Wednesday, January 11, 2017

Epistemologi Buddhis

0 comments

Epistemologi Buddhis

Tadamināpetaṃ, bhāradvāja, pariyāyena veditabbaṃ, yathā ye te samaṇabrāhmaṇā pubbe ananussutesu dhammesu sāmaṃyeva dhammaṃ abhiññāya diṭṭhadhammābhiññāvosānapāramippattā, ādibrahmacariyaṃ paṭijānanti, tesāhamasmi
Aku, Bhāradvāja, adalah salah satu di antara petapa dan brahmana, yang setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk mereka sendiri di antara hal-hal yang belum pernah didengar sebelumnya, mengaku mengajarkan dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung di sini dan saat ini.
(Sangārava Sutta, Majjhima Nikāya)

Pendahuluan
Kata epistemologi berasal dari dua suku kata yang merupakan bahasa Yunani; episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang artinya kata, pembicaraan, atau ilmu. Secara literal, epistemologi adalah ilmu yang mempelajari ruang lingkup pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter, dan jenis pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang cukup menarik untuk dipelajari. Dalam Buddhisme juga ditemukan pembahasan tentang epistemologi. Oleh karena itu, melalui pembahasan ini kita akan menjelajahi tentang epistemologi yang ditemukan dalam Buddhisme.

Epistemologi Buddhis
Jalan yang Buddha tempuh dalam kehidupan suci adalah jalan tengah (majjhimā paṭipadā) yang menghindari dua ekstrim; pemuasan nafsu (kāmasukhallikānuyoga) dan penyiksaan diri (attakilamathanuyoga) (S. p. 1844).  Demikian juga pembahasan epitemologi Buddhis dapat kita interpretasikan sebagai jalan tengah yang menghindari dogmatisme dan skeptisisme.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Saṅgārava Sutta, Majjhima Nikāya, pada masa pre-Buddhis era dan bahkan di masa Buddha, terdapat tiga jenis pemikir beserta landasan epistemologi yang mereka pakai (M. 100. p. 820). Tiga jenis pemikir itu yaitu tradisionalis, rasionalis, dan empiris. Tampak jelas dalam literatur Buddhis bahwa tradisionalis dan rasionalis yang merupakan dua jenis pemikir yang sangat umum di India, tidak mendapat dukungan dari Buddhisme. Baik tradisionalis maupun rasionalis dipertanyakan tentang keakuratan sumber pengetahuan karena memiliki banyak kemungkinan.

Tradisionalis
Para tradisionalis adalah mereka yang mendasarkan seluruh pengetahuan mereka sepenuhnya dari tradisi kitab suci dan interpretasi-interpretasi berdasarkan itu. Mereka disebut sebagai anussavikā. Tradisionalis contohnya para Brahmana yang ahli dalam tiga Veda (brahmanā tevijjā) yang bergantung pada otoritas wahyu, kitab Veda, dan tradisi sebagai sumber kebenaran. Kitab Veda dijadikan sebagai autoritas karena kitab Veda telah diwahyukan kepada para Brahmana terdahulu. Dalam Canki Sutta, para brahmana yang dianggap sebagai pencipta atau komposer disebutkan, antara lain Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu (M. 95. p. 779).

 Dalam Saṅgārava Sutta, dikatakan bahwa ada beberapa petapa dan brahmana yang dengan berdasarkan tradisi lisan, mengaku mengajarkan dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan langsung di sini dan saat ini (ibid). Petapa dan brahmana yang seperti ini yang kita sebut sebagai tradisionalis atau anussavikā. Kālāma Sutta memberikan fitur-fitur tradisionalis maupun rasionalis. Di sini, yang tergolong sebagai tradisionalis atau anussavikā antara lain tradisi lisan (anussavena), tradisi turun-temurun (paramparaya), pendapat umum (itikiriya), kitab suci (piṭakasampadāya), orang pakar (bhauyarūpatāya), dan guru sendiri (samano no guru). Buddha memberikan kebebasan berpikir untuk tidak hanya sekadar percaya pada anussavikā (A. p. 280).

Buddha tidak menyetujui pandangan bahwa pengetahuan sepenuhnya berdasarkan kitab suci atau wahyu. Dalam Caṅki Sutta, dikatakan terdapat lima hal yang mempunyai muka dua  di dalam kehidupan ini, yaitu: keyakinan (saddhā), kesukaan (ruci), wahyu (anussava), perenungan yang dangkal (ākāraparivitakka), dan persetujuan pandangan (diṭṭhinijjhānakkhanti) (M. 95. p. 780). Ini berarti bahwa pengetahuan yang berlandaskan tradisi atau wahyu memiliki dua kemungkinan, yaitu bisa benar dan juga bisa salah.

