Wednesday, January 11, 2017

Relevansi antara Buddhisme dengan Pragmatisme

0 comments

Relevansi antara Buddhisme dengan Pragmatisme

pubbe cāhaṃ bhikkhave, etarahi ca dukkhañceva paññāpemi, dukkhassa ca nirodhaṃ
Dulu dan sekarang apa yang Kuajarkan adalah penderitaan dan akhir dari penderitaan
(Alagaddūpama Sutta, Majjhima Nikāya)

Pendahuluan
Buddhisme sering kali dipertimbangkan sebagai agama yang pragmatis karena lebih menekankan segi-segi praktis. Titik poin pada penderitaan dan bagaimana mengakhiri penderitaan membuat Buddha lebih memilih jalan praktis daripada menghabiskan waktu pada hal yang tidak mengarah pada tujuan utamanya. Pembahasan metafisika yang dianggapnya sama sekali tidak mengarah pada tujuan utama, dihindarkan untuk dibahas. Buddha mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyan spekulatif telah ditinggalkan karena tidak menuntun pada perealisasian lenyapnya penderitaan. Pendekatan yang dilakukan Buddha dalam pengembaraan membabarkan Dhamma disebut sebagai pendekatan yang pragmatis karena pada intinya apa yang telah diajarkannya memiliki relevansi dalam mengakhiri penderitaan. Akhir dari penderitaan adalah dasar dan tujuan dari mempraktikkan ajarannya. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana relevansi antara Buddhisme dengan pragmatisme. 

Definisi dari Pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan kata lain pragmatis adalah sebuah konsep yang lebih mementingkan sisi kepraktisan dibandingkan sisi negatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, pragmatis diartikan sebagai bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan; mengenai atau bersangkutan dengan dengan nilai-nilai praktis. Pada dasarnya, sikap pragmatis yang selalu menekankan segi kepraktisan, memiliki tiga patokan yaitu menolak intelektualisme, absolutisme, dan meremehkan logika formal. 

Buddhisme dan Pragmatisme 
Buddhisme muncul di India sekitar abad ke enam sebelum masehi. Penekanannya adalah tentang masalah penderitaan dan bagaimana cara melenyapkan penderitaan (M. 22. p. 234; S. p. 1383). Nibbāna adalah tujuan utama dari praktik ajaran Buddha (M. 44. p. 403). Memprioritaskan penderitaan sebagai hal utama yang harus diselesaikan, Buddha menolak pembahasan spekulasi metafisika sebagaimana guru-guru agama pada umumnya waktu itu. Bila kita menjelajahi sutta-sutta dalam Tipitaka, kita akan menjumpai banyak pertanyaan spekulasi yang memang sudah umum di India waktu itu. Sebagai contohnya dalam Cūḷamālunkya  Sutta, Majjhima Nikāya, terdapat sepuluh pertanyaan spekulatif sebagai berikut:

Apakah alam semesta ini kekal (sassato loko)
Apakah alam semesta ini tidak kekal (asassato loko)
Apakah alam semesta ini terbatas (antavā loko)
Apakah alam semesta ini tidak terbatas (anantavā loko)
Apakah jiwa sama dengan badan jasmani (taṃ jīvaṃ taṃ sarīra)
Apakah jiwa berbeda dengan badan jasmani (aññaṃ jīvaṃ aññaṃ sarīra)
Apakah Tathāgata ada setelah meninggal (hoti tathāgato paraṃ maraṇā)
Apakah Tathāgata tidak ada setelah meninggal (na hoti tathāgato paraṃ maraṇā)
Apakah Tathāgata ada dan tidak ada setelah meninggal (hoti ca na ca hoti tathāgato paraṃ maraṇā)
Apakah Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah meninggal (neva hoti na na hoti tathāgato paraṃ maraṇā: M. 63. 535)

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Buddha sendiri mengatakan bahwa semua pertanyaan tersebut telah ditinggalkan dan disebutnya sebagai pertanyaan yang tidak dijawab (abyākata pañha: M. 63. 535). Dalam Aṅguttara Nikāya, disebutkan empat jenis cara menjawab pertanyaan, antara lain pertanyaan yang harus dijawab secara tegas (ekaṃsabyākaraṇīyo), pertanyaan yang harus dijawab setelah membuat perbedaan (vibhajjabyākaraṇīyo), pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan (paṭipucchābyākaraṇīyo), dan pertanyaan yang harus dikesampingkan (ṭhapanīyo: A. p. 432). 

Pertanyaan metafisik yang tidak bermanfaat dapat dikategorikan sebagai pertanyaan yang harus di kesampingkan. Pendekatan Buddhisme mengenai sikap pragmatis ditunjukkan dengan adanya alasan mengapa Buddha menolak untuk menjawab semua pertanyaan yang berbau matafisik. 

Daripada menghabiskan waktu untuk pembahasan metafisika, Buddha lebih menekankan kita untuk menyadari realitas bahwa ada kelahiran, penuaan, kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan yang ada di antara kita dengan jalan yang telah ditunjukkan-Nya. Menjawab semua pertanyaan metafisika tidak membuat semua masalah yang kita hadapi menjadi teratasi. Lebih lanjut, Buddha memberikan alasan karena itu tidak bermanfaat (na atthasaṃhitaṃ), bukan bagian dari dasar-dasar kehidupan suci (na ādibrahmacariyakaṃ), tidak menuntun menuju kekecewaan (na nibbidāya), menuju kebosanan (na virāgāya), menuju lenyapnya (na nirodhāya), menuju kedamaian (na upasamāya), menuju pengetahuan langsung (na abhiññāya), menuju pencerahan (na sambodhāya), menuju nibbāna (na nibbānāya saṃvattati: Ibid). Apa yang beliau nyatakan adalah tentang penderitaan (dukkha), sebab dari penderitaan (dukkhasamudayo), lenyapnya penderitaan (dukkhanirodho), dan jalan menuju lenyapnya penderitaan (dukkhanirodhagāminī paṭipadā: Ibid).

Cūḷamālunkya Sutta dan Siṁsapā Sutta adalah sutta yang paling penting dalam pembahasan tentang sikap pragmatis yang ditunjukkan Buddha. Dalam Cūḷamālunkya  Sutta, Buddha memberikan simile tentang seorang pria yang terluka anak panah yang beracun (M. 63. p. 533). 

Ketika teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawanya ke ahli bedah untuk merawatnya, pria tersebut  berkata bahwa ia tidak akan membiarkan ahli bedah mencabut anak panah beracun yang menusuknya sebelum ia mengetahui siapa yang melepaskan anak panah itu terhadapnya; apakah ia adalah seorang mulia, brahmana, pedagang, atau pekerja; siapa namanya dan dari suku apa; pendek atau sedang; bekulit gelap, cokelat, atau keemasan; hidup di desa, pemukiman, atau perkotaan; busur yang melukainya merupakan busur panjang ataukah busur silang; tali busurnya terbuat dari serat, buluhm urat, rami, ataukah kulit kayu; tangkainya alami ataukah buatan; bulu yang dipasangkan adalah bulu burung nasar ataukah burung jangkung; jenis urat tangkai anak panah itu apakah terbuat dari urat sapi, kerbau, rusa, atau monyet; apakah jenis anak panahnya berpaku, berpisau, melengkung, berduri, bergigi anak sapi, atau berbentuk tombak. Pria tersebut akan mati terlebih dahulu sebelum dia mengetahui jawaban-jawaban atas pertanyaannya. Hal yang seharusnya dilakukan adalah mencabut anak panah beracun yang menusuknya dan mengobati lukanya.

Dengan cara yang sama, seseorang yang ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan metafika tersebut sebelum menjalani praktik religius, tidak akan terbebaskan dari masalah yang sedang dihadapinya. 

Sikap yang sama juga ditunjukkan dalam Siṁsapā Sutta. Di sini diceritakan bahwa Buddha mengambil segenggam daun Siṁsapā dan bertanya kepada para bhikkhu tentang lebih banyak yang mana antara daun yang digenggamnya dengan daun yang ada di hutan Siṁsapā. Tentu sebagai jawabanya adalah daun yang digenggam Buddha lebih sedikit dengan daun yang ada dihutan. Menggenggam daun yang sedikit itu, Buddha mengatakan kepada para bhikkhu bahwa Dhamma yang telah beliau ketahui secara langsung tidak diajarkan semua. Hanya sedikit yang beliau ajarkan karena itu adalah yang lebih penting dan bermanfaat. Beliau tidak mengajarkan semuanya karena itu tidak bermanfaat, bukan bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju nibbāna (S. 1857-1858). 

Sekali lagi Buddha lebih menekankan tentang penderitaan yang harus diatasi dengan memahami Empat Kebenaran Mulia. Dikatakan karena tidak memahami empat kebenaran tersebut seseorang akan terus mengembara di alam samsara (D. 16. p. 239). Terlebih lagi Buddha mengatakan bahwa dulu dan sekarang apa yang Beliau ajarkan adalah penderitaan dan akhir dari penderitaan (pubbe cāhaṃ bhikkhave, etarahi ca dukkhañceva paññāpemi, dukkhassa ca nirodhaṃ: M. 22. p. 234). Sehingga, fokus beliau adalah bagaimana mengatasi penderitaan daripada menghabiskan waktu dalam pembahasan metafisik yang jelas-jelas tidak ada kontribusinya dalam mengakhiri penderitaan. Dikatakan bahwa akhir dari penderitaan (nibbāna) adalah dasar dan tujuan mengapa ajaran Buddha dipraktikkan (nibbānogadhañhi, āvuso visākha, brahmacariyaṃ, nibbānaparāyanaṃ nibbānapariyosānaṃ; M. 44. p. 403)

Kesimpulan
Buddhisme memiliki relevansi dengan pragmatisme yang selalu menekankan segi kepraktisan. Sikap pragmatis yang ditunjukkan Buddha terutama fokus pada penghindaran dari pembahasan metafisik. Penderitaan dan akhir dari penderitaan adalah hal yang lebih diprioritaskan. Daripada menghabiskan waktu dalam pembahasan yang tidak mengarah pada masalah utama, Buddhisme memilih untuk mengesampingkan pertanyaan tersebut.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.

No comments:

Post a Comment