Wednesday, August 30, 2017

Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan (Paṭiccasamuppāda)

0 comments

Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan (Paṭiccasamuppāda)

Filsafat dan kepercayaan yang ada sebelum Buddhisme secara luas dapat dibagi menjadi dua pandangan, yaitu: eternalisme (sassatavada) dan nihilisme (ucchedavada). Budddhisme tidak termasuk dari dua pandangan itu. Buddhisme menyadari bahwa segala sesuatu muncul karena sebab dan musabab. Dalam Kaccānagotta Sutta, Buddha mengkritik bahwa pandangan semua eksis adalah salah satu pandangan ekstrem (sabbamatthīti ayameko anto) dan pandangan bahwa semua tidak ada yang eksis adalah pandangan ekstrem yang kedua (sabbaṃ natthīti ayaṃ dutiyo anto). Tanpa memihak dua hal ekstrem ini, Buddha membabarkan ajaran dengan di tengah (ete te ubho ante anupagamma majjhena tathāgato dhammaṃ deseti. S. II. 17). Walaupun dikatakan di tengah, ini tidak seharusnya dipahami sebagai ajaran yang mengadopsi dari dua ekstrem itu setengah-setengah. Yang dimaksud ajaran tengah adalah menghindari dua pandangan ekstrem tersebut. Apa yang dimaksud Buddha sebagai ajaran tengah adalah ajaran tentang hukum sebab musabab yang saling bergantungan (paṭiccasamuppāda).

Kata paṭiccasamuppāda berasal dari dua kata yaitu paṭicca yang berarti sebab atau bergantung pada, dan samuppāda berarti kemunculan. Secara literal paṭiccasamuppāda berarti hukum yang kemunculannya bergantung pada atau muncul karena sebab. Umumnya paṭiccasamuppāda diterjemahkan sebagai hukum sebab musabab yang saling bergantungan atau dalam bahasa modern disebut sebagai hukum kausalitas. Bhikkhu Buddhaghosa Thera, seorang komentator Theravāda, memberikan nama-nama lain dari hukum sebab musabab yang saling bergantungan (paṭiccasamuppāda) di bukunya yang bernama Visuddhimagga. Nama lain dari paṭiccasamuppāda antara lain: paccaya, hetu, kārana, nidāna, sambhava, dan pabhava (Vsm. XVII. 533).

Sebelum dan di zaman Buddha, terdapat tiga macam teori utama tentang kausalitas yang diperkenalkan oleh pemimpin agama lain. Tiga itu antara lain: yang disebabkan oleh diri sendiri (sayaṃ kataṃ), yang disebabkan oleh pihak luar (paraṃ kataṃ), dan sebuah kombonasi dari yang disebabkan oleh diri sendiri dan pihak luar (sayaṃ katañ ca paraṃ katañ ca. S. II. 22). Sekali lagi, Buddhisme bukan dari tiga bagian itu. Buddhisme menolak teori satu sebab (ekahetuvāda) dan menolak teori tanpa sebab (ahetuvāda), karena menurut Buddhisme segala sesuatu muncul saling bergantungan dan tidak ada sebab tunggal. Buddha memberikan formula dari ajarannya tentang hukum sebab musabab yang saling bergantungan sebagai berikut:

Imasmiṃ sati idaṃ hoti, imassuppādā idaṃ uppajjati.
Imasmiṃ asati idaṃ na hoti, imassa nirodhā idaṃ nirujjhati.

Ketika ini ada, maka itu ada; dengan munculnya ini, maka itu muncul.
Ketika ini tidak ada, maka itu tidak ada; dengan lenyapnya ini maka itu lenyap (S. II. 28).

Formula ini dapat dijelaskan dengan dengan hubungan simbolik sebagai berikut:
Karena ada A, maka muncul B; Karena ada B, muncul C
Karena tidak ada A, maka tidak ada B; karena tidak ada B, maka tidak ada C

Formula Paṭiccasamuppāda yang lain adalah apapun yang merupakan subjek kemunculan juga merupakan subjek pelenyapan (yaṃ kiñci samudayadhammaṃ, sabbaṃ taṃ nirodhadhamma’’nti. S. V. 423).

