Thursday, February 9, 2017

Pandangan Makan Daging dalam Tipitaka Pāl

0 comments
Pandangan Makan Daging dalam Tipitaka Pāli
Ye idha pāṇesu asaññatā janā, paresamādāya vihesamuyyutā; Dussīlaluddā pharusā anādarā, esāmagandho na hi maṃsabhojanaṃ.
Mereka yang di dunia ini tidak terkendali terhadap makhluk hidup, yang cenderung melukai setelah mengambil harta milik mereka, yang tidak bermoral, kejam, kasar, tidak memiliki rasa hormat; inilah yang disebut bau busuk, bukan makan daging. 
(Amagandha Sutta, Sutta Nipata: 247).

Pendahuluan
Agama Buddha dikenal sebagai agama tanpa kekerasan, penuh welas asih, dan kasih sayang. Bahkan cinta kasih dan kasih sayang diberlakukan untuk semua makhluk hidup. Ini terlihat dalam aturan moral yang pertama bahwa kita umat Buddha seharusnya melatih diri untuk tidak membunuh makhuk hidup apapun. Namun banyak orang bertanya-tanya, kalau umat Buddha tidak boleh membunuh, lalu apakah itu berarti mengharuskan umatnya untuk menjadi vegetarian? Dalam artikel ini kita akan membahas tentang pandangan makan daging dalam Tipitaka Pāli.

Pembahasan
Sebagai agama yang menekankan cinta kasih dan kasih sayang, segala macam bentuk kekerasan dan tindakan yang mengancam nyawa makhluk lain dilarang keras oleh Buddhisme. Dari lima latihan moral yang harus dilatih oleh umat awam, bertekad untuk tidak membunuh makhluk hidup merupakan latihan moral yang pertama. Dalam kehidupan kebhikkhuan, terdapat sanksi kepada mereka yang terlibat dalam pembunuhan tergantung dari objeknya. Latihan untuk membunuh ini sangat berguna untuk mengembangkan cinta kasih dan welas asih terhadap semua makhluk.

Meskipun pembunuhan sangatlah dilarang, namun dalam literatur Pali kita menemukan bahwa makan daging bukanlah larangan untuk menjadi Buddhis. Dengan kata lain, Buddha tidak mengharuskan semua pengikutnya menjadi vegetarian. Ini dapat dibuktikan dengan membaca kitab-kitab suci agama Buddha dalam Tipitaka Pali.

Tercatat dalam Jīvaka Sutta, Majjhima Nikāya, Jīvaka Komārabhacca, seorang tabib besar sedang menghampiri Buddha ingin mengetahui apakah benar Buddha memakan daging binatang yang disengaja disembelih untuk Beliau. Kemudian Buddha menjelaskan bahwa Beliau telah menetapkan peraturan agar para bhikkhu tidak makan daging yang disajikan bilamana mereka melihat, mendengar, atau mencurigai bahwa daging tersebut dipersiapkan untuk para bhikkhu (diṭṭhaṃ, sutaṃ, parisaṅkitaṃ: M. 55. p. 474). 

Buddha berkata kepada Jīvaka, “Jivaka, Aku katakan bahwa ada tiga kasus yang mana daging seharusnya tidak dimakan; jika terlihat, terdengar, atau dicurigai bahwa makhluk hidup itu disembelih untuk dirinya. Aku katakan bahwa daging seharusnya tidak dimakan dalam ketiga kasus ini. Aku katakan bahwa ada tiga kasus yang mana daging diperkenankan untuk dimakan; jika tidak terlihat, tidak terdengar, dan tidak dicurigai bahwa makhluk hidup itu disembelih untuk dirinya. Aku katakan bahwa daging boleh dimakan dalam ketiga kasus ini (ibid.).”

Dari sutta ini, dapat kita ketahui bahwa Buddha mengizinkan para Bhikkhu untuk makan daging, tetapi dengan ketentuan tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak mencurigai makhluk hidup itu disembelih untuk para bhikkhu (adiṭṭhaṃ, asutaṃ, aparisaṅkitaṃ). Perlu digarisbawahi bahwa ini adalah untuk para bhikkhu atau bhikkhuni, tidak untuk umat awam. 

Bagi umat awam yang ingin memberikan persembahan dana makanan kepada para bhikkhu, khususnya memberikan makanan daging, hendaknya daging itu diperoleh dengan cara yang benar, tidak dengan membunuh atau mencuri. Umat diperkenankan memberikan makanan daging kepada para bhikkhu dengan alasan itu bukan hasil pelanggaran moral. 

