Pernikahan Buddhis
Pendahuluan
Menjalani hidup sebagai umat awam sangatlah wajar bila menginginkan hidup berpasangan dengan orang yang dicintainya. Hal yang lumrah jika pria tertarik dengan perempuan dan perempuan tertarik dengan pria. Ketika kedua cinta itu bertemu dan menyatu dalam sebuah komitmen, cepat atau lambat harapan mereka adalah melanjutkan kisah cintanya ke jenjang pernikahan. Membina hidup bersama dalam satu keluarga adalah pengertian dari pernikahan. Artikel ini akan membahas tentang pernikahan menurut agama Buddha. Hal yang bisa dipelajari di sini adalah bagaimana cara membina keluarga yang harmonis sesuai dengan Dhamma dan memahami tugas dan kewajiban masing-masing sebagai suami maupun istri.
Pernikahan Buddhis
Pernikahan menurut Buddhis bukanlah suatu keharusan, tetapi merupakan pilihan hidup masing-masing. Dalam menjalani hidup sebagai perumah tangga, menikah adalah hal yang wajar. Naluri untuk jatuh cinta terhadap lawan jenis dan keinginan untuk hidup bersama dengan orang yang dicintainya tersebut adalah hal yang sangat wajar sekali sebagai manusia normal. Pria akan tertarik pada wanita dan wanita akan tertarik pada pria. Seorang wanita memikat seorang pria melalui delapan cara, yaitu: melalui bentuknya, senyumannya, ucapannya, nyayiannya, tangisannya, penampilannya, kehadirannya, dan sentuhannya (A. IV. 196-197). Dengan delapan cara ini pula seorang pria memikat wanita (Ibid.). Buddha sendiri paham sifat manusia itu. Buddha mengatakan bahwa bentuk, suara, bau, rasa, dan sentuhan wanita menguasai pikiran pria. Demikian pula pikiran wanita selalu terobsesi dengan bentuk, suara, bau, rasa, dan sentuhan seorang pria (A. I. 1-2).
Terdapat lima faktor yang membuat pria tidak menarik bagi perempuan, yaitu:
- Tidak tampan (na ca rūpavā hoti)
- Tidak kaya (na ca bhogavā hoti)
- Tidak bajik (na ca sīlavā hoti)
- Malas (alaso ca hoti)
- Tidak dapat menurunkan anak (pajañcassa na labhati)
Terdapat lima faktor yang membuat pria sangat menarik bagi perempuan, yaitu:
- Tampan (rūpavā ca hoti)
- Kaya (bhogavā ca hoti)
- Bajik (sīlavā ca hoti)
- Cerdas dan rajin (dakkho ca hoti analaso)
- Dapat menurunkan anak (pajañcassa labhati)
Terdapat lima faktor yang membuat perempuan tidak menarik bagi pria, yaitu:
- Tidak cantik (na ca rūpavā hoti)
- Tidak kaya (na ca bhogavā hoti)
- Tidak bajik (na ca sīlavā hoti)
- Malas (alaso ca hoti)
- Tidak dapat melahirkan anak (pajañcassa na labhati )
Terdapat lima faktor yang membuat perempuan sangat menarik bagi pria, yaitu:
- Cantik (rūpavā ca hoti)
- Kaya (bhogavā ca hoti)
- Bajik (sīlavā ca hoti)
- Cerdas dan rajin (dakkho ca hoti analaso)
- Dapat melahirkan anak (pajañcassa labhati: S. III. 239)
Di India, sebelum dan di zaman Buddha, terdapat tiga jenis pernikahan:
- Diatur oleh orangtua kedua calon (āvāha vivāha)
- Seorang wanita memilih suami (svayaṁvara)
- Pria maupun wanita menentukan berdasarkan pilihan sendiri (gandharva) (Piyasilo, Ven. (editor). Love and Marrige: A Buddhist Perspective. p. 77).
