Wednesday, January 11, 2017

Menggunakan Agama dengan Cara yang Sesuai dalam Perspektif Buddhis

0 comments

Kullūpamaṃ vo, bhikkhave, dhammaṃ desessāmi nittharaṇatthāya, no gahaṇatthāya.
Bagaikan rakit para bhikkhu, Dhamma yang Kuajarkan adalah untuk menyebrang, bukan untuk dilekati.
(Alagaddūpama Sutta, Majjhima Nikāya)

Pendahuluan
Ketika agama yang seharusnya betujuan untuk dapat mempersatukan justru malah memisahkan; menciptakan kedamaian justru malah membuat perselisihan; mengerti satu sama lain di dalam cinta dan kepedulian justru malah membuat membaranya kebencian; membantu menyelesaikan permasalahan umat manusia justru malah menjadi biang keladinya permasalahan, berarti ada dua kemungkinan adanya ketidakberesan di dalam suatu agama tersebut. Pertama, kemungkinan memang karena ada ketidaksesuaian dari ajaran agama tersebut dan yang kedua adalah interpretasi salah terhadap doktrin yang tercantum dalam kitab suci oleh para tokoh agama atau penganutnya. Agama akan memberikan manfaat apabila dianut dan digunakan dengan cara yang sesuai, dan akan berbahaya bila dianut dan digunakan dengan cara yang tidak sesuai. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana menggunakan agama dengan cara yang sesuai di dalam perspektif buddhis.

Pembahasan 
Permasalahan, perselisihan, dan bahkan peperangan yang terjadi belakangan ini tidak lain disebabkan oleh agama dan penganutnya yang mengatasnamakan agama. Ini terjadi karena adanya pendapat bahwa agamaku yang paling benar sementara yang lain adalah salah (idaṁ eva saccaṁ moghaṁ aññaṁ). Kefanatikan tersebut membuat seseorang menutup untuk menerima pendapat lain yang berbeda.

Kemelekatan dalam Buddhisme mencangkup kemelekatan terhadap kesenangan nafsu, pandangan, tata cara ritual, dan pandangan tentang diri (S. p. 535). Kemelekatan terhadap pandangan bisa membuat seseorang menjadi terjerumus ke dalam ranah konflik dan perdebatan untuk mempertahankan pandangannya. Mereka yang melekat pada pandanganya sendiri bertahan bahwa hanya pada diri merekalah yang terdapat kemurnian, dan menyangkal kemurnian di dalam doktrin lain (Sn. 892. p. 104). Dengan bersikeras terhadap pandangannya sendiri dan bergantung pada kriteriannya sendiri, dia memasuki perselisihan di dunia (Sn. 894. p. 104).

Perdebatan religius tampaknya sudah umum terjadi di India sewaktu Buddha masih hidup. Kebanyakan dari kota-kota di India Utara disediakan tempat untuk berkumpul, yang boleh disebut sebagai “aula perdebatan religius (samayappavādaka sālā)” di mana para pemuka ajaran menyampaikan pendapatnya dan saling menyanggah ajaran lain yang bertentangan dengannya. Setiap orang menyatakan bahwa pandangannya sendirilah yang sempurna sedangkan orang lain lebih rendah. Dengan begitu, mereka masuk ke dalam perselisihan (Sn. 904. p. 105).

Tidak heran, sebagai guru yang terkemuka, Buddha sering menjadi incaran untuk ditahlukkan dalam perdebatan. Buddha sebenarnya tidak menyukai perdebatan. Menurutnya kebenaran memang hanya satu dan mereka yang mengetahui kebenaran itu tidak memperdebatkannya (Ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi, yasmiṃ pajā no vivade pajānaṃ: Sn. 884. p. 104). Selain itu, para bijaksanawan tidak pernah mengatakan bahwa kemurnian dapat dicapai dengan perselisihan (Sn. 830. p. 98). Perdebatan hanya akan membuat seseorang terlibat dalam konflik, yang pada akhirnya menjauh dari kedamaian dari dalam. Menurut Nigaṇṭha Digha Tapassi, Petapa Gotama adalah seorang penyihir dan menguasai ilmu sihir untuk mengalihkan keyakinan para penganut sekte lainnya (Samaṇo hi, bhante, gotamo māyāvī āvaṭṭaniṃ māyaṃ jānāti yāya aññatitthiyānaṃ sāvake āvaṭṭetī: M. 56. p. 480). Sementara menurut muridnya Assalāyana, Buddha adalah orang yang berbicara Dhamma. Mereka yang berbicara Dhamma sulit untuk diajak berselisih (samaṇo khalu, bho, gotamo dhammavādī; dhammavādino ca pana duppaṭimantiyā bhavanti. M. 93. p. 764).

