Tuesday, April 4, 2017

Sepuluh Pertanyaan yang Tidak Dijawab oleh Buddha

1 comments

Pendahuluan
Dalam Tipitaka kita menjumpai banyak kisah di mana Buddha memilih diam untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadapnya. Sepuluh pertanyaan yang biasanya beliau abaikan rupanya merupakan pertanyaan-pertanyaan klasik yang sudah ada jauh sebelum zamannya. Yang menjadi pertanyaan, mengapa Buddha memilih diam untuk tidak menanggapi pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, dalam artikel ini kita akan membahas tentang sepuluh pertanyaan tersebut.

Macam-Macam Pertanyaan
Pertanyaan adalah sesuatu yang ingin diketahui. Dengan bertanya, seseorang akan mengetahui apa yang diperlukan. Pañhapucchā Sutta, Aṅguttara Nikāya, memberikan alasan-alasan yang menarik tentang apa tujuan dari bertanya. Di sini, Bhikkhu Sariputta menyebutkan lima alasan, di antaranya sebagai berikut:
  1. Seseorang bertanya kepada orang lain karena kebodohannya (mandattā momūhattā paraṃ pañhaṃ pucchati)
  2. Seseorang dengan keinginan jahat, terdorong oleh keinginan bertanya kepada orang lain (pāpiccho icchāpakato paraṃ pañhaṃ pucchati)
  3. Seseorang bertanya kepada orang lain sebagaimana cara mencaci orang lain (paribhavaṃ paraṃ pañhaṃ pucchati)
  4. Seseorang bertanya kepada orang lain karena orang tersebut ingin belajar (aññātukāmo paraṃ pañhaṃ pucchati)
  5. Seseorang bertanya kepada orang lain dengan berpikir “ketika ia ditanyai olehku, dia menjawabnya dengan benar, itu adalah bagus; tapi jika ia menjawabnya dengan salah maka aku akan membetulkannya (panevaṃcitto paraṃ pañhaṃ pucchati – ‘sace me pañhaṃ puṭṭho sammadeva byākarissati iccetaṃ kusalaṃ, no ce me pañhaṃ puṭṭho sammadeva byākarissati ahamassa sammadeva byākarissāmī’ti. A. III. 192).”


Secara umum, seseorang memiliki beragam cara untuk menjawab pertanyaan. Buddha juga memiliki cara sendiri dalam menjawab pertanyaan. Di dalam Pañhabyākaraṇa Sutta, Aṅguttara Nikāya, disebutkan bahwa terdapat empat jenis cara menjawab pertanyaan, antara lain: 
  1. Pertanyaan yang harus dijawab secara tegas (ekaṃsabyākaraṇīyo), 
  2. pertanyaan yang harus dijawab dengan analisis (vibhajjabyākaraṇīyo), 
  3. pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan (paṭipucchābyākaraṇīyo), dan 
  4. pertanyaan yang harus dikesampingkan (ṭhapanīyo: A. II. 47).


Pertanyaan-Pertanyaan yang Tidak Dijawab
Sekarang kita sampai pada topik utama yang ingin kita bahas. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab oleh Buddha adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengandung jawaban metafisik. Semua pertanyaan yang dapat menjerumuskan seseorang masuk ke dalam dua ekstrim eternalisme dan nihilisme ditolak oleh Buddha. Pertanyaan yang dikesampingkannya disebut abyākata pañha. Ini adalah salah satu cara Buddha menjawab pertanyaan (ṭhapanīyo: A. II. 47).

Sepuluh pertanyaan yang dikesampingkannya bisa ditemui di banyak sutta, antara lain:
  • Cūḷamālunkya  Sutta, Majjhima Nikāya
  • Siṁsapā Sutta, Saṃyutta Nikāya
  • Pañcattaya Sutta, Majjhima Nikāya
  • Aggivaccha Sutta, Majjhima Nikāya
  • Nivāpa Sutta, Majjhima Nikāya
  • Kiṃdiṭṭhikasutta, Aṅguttara Nikāya
  • Dll.