Anussava tidak menjamin kebenaran dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan. Isi dari sesuatu yang dianggap sebagai wahyu yang kebanyakan orang mengagung-agungkannya, ditempatkan secara hormat, dengan menjaga yang telah diimaninya (svānussutaṃ), bisa saja sebenarnya adalah kosong, palsu, dan salah (rittaṃ tucchaṃ musā). Sedangkan sesuatu yang tidak dianggap sebagai wahyu, bisa saja itu adalah nyata dan benar (bhūtaṃ tacchaṃ anaññathā) (ibid). 

Buddha mengkritik anussava karena anussava tidak membawa pada titik pasti sebagai sumber kebenaran. Sesuatu yang berlandaskan anussava bisa saja mempunyai keterbatasan dalam hal memori pada saat penyampaian atau pada saat mewariskan teori itu secara turun-temurun. Selain itu, bahkan jika itu disampaikan secara tepat tanpa gangguan memori serta gangguan lainnya, tetap saja hal itu memiliki dua kemungkinan yaitu bisa benar dan bisa juga salah (anussavikassa kho pana...satthuno anussavasaccassa sussatampi hoti dussatampi hoti, tathāpi hoti aññathāpi hoti).

Dalam Caṅki Sutta, dikisahkan bahwa waktu itu terjadi perbincangan antara Brahmana Bhāradvāja yang merupakan murid dari Brahmana Kāpaṭhika dengan Buddha tentang bagaimana pendapat Buddha sehubungan dengan syair-syair pujian brahmanis kuno yang diturunkan melalui lisan yang dilestarikan dalam kitab oleh para brahmana yang sampai pada kesimpulan pasti (ekaṃsena niṭṭhaṃ gacchanti) bahwa hanya ini yang paling benar dan yang lain adalah salah (idaṃ eva saccaṃ moghaṃ aññaṃ). Kemudian Buddha menjawab bahwa mereka semua hanya meyakini secara buta tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Ini dianalogikan sebagaimana barisan orang buta yang masing-masing berpegangan pada orang pertama, kedua, dan seterusnya, tidak dapat melihat yang sesungguhnya (M. 95. p. 779). Pernyataan yang sama juga terdapat dalam Subha Sutta, di mana para brahmana yang memegang erat-erat kitab Veda, wahyu, dan tradisi sebagai sumber kebenaran tanpa mengetahuinya secara langsung diibaratkan sebagaimana gerombolan orang buta yang saling memegang satu sama lain (M. 99. p. 811). Keyakinan yang seperti ini disebut sebagai keyakinan tanpa dasar (amūlikā saddhā). Sementara Buddhisme tidak menyetujui keyakinan yang tanpa dasar. Keyakinan dalam Buddhisme harus berdasar atau didasari dengan pemahaman (ākāravatī saddhā dassanamūlikā daḷhā: M. 47. p. 418).

Dalam Sandaka Sutta, dikatakan bahwa orang yang memegang kebenaran berlandaskan anussava diklasifikasikan sebagai anassāsikāni brahmacariyā. Ini adalah salah satu jenis pemikir yang mengajarkan kehidupan brahmacariya secara tidak memuaskan. Ini tidak mengurangi prinsip-prinsip kehidupan suci, namun gagal memberikan prospek pencapaian buah tertinggi dari disiplin spiritual (M. 76. p. 624).

Rasionalis
Para rasionalis adalah mereka yang mendasarkan pengetahuan mereka dari penalaran dan spekulasi tanpa klaim tanggapan exstrasensori. Mereka disebut sebagai takki vimaṃsi. Contohnya adalah metafisikawan dari Upaniṣad awal, skeptis, materialis, kebanyakan dari Ājīvaka. Dalam Saṅgārava Sutta, dikatakan bahwa ada beberapa petapa dan brahmana yang sepenuhnya hanya berdasarkan keyakinan, mengaku mengajarkan dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan langsung di sini dan saat ini (ibid). 

Dalam Kālāma Sutta, yang tergolong sebagai takki vimaṃsi antara lain penalaran logika (takkahetu), penalaran lewat penyimpulan (nayahetu), melalui perenungan atas alasan (ākāraparivitakkena), penerimaan pandangan setelah menimbangnya (diṭṭhinijjhānakkhantiyā: A. p. 280).