Untuk menghindari perselisihan, agama seharusnya dianut dan digunakan dengan cara yang sesuai. Agama seharusnya dianut bukan karena dasar keyakinan yang membuta. Keyakinan dalam agama Buddha seharusnya didasari dengan kebijaksanaan (ākāravatī saddhā: M. 47. p. 418), bukan keyakinan yang tanpa dasar (amūlikā saddhā: M. 95. p. 780). Kālāma Sutta mengajak kita untuk tidak hanya percaya kepada tradisi lisan (anussavena), tradisi turun-temurun (paramparaya), pendapat umum (itikiriya), kitab suci (piṭakasampadāya), orang pakar (bhauyarūpatāya), dan guru sendiri (samano no guru: A. p. 280), kemudian menjadikannya sebagai yang paling benar dan yang lain adalah salah (idaṁ eva saccaṁ moghaṁ aññaṁ). Ini karena semua itu bisa saja adalah kosong, palsu, dan salah (rittaṃ tucchaṃ musā: M. 95. p. 780). 

Agama tidak boleh diyakini sebagai dogma. Manusia yang menggenggam pandangan dogmatis tertentu dan menganggapnya sebagai yang tertinggi, akan menyatakan: ‘inilah yang paling hebat’. Pandangan lain yang berbeda dianggapnya sebagai rendah. Sebagai akibatnya, dia tidak akan terbebas dari perselisihan (Sn. 796. p. 94). Agama seharusnya digunakan untuk memperbaik kualitas diri dan bukan malah sebaliknya. Dalam Alagaddūpama Sutta, Buddha mengingatkan kita bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan diibaratkan sebagai rakit yang membantu untuk menyebrang dari lautan samsara, bukan untuk dilekati dan dijadikan bahan perdebatan (kullūpamaṃ vo, bhikkhave, dhammaṃ desessāmi nittharaṇatthāya, no gahaṇatthāya: M. 22. p. 228). 

Dhamma yang Buddha ajarkan juga akan berbahaya apabila digunakan dengan cara yang salah. Diibaratkan sebagaimana seseorang yang menangkap seekor ular dengan cara yang salah maka akan membahayakan dirinya, demikian Dhamma juka akan membahayakan dirinya apabila Dhamma dipelajari hanya untuk mengkritik orang lain atau untuk memenangkan perdebatan (M. 22. p. 227). 

Perselisihan dan penyalahinterpretasikan ajaran Buddha juga muncul ketika Buddha masih hidup. Kosambiya Sutta menceritakan perselisihan antara Dhammadhara dan Vinayadhara (M. 48. p. 419). Cullavagga Pāli menceritakan bagaimana Bhikkhu Devadatta mencoba memecah belah saṅgha dengan cara mengajukan lima peraturan tambahan (V. Vol. I. p. 297). Bhikkhu Sati juga salah memahami ajaran Buddha bahwa kesadaran yang sama berlari dan mengembara sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain. Sementara menurut Buddha, kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal mula kesadaran (M. 38. p. 349-351). Selain itu, Bhikkhu Aṛṛitha juga salah memahami ajaran Buddha bahwa apa yang disebut rintangan oleh Buddha tidak dapat merintangi seseorang yang terlibat di dalamnya. Sementara Buddha, dalam beberapa kesempatan telah mengatakan bahwa kesenangan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, keputusasaan, dan masih banyak lagi (M. 22. p. 224).

Belakangan dan bahkan sampai sekarang kita masih menemukan beberapa perselisihan yang serupa. Ada yang beranggapan bahwa meditasi Vipassana lebih tinggi daripada meditasi Samatha. Ada pula anggapan bahwa Abhidhamma lebih tinggi daripada Sutta, sehingga orang yang mempelajari Abhidhamma adalah orang yang lebih tinggi. Di pihak lain menolak bahwa Abhidhamma bukanlah ajaran Buddha, tetapi perkembangan belakangan. 

Perlu diingat, Buddha mengajarkan dua macam meditasi, yaitu Samatha dan Vipassana (samatho ca vipassanā ca: D. 33. p. 482). Tak ada satu pun dari mereka yang dikatakan sebagai paling unggul. Ada beberapa orang yang mencapai kesucian melalui jalan meditasi samatha dulu kemudian dilanjut dengan vipassana, ada juga yang melalui vipassana kemudian baru samatha, ada yang melalui keduanya secara bersamaan, dan ada yang dengan keluar dari kegelisahan Dhamma dan mencapai keterpusatan pikiran (A. p. 535). Perlu ditekankan di sini, orang yang benar-benar memahami arti meditasi Buddhis yang sesungguhnya tidak akan pernah mengunggulkan metode meditasi yang ia gunakan dengan cara merendahkan metode meditasi yang orang lain gunakan. 

Mengenai Abhidhamma, dalam berkhotbah, Buddha tidak pernah mengatakan bahwa ini Abhidhamma, Sutta, atau Vinaya. Semua ajaran Buddha disebut sebagai dhammavinaya. Bahkan sebelum Beliau mencapai parinibbāna, Beliau sempat berpesan untuk menjadikan dhamma dan vinaya sebagai guru setelah kepergian-Nya (D. 16. p. 270). Memang kisah tentang pembabaran Abhidhamma yang diajarakan oleh Buddha kepada ibunya di surga Tavatiṁsa, dan kemudian disalurkan kepada bhikkhu Sariputta, tidak ditemukan di dalam Kanon, tapi ini ditemukan di dalam kitab Komentar. Lebih daripada itu, di Konsili pertama, diceritakan Bhikkhu Upali mengulang Vinaya dan Bhikkhu Ananda mengulang Dhamma. Di sana tidak disebutkan Abhidhamma secara spesifik. Namun belakangan dikatakan Abhidhamma termasuk di dalam Dhamma. Selain itu, kitab Kathāvatthuppakaraṇa yang merupakan bagian dari Abhidhamma Pitaka ditulis oleh Bhikkhu Moggaliputtatissa di Konsili ketiga (Mhv. p. 49). Walaupun begitu, Abhidhamma disusun sebagai analisis lebih lanjut dari ajaran Buddha dan diakui sebagai kitab suci agama Buddha. 

Selain itu, ditemukan juga perselisihan antara Praktik dan Belajar. Orang yang berpihak pada praktik, menekankan segi praktik daripada belajar. Sebaliknya, mereka yang berpihak pada belajar, menekankan bahwa belajar lebih diperlukan untuk dapat mempraktikkan Dhamma sesuai dengan yang sebenarnya. Masalah ini seharusnya tidak dipermasalahkan oleh mereka yang memahami. Dhamma memang mengandung tiga unsur; belajar (pariyatti), praktik (patipatti), dan hasil (pativedha). 

Dengan memahami bahwa Dhamma adalah seperti ular dan perahu, sudah semestinya seseorang tidak menggunakan Dhamma sebagai bahan perdebatan atau mencari kesalahan orang lain. Buddha juga selalu mengingatkan kepada murid-muridnya untuk tidak marah, tersinggung, ataupun terganggu ketika ada seseorang yang menghina Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, karena dengan marah atau pun tidak senang ini akan menjadi rintangan batin, dan tentunya menjauh dari kedamaian (D. 1. p. 68). Ketika seseorang dalam pertikaian, seseorang tidak dapat mempertahankan sikap cinta kasih baik melalui tubuh, ucapan, untuk pikiran kepada orang lain (M. 48. p. 420). 

Caṅki Sutta memberitahu kita bahwa setiap pengikut agama seharusnya tidak menganggap bahwa ini yang paling benar kemudian menyalahkan diluar ajaran ini (M. 99. p. 775). Sikap toleransi Buddha tercemin dalam Upāli Sutta di mana Beliau menyuruh Upali yang baru saja beralih menjadi Buddhis untuk tetap memberikan penghormatan kepada guru agama yang dulu dianutnya dengan tetap memberikannya makanan sebagaimana yang dilakukannya dulu (M. 56. p. 477). 

Menarik untuk dilihat bagaimana Raja Asoka berupaya menciptakan keharmonisan di tengah-tengah perbedaan agama dan keyakinan di waktu itu. Sebagaimana yang terpahat dalam prasastiya, Rock Edict XII, beliau mengungkapkan tentang bagaimana seseorang mesti hidup dalam keharmonisan di dalam perbedaan agama dan saling menghargai satu sama lain. Tertulis bahwa, “jangan membanggakan agamanya sendiri dengan menjelekkan agama orang lain. Siapapun yang membanggakan ajaran agamanya sendiri karena keyakinan yang fanatik, kemudian menghina yang lain dengan pikiran bahwa ini untuk mengagungkan agamanya, ini sesungguhnya akan merugikan agamanya sendiri” (Dhamika, S. The Edicts of King Asoka. p. 9). 

Kesimpulan
Munculnya suatu agama diharapkan mampu memberikan kotribusi yang positif dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh umat manusia, bukan malah yang sebaliknya. Menurut Buddhisme, agama akan bisa bermanfaat besar apabila dianut dan digunakan dengan cara yang sesuai. Sebaliknya, agama akan menjadi masalah yang besar apabila dianut dan digunakan dengan cara yang salah. Perumpamaan rakit dan ular yang sengaja dibuat oleh Buddha sendiri seharusnya mengingatkan kita untuk menggunakan Buddhisme dengan cara yang tepat. Bila ini diterapkan dengan tepat, perselisihan agama tidak akan berkelanjutan.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Suttavibhaṅga Vol. II. London: Pali Text Society, 1969. 
Mahāvaṃsa: The Great Chronicle of Ceylon. Trans. Wilhelm Geiger. Nedimala: Buddhist Cultural Centre. 2014.
Dhammika, S. 1993. The Edicts of King Asoka: an English Rendering. Kandy: Buddhist Publication Society.

No comments:

Post a Comment