Thursday, June 6, 2019

Seksualitas dalam Sudut Pandang Agama Buddha

4 comments

Sebagian besar masyarakat menganggap seksualitas sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan di muka umum. Padahal seksualitas adalah hal yang nyata berdasarkan naluri alami bagi setiap makhluk hidup. Makan, tidur, dan seks adalah kebutuhan fisiologis manusia pada umumnya. Meskipun seks bukanlah kebutuhan yang primer untuk mempertahankan hidup, namun naluri untuk memuaskan nafsu seksual adalah hal yang wajar bagi setiap manusia. Agama-agama memiliki pandangan yang beragam ketika menanggapi seksualitas. Agama Buddha pun memiliki sudut pandang sendiri mengenai seksualitas, seperti seks, orientasi seks, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan seks. Oleh karena itu, artikel ini bermaksud untuk menguraikan sudut pandang agama Buddha mengenai seksualitas.

Seks dalam Agama Buddha

Kalau dibandingkan dengan agama-agama dari India lainnya, agama Buddha sangat lemah ketika harus berbicara tentang seksualitas. Pasalnya agama Buddha tidak memiliki kepustakaan khusus yang membahas tentang seksualitas. Tidak seperti Hindu yang memiliki kitab Kamasutra yang secara spesifik membahas tentang romantisme dan seks, kitab suci agama Buddha, Tipiṭaka, sangat sedikit sekali membahas tema yang berkaitan dengan Śruṅgāram atau romantisme. Agama Buddha tidak berbicara bagaimana cara berhubungan seks yang baik, doa-doa sebelum atau sesudah melakukan hubungan seks, atau prosedur berhubungan seks. Hal ini karena Agama Buddha tidak menganggap hubungan seks sebagai bagian dari praktik keagamaan. Terlebih lagi agama Buddha menekankan praktik selibat, utamanya bagi mereka yang telah meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi petapa.

Para bhikkhu harus mempraktikan Brahmacariya atau kehidupan suci yang bebas dari hubungan seksual. Mereka hidup selibat, tidak menikah, dan tidak melakukan praktik-praktik pemuasan seksualitas. Larangan untuk tidak melakukan hubungan seks bagi bhikkhu dan bhikkhuṇi sangatlah ketat. Hubungan seksual (methunadhamma) adalah salah satu empat pelanggaran berat Pārājika (Vin. III. 28). Konsekuensi bagi yang melanggarnya adalah kebhikkhuannya hancur dan dikeluarkan dari komunitas para bhikkhu. Yang disebut sebagai hubungan seksual di sini adalah terjadinya hubungan antara organ vital dengan mulut, sesama organ vital, atau anus di mana objeknya bisa sesama manusia, binatang, atau makhluk lainnya, lawan jenis atau sesama jenis, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Apabila bhikkhu melakukan itu, ia sudah tidak bisa dikatakan sebagai bhikkhu lagi. Kebhikkhuannya hancur karena pelanggaran Pārājika.

Bagi kehidupan monastik, hubungan seksual disebut sebagai Gāmadhamma, hal yang ndeso atau rendahan (D. I. 4). Pemuasan nafsu bukanlah hal yang sesuai dengan praktik kebhikkhuan. Pemuasan nafsu (kāmesu kāmasukhallikānuyogo) adalah salah satu praktik ekstrem yang seharusnya tidak dipraktikkan oleh ia yang meninggalkan kehidupan keduniawian (antā pabbajitena na sevitabbā). Praktik ini juga dikritik sebagai rendahan (hīna), cabul (gamma), awam (pothujjanika), tidak mulia (anariya), dan tidak bermanfaat (anatthasaṃhita) (S. V. 421).