Di Indonesia sekarang ini juga masih bisa ditemukan jenis-jenis pernikahan yang seperti ini. Dulu sepertinya pernikahan yang diatur oleh kedua orangtua calon tampak umum karena orangtua memegang kendali anaknya. Jadi orangtua akan menikahkan anaknya setelah melakukan perundingan atas dua belah pihak. Ambil contoh di Jawa, dulunya sistem pernikahan mereka adalah dengan perjodohan. Sepertinya jenis penikahan yang mana wanita memilih suami jarang ditemukan di Indonesia. Ini mungkin seperti sayembara yang mengundang para pria kemudian seorang wanita memilih yang ia sukai. Kalau jenis pernikahan yang terakhir ini adalah jenis pernikahan yang umum di Indonesia sekarang ini. Dari ketiga jenis pernikahan ini, jenis pernikahan yang mana pria maupun wanita menentukan berdasarkan pilihan sendiri adalah yang paling ideal. Seharusnya pernikahan dilakukan atas dasar cinta dari kedua pihak. Si pria mencintai wanita pilihannya, dan wanita juga mencintai pria yang dipilihnya.
Dalam buku “Wonder That was India” A.L. Basham mencatat delapan tipe pernikahan yang disebutkan dalam teks-teks kuno. Delapan itu antara lain:
- Brahma Vivāha: wanita atau gadis muda yang belum menikah harus dinikahkan kepada pria atau anak laki-laki muda yang kastanya sama. Pengantin perempuan harus pergi ke rumah ruang pertemuan dengan membawa mas kawin.
- Daiva Vivāha: anak perempuan diberikan pada saat pengorbanan untuk pendeta yang memimpin sebagai bayarannya.
- Ārsha Vivāha: pemberian sebuah sapi betina maupun jantan dalam pernikahan daripada mas kawin.
- Prājāpatya: pemberian anak perempuan dalam pernikahan tanpa sebuah mas kawin.
- Gāndharva Vivāha: pernikahan yang dilakukan dengan pilihan atau persetujuan dari laki-laki dan perempuan.
- Asura Vivāha: membeli wanita sebagai istri.
- Rākshasa Vivāha: membawa gadis yang belum menikah dengan memaksa dan menikahinya.
- Paisācha: setelah melakukan hubungan seksual dengan wanita penidur atau pemabuk. (Basham, A.L. Wonder That was India. p. 169).
Di sisi lain, dalam Vinaya Pitaka juga terdapat penjelasan mengenai sepuluh tipe pernikahan dengan melihat sepuluh macam istri. Sepuluh itu sebagai berikut:
- Ketika seorang istri dibawa dengan cara dibeli dengan uang (dhanakkītā)
- Ketika seorang istri tinggal karena persetujuannya sendiri dengan seorang pria (chandavāsinī)
- Ketika seorang pria memberinya uang (bhogavāsinī)
- Ketika seorang pria memberinya pakaian (paṭavāsinī)
- Ketika pembersihan air religius dilakukan (odapattakinī)
- Ketika dia melepas penutup kepalanya (obhaṭacumbaṭā)
- Ketika dia juga merupakan seorang budak perempuan (dāsī ca bhariyā ca)
- Ketika dia merupakan pelayan (kammakārī ca bhariyā ca)
- Ketika dia ditangkap dalam sebuah penyerangan (dhajāhaṭā)
- Ketika dia dengan pria secara sementara (muhuttikā: Vin. III. 139)
Terdapat empat macam pernikahan sebagaimana yang dikatakan Buddha mengenai hidup bersama:
- Orang yang buruk hidup bersama dengan seorang yang buruk (chavo chavāya saddhiṃ saṃvasati) Seorang suami adalah seorang yang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan asusila, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman yang memabukkan, yang melemahkan kesadaran; ia tidak bermoral, berkarakter buruk, ia berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh kekikiran; ia menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Dan istrinya juga merupakan seorang yang memiliki karakteristik buruk sebagaimana yang dimiliki oleh suaminya.
- Seorang yang buruk hidup bersama dengan dewa wanita (chavo deviyā saddhiṃ saṃvasati). Seorang suami adalah seorang yang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan asusila, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman yang memabukkan, yang melemahkan kesadaran; ia tidak bermoral, berkarakter buruk, ia berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh kekikiran; ia menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Tetapi istrinya adalah orang yang menghindari membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan asusila, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman yang memabukkan, yang melemahkan kesadaran; ia bermoral dan berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari kekikiran; ia tidak menghina dan mencela para petapa dan brahmana.