Sebagai contohnya dalam Cūḷamālunkya  Sutta, Majjhima Nikāya, sepuluh pertanyaan tersebut antara lain sebagai berikut:
  1. Apakah alam semesta ini kekal (sassato loko)
  2. Apakah alam semesta ini tidak kekal (asassato loko)
  3. Apakah alam semesta ini terbatas (antavā loko)
  4. Apakah alam semesta ini tidak terbatas (anantavā loko)
  5. Apakah jiwa sama dengan badan jasmani (taṃ jīvaṃ taṃ sarīra)
  6. Apakah jiwa berbeda dengan badan jasmani (aññaṃ jīvaṃ aññaṃ sarīra)
  7. Apakah Tathāgata ada setelah meninggal (hoti tathāgato paraṃ maraṇā)
  8. Apakah Tathāgata tidak ada setelah meninggal (na hoti tathāgato paraṃ maraṇā)
  9. Apakah Tathāgata ada dan tidak ada setelah meninggal (hoti ca na ca hoti tathāgato paraṃ maraṇā)
  10. Apakah Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah meninggal (neva hoti na na hoti tathāgato paraṃ maraṇā: M. I. 431)

Alasan utama yang bisa kita temukan di dalam Sutta mengapa Buddha menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut yaitu karena:
  • Itu tidak bermanfaat (na atthasaṃhitaṃ)
  • Bukan bagian dari dasar-dasar kehidupan suci (na ādibrahmacariyakaṃ)
  • Tidak menuntun menuju kekecewaan (na nibbidāya)
  • Tidak menuntun menuju kebosanan (na virāgāya)
  • Tidak menuntun menuju lenyapnya (na nirodhāya)
  • Tidak menuntun menuju kedamaian (na upasamāya)
  • Tidak menuntun menuju pengetahuan langsung (na abhiññāya)
  • Tidak menuntun menuju pencerahan (na sambodhāya)
  • Tidak menuntun menuju nibbāna (na nibbānāya saṃvattati. M. I. 432)

Interpretasi yang lain yang bisa diberikan untuk mendukung alasan mengapa Buddha menolak menjawab sepuluh pertanyaan tersebut karena Buddha memiliki pandangan pragmatisme. Beliau tidak ingin bertele-tele menjelaskan apa yang tidak relevan pada tugas utama untuk mengakhiri penderitaan. Sikap ini ditunjukkan dalam Cūḷamālunkya Sutta dan Siṁsapā Sutta.

Dalam Cūḷamālunkya  Sutta, Buddha memberikan simile tentang seorang pria yang terluka anak panah yang beracun. Ketika teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawanya ke ahli bedah untuk merawatnya, pria tersebut  berkata bahwa ia tidak akan membiarkan ahli bedah mencabut anak panah beracun yang menusuknya sebelum ia mengetahui siapa yang melepaskan anak panah itu terhadapnya; apakah ia adalah seorang mulia, brahmana, pedagang, atau pekerja; siapa namanya dan dari suku apa; pendek atau sedang; bekulit gelap, cokelat, atau keemasan; hidup di desa, pemukiman, atau perkotaan; busur yang melukainya merupakan busur panjang ataukah busur silang; tali busurnya terbuat dari serat, buluhm urat, rami, ataukah kulit kayu; tangkainya alami ataukah buatan; bulu yang dipasangkan adalah bulu burung nasar ataukah burung jangkung; jenis urat tangkai anak panah itu apakah terbuat dari urat sapi, kerbau, rusa, atau monyet; apakah jenis anak panahnya berpaku, berpisau, melengkung, berduri, bergigi anak sapi, atau berbentuk tombak. Pria tersebut akan mati terlebih dahulu sebelum dia mengetahui jawaban-jawaban atas pertanyaannya. Hal yang seharusnya dilakukan adalah mencabut anak panah beracun yang menusuknya dan mengobati lukanya (M. I. 429).
Dalam Siṁsapā Sutta, Buddha menggunakan perumpamaan daun simsapa yang dibandingkan dengan daun yang ada di genggamannya untuk menjelaskan bahwa sebenarnya apa yang beliau ketahui bagaikan daun-daun di hutan simsapa yang tiada bandingnya dengan daun-daun yang ada di genggaman tangannya. Tetapi Buddha tidak menjelaskan semuanya karena mereka tidak relevan dengan tujuan utama (S. V. 438).