Para bhikkhu harus menghindari praktik abrahmacariya dan menjalankan brahmacariya. Mereka bukan hanya hidup selibat, tetapi juga harus menghindari praktik-praktik pemuasan nafsu lainnya. Bagi kehidupan bhikkhu, praktik masturbasi atau mengeluarkan air mani secara sengaja adalah pelanggaran Saṅghādisesa. Meskipun praktik ini tidak merusak status kebhikkhuannya, tetapi ia yang melanggar akan mendapat sangsi yang berat dan harus diselesaikan di hadapan Saṅgha. Jadi, di dalam kehidupan monastik, tidak ada toleransi bagi bhikkhu untuk melakukan hubungan seksual. Para bhikkhu sepenuhnya harus menjauhi hal-hal yang dapat meningkatkan hasrat seksualitas. 

Bagi kehidupan bhikkhu, kenikmatan nafsu ragawi disebut sebagai perintang dan menjauhkan diri dari tujuan pencapaian pembebasan. Dalam berbagai kesempatan, Buddha telah menunjukkan bahaya dari kenikmatan nafsu, terkhusus untuk mereka yang menjalani hidup sebagai petapa. Suatu ketika ada seorang bhikkhu yang bernama Ariṭṭha salah memahami Dhamma dengan mengatakan bahwa apa yang disebut perintang (antarāyikā dhamma) oleh Buddha sesungguhnya tidak merintangi mereka yang melakukannya (M. I. 130). Bhikkhu Ariṭṭha berpendapat bahwa jika umat awam saja, yang hidup dengan kenikmatan-kenikmatan indera bisa mencapai tingkat kesucian, seperti sotāpanna, dll. kenapa para bhikkhu tidak boleh melakukannya. Lebih jelasnya tidak ada yang salah bagi bhikkhu untuk melakukan hubungan seksual (methunadhamme doso natthi) (MA. II. 103). Pendapatnya mendapat kecaman keras dari para bhikkhu yang lainnya. Meskipun telah dibujuk untuk meninggalkan pandangan salahnya, ia tetap bersikukuh, akhirnya permasalahan ini sampai di telinga Buddha. Buddha mengecamnya habis-habisan, sebab dalam berbagai cara, beliau telah memberikan perumpamaan-perumpamaan tentang bahaya dari kenikmatan nafsu. Beliau berkata bahwa kenikmatan nafsu memberi sedikit kepuasan (appassādā), namun banyak penderitaan (bahudukkhā), banyak keputusasaan (bahupāyāsā), dan banyak bahaya-bahaya lainnya (ādīnavo ettha bhiyyo). Alagaddūpama Sutta menjelaskan bahaya-bahaya kenikmatan nafsu dengan perumpamaan seperti tengkorak (aṭṭhikaṅkalūpamā), perumpamaan sepotong daging (maṃsapesūpamā), perumpaan obor yang terbuat dari rerumputan kering (tiṇukkūpamā), perumpamaan lubang batu bara (aṅgārakāsūpamā), perumpamaan mimpi (supinakūpamā), perumpamaan barang-barang pinjaman (yācitakūpamā), perumpamaan buah-buah di sebuah pohon (rukkhaphalūpamā), perumpamaan pisau penjual daging (asisūnūpamā), perumpamaan pedang (sattisūlūpamā) dan perumpamaan kepala ular (sappasirūpamā) (M. I. 132). Semua perumpamaan ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa kenikmatan nafsu adalah berbahaya bagi mereka yang menjalani kehidupan sebagai petapa. 