Masih dalam sutta yang sama, Buddha juga mengatakan demikian, “Jika siapapun juga menyembelih makhluk hidup untuk Sang Tathagata atau siswaNya, ia menimbun banyak keburukan dalam lima kasus. Ketika ia berkata: ‘Pergi dan tangkap makhluk hidup itu,’ ini adalah kasus pertama yang mana ia menimbun banyak keburukan. Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena ditarik dengan leher tercekik, ini adalah kasus ke dua yang mana ia menimbun banyak keburukan. Ketika ia berkata: ‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu,’ ini adalah kasus ke tiga yang mana ia menimbun banyak keburukan. Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih, ini adalah kasus ke empat yang mana ia menimbun banyak keburukan. Ketika ia mempersembahkan makanan yang tidak diperbolehkan kepada Sang Tathagata atau siswaNya, ini adalah kasus ke lima yang mana ia menimbun banyak keburukan. Siapapun juga yang menyembelih makhluk hidup untuk Sang Tathagata atau siswaNya, ia menimbun banyak keburukan dalam lima kasus ini (M. 55. p. 476).”

Selain itu, di dalam Aṅguttara Nikāya, juga terdapat sebuah cerita yang masih berkaitan tentang makan daging (A. p. 1130). Di ceritakan bahwa seorang jendral yang berpengaruh dan sangat kaya yang bernama Siha, yang merupakan seorang pengikut Nigaṇṭa, beralih ke ajaran Buddha. Siha adalah orang yang sangat terkenal di mata pengikut Nigaṇṭa, karena selain kaya, dia adalah orang yang menyokong ajaran Nigaṇṭa. Seiring berlalunya waktu, setelah mendengarkan ajaran Buddha, jendral Siha beralih ke ajaran Buddha. Suatu ketika, jendral Siha mengunjungi Buddha dan mengundang-Nya bersama para bhikkhu untuk perjamuan makan. dalam mempersiapkan perjamuan makan ini, jendral Siha menyuruh pelayannya untuk membeli daging di pasar. Ketika Buddha dan para bhikkhu hadir, jendral Siha menjamu mereka dengan makanan daging dan juga makanan yang lainnya yang telah dipersiapkan.

Mendengar hal ini, Nigaṇṭa sangat jengkel dan mencoba mencari-cari kesalahan dari Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Akhirnya Nigaṇṭa menyebarkan rumor bahwa jendral Siha membunuh binatang untuk dipersembahkan kepada petapa Gotama atau Buddha bersama para bhikkhu. Petapa gotama akan memakan daging yang telah dipersiapkan oleh jendral Siha untuk kepentingannya sendiri, bahwa petapa Gotama mengetahui bahwa daging itu diperuntukkannya. Mendengar hal ini, jendral Siha menolak tuduhan tersebut. Dari sekilas cerita ini dapat diketahui bahwa Buddha sendiri juga menyantap daging. Untuk memperjelasnya, Buddha mengijinkan para bhikkhu untuk makan daging, dengan catatan tidak terlihat, terdengar, atau dicurigai bahwa makhluk hidup itu disembelih untuk dirinya.

Banyak referensi yang memberikan bukti bahwa Buddha dan para bhikkhu juga makan daging. Dalam Aṅguttara Nikāya terdapat sebuah cerita di mana seorang umat perumahtangga yang bernama Ugga mempersembahkan beberapa pilihan makanan yang baik untuk Buddha. Dalam menu pilihan tersebut terdapat menu makan daging babi yang dimasak dengan bumbu jujube (A. p. 670). 

Lebih lanjut, jika kita melihat dalam Amagandha Sutta, Sutta Nipata, kita akan menemukan sebuah kisah di mana Buddha Gotama mengingat kembali peristiwa pada masa Buddha Kassapa (Sn. p. 55). Di sutta ini diceritakan, terjadi perbincangan antara Buddha Kassapa dengan petapa Tissa tentang bau busuk. Petapa Tissa merasa dirinya paling murni karena tidak makan daging. Dia menganggap Buddha Kassapa sebagai tidak suci, membawa bau busuk karena Buddha makan daging. Petapa Tissa bertanya kepada Buddha Kassapa, walaupun engkau mengatakan bahwa serangan bau busuk itu tidak berlaku bagimu sementara kamu makan nasi dengan unggas yang disiapkan dengan baik, tetapi aku bertanya padamu apa arti ini: seperti apa yang kau sebut bau busuk itu? (Sn. p. 241). Di sini, Buddha Kassapa berkata;