Ketika Upatissa bertanya kepada Bhikkhu Assaji tentang siapa gurunya dan apa ajarannya, Bhikkhu Assaji menjawab bahwa grunya adalah Tathāgata atau Buddha. Karena Bhikkhu Assaji masih baru, dia berkata bahwa ia tidak mampu menjelaskan ajaran Buddha secara menyeluruh. Namun ia bersiap untuk memberikan esensi ajarannya dengan mengucapkan:

Ye dhammā hetuppabhavā tesaṃ hetuṃ tathāgato āha;
Tesañca yo nirodho, evaṃvādī mahāsamaṇo’’ti.

Segala sesuatu muncul karena sebab, Buddha telah mengatakan sebabnya dan pengakhirannya, demikian ajaran petapa agung (Mv. I. 40).

Paṭiccasamuppāda diidentifikasikan dengan Dhamma, Dhammatā, Dhammaniyāmatā, etc. (S. II. 25). Di dalam Mahāpadāna Sutta dari Dīgha Nikāya, ajaran tentang hukum sebab musabab yang saling bergantungan ini dideskribsikan sebagai ajaran yang dalam (gambhīro), sulit untuk dilihat (duddaso), sulit untuk ditangkap (duranubodho), damai (santo), unggul (paṇīto), melebihi penalaran (atakkāvacaro), halus (nipuṇo), dan untuk dipahami oleh orang yang bijaksana (paṇḍitavedanīyo. D. II. 36).

Sama halnya di dalam Mahānidāna Sutta, dikatakan bahwa ajaran sebab musabab yang saling bergantungan ini sangatlah dalam (gambhīro) dan muncul sangat dalam (gambhīrāvabhāso). Karena tidak memahami, tidak menembus ajaran ini, generasi ini telah menjadi seperti rumput kasar, tidak mampu melampaui alam sengsara, nasib buruk, kejatuhan, dan terperangkap dalam kelahiran dan kematian (Etassa dhammassa ananubodhā appaṭivedhā evamayaṃ pajā tantākulakajātā kulagaṇṭhikajātā muñjapabbajabhūtā apāyaṃ duggatiṃ vinipātaṃ saṃsāraṃ nātivattati. D. II. 55).

Dalam Mahāhatthipadopama Sutta, Buddha berkata bahwa orang yang melihat paṭiccasamuppāda melihat Dhamma, dan orang yang melihat Dhamma melihat paṭiccasamuppāda (Yo paṭiccasamuppādaṃ passati so dhammaṃ passati; yo dhammaṃ passati so paṭiccasamuppādaṃ passatīti. M. I. 191).

Buddha menyebutkan empat karakteristik hukum sebab musabab yang saling bergantungan di dalam Paccaya Sutta dari Nidana Saṃyutta. Empat karakteristik itu antara lain objektivitas (tathatā), nesesitas (avitathatā), invariabilitas (anaññathatā), dan kondisionalitas (idappaccayatā. S. II. 26). Kitab komentar memberikan penjelasan lebih lanjut tentang empat karakteristik tersebut. Disebut objektivitas karena kondisi-kondisi itu sendiri tidak lebih dan tidak kurang, membawa tentang kejadian ini dan itu. Disebut sebagai nesesitas karena tidak ada kesalahan bahkan satu momen sekalipun untuk memproduksi kejadian-kejadian yang muncul ketika kondisi-kondisi bertemu. Disebut invariabilitas karena tidak ada kejadian yang berbeda dengan kejadian-kejadian atau kondisi-kondisi lainnya. Disebut sebagai kondisionalitas karena satu atau kumpulan kondisi-kondisi menimbulkan ketuaan dan kematian (SA. II. 41).