- Dewa hidup bersama dengan seorang yang buruk (devo chavāya saddhiṃ saṃvasati). Suami adalah seorang yang menghindari membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan asusila, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman yang memabukkan, yang melemahkan kesadaran; ia bermoral dan berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari kekikiran; ia tidak menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Namun istrinya adalah seorang yang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan asusila, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman yang memabukkan, yang melemahkan kesadaran; ia tidak bermoral, berkarakter buruk, ia berdiam di rumah dengan pikiran yang dikuasai oleh kekikiran; ia menghina dan mencela para petapa dan brahmana.
- Dewa hidup bersama dengan dewi (devo deviyā saddhiṃ saṃvasati). Suami adalah seorang yang menghindari membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatan asusila, berbohong, dan menikmati minuman keras, anggur, dan minuman yang memabukkan, yang melemahkan kesadaran; ia bermoral dan berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari kekikiran; ia tidak menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Demikian halnya istrinya (A. II. 57-59).
Aṅguttara Nikāya memuat sebuah cerita bahwa nasihat tentang tujuh jenis istri ini disampaikan kepada Sujātā, menantu dari Anāthapiṇḍika. Diceritakan dalam Sutta ini bahwa Sujātā tidak mematuhi ayah mertuanya, ibu mertuanya, atau suaminya, bahkan dikatakan dia tidak memiliki rasa hormat kepada Buddha. Atas dasar ini, Anāthapiṇḍika menyampaikan keluhan ini dan akhirnya Buddha memberi nasihat mengenai tujuh jenis istri ini kepada Sujātā. Tujuh jenis istri itu antara lain sebagai berikut:
- Istri Pembunuh (vadhaka-bhariyā) adalah seorang istri yang tak tahu belas kasih, batinnya kotor, membenci suami, menginginkan pria lain, bahkan berusaha untuk membunuh suaminya.
- Istri Panjang Tangan (cora-bhariyā) adalah seorang istri yang walaupun seluruh hasil pendapatan suaminya sudah diserahkan pada istrinya, namun istrinya selalu menyembunyikan harta itu untuk kepentingan dirinya sendiri.
- Istri Kejam (ayyā-bhariyā) adalah seorang istri yang malas, kaku, rakus, bengis, bicara kasar, suka bergunjing, menguasai suami, boros, memperbudak suami, dan menjelek-jelekkan suami.
- Istri Ibu (mātu-bhariyā) adalah seorang istri yang selalu memerhatikan suaminya bagaikan seorang ibu yang menyayangi putra tunggalnya, menjaga dengan baik kekayaan keluarga yang diperoleh suaminya.
- Istri Saudara (bhagini-bhariyā) adalah seorang istri yang memperlakukan suaminya seperti adik terhadap kakak, melayani suaminya dengan penuh sopan dan berbakti dengan lemah lembut.
- Istri Sahabat (sakhī-bhariyā) adalah seorang istri yang selalu bersikap riang terhadap suaminya, menyenangi kehadiran suaminya, bagaikan bertemu sahabat yang telah lama tidak berjumpa. Istri yang berkepribadian anggun dan berbudi luhur, tulus mengabdi, dan dapat mengarahkan suaminya.
- Istri Pembantu (dāsi-bhariyā) adalah seorang istri yang bersifat tenang, bebas dari kemarahan, dengan hati yang tenang bersedia menanggung derita bersama suaminya. Tanpa rasa dendam dan selalu patuh terhadap suaminya, mendengarkan kata-kata suami dengan rendah hati.
Sebagai tambahan, Anuruddha Sutta, Aṅguttara Nikāya, menjelaskan tentang delapan kualitas wanita yang apabila dimiliki maka setelah kematian akan terlahir kembali dalam para kumpulan dewa yang bertubuh menyenangkan (A. IV. 91-92).
- Kepada suami mana pun orang tuanya menyerahkannya yang melakukannya karena menginginkan kebaikannya, mengusahakan kesejahteraannya, berbelas kasih padanya, bertindak demi belas kasihan padanya; seorang perempuan bangun sebelum suaminya dan pergi tidur setelah suaminya, melakukan apa pun yang perlu dilakukan, menyenangkan dalam perilakunya dan disukai dalam ucapannya.
- Ia menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan siapa pun yang dihormati oleh suaminya, ibu dan ayahnya, para petapa dan brahmana; dan ketika mereka datang ia mempersembahkan tempat duduk dan air kepada mereka.
- Ia terampil dan rajin dalam mengerjakan urusan-urusan rumah tangga suaminya, apakah merajut atau menenun; ia memiliki penilaian yang baik atas urusan-urusan itu untuk dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar.