Mengambil kehidupan, memukul, melukai, mengikat, mencuri, berbohong, menipu, pengetahuan yang tak berharga, berselingkuh; inilah bau busuk. Bukan makan daging. (Sn 242). 
Di dunia ini, para individu yang tidak terkendali dalam kesenangan indera, yang serakah terhadap yang manis-manis, yang berhubungan dengan tindakan-tindakan yang tidak murni, yang memiliki pandangan nihilisme, yang jahat, yang sulit diikuti; inilah bau busuk. Bukan makan daging. (Sn 243). 
Di dunia ini, mereka yang kasar, sombong, memfitnah, berkhianat, tidak ramah, sangat egois, pelit, dan tidak memberi apa pun kepada siapa pun, inilah bau busuk. Bukan makan daging. (Sn 244). 
Kemarahan, kesombongan, kekeraskepalaan, permusuhan, penipuan, kedengkian, suka membual, egoisme yang berlebihan, bergaul dengan yang tidak bermoral; inilah bau busuk. Bukan makan daging. (Sn 245). 
Mereka yang memiliki moral yang buruk, menolak membayar utang, suka memfitnah, tidak jujur dalam usaha mereka, suka berpura-pura, mereka yang di dunia ini menjadi orang yang teramat keji dan melakukan hal-hal salah seperti itu; inilah bau busuk. Bukan makan daging. (Sn 246). 
Mereka yang di dunia ini tidak terkendali terhadap makhluk hidup, yang cenderung melukai setelah mengambil harta milik mereka, yang tidak bermoral, kejam, kasar, tidak memiliki rasa hormat; inilah bau busuk. Bukan makan daging (Sn 247). 
Mereka yang menyerang makhluk hidup karena keserakahan atau rasa permusuhan dan selalu cenderung jahat, akan menuju ke kegelapan setelah kematian dan jatuh terpuruk ke dalam alam-alam yang menyedihkan; inilah bau busuk. Bukan makan daging (Sn 248).

Jadi, kita dapat melihat bahwa pengertian ini tidak hanya ada pada masa Buddha Gotama, di masa Buddha Kassapa juga telah menunjukkan bahwa dengan makan daging tidak menjadi penghalang kesucian seseorang. Bahkan jika mau menelusuri dan menganalisis lagi, bahwa dalam jalan-jalan yang ditunjukkan oleh Buddha untuk mencapai pembebasan tidak ditemukan aturan keharusan untuk menjadi vegetarian. Dengan kata lain, dengan menjadi vegetarian tidak akan menjamin seseorang untuk mencapai kesucian, selama masih menyimpan keserakahan, kebencian, dan ego. 

Makan daging bagi para bhikkhu tidak melanggar peraturan vinaya, selama daging yang dikonsumsi telah diizinkan dan tidak melanggar jenis daging yang tidak diizinkan oleh vinaya. Jenis daging yang diizinkan adalah daging yang yang diperoleh dari umat, dengan catatan tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak dicurigai bahwa makhluk hidup itu disembelih untuk dirinya. Sedangkan, jenis-jenis daging yang tidak diizinkan oleh vinaya antara lain; daging manusia, gajah, kuda, anjing, ular, singa, harimau, macan tutul, beruang, dan dubuk (Vin. Mahavagga. IV. p. 298-300).

Masih dalam vinaya, kita juga menemukan banyak bukti yang menunjukkan bahwa daging, lemak, minyak, atau pun bagian jasmani yang lain dari binatang sebagai obat untuk menyembuhkan suatu penyakit tertentu. Bukti ini menunjukkan bahwa daging tidak diartikan sebagai sesuatu yang fatal. Artinya, Buddha mengizinkan para bhikkhu untuk mengonsumsinya. “Aku izinkan obat-lemak – misalnya; lemak dari beruang, lemak dari ikan, lemak dari alligator, lemak dari babi, lemak dari keledai – dikonsumsi sebagai minyak apabila diterima di waktu yang sesuai, didanakan pada waktu yang sesuai, dan tersaring di waktu yang tepat (Vin. Mahavagga.VI. p. 271).” Selain itu, masih ada yang lainnya, “Aku izinkan, untuk ia yang menderita dipengaruhi oleh makhluk bukan manusia, daging mentah dan darah segar (Vin. Mahavagga.VI. p. 274).”