Namun pengikut Buddha bukan hanya para petapa yang menjalani hidup selibat semata. Ada pula umat awam yang hidup berumah tangga dan menikmati kenikmatan-kenikmatan sensual. Bagi yang memilih hidup sebagai perumah tangga dan menikah, berhubungan seksual tidak bisa dihindari. Buddha juga tidak mengecam perbuatan hubungan seksual bagi mereka yang hidup sebagai umat perumah tangga. Hubungan seksual  bagi umat perumah tangga bukanlah hal yang hina, asal tidak bertentangan dengan norma sosial yang berlaku. Namun setidaknya, ada lima latihan kemoralan (pañcasīla) yang semestinya dilatih oleh umat perumah tangga. Salah satunya adalah menghindari perbuatan asusila atau hubungan seksual yang salah (kāmesumicchācārā veramaṇī). Sāleyyaka Sutta, Majjhima Nikāya, menjelaskan apa yang disebut sebagai hubungan seksual yang salah. Di sini objeknya adalah wanita yang dilindungi oleh ibu (māturakkhitā), ayah (piturakkhitā), kedua orangtua (mātāpiturakkhitā), saudara laki-laki (bhāturakkhitā), saudara perempuan (bhaginirakkhitā), sanak keluarga (ñātirakkhitā), suku (gottarakkhitā), Dhamma (dhammarakkhitā), suami (sassāmikā), hukuman (saparidaṇḍā), atau wanita yang sudah diberi tanda / tunangan (mālāguḷaparikkhittā) (M. I. 287). Di kitab komentar, ini dijelaskan secara lebih merinci. Namun, pada dasarnya, hubungan seksual yang salah adalah hubungan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Maksud dari menghindari hubungan seksual yang salah ini sebenarnya untuk menghindari kritik dan celaan masyarakat. 

Dalam berbagai kesempatan, kata paradāragamana muncul sebagai pengganti kāmesumicchācārā. Artinya bahwa yang disebut sebagai perbuatan asusila juga mencangkup selingkuh atau pergi dengan istri orang lain (paradāragamana). Lebih tepatnya, melakukan hubungan seksual dengan istri orang lain adalah perbuatan yang tercela. Karena para bijaksanawan mencela perselingkuhan (paradāragamanañceva nappasaṃsanti paṇḍitā) (D. III. 182).

Asal Usul Hubungan Seks

Asal usul terjadinya hubungan seksual dapat kita pelajari dari Aggañña Sutta, Dīgha Nikāya. Sutta ini menceritakan makhluk-makhluk cahaya yang secara bertahap dalam kurun waktu yang sangat lama berevolusi menjadi bentuk manusia. Dalam kurun waktu yang cukup lama, makhluk-makhluk menjadi semakin padat dan bentuk tubuh mereka semakin kelihatan. Perbedaan kelamin pun muncul secara bertahap, hingga akhirnya ada yang disebut wanita dan ada yang disebut pria. Nafsu terhadap lawan jenis muncul secara alami, dan akhirnya sebagian dari mereka melakukan hubungan seksual. Namun, tidak semua orang menyetujui perbuatan tersebut. Hubungan seksual dianggap sebagai hal yang tidak bermoral (asaddhamma). Orang-orang yang melihat orang lain melakukan hubungan seksual secara terbuka akan melemparinya dengan tanah, debu, atau kotoran sapi. Dan mereka yang tertangkap melakukan hubungan seksual tidak diperkenankan masuk di dalam desa dalam waktu dua atau tiga bulan (D. III. 89). Karena orang-orang ingin tetap melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya, maka mereka membuat gubuk atau rumah. Fungsi rumah pada awalnya adalah sebagai tempat persembunyian untuk melakukan hubungan seksual. 

Dari dulu hingga sekarang, berhubungan seks di tempat terbuka atau di muka umum adalah perbuatan yang memalukan dan tidak bermoral. Sebenarnya inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Meskipun manusia dan binatang sama-sama memiliki hasrat untuk memuaskan nafsu seksual, manusia tidak sebebas binatang. Ada tuntutan masyarakat, norma agama, peraturan negara, yang membatasi manusia untuk melakukan hubungan seksual. Manusia tidak bisa seperti binatang yang bebas melakukan hubungan seksual di mana saja, sama siapa saja, dan berganti-ganti pasangan tanpa adanya hubungan yang jelas. 

