Makanan

Tak bisa dipungkiri bahwa semua makhluk hidup membutuhkan makanan untuk bisa bertahan hidup. Meskipun jenis dan jumlah makanan setiap makhluk tidaklah sama, namun pada dasarnya semua makhluk hidup sama-sama bergantung pada makanan (sabbe sattā āhāraṭṭhitikā) (Khp. 2). Tak ada satu pun makhluk hidup yang bisa hidup tanpa makanan. Makanya makanan disebut sebagai kebutuhan primer bagi setiap makhluk hidup. Dengan kata lain, makanan adalah kebutuhan yang harus dipenuhi bagi setiap makhluk hidup. Untuk mempertahankan hidup, manusia memang harus makan. Namun, makan bukanlah tujuan dari hidup. Makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Makhluk hidup butuh makanan hanya sekadar untuk menopang kehidupan, menghentikan rasa lapar, dan mengembalikan kembali energi agar bisa menjalankan tugas dan kewajiban sehari-hari.  

Dalam urusan makan, Buddha mendorong para pengikutnya untuk menjadi ‘Bhojane Mattaññū’ atau ‘Orang yang tahu ukuran dalam hal makan.’ Menjadi Mattaññū bukan berarti harus makan sedikit, diet, atau selalu berpuasa. Menjadi Mattaññū adalah makan sesuai dengan porsinya masing-masing, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Terkhusus bagi yang telah memasuki kehidupan monastik atau menjadi pabbajita, menjadi Mattaññū sangatlah penting. Di zaman ketika vinaya atau peraturan para bhikkhu belum ditetapkan, para bhikkhu menjaga dirinya dengan Ovādapātimokkha, yang salah satunya adalah tahu ukuran dalam hal makan (mattaññutā ca bhattasmiṃ) (Dhp. 185). 

Buddha mengatakan bahwa makan bukan untuk kesenangan (neva davāya), bukan untuk bermabuk-mabukan (na madāya), bukan untuk memperindah diri (na maṇḍanāya), dan juga bukan untuk kecantikan (na vibhūsanāya). Tujuan dari makan adalah untuk menjaga kelangsungan dan menopang tubuh (yāvadeva imassa kāyassa ṭhitiyā yāpanāya), untuk menghentikan rasa sakit karena lapar (vihiṃsūparatiyā), untuk membantu menjalankan kehidupan suci (brahmacariyānuggahāya), untuk menghilangkan perasaan sakit yang lama (purāṇañca vedanaṃ paṭihaṅkhāmi) dan tidak untuk menimbulkan rasa sakit yang baru (navañca vedanaṃ na uppādessāmi), agar terbebas dari gangguan-gangguan tubuh (yātrā ca me bhavissati anavajjatā), dan agar dapat hidup dengan tentram (ca phāsuvihāro cā’ti) (A. I. 114).

Meskipun nasihat tersebut disampaikan kepada para bhikkhu, umat awam juga bisa meneladaninya. Umat Buddha juga harus menjadi seorang yang Mattaññū. Sehingga ia tidak akan serakah dalam hal makan. Makanlah secukupnya, karena makan makanan yang berlebihan juga tidak baik dan berbahaya bagi kesehatan tubuh. Sebaliknya, kekurangan makan juga menyiksa diri sendiri dan tidak baik untuk kesehatan. Kita melihat bahwa umur manusia semakin hari semakin menurun. Orang-orang zaman dahulu bisa bertahan hidup lama dan jarang terserang penyakit yang aneh-aneh seperti yang ada saat ini. Salah satu penyebabnya adalah karena makanan. Bisa jadi karena makanan yang dikonsumsi bukan makanan yang sehat atau pola makan yang tidak sesuai. Kekurangan makan dan kelebihan makan sama-sama tidak baik bagi kesehatan. Makanya, menjadi orang yang Mattaññū sangat baik bagi kesehatan juga. Selain bisa menahan diri dari keserakahan, menjadi orang yang tahu dalam ukuran makan juga berguna bagi kesehatan.