- Ia mencari tahu apa yang telah dilakukan dan belum dilakukan oleh para pembantu rumah tangga suaminya, apakah budak-budak, utusan-utusan, atau para pekerja; ia mencari tahu kondisi dari mereka yang sakit; dan ia membagikan porsi makanan yang selayaknya bagi mereka masing-masing.
- Ia menjaga dan melindungi pendapatan apa pun yang dibawa pulang oleh suaminya, apakah uang, beras, perak, atau emas; dan ia tidak menghambur-hamburkan, mencuri, memboroskan, atau menyia-nyiakan pendapatannya itu.
- Ia adalah seorang umat awam perempuan yang telah berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha.
- Ia bermoral, menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan.
- Ia dermawan, seorang yang berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepaskan, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi.
Uggaha Sutta dalam Aṅguttara Nikāya berisi pesan penting mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri. Dikisahkan bahwa pada suatu ketika Buddha menghadiri undangan makan dari Uggaha. Setelah selesai makan, Uggaha mendekat ke Buddha dan mengatakan bahwa putri-putrinya akan pergi ke keluarga suaminya, kemudian Uggaha memohon kepada Buddha agar memberikan wejangan tentang jalan yang akan menuntunnya pada kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama. Kemudian Buddha memberikan nasihat penting untuknya (A. III. 36-37).
- Kepada suami mana pun orangtua berikan kepada kita, yang dilakukan demi kebaikan kami, mengupayakan kesejahteraan kami, karena kasih sayang kepada kita, bertindak karena kasih sayang kepada kita; kita akan bangun sebelumnya dan beranjak tidur setelahnya, melakukan apa saja yang perlu dikerjakan, dapat diterima dalam perilaku dan menyenangkan dalam ucapan kita.
- Kami akan menghargai, menghormat, dan memuliakan mereka yang suami kita hormati, ibu dan ayahnya, petapa dan brahmana; dan ketika mereka sampai kita akan mempersembahkan tempat duduk dan air.
- Kami akan terampil dan rajin dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga suami kami, apakah merajut atau menenun; kita akan memiliki penilaian tentangnya untuk menjalankan dan mengaturnya secara tepat.
- Kita akan mencari tahu apa yang telah dikerjakan dan belum diselesaikan oleh pembantu atau pekerja; dan kita akan mencari tahu kondisi dari mereka yang sakit; dan kita akan memberikan makanan yang pantas kepada mereka.
- Kita akan menjaga dan melindungi pendapatan yang dibawa ke rumah, apakah uang atau beras, perak atau emas; dan kami tidak akan memboroskan, mencuri, dan menghambur-hamburkan pendapatannya.
Nasihat untuk Visakha ketika mau dibondong ke rumah mertuanya juga penting untuk diperhatikan. Dhanañjaya, ayah dari Visakha, menasihatinya dengan memberikan sepuluh asas sebagai berikut (Dhp.A. IV. 398):
- Selama tinggal di rumah ayah mertua jangan membawa keluar api dari dalam rumah (sasurakule vasantiyā nāma antoaggi bahi na nīharitabbo). Ini harus dipahami bahwa istri jangan sampai membocorkan perkara suami dan mertuanya kepada orang luar. Jangan sampai pula hal-hal yang menyangkut mereka ataupun pertengkaran keluarga diceritakan kepada orang lain.
- Jangan membawa masuk api dari luar rumah (bahiaggi anto na pavesetabbo). Ini harus dipahami bahwa istri jangan sampai melaporkan kepada anggota keluarga lainnya mengenai kritik yang dilancarkan keluarga lain terhadap keluarganya.
- Berilah mereka yang memberi (dadantasseva dātabbaṃ). Ini harus dipahami bahwa istri boleh meminjamkan barang kepada mereka yang mengembalikannya.
- Jangan memberi mereka yang tidak memberi (adadantassa na dātabbaṃ). Ini harus dipahami bahwa istri seharusnya tidak meminjamkan barang kepada orang yang tidak mengembalikannya.
- Berilah mereka yang memberi dan tidak memberi (dadantassāpi adadantassāpi dātabbaṃ). Ini harus dipahami bahwa sanak keluarga dan sahabat yang miskin harus dibantu, meskipun mereka mau membayar kembali atau tidak.