Dalam Sandaka Sutta, dikatakan bahwa takki vimaṃsi merupakan salah satu tipe agama yang dikatakan tidak memuaskan (anassāsika: M. 76. p. 624). Dalam Caṅki Sutta, sesuatu yang mungkin sepenuhnya disetujui, disampaikan dengan baik, dinalar dengan baik, direnungkan dengan baik, dikatakan bisa saja kosong, hampa, dan salah. Sebaliknya, sesuatu yang tidak nalar dengan baik bisa saja benar, fakta, dan tidak salah (M. 95. p. 780). Singkatnya, terdapat empat kemungkinan, yaitu dianggap baik kenyataannya benar (sutakkitaṃ tathā), dianggap baik kenyataannya salah (sutakkitaṃ aññathā), dianggap salah kenyataannya benar (dutakkitaṃ tathā), dianggap salah kenyataannya salah (dutakkitaṃ aññathā). Oleh karena itu, tidaklah tepat bagi yang bijaksana yang melindungi kebenaran datang dengan kesimpulan pasti bahwa ini yang paling benar dan yang lain salah (idaṃ eva saccaṃ moghaṃ aññaṃ) (Ibid).

Validitas persepsi indria tidak ditolak oleh Buddhisme awal. Dalam kenyataannya, data indria (phassa atau sañña) merupakan sumber pengetahuan dan pengertian kita tentang dunia. Pada saat yang sama, akan tetapi Buddha menegaskan lebih lanjut bahwa persepsi indria cenderung memberikan salah arah kepada manusia. Hal demikian tidak berhubungan dengan cacat yang ada dalam persepsi indria, tetapi terutama disebabkan oleh cara seseorang menafsirkan apa yang didapatkan, baik melalui penglihatan, pendengaran, merasakan, dan sebagainya (Kalupahana, David J. Buddhist Philosophy: A Historical Analysis. p. 20).

Dalam Madhupiṇḍika Sutta, dikatakan bahwa dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesadaran-mata muncul. Pertemuan ketiga hal ini adalah kontak. Dengan kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan. Apa yang seseorang rasakan, itulah yang seseorang pahami. Apa yang seseorang pahami, itulah yang seseorang pikirkan. Apa yang seseorang pikirkan, itulah yang seseorang kembangbiakkan secara mental. Apa yang seseorang kembangbiakkan secara mental sebagai sumber, maka persepsi dan gagasan yang muncul dari perkembangbiakan pikiran menyerang seseorang sehubungan dengan bentuk-bentuk masa lampau, masa depan, dan masa sekarang yang dikenali melalui mata (M. 18. p. 203). Buddha juga mengakui bahwa kenyataan sikap subjektif seperti  suka (ruci), dan tidak suka (aruci), kecenderungan (chanda), kebencian (dosa), kegelapan batin (moha), dan katakutan (bhaya), membuat seseorang terhalang untuk mencerap objek sebagaimana adanya. 

Walaupun begitu, Buddhisme juga tidak melarang pengikutnya untuk percaya pada tradisi ataupun nalar. Baik tradisi maupun penalaran dapat dipercaya selama tidak dijadikan sebagai satu-satunya kebenaran absolut dan menyalahkan yang lainnya dengan mengatakan bahwa ini yang paling benar dan yang lain salah. Tradisi bisa diterima dengan mengatakan bahwa ini merupakan tradisi yang telah saya dengar. Demikian juga dengan penalaran.

Empiris 
Para empiris adalah mereka yang bergantung pada pengetahuan dan pengalaman pribadi langsung, termasuk tanggapan di luar persepsi pada basis teori yang mereka temukan. Banyak pemikir dari pertengahan dan akhir Upaniṣad, beberapa Ājīvaka, dan Jainisme termasuk dalam klasifikasi ini. Dalam Saṅgārava Sutta, dikatakan bahwa ada beberapa petapa dan brahmana yang setelah mengetahui Dhamma secara langsung untuk diri mereka sendiri di antara hal-hal yang belum pernah didengar sebelumnya, mengaku mengajarkan dasar-dasar kehidupan suci setelah mencapai kemuliaan dan kesempurnaan langsung di sini dan saat ini (ibid).

Kita juga menemukan dalam sutta ini bahwa Buddha mengaku sendiri bahwa Beliau merupakan salah satu petapa dan brahmana yang mengikuti jalan ini (ibid). Buddha merupakan guru yang mendasarkan ajaran tentang kehidupan yang baik pada apa yang telah dipahami dengan kemampuan super kognitifnya (abhiññā), tanpa tergantung pada sumber-sumber tradisi di luar pengalaman dan penyelidikan (pubbesu ananussutesu dhammesu sāmaṃ veva abhiññāya).

Dalam Mahāvedalla Sutta, ketika Buddha ditanya tentang bagaimana memperoleh pandangan benar (sammādiṭṭhi), Buddha mengatakan bahwa kesaksian dari yang lain dan perenungan yang tepat adalah cara untuk memunculkan pandangan benar (parato ca ghoso, yoniso ca manasikāro) (M. 43. p. 390). Buddha menekankan bahwa doktrin atau ajarannya tidak berdasarkan pada wahyu (anussava), atau pada penalaran spekulatif (takkapariyāhataṃ vīmaṃsānucaritaṃ), tetapi berdasar pada mengetahui dan melihat (jānaṃ passaṃ). Hal ini menekankan pada “mengetahui dan melihat” sesuatu sebagaimana adanya (yathābhūtaṃ).

Sumber pengetahuan yang diakui Buddhisme adalah pengetahuan yang bersumber dari pengetahuan exstrasensori (abhiññā). Terdapat enam bentuk kekuatan batin atau pengetahuan exstrasensori (D. 11. p. 175). Mereka antara lain: 
Iddhividhiñana (kekuatan batin)
Adhitthana-iddhi: kemampuan mengubah diri dari satu menjadi banyak atau dari banyak menjadi satu.
Vikubbana-iddhi: kemampuan untuk mengubah bentuk, seperti membuat diri menjadi tak terlihat oleh mata biasa.
Manomaya-iddhi: kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran.
Ñanavipphara-iddhi: kemampuan menembus ajaran melalui pengetahuan.
Samadhivipphara-iddhi: kemampuan kekuatan batin melalui konsentrasi, seperti:
Kemampuan menembus dinding, pagar, gunung.
Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
Kemampuan berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat.
Kemampuan terbang di angkasa seperti burung.
Kemampuan melawan api.
Kemampuan memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma.
Kemampuan menyentuh bulan dan matahari dengan tangannya.
Dibbasotaññāṇa: kemampuan untuk mendengar sesuatu dari jarak jauh dan alam lain.
Cetopariyaññāṇa: kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain.
Dibbacakkhuññāṇa: kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing. 
Pubbenivāsānussatiññāṇa: kemampuan untuk mengingat kehidupan lampau diri sendiri dan orang lain.
Āsavakkayaññāṇa: kemampuan untuk melenyapkan kotoran batin yang membimbing pada jalan pembebasan akhir.

Dari enam jenis ini, Āsavakkayaññāṇa adalah kemampuan yang paling valid daripada yang lainnya. Ketika seseorang memiliki kemampuan ini, seseorang terbebaskan dari cengkraman dukkha. Ini berarti seseorang mencapai pada tujuan dari Buddhisme sendiri, yaitu nibbāna. Ini merupakan tujuan dari agama Buddha. Dalam Cūḷavedalla Sutta, dikatakan bahwa kehidupan suci ini dijalani berlandaskan pada nibbāna, memuncak dalam nibbāna, dan berakhir dalam nibbāna (M. 44. p. 403).

Kesimpulan
Buddhisme lebih setuju pengalaman langsung sebagai sumber pengetahuan daripada otoritas kitab suci dan penalaran. Sumber pengetahuan yang dimaksudkan Buddhisme adalah pengetahuan yang bersumber dari pengetahuan exstrasensori (abhiññā), yaitu kekuatan magis (iddhividha), telinga batin (dibbasota), telepati (cetopariaññāṇa), kemampuan melihat kehidupan lampau (pubbenivāsānussatiññāṇa), mata batin (dibbacakkhuññāṇa), dan kemampuan penghancuran kotoran batin (āsavakkayaññāṇa). Pengetahuan yang dicapai dari pelenyapan kekotoran batin adalah pengetahuan yang paling valid. 

Referensi Primer:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009. 
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.

Referensi Sekunder:
Jayatilleke, K. N. 2015. Early Buddhist Theory of Knowledge. Delhi: Motilal Banarsidass.
Jayatilleke, K. N. 2010. Facets of Buddhist Thought. Kandy: Buddhist Publication Society.
Kalupahana, David J. 1976.  Buddhist Philosophy: A Historical Analysis. Honolulu: The University Press of Hawaii.
Malalasekera, G.P (editor). 1990. Encyclopaedia of Buddhism. Vol. V. Sri Lanka: The Goverment of Sri Lanka.

No comments:

Post a Comment