Thursday, February 9, 2017

Signifikansi Cinta Kasih Bagi Pelaksana dan Pengaruhnya Terhadap Semua Makhluk

0 comments
Signifikansi Cinta Kasih Bagi Pelaksana dan Pengaruhnya Terhadap Semua Makhluk
Susukhaṃ vata jīvāma, verinesu averino;
Verinesu manussesu, viharāma averino
Sungguh bahagia kita hidup tanpa membenci di tengah-tengah kebencian, di tengah-tengah orang-orang yang saling membenci kita hidup tanpa kebencian.
(Dhammapada: Sukhavagga 197)

Pendahuluan
Semua makhluk menginginkan kedamaian, hidup harmoni, dan tiada permusuhan. Untuk dapat mencapainya, cinta kasih adalah salah satu hal yang mengondisikannya untuk diraih. Signifikansi dari cinta kasih sangat ditekankan oleh Buddha sendiri dalam banyak khotbahnya. Itu adalah cinta kasih yang didampingi oleh kebijaksanaan. Tanpa adanya cinta kasih, ajaran Buddha menjadi seperti halnya mata pelajaran di sekolah-sekolahan. Dhamma akan menjadi Adhamma bila disampaikan dengan kebencian. Itulah mengapa, cinta kasih dan kebijaksanaan merupakan pondasi dari ajaran Buddha. Tak bisa dipungkiri cinta kasih tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi bermanfaat juga bagi banyak makhluk. Perhatian akan ditekankan di sini bagaimana signifikansi cinta kasih bagi pelaksana dan juga pengaruhnya terhadap semua makhluk.

Signifikansi Cinta Kasih 
Cinta kasih bukan hanya sebatas kata-kata mutiara yang dilantunkan oleh para pujangga dalam setiap alunan syair yang indah untuk didengar. Kata cinta selalu diidentifikasikan sebagai suatu rasa senang atau mencintai, namun aspek cinta kasih mencangkup pada objek yang luas. Itu adalah cinta kasih yang tanpa batas.

Cinta kasih dalam agama Buddha adalah Mettā, yang berarti cinta kasih yang tanpa batas. Sesungguhnya kata Mettā berasal dari akar kata mid untuk cinta, dan dari kata mitta yang berarti teman. Kata Mettā sering muncul dalam banyak teks Pāli, seperti mettā sahagathena cetasā (dengan hati yang penuh dengan cinta), mettaṃ karoti (menjadi berteman atau bersimpati), metta cittaṃ (dengan pikiran welas asih), mettā vihāriṃ (berdiam dalam cinta kasih), mettaṃsa (bersimpatik atau menunjukkan cinta kepada yang lain: EOB. p. 668).

Dalam Visuddhimagga, Mettā dikarakteristikkan sebagai memajukan aspek kesejahteraan yang lain dan fungsinya adalah untuk melebihkan kesejahteraan. Ini dimanifestasikan sebagai pembersih kejengkelan dan sebab terdekatnya adalah melihat sifat cinta dari makhluk-makhluk (Vsm. p. 311). Mettā adalah dorongan yang kuat untuk membuat kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain (parahita parasukha kamana).

Dalam empat Brahma Vihara, Mettā muncul sebagai bagian yang pertama, kemudian diikuti dengan Karuṇa, Muditā, dan Upekkhā. Mettā adalah pikiran yang mengharapkan semua makhluk hidup berbahagia dan objeknya mencakup semua tanpa batas. Karuṇa adalah pikiran untuk membantu mengurangi penderitaan pada pada yang menderita. Muditā adalah pikiran bahagia dan turut bersuka cita atas kebahagian mahkluk lain. Upekkhā adalah sikap tenang seimbang pada apa pun objeknya.