Hukum sebab musabab yang saling bergantungan menjabarkan dua belas faktor yang saling berhubungan satu sama lain dalam sebelas proposi. Paṭiccasamuppāda Sutta dari Saṃyutta Nikāya menguraikan topik ini secara jelas (S. II. 1). Paṭiccasamuppāda menguraikan dua hal, yaitu kemunculan penderitaan dan lenyapnya penderitaan. Metode anuloma menjabarkan bagaimana penderitaan muncul dan metode Paṭiloma menjabarkan bagaimana penderitaan lenyap atau berakhir. Dengan metode Anuloma (mengikuti arus), paṭiccasamuppāda dijabarkan sebagai berikut:

  1. Avijjāpaccayā saṅkhārā; Ketidaktahuan mengondisikan bentuk-bentuk pikiran.
  2. Saṅkhārapaccayā viññāṇaṃ; Bentuk-bentuk pikiran mengondisikan kesadaran.
  3. Viññāṇapaccayā nāmarūpaṃ; Kesadaran mengondisikan batin dan jasmani.
  4. Nāmarūpapaccayā saḷāyatanaṃ; Batin dan jasmani mengondisikan enam landasan indriya.
  5. Saḷāyatanapaccayā phasso; Enam landasan indriya mengondisikan kontak.
  6. Phassapaccayā vedanā; Kontak mengondisikan perasaan.
  7. Vedanāpaccayā taṇhā; Dengan adanya perasaan mengondisikan nafsu keinginan.
  8. Taṇhāpaccayā upādānaṃ; Nafsu keinginan mengondisikan kemelekatan.
  9. Upādānapaccayā bhavo; Kemelekatan mengondisikan kemenjadian atau eksistensi.
  10. Bhavapaccayā jāti; Kemenjadian mengondisikan kelahiran.
  11. Jātipaccayā jarāmaraṇasokaparidevadukkhadomanassaupāyyāsā sambhavanti. Evametassa kevalassa dukkhakkhandhassa samudayo hoti; Kelahiran mengondisikan ketuaan, kematian, dukacita, ratapan, derita, kesedihan, keputusasaan. Dengan demikian muncul seluruh penderitaan.

Secara Paṭiloma (melawan arus) paṭiccasamuppāda dijabarkan sebagai berikut:

  1. Avijjāya tveva asesavirāganirodhā saṅkhāranirodho; Dengan hancur dan lenyapnya tanpa sisa kebodohan maka bentuk-bentuk pikiran lenyap.
  2. Saṅkhāranirodhā viññāṇanirodho; Dengan lenyapnya bentuk-bentuk pikiran maka kesadaran lenyap.
  3. Viññāṇanirodhā nāmarūpanirodho; Dengan lenyapnya kesadaran maka batin dan jasmani lenyap.
  4. Nāmarūpanirodhā saḷāyatananirodho; Dengan lenyapnya batin dan jasmani maka enam landasan indriya lenyap.
  5. Saḷāyatananirodhā phassanirodho; Dengan lenyapnya enam landasan indriya maka kontak lenyap.
  6. Phassanirodhā vedanānirodho; Dengan lenyapnya kontak maka perasaan lenyap.
  7. Vedanānirodhā taṇhānirodho; Dengan lenyapnya perasaan maka nafsu keinginan lenyap.
  8. Taṇhānirodhā upādānanirodho; Dengan lenyapnya nafsu keinginan maka kemelekatan lenyap.
  9. Upādānanirodhā bhavanirodho; Dengan lenyapnya kemelekatan maka kemenjadian lenyap.
  10. Bhavanirodhā jātinirodho; Dengan lenyapnya kemenjadian makan kelahiran lenyap.
  11. Jātinirodhā jarāmaraṇaṃ sokaparidevadukkhadomanassupāyāsā nirujjhanti. Evametassa kevalassa dukkhakkhandhassa nirodho hotī’’ti; Dengan lenyapnya kelahiran maka ketuaan, kematian, dukacita, ratapan, derita, kesedihan, keputusasaan lenyap. Dengan demikian lenyap seluruh penderitaan.


Referensi:
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Mahāvagga Vol. IV. London: Pali Text Society, 1971.
Visuddhimagga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.
Gnanarama. 2000. Essentials of Buddhism. Singapore.
Kalupahana, David J. 1976.  Buddhist Philosophy: A Historical Analysis. Honolulu: The University Press of Hawaii.
Kalupahana, David J. 1975.  Causality: The Central Philosophy of Buddhism. Honolulu: The University Press of Hawaii.

No comments:

Post a Comment