengan berdana akan bermanfaat tinggi, dan sangat disayangkan banyak orang tidak mengetahui hal itu. Dalam Itivuttaka, Buddha mengatakan, “Para bhikkhu, seandainya orang-orang tahu buah dari kemurahan hati dengan memberi sebagaimana yang Saya ketahui; mereka tak akan makan tanpa memberi terlebih dahulu, atau pun membiarkan noda kekikiran menguasai diri mereka serta mengakar dalam diri mereka. Apakah merupakan cuil terakhirnya, suap terakhirnya, mereka tak akan menyantapnya tanpa membaginya terlebih dahulu, seandainya ada orang untuk berbagi makanan tersebut. Namun para bhikkhu, orang-orang tidak mengetahui hasil dari kemurahan hati dan berbagi, sebagaimana yang Saya ketahui – untuk alasan ini, mereka makan tanpa memberi terlebih dahulu, dan noda kekikiran menguasai diri mereka serta mengakar dalam hati mereka (It. p. 127).”
Di dalam Nidhikaṇḍa Sutta, tercatat bahwa pemendaman harta karun berupa kebajikan dengan berdana, bertata susila, pencegahan diri dari keburukan merupakan pemendaman harta yang sejati (Khp. p. 8-10). Di mana harta karun kebajikan tersebut tidak dapat di jamah oleh siapa pun, tidak seorang pun dapat mengambilnya, dan kebajikan itu akan mengikuti pembuatnya sampai dia meninggal dunia (ibid.). Di dalam sutta ini, disebutkan banyak sekali manfaat-manfaat yang diberikan dari menimbun harta karun kebajikan dengan praktik ini. Harta karun ini mengabulkan segala keinginan para dewa dan manusia, paras indah, suara merdu, perawakan yang menawan, rupawan, kekuasaan, pengikut, menjadi penguasa wilayah, kedudukan tinggi, kebahagiaan sebagai kaisar yang dicinta, menjadi raja para dewa, kekayaan di alam manusia, kesenangan di alam dewa, pencapaian Nibbāna, dan masih banyak lainnya diperoleh dengan cara penimbunan jasa kebajikan ini (Ibid.).

Lebih lanjut, dalam khotbah tentang berkah utama, Buddha mencantumkan perbuatan memberi sebagai berkah utama (Sn. 263. p. 29).

Tidak kalah penting, ada sebuah cerita yang dimuat dalam Aṅguttara Nikāya, di mana pada suatu ketika Buddha sedang berdiam di antara suku Koliya, di kota Sajjanela. Pada waktu itu, Buddha menghadiri undangan makan dari umat perumah tangga yang bernama Suppavāsā. Setelah tiba di sana, Suppavāsā melayani sendiri dengan menyajikan berbagai makanan lezat. Setelah tiba saatnya, Buddha menjelaskan bahwa dengan memberikan makanan berarti seseorang memberikan empat hal kepada penerima, yaitu kehidupan, paras indah, kebahagiaan, dan kekuatan. Setelah memberikan empat hal itu, berarti orang tersebut juga akan menerima seperti apa yang ia berikan. Dengan memberikan kehidupan, dia sendiri akan menerima kehidupan umur panjang. Dengan memberikan paras indah, dia sendiri akan menerima paras yang indah. Demikian juga dengan kebahagiaan dan kekuatan akan dia peroleh pula. Baik mereka secara surgawi maupun manusiawi (A. p. 446-447).

Gagasan bahwa orang yang memberi empat hal juga akan menerima empat hal tersebut didukung dengan pengertian hukum Kamma. Sebagaimana dalam Sagāthāvagga, Saṁyutta Nikāya, bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula yang akan dipetiknya (yādisaṁ vapate bijaṁ tādisaṁ harate phalaṁ; S. p. 328).

Dalam Aṅguttara Nikāya, tercatat manfaat-manfaat dari berdana, yaitu; seorang pendana setelah menjadi dewa mendapat buah jangka waktu kehidupan surgawi, keelokan surgawi, kebahagiaan surgawi, kemansyuran surgawi, dan kekuatan surgawi. Apabila menjadi manusia, seorang yang sering berdana akan memperoleh buah masa hidup manusiawi, keelokan manusiawi, kebahagiaan manusiawi, kemansyuran manusiawi, dan kekuatan manusiawi. Dan apabila menjadi bhikkhu, dia sering diminta untuk menerima jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan. Selanjutnya, sesama bhikkhu biasanya ramah terhadapnya, baik melalui tindakan, ucapan, maupun pikiran. Pemberian-pemberian yang mereka bawa biasanya menyenangkan (A. p. 653-654).

Di lain kesempatan, Buddha menjelaskan lima macam manfaat dari memberi. Lima itu antara lain; ia akan disukai dan disenangi oleh banyak orang, orang-orang baik mendatanginya, memperoleh reputasi baik, tidak kurang dalam tugas-tugas umat awam, terlahir kembali di alam surga setelah kematiannya nanti (A. p. 660-661).

Kesimpulan
Secara umum, perbuatan baik dengan memberi atau berdana merupakan perbuatan baik yang sudah diakui oleh kebenaran umum. Semua komunitas, budaya, agama, telah mengakui bahwa perbuatan berdana merupakan perbuatan yang terpuji. Demikian juga dalam agama Buddha perbuatan berdana merupakan perbuatan dasar yang sangat ditekankan. Selain bermanfaat banyak, perbuatan ini juga dapat memberikan kontribusi positif dalam mengikis kekotoran batin yang akan mengantarkan pada pembebasan yang merupakan tujuan akhir dari agama Buddha.

Dalam lingkup kehidupan sehari-hari, berdana merupakan langkah awal dalam menumbuhkan keharmonisan yang diiringi dengan tumbuhnya kepedulian. Dengan praktik berdana, seseorang telah berupaya menumbuhkan sikap kepedulian. Dari kepedulian memunculkan cinta kasih dan kasih sayang yang jeli dengan sikap seseorang. Budaya tolong menolong dengan memberi inilah yang akan membuat hidup menjadi lebih bermakna. 

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Khuddakapāṭha: The Minor Readings. Trans.  Bhikkhu Ñānamoli. London: The Pali Text Society, 1978.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Udāna and Itivuttaka. Trans. John D Ireland. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.

No comments:

Post a Comment