Orientasi Seksual

Singkatnya, orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang secara emosional dan seksual terhadap jenis kelamin tertentu. Setidaknya ada tiga macam orientasi seksual, antara lain: heteroseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis), homoseksual (ketertarikan terhadap sesama jenis), biseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis dan sesama jenis). Dari ketiga macam itu, umumnya masyarakat menilai bahwa hanya heteroseksual saja yang dianggap normal, sementara yang lainnya dianggap tidak normal atau kelainan seksual. Karena lazimnya pria tertarik dengan wanita atau sebaliknya. Ketertarikan terhadap sesama jenis dianggap sebagai menyalahi kodrat. Namun keberadaan homoseksual dan biseksual tidak bisa dihindari, disebabkan oleh berbagai macam faktor, termasuk faktor genetik dan lingkungan. Pada awalnya homoseksual dan biseksual mendapat penolakan dari masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, ditambah orang-orang yang memiliki orientasi seksual seperti itu meningkat, keberadaannya mulai diterima. Utamanya negara-negara barat mulai terbuka dan menerima keberadaan kaum mereka. American Psychological Association (APA) telah menghapuskan homoseksual dari daftar penyakit gangguan jiwa. 

 LGBT adalah sekelompok orang yang memiliki cara hidup Gay, Lesbian, Biseksual, dan Transgender. Semenjak tahun 1990-an istilah ini menjadi lebih banyak digunakan untuk merujuk orang-orang yang memiliki orientasi seksual selain heteroseksual. Keberadaan LGBT di tengah-tengah masyarakat menuai kontroversi. Pro dan kotra tak bisa dihindari. Orang-orang yang pro menerima keberadaan mereka dengan dasar Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara orang-orang yang kontra, menolak keberadaan mereka dengan alasan tidak sesuai dengan kodrat, hukum agama, atau budaya. Di Indonesia sendiri, pro dan kontra mengenai LGBT tidak menemukan titik akhir. Alasan utama yang sering diajukan untuk menolak keberadaan mereka adalah tidak sesuai dengan syariat agama. Hal ini yang menyebabkan kaum LGBT mendapat diskriminasi bahkan hingga kekerasan. Namun orang-orang sekuler yang bersikap terbuka, tidak mempermasalahkan keberadaan LGBT asalkan tidak menganggu masyarakat. 

Kalau dilihat dari sudut pandang Buddhis, umat Buddha pun tidak memiliki suara yang sepakat. Sebagian menolak, sebagian menerima, dan sisanya acuh tak acuh. Tipiṭaka Pāli memang tidak secara spesifik menolak atau menerima keberadaan LGBT. Ketika membahas tentang cara seksual yang salah (kāmesumicchācārā), LGBT tidak dibahas. Padahal kasus gay, lesbian, dan biseksual sudah ada di zaman itu. Hal ini yang membuat banyak sarjana Buddhis, utamanya di negara-negara barat, berpendapat bahwa LGBT tidak melanggar etika Buddhis. Ajaran Buddha yang selalu menekankan cinta kasih dan kasih sayang, sangat kontradiksi apabila umat Buddha mendiskriminasi atau melakukan kekerasan terhadap kaum LGBT. Namun sekte-sekte Buddhis belakangan berusaha memasukkan tindakan-tindakan seksual selain organ vital sebagai cara seksual yang salah. Hal ini terjadi karena perubahan perspektif di mata masyarakat. 