Alasan yang lain kenapa Buddha menolak membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah karena jawaban-jawaban yang bisa diberikan untuk menjawab pertanyaan tersebut akan mengarah pada dua hal exstrim yang sangat ditolak oleh Buddha sendiri. Dua hal ekstrim yang ditolak tersebut adalah eternalisme (sassatavāda) dan nihilisme (ucchedavāda). Dua hal ini adalah pandangan yang umum dimiliki oleh guru-guru agama lain. Dari dua pandangan tersebut muncul dua praktik ekstrim yang disebut praktik menyiksa diri (attakilamathanuyoga) dan pemuasan nafsu (kāmasukhallikānuyoga). Karena memiliki pandangan eternalisme maka mereka praktik menyiksa diri dan karena memiliki pandangan nihilisme maka mereka praktik pemuasan nafsu. Sepenuhnya Buddha menolak pandangan tersebut dan memperkenalkan filosofi baru yang disebut Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan (Paṭiccasamuppāda) dan menempuh praktik Jalan Tengah (Majjhimapatipāda).

Dalam Brahmajālasutta, Buddha telah merangkum enam puluh dua pandangan yang di dalamnya terdapat delapan belas pandangan tentang masa lampau dan empat puluh empat pandangan berkenaan masa depan (D. I. 1.). Buddha menolak enam puluh dua pandangan tersebut. Kalau seandainya Buddha menjawab sepuluh pertanyaan tersebut, ia akan terjebak pada enam puluh dua pandangan yang ditolaknya. Hubungan antara sepuluh pertanyaan tersebut dengan enam puluh dua pandangan yang di jelaskan dalam Brahmajālasutta, dapat kita jelaskan sebagai berikut:
  • Alam semesta ini kekal (sassato loko) = eternalisme (sassatavāda) 
  • Alam semesta ini tidak kekal (asassato loko) = nihilisme (ucchedavāda)
  • Alam semesta ini terbatas (antavā loko) = ekstentionisme (antānantavāda)
  • Alam semesta ini tidak terbatas (anantavā loko) = ekstentionisme (antānantavāda)
  • Jiwa sama dengan badan jasmani (taṃ jīvaṃ taṃ sarīra) = survivalisme
  • Jiwa berbeda dengan badan jasmani (aññaṃ jīvaṃ aññaṃ sarīra) = survivalisme 
  • Tathāgata ada setelah meninggal (hoti tathāgato paraṃ maraṇā) = survivalisme
  • Tathāgata tidak ada setelah meninggal (na hoti tathāgato paraṃ maraṇā) = nihilisme (ucchedavāda)
  • Tathāgata ada dan tidak ada setelah meninggal (hoti ca na ca hoti tathāgato paraṃ maraṇā) = semi eternalisme (ekaccasassatavāda)
  • Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah meninggal (neva hoti na na hoti tathāgato paraṃ maraṇā) = agnotisme (amarāvikkhepavāda)


Kesimpulan
Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat spekulatif, berbau metafisik, menjurus dua ekstrim eternalisme dan nihilisme, dan tidak mengarah pada tujuan utama telah dikesampingkan oleh Buddha. Ini adalah salah satu cara beliau menjawab, yaitu dengan memilih diam. Alasannya adalah karena mereka tidak mendukung dalam pencapaian tujuan, pendekatan Buddhisme adalah pragmatisme, untuk menghindari dua ektrim yang ditolaknya, dan agar tidak terjebak pada enam puluh dua pandangan yang juga ditolaknya.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: 
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.

1 comment: