Tuesday, January 10, 2017

Apakah Buddhisme Merupakan Agama ataukah Filsafat?

0 comments

Apakah Buddhisme Merupakan Agama ataukah Filsafat?

Caratha, bhikkhave, cārikaṃ bahujanahitāya bahujanasukhāya lokānukampāya atthāya hitāya sukhāya devamanussānam

Mengembaralah, para bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.
 (Saṁyutta Nikāya:  p. 198)

Pendahuluan
Apakah Buddhisme merupakan agama ataukah filsafat merupakan pertanyaan yang seringkali dipertanyakan. Banyak pendapat bahwa Buddhisme bukan merupakan agama, tetapi Buddhisme lebih tepat disebut sebagai filsafat. Tidak sedikit juga yang berkomentar, kalau Buddhisme sebagai filsafat, mengapa perlu menganutnya dan mempraktikkan ajarannya. Dengan kata lain, sebagian mempertahankan bahwa Buddhisme merupakan filsafat, sementara sebagian lain berpegang pada pendapat bahwa Buddhisme dapat dipertimbangkan sebagai agama. Artikel ini bertujuan membahas tentang problema apakah Buddhisme merupakan agama atau sekadar sebagai filsafat.

Definisi Agama
Agama dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai sebuah sistem yang mengatur keimanan atau kepercayaan dan peribadahan terhadap Tuhan serta kaidah yang berkaitan dengan lingkungan dan pergaulan manusia. Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta “āgama” yang berati tradisi. Agama dalam bahasa Inggris adalah religion.  Kata religion berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti mengikat kembali.

Definisi religion menurut Oxford Dictionary adalah keyakinan terhadap keberadaan Tuhan atau dewa-dewa dan aktifitas yang berkaitan dengan pemujaan terhadapnya (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. p. 1279).

Definisi Filsafat
Kata “filsafat” atau yang dalam bahasa Inggris disebut “philosophy” merupakan kata yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani kuno yakni “philosophia”, yang berarti cinta (philo) kebijaksanaan (sophia). Sehingga secara literal filsafat berarti belajar tentang pokok realitas, sebab-sebab, dan prinsip-prinsip yang menggarisbawahi makhluk dan pemikiran.

Nama filsafat dalam bahasa Pāli adalah Dassana (Sanskrit: Darśana) yang berarti melihat. Itu berdiri pada gagasan tentang melihat sesuatu yang baru atau melihat sesuatu dalam sebuah cara yang baru.

Apakah Buddhisme Tergolong Sebagai Filsafat ataukah Agama?
Buddhisme bisa dibilang sebagai filsafat karena Buddhisme mendasarkan ajaran tentang cinta kasih dan kebijaksanaan. Atas dasar cinta kasih yang dimilikinya, Buddha mengutus para bhikkhu untuk membabarkan Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk atas dasar belas kasih kepada dunia untuk para dewa dan manusia (S.  p. 198; Vin. Mahāvagga. p. 28). Beliau bekerja dengan serius demi kebahagiaan dan kesejahteraan semua makhluk, melalui belas kasih untuk seluruh dunia (sabbalokānukampako: Thag. 625. p. 67). Oleh karena Beliau dijuluki sebagai orang yang besar belas kasih (mahākāruṇiko: Ibid. 625. p. 67; 722. p. 76), dokter untuk seluruh dunia (sabbalokatikicchako: Ibid. 722. p. 76), dan ahli bedah yang tiada bandingnya (sallakatto anuttaro: Ibid. 830. p. 84).

Ajaran yang Beliau temukan cukup dalam dan tidak bisa dicapai hanya dengan penalaran (M. 26. p. 260; 85. p. 706; S. p. 231). Dhamma harus dialami oleh para bijaksanawan (paccattaṃ veditabbo viññūhi: M. 7. p. 119; M. 38. p. 358). Bahkan Buddha sendiri mengklaim bahwa Dhamma yang beliau ajarkan adalah untuk orang yang bijaksana, bukan yang sebaliknya (paññavantassa ayaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo duppaññassa: D. 34. p. 517; A. p. 1160). Ajaran Buddha akan memberikan kegembiraan bagi orang-orang yang bijaksana, namun bukan bagi orang-orang yang bodoh (M. 56. p. 489).

Buddha menolak pembahasan tentang metafisik yang menimbulkan banyak spekulasi. Simile tentang seorang pria yang terluka oleh anak panah sebagaimana yang diterangkan dalam Cūlamāluṅkya Sutta merupakan contoh pendekatan Buddha yang bercorak pragmatis (M. 63. p. 535). Di sisi lain pertanyaan metafisik tentang dunia ini kekal atau tidak kekal, terbatas atau tidak terbatas, dan sebagainya dikategorikan sebagai pertanyaan yang dikesampingkan (A. p. 433). Perumpamaan tentang segenggam daun dalam Siṁsapa Sutta juga merupakan perumpamaan terkenal yang menunjukkan bahwa apa yang Buddha ketahui sebenarnya lebih dari apa yang Beliau ajarkan, tetapi Beliau tidak mengajarkan semuanya karena itu tidak membawa manfaat, tidak berkaitan dengan kehidupan suci, dan tidak menuntun pada kedamaian, pengetahuan langsung, dan Nibbāna (S. 1857-1858).

Yang menarik dalam Buddhisme, Buddha tidak menghendaki pengikutnya berkeyakinan buta terhadapnya. Dalam Kālāma Sutta, ditunjukkan bahwa Buddha memberikan kebebasan berpikir. Keputusan seharusnya tidak hanya berdasarkan pada otoritas (anussavikā) maupun rasionalitas (takki vimaṁsi). Otoritas meliputi tradisi lisan (anussavena), tradisi turun temurun (paramparāya), desas-desus (itikirāya), kitab suci (piṭakasampadāya), orang pakar (bhvyarūpatāya), dan guru sendiri (samaṇo no garu). Sementara rasionalitas mencangkup penalaran logika (takkahetu), penalaran lewat penyimpulan (nayahetu), perenungan atas alasan (ākāraparivitakkena), dan penerimaan pandangan setelah menimbangnya (diṭṭhinijjhānakkhantiya: A. p. 280). Bahkan dalam Vīmaṁsakka Sutta, Buddha membuka diri kepada siapapun yang ingin meyelidiki pencapaian penerangan sempurna yang dicapainya (M. 47. p. 415).

Keyakinan dalam agama Buddha juga bukanlah keyakinan yang membuta. Keyakinan dalam agama Buddha mengacu pada tiga aspek yaitu kebahagiaan usaha, dan kebijaksanaan (Jayatilleke, K. N. Early Buddhist Theory of Knowledge. p. 386). Keyakinan dalam agama Buddha seharusnya didasari dengan kebijaksanaan (ākāravatī saddhā: M. 47. p. 418), bukan keyakinan yang tanpa dasar (amūlikā saddhā: M. 95. p. 780). 

Cara untuk mencapai pembebasan yang ditawarkan Buddhisme berbeda dengan agama lain. Ketika agama-agama pada umumnya mengatakan bahwa ada sesosok penyelamat yang akan mengantarkannya menuju tujuan, Buddha sendiri lebih menekankan pengikutnya untuk tidak bergantung kepada siapapun. Kita diminta untuk berjuang sendiri untuk mencapainya. Buddha sendiri hanya sebagai petujuk jalan, kita sendiri sendiri yang harus melangkah (Dhp. 276. p. 164). Lebih lanjut, di masa-masa terakhir hidupnya, Beliau berpesan, “jadilah pulau bagi dirimu sendiri, jadilah perlindungan bagi dirimu sendiri, berdiamlah dengan dhamma sebagai pulau, dengan dhamma sebagai suatu perlindungan, jangan mencari perlindungan diluar dirimu sendiri” (D. 16. p. 245). Pernyataan demikian juga ditekankan dalam Saṁyutta Nikāya (S. p. 882-883).