Buddha selalu mengingatkan para bhikkhu untuk selalu berdiam dalam cinta kasih. Itu berarti menghalau setiap kemarahan dan kebencian yang muncul. Tatkala kemarahan muncul, di sana cinta kasih dalam kondisi lemah.  Pada saat yang sama, kebencian mendominasi di dalam batin seseorang.  Sementara kebencian sendiri tidak akan dapat berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Kebencian hanya akan dapat berakhir dengan tanpa kebencian / cinta kasih (Dhp. 5 .p. 22). Buddha mengingatkan para bhikkhu untuk tidak marah, tersinggung, ataupun terganggu ketika ada seseorang yang menghina Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, karena dengan marah atau pun tidak senang ini akan menjadi rintangan batin, dan tentunya menjauh dari kedamaian. Di samping itu, Buddha juga menjelaskan bahwa dengan kemarahan, menuntup mata seseorang untuk dapat mengetahui apakah sesungguhnya yang dikatakan itu benar atau salah (D. I. p. 68). Kemarahan seharusnya dikalahkan dengan ketidakmarahan / cinta kasih (Dhp. 223. p. 76 atau A. V. p. 774). Melalui cinta kasih ini semua kekejaman akan ditinggalkan (M. 62. p. 530). 

Dalam Kakacūpama Sutta, bahkan Buddha memberikan nasihat kepada Bhikkhu Phagguna bahwa sekalipun dihantam dengan tangan, bongkahan, tongkat, atau dengan pisau, hendaknya pikiran yang tidak terpengaruh, tidak berucap kata-kata kasar, berdiam dengan kasih sayang demi kesejahteraannya, dengan pikiran cinta kasih, dan tanpa kebencian (M. 21. p. 218). Lebih lanjut lagi, jika para penjahat dengan kejam memotong bagian tubuh dengan gergaji bergagang dua, siapa yang memendam pikiran benci terhadap mereka berarti tidak melaksanakan ajaran-Nya (M. 21. p. 223). Ini mengingatkan kita betapa pentingnya cinta kasih. 

Perumpamaan gergaji (kakacūpama) juga muncul dalam Mahātthipadopama Sutta untuk mengekang pikiran marah, maka usaha gigih akan dibangkitkan dan perhatian terbentuk, tenang dan tak terganggu, terkonsentrasi dan terpusat. Pada saat itu biarlah kepalan tangan, tongkat, kayu, atau pisau menyerang jasmani ini, karena ajaran para Buddha sendang dipraktikkan olehnya (M. 28. p. 280). Dengan Mettā, niat jahat dan kebencian ditinggalkan, mereka tinggal dengan pikiran yang bebas darinya, dan dengan cinta kasih untuk kesejahteraan semua makhluk, batinnya tersucikan olehnya (D. 25. p. 390). Bhikkhu yang berdiam dalam cinta kasih dan mencurahkan secara mendalam untuk ajaran para Buddha mencapai kedamaian Nibbāna, kebahagiaan dari penghentian hal-hal yang terkondisi (Dhp. 368. p. 111).

Ketika kebebasan pikiran melalui cinta kasih telah diusahakan, dikembangkan, dan dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan, dijalankan, dikokohkan, dan dengan benar dilakukan maka delapan manfaat akan diperoleh.

Seseorang dapat tidur dengan lelap (sukhaṃ supati)
Ia bangun dengan bahagia (sukhaṃ paṭibujjhati)
Ia tidak bermimpi buruk (na pāpakaṃ supinaṃ passati)
Disukai oleh para manusia (manussānaṃ piyo hoti)
Disukai oleh makhluk-makhluk halus (amanussānaṃ piyo hoti)
Para dewata melindunginya (devatā rakkhanti)
Api, racun, dan senjata tidak akan melukainya (nāssa aggi vā visaṃ vā satthaṃ vā kamati)
Jika ia tidak menembus lebih jauh lagi maka ia akan mengarah pada alam brahma (uttariṃ appaṭivijjhanto brahmalokūpago hoti: A. p. 111)

Pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih akan membuat kepedulian bertransformasi menjadi tindakan yang disertai dengan cinta kasih. Cinta kasih dan welas asih sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketika cinta kasih hadir sebagai pondasi, welas asih (karuna) secara otomatis akan mudah bertransformasi. Demikian pula cinta kasih saja tidaklah cukup, tetapi perlu diimplementasikan kedalam praktik nyata. Seseorang tidak akan mungkin bisa mengembangkan welas asih ketika cinta kasih tidak hadir sebagai pondasi. Dengan kata lain, praktik welas asih untuk membantu meringankan penderitaan makhluk lain tidak akan muncul apabila batin seseorang berada dalam kebencian yang menyelimutinya. 