- Duduklah dengan bahagia (sukhaṃ nisīditabbaṃ). Ini harus dipahami bahwa istri harus duduk dengan cara yang baik. Saat melihat mertua dan suaminya, ia harus berdiri dan jangan sampai hanya duduk saja. Ini adalah bentuk penghormatan kepada mereka. Ini menunjukkan agar dia terlihat peduli dan tidak cuek ketika mertua datang.
- Makanlah dengan bahagia (sukhaṃ bhuñjitabbaṃ). Ini harus dipahami bahwa sebelum makan, istri harus terlebih dahulu memastikan bahwa mertua dan suaminya telah dilayani. Ia juga harus memastikan bahwa para pelayannya terurus dengan baik.
- Tidurlah dengan bahagia (sukhaṃ nipajjitabbaṃ). Ini harus dipahami bahwa sebelum tidur, istri harus memastikan bahwa semua pintu telah tertutup, perabotan telah aman, para pembantu telah melakukan tugas mereka, dan mertuanya telah beristirahat. Tidak pantas seorang istri tidur lebih awal dari ibu dan ayah mertuanya.
- Jagalah api (aggi paricaritabbo). Ini harus dipahami bahwa mertua dan suami harus dipandang laksana api yang membara atau raja naga yang harus senantiasa diperlakukan dengan hati-hati dan dihormati.
- Hormatilah para dewa di rumah (antodevatā namassitabbā). Ini harus dipahami bahwa mertua dan suami harus dipandang laksana dewa. Buddha merujuk orangtua sebagai dewa. Sehingga maksudnya adalah dengan menghormati orangtua sebagaimana mestinya
Sigālovāda Sutta memberikan tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan istri terhadap suami dan suami terhadap istri (D. III. 190). Tugas istri kepada suami adalah sebagai berikut:
- Menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik (susaṃvihitakammantā)
- Bersikap ramah-tamah terhadap sanak keluarga kedua belah pihak (saṅgahitaparijanā)
- Dengan kesetiaan (anaticārinī)
- Menjaga barang-barang yang diberikan suaminya (sambhatañca anurakkhati)
- Pandai dan rajin dalam melaksanakan segala tanggung jawabnya (dakkhā ca hoti analasā sabbakiccesu)
Tugas suami terhadap istri adalah sebagai berikut:
- Dengan menghormati (sammānanāya)
- Dengan bersikap ramah-tamah (anavamānanāya)
- Dengan kesetiaan (anaticariyāya)
- Dengan menyerahkan kekuasaan rumah tangga kepadanya (issariyavossaggena)
- Dengan memberi barang-barang perhiasan kepadanya (alaṅkārānuppadānena)
Buddha mengatakan bahwa jika seorang suami dan istri ingin tetap bersatu di dalam kehidupan yang akan datang mereka seharusnya memiliki keyakinan (samasaddhā), sila (samasīlā), kedermawanan (samacāgā), dan kebijaksanaan (samapaññā) yang setara (A. II. 62).
Kesimpulan
Buddhisme memandang pernikahan sebagai hal yang wajar diinginkan oleh para manusia pada umumnya. Merupakan hal yang wajar bila manusia tertarik dengan lawan jenis mereka. Ketertarikan terhadap lawan jenis inilah yang akhirnya membuat manusia mengharapkan untuk hidup bersama dengan orang yang dicintainya. Dengan kata lain menikahi pasangan hidupnya dan menjalani hidup berkeluarga bersamanya. Ajaran Buddha tidaklah miskin dengan nasihat-nasihat menarik yang bisa dijadikan panduan bagi pasangan suami istri dalam menjalani hidup berkeluarga sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada Aṭṭhakathā: Buddhist Legends. Vol. II. Trans. Eugene Watson Burlingame. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers, 2015.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Suttavibhaṅga Vol. I. London: Pali Text Society, 1969.
Basham, A.L. 1994. Wonder That was India. Delhi: Rupa and Company.
Nandaratana, Mahaladuwe. 1998. Buddhist Concept of Family life: As Depicted in the Sutta Piṭaka. Balapitiya: Sri Sugatha Community Development Foundation.
Piyasilo, Ven. (editor). 1990. Love and Marriage: A Buddhist Perspective. Malaysia: The Friends of Buddhism Malaysia.