Buddhisme dikatakan sebagai filsafat karena ajaran dalam Buddhisme juga memenuhi cabang-cabang dari ilmu filsafat. Dalam etika, Buddhisme jelas mengajarkan etika yang sangat menarik. Sebagai contohnya adalah nasihat Buddha untuk menghindari perbuatan buruk, memperbanyak perbuatan baik, dan membersihkan batin (Dhp. 183. p. 143). Dari segi epistemologi, Buddhisme juga memiliki ajaran tentang epistemologi. Sebagai contohnya, dalam Saṅgārava Sutta, Majjhima Nikāya, tercatat tiga jenis pemikir beserta landasan epistemologi yang mereka pakai (M. 100. p. 820). Mereka adalah tradisionalis (anussavikā), rasionalis (takki vimaṃsi), dan empiris. Ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai sumber kebenaran dalam Buddhisme adalah pengetahuan yang dialami lewat pengalaman. Beliau juga sempat mengatakan bahwa Beliau termasuk sebagai empiris yang mendasarkan pengetahuan lewat pengalaman langsung (ibid.). Buddha merupakan guru yang mendasarkan ajaran tentang kehidupan yang baik pada apa yang telah dipahami dengan kemampuan super kognitifnya (abhiññā), tanpa tergantung pada sumber-sumber tradisi di luar pengalaman dan penyelidikan (pubbesu ananussutesu dhammesu sāmaṃ veva abhiññāya). Lebih lanjut lagi Beliau mengklaim bahwa apa yang Beliau katakan, demikian yang Beliau lakukan; sebagaimana yang Beliau lakukan, demikian yang Beliau katakan (yathāvādī tathākārī yathākārī tathāvādī. It. p. 191; D. 19. p. 302. A, p. 410).

Bhikkhu Piyadasi menegaskan bahwa Buddhisme lebih tepat disebut sebagai jalan hidup atau cara hidup. Tetapi itu bukan berarti Buddhisme tidak lebih dari kode etis. Lebih dari itu, Buddhisme adalah jalan moral, spiritual, dan pelatihan intelektual yang menuntun untuk melengkapi pembebasan batin (Piyadasi. The Buddha’s Ancient Path. p. 31). Buddhisme adalah agama monastik. Ini adalah gerakan baru yang didesain untuk mereka yang ingin memahami realitas dunia dan mencari dari sebuah akhir penderitaan (Sharma, Suraj Narain. Buddhist Social and Moral Education. p. 61-62).

Bhikkhu Walpola Rahula tidak mempermasalahkan tentang apakah Buddhisme dianggap sebagai agama ataukah sekadar filsafat. Dia berpendapat apalah arti dari sebuah label. Itu terserah bagaimana kita memanggilnya (Rahula, Walpola. What the Buddha Taught. p. 5). Saya setuju dengan pendapatnya, karena biar bagaimanapun Buddhisme bisa dipertimbangkan sebagai filsafat di satu sisi, dan sebagai agama di lain sisi sebagaimana yang diketahui sekarang ini. Tidak menjadi masalah bagaimana Buddhisme dipandang dari berbagai perspektif. Agamawan memandang Buddhisme sebagai agama. Ahli filsafat memandang Buddhisme sebagai filsafat. Ahli psikologi memandang Buddhisme sebagai agama psikologi. Imuan menganggap Buddhisme sebagai Sains, dan sebagainya.

Kesimpulan
Ketidaksepakatan tentang apakah Buddhisme sebagai agama atau sebagai filsafat seharusnya tidak menjadikan perselisihan pendapat. Buddhisme bisa dianggap sebagai agama dan juga bisa dipertimbangkan sebagai filsafat pikiran yang selalu menekankan pentingnya pikiran. Buddhisme juga bisa dipertimbangkan sebagai filsafat yang menekankan cinta dan kebijaksanaan karena memang Buddhisme mendasarkan ajarannya pada cinta dan kebijaksanaan. Di sisi lain, Buddhisme juga bisa dianggap sebagai jalan hidup karena Buddhisme menekankan praktik daripada hanya sekadar menaruh keyakinan buta terhadapnya. Buddhisme juga bisa diakui sebagai agama yang melampaui pengertian agama pada umumnya.

Referensi Primer:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012. 
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.

Referensi Sekunder:
Jayatilleke, K. N. 2015. Early Buddhist Theory of Knowledge. Delhi: Motilal Banarsidass.
Piyadasi. 1996. The Buddha’s Ancient Path. Kandy: Buddhist Publication Society.
Rahula, Walpola. 2006. What the Buddha Taught. Dehiwala: Buddhist Cultural Centre.
Sharma, Suraj Narain. 1994. Buddhist Social and Moral Education. Delhi: Parimal Publications.
Wehmeier, Sally. 2006. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. New York: Oxford University Press.

No comments:

Post a Comment