Cinta kasih yang disebarkan ke seluruh penjuru juga akan membuat makhluk-makhluk di sekitarnya merasakan kedamaian pula. Ambil contoh dalam tentang latar belakang munculnya Metta Sutta (Sn. 8. p. 15). Di sana diceritakan para bhikkhu terganggu dengan makhluk-makhluk halus dalam meditasinya. Setelah mendapat intruksi dari Buddha tentang Metta Sutta, mereka kembali berjuang dengan memancarkan cinta kasih. Sebagai hasilnya, makhluk-makhluk yang tadinya mengganggu manjadi tersentuh dengan cinta kasih dan akhirnya tidak lagi mengganggu mereka, bahkan mereka membantu para bhikkhu untuk melayani kebutuhan mereka, dan melindungi mereka dari gangguan yang mengganggu. Makhluk-makhluk merasa damai menerima pancaran cinta kasih (SnA. ii. 342).

Ketika seseorang memiliki pikiran yang penuh dengan cinta kasih, maka wujud tindakan yang keluar akan berbentuk cinta kasih dan welas asih. Pada saat itu, manfaat cinta kasih tidak hanya dirasakan oleh pelaksana, orang-orang di sekitarnya bahkan seluruh isi kosmos terpengaruhi oleh cinta kasihnya. Konsep sebab musabab yang saling bergantungan bekerja membawa cinta kasih menyebar ke seluruh alam semesta. Cinta kasih membuat orang tidak membunuh, mencuri, membuang sampah sembarangan, dan merusak lingkungan. Dampak dari cinta kasih ini sangatlah besar. Karena tidak membunuh, maka makhluk-makhluk dapat hidup damai bebas dari ketakutan; tidak mencuri membuat orang tidak khawatir kehilangan barang-barangnya; tidak membuang sampah sembarangan dan tidak merusak lingkungan membuat lingkungan menjadi bersih bersih, nyaman, dan ekosistem lingkungan menjadi lebih baik, dan hutan terjaga dengan baik sehingga membantu mengurangi pemanasan global. Praktik cinta kasih akan mempengaruhi seluruh isi alam semesta menjadi lebih damai dan harmoni.

Kesimpulan
Pikiran cinta kasih sangat penting untuk dimiliki dan dikembangkan. Berawal dari cinta kasih, kebencian akan dapat dikurangi. Cinta kasih tidak akan mungkin muncul dengan kebencian pada saat yang bersamaan. Ketika cinta kasih muncul, pada saat itu kebencian dalam kondisi lemah. Melalui dasar pikiran cinta kasih, welas asih bertransformasi menjadi tindakan untuk membantu mengurangi penderitaan makhluk lain. Dampak dari cinta kasih bahkan sampai ke seluruh alam semesta. Sebagai refleksi, bila dengan cinta itu membawa kedamaian, mengapa kita tetap mempertahankan kebencian dan kemarahan? 

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: The Buddha’s Path of Wisdom. Trans. Ācarya Buddharakkhita. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Visuddhimaga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.
Buddharakkhita, Ācariya. Mettā: The Philosophy and Practice of Universal Love. Kandy: Buddhist Publication Society, 2011.
Malalasekera, G.P. (founder editor-in-chief). Encyclopaedia of Buddhism (vol. VI). Sri Lanka: Goverment of Sri Lanka, 2002.

No comments:

Post a Comment