Kisah Saṅghādisesa X menjadi bukti kuat bahwa Buddha memberikan kebebasan bagi muridnya untuk makan daging jika menghendaki. Diceritakan Bhikkhu Devadatta mengajukan lima peraturan tambahan yang harus ditaati oleh para bhikkhu. Lima itu antara lain bhikkhu seumur hidupnya harus bertempat tinggal di hutan, mencari makanannya hanya dengan berpiṇḍapāta, menggunakan jubah dari kain usang, tinggal di bawah kaki pohon, dan tidak makan daging atau ikan (Vin. Suttavibhaṅga. I. p. 297).
Pantangan untuk tidak makan daging juga diajukan oleh Bhikkhu Devadatta agar Buddha mau menambahkan peraturan bahwa semua bhikkhu harus menjadi vegetarian. Namun Buddha menolaknya karena menjadi vegetarian adalah pilihan, bukan keharusan. Di sini, Buddha mengatakan, “Bagi mereka yang menginginkan, biarlah mereka melakukan semua itu dan bagi mereka yang tidak menginginkan biarlah mereka berlaku sebagaimana adanya (ibid. p. 298).” Beliau kembali menegaskan bahwa ikan dan daging adalah murni jika dilihat dalam tiga poin: jika mereka tidak melihatnya, mendengar, dan mencurigai mereka dibunuh untuknya (ibid).

Makan daging tidak menjadi kendala untuk praktik berbuat baik, selama tidak melakukan pembunuhan sendiri, atau melakukannya lewat perantara pihak lain, seperti memesan daging binatang yang masih hidup. Makan daging juga tidak melanggar lima aturan moral yang pertama. 

Untuk dapat dikatakan sebagai pelanggaran sila yang pertama, perbuatan tersebut harus memenuhi lima faktor yang merupakan prasyarat terjadinya pelanggaran. Lima faktor tersebut antara lain;
paṇo : adanya suatu makhluk hidup 
paṇasaññita : dipersepsikan sebagai makhluk hidup
vadhakacittaṃ : pikiran untuk membunuh yang landasi dengan niat
upakkamo : usaha untuk membunuh
tena maraṇaṃ : makhluk tersebut mati akibat dari usaha tersebut

Makan daging berbeda dengan membunuh. Jadi, kalau kita makan daging, kita tidak bisa dikatakan melakukan pelanggaran sila yang pertama, asalkan kita tidak membunuhnya sendiri atau meminta orang lain untuk membunuhnya.

Walaupun dalam literatur Pali Buddha tidak mengharuskan pengikutnya untuk menjadi vegetarian, manfaat bervegetarian juga sangatlah besar. Di samping sebagai pengendalian diri, ini juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan seseorang. Pusat-pusat meditasi di Sri Lanka umumnya mempraktikkan vegetarian dengan melihat sisi manfaatnya. Namun perlu diingat, kekebalan tubuh seseorang berbeda-beda dan kebutuhan akan hormon hewani seseorang berbeda-beda. Dari sini, nasihat Buddha sangatlah berguna bahwa jika kita mau, kita boleh mempraktikkannya, dan apabila kita tidak ingin juga tidaklah masalah.

Kesimpulan
Meskipun segala bentuk kekerasan dan tindakan yang mangancam nyawa makhluk lain sangatlah dilarang, namun pada kenyataanya makan daging bukanlah suatu larangan. Tipitaka Pali memuat beberapa bukti bahwa Buddha menginjinkan para bhikkhu untuk makan daging dengan syarat tidak melihat, tidak mendengar, ataupun mencurigai daging itu sengaja dibunuh untuknya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan untuk menjadi vegetarian. Buddha memberikan kebebasan bagi yang mau mengikuti dipersilakan mempraktikkan, tetapi bagi yang tidak ingin boleh berjalan sebagaimana adanya. Di sini, Buddhisme lebih menekankan bagaimana seseorang bisa mengurangi kekotoran batin daripada pantangan makan daging. Walaupun begitu, bervegetarian juga sangat bermanfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Suttavibhaṅga Vol. II. London: Pali Text Society, 1969. 
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Mahāvagga Vol. IV. London: Luzac & Company LTD, 1971.

No comments:

Post a Comment