Ketika berbicara tentang kehidupan monastik, segala perbuatan seksual tidak diperkenankan bagi mereka yang memasuki kehidupan monastik. Para bhikkhu dan bhikkhuṇi tidak diperkenankan untuk berhubungan seksual dengan empat jenis gender, yaitu: laki-laki, perempuan, ubhatovyanjañaka, dan paṇḍaka. Ubhatovyanjañaka adalah orang-orang yang berkelamin dua jenis atau hermafrodit. Di dalam peraturan Vinaya, orang-orang hermafrodit ini tidak diperkenankan untuk memasuki kehidupan monastik dan mendapatkan pentahbisan. Dan apabila sudah terlanjur ditahbiskan, maka mereka harus dilepas dan dikeluarkan dari komunitas (Ubhatobyañjanako, bhikkhave, anupasampanno na upasampādetabbo, upasampanno nāsetabboti) (Vin. I. 89). Alasannya karena mereka bisa mempengaruhi bhikkhu atau bhikkhuṇi untuk melakukan hubungan seksual. 
Paṇḍaka sering diartikan sebagai banci. Padahal Paṇḍaka mencangkup arti yang kompleks, tidak hanya banci saja. Menurut kitab komentar, terdapat lima macam Paṇḍaka, yaitu: āsittapaṇḍako (seseorang yang memperoleh kepuasan dengan melakukan oral seks), usūyapaṇḍako (seseorang yang memperoleh kepuasan dengan cara melihat orang lain berhubungan seks), opakkamikapaṇḍako (orang yang alat kelaminnya sudah dikebiri namun masih bisa enjakulasi dengan cara-cara tertentu), pakkhapaṇḍako (orang yang menjadi terangsang sejajar dengan fase bulan), dan napuṃsakapaṇḍako (jenis kelaminnya tidak jelas, namun memiliki saluran perkencingan) (Vin.A. IV. 1015). Orang-orang Paṇḍaka tidak diperkenankan untuk memasuki kehidupan monastik, dan apabila tanpa diketahui sudah menjadi anggota saṅgha, mereka harus dilepas dan dikeluarkan dari saṅgha (Paṇḍako, bhikkhave, anupasampanno na upasampādetabbo, upasampanno nāsetabboti) (Vin. I. 86). 
Tidak diperkenankannya ubhatovyanjañaka dan paṇḍaka untuk memasuki kehidupan monastik bukanlah diskriminasi terhadap kaum mereka. Ini adalah bentuk dari antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan dan demi kelangsungan Saṅgha. Tentu ini adalah usaha untuk menjaga nama baik saṅgha agar terhindar dari celaan dan hinaan masyarakat. Penerimaan atau penolakan keberadaan LGBT di lingkungan masyarakat, bagi orang Buddhis tidak diatur oleh agama. Menurut agama Buddha, ini sepenuhnya tergantung dari masyarakat. Apabila masyarakat tidak merasa dirugikan dan menerima keberadaan mereka sebagaimana masyarakat pada umumnya, agama Buddha tidak menganjurkan untuk melakukan pemberontakan atau sebaliknya memaksakan penerimaan LGBT di lingkungan masyarakat yang menolaknya. 

Sebenarnya etika Buddhis sangatlah fleksibel atau tidak kaku. Baik dan tidaknya keberadaan LGBT sepenuhnya tergantung dari persetujuan masyarakat. Di negara-negara Barat yang sudah mulai terbuka dengan mereka, umat Buddha juga menerima mereka dan menghormati cara hidup mereka. Prinsip ajaran Buddha adalah memanusiakan manusia dan melihat manusia dari sisi kemanusiaan. Dengan dasar ini, sungguh tidak dianjurkan bagi umat Buddha untuk melakukan tindak kekerasan terhadap sesama manusia. Setiap orang harus mendapatkan perlakuan yang sama atas dasar Hak Asasi Manusia. Kaum LGBT sekalipun berhak untuk hidup dengan caranya masing-masing. Mereka berhak memiliki kesempatan untuk berbuat baik. Bahkan orang-orang LGBT pun bisa menjadi lebih baik daripada orang-orang yang menganggap dirinya normal. 

Kesimpulan

Kita harus bisa membedakan sudut pandang seksualitas dari segi kehidupan monastik atau segi kehidupan umat awam. Kalau dilihat dari segi kehidupan monastik, segala bentuk tindakan seks melanggar peraturan kehidupan monastik. Para bhikkhu dan bhikkhuṇi harus menjalani kehidupan selibat dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan munculnya nafsu seksualitas. Bagi kehidupan monastik, seks adalah hal yang kotor, tercela, dan berbahaya. Hal ini berbeda dengan sudut pandang seksualitas dari segi kehidupan umat awam yang memperkenankan umat awam untuk melakukan hubungan seks. Bagi umat awam, hubungan seks sah-sah saja, asal tidak bertentangan dengan cara-cara seksual yang salah. Buddhis tidak mempermasalahkan orientasi seksual yang berbeda-beda. Atas dasar kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia, orang-orang yang memiliki orientasi seks yang berbeda harus tetap dihargai. Penerimaan atau penolakan kaum LGBT menurut agama Buddha sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat. 

4 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. Admin numpang promo ya.. :)
    cuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indonesia
    banyak kejutan menanti para temen sekalian
    cuma di sini agent judi online dengan proses cepat kurang dari 2 menit :)
    ayo segera bergabung di fansbetting atau add WA :+855963156245^_^
    F4ns Bett1ng agen judi online aman dan terpercaya
    Jangan ragu, menang berapa pun pasti kami proseskan..
    F4ns Bett1ng

    "JUDI ONLINE|TOGEL ONLINE|TEMBAK IKAN|CASINO|JUDI BOLA|SEMUA LENGKAP HANYA DI : WWw.F4ns Bett1ng.COM

    DAFTAR DAN BERMAIN BERSAMA 1 ID BISA MAIN SEMUA GAMES YUKK>> di add WA : +855963156245^_^

    ReplyDelete
  3. Sebagai salah satu situs judi poker terbaik dan terpercaya tentunya POKERBET88 memiliki kualitas GAME yang cukup baik dengan tampilan yang sangat luar biasa keren dengan kecepatan server yang super cepat. Anda akan merasakan kenyamanan dalam bermain yang belum pernah Anda rasakan di situs manapun.

    ReplyDelete
  4. selamat hari untuk semua orang di indonesia dan juga untuk semua orang di asia, nama saya mrs. fatimah fahariah, saya ingin berbagi kesaksian hidup saya di sini di internet untuk semua warga negara indonesia saya melalui ibu yang baik, Ny. KARINA

    Setelah periode mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan ditolak sepanjang waktu, jadi saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tetapi saya ditipu dan saya ganti Rp. 17.000.000 dengan pemberi pinjaman yang berbeda.

    Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan teman saya yang kemudian mengatakan kepada saya untuk menghubungi MRS KARINA, yang adalah pemilik. PERUSAHAAN PINJAMAN KARINA ROLAND, jadi teman saya meminta saya untuk meminta permintaan dari Ibu KARINA, jadi saya percaya perjanjian dan hubungi Ny. KARINA

    Saya meminta pinjaman sebesar Rp.800.000.000 dengan bunga 2%, jadi saya mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa tekanan dan semuanya dilakukan dengan transfer kredit, karena tidak memerlukan Jaminan dan jaminan untuk transfer. pinjaman. Saya hanya setuju untuk mendapatkan sertifikat persetujuan lisensi aplikasi mereka. untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari satu jam telah disetorkan ke rekening bank saya.

    Saya pikir itu menyetujui sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya dikreditkan dengan jumlah Rp. 800.000.000. Saya sangat senang karena ALLAH akhirnya menjawab doa saya dengan memberi saya permintaan hati saya.

    Semoga ALLAH memberkati MRS KARINA karena membuat hidup saya mudah, membuat saya bertanya kepada siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk dapat menghubungi MRS KARINA melalui email: karinarolandloancompany@gmail.com untuk pinjaman Anda atau whatsapp +1 (585) 708-3478

    Akhirnya, saya ingin mendukung Anda untuk semua yang telah meluangkan waktu untuk membaca kesaksian hidup saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar ALLAH akan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda juga.

    ReplyDelete