Saturday, August 5, 2017

Mapan dalam Ekonomi dan Bermoral

0 comments

Mapan dalam Ekonomi dan Bermoral

Pendahuluan
Artikel ini bertujuan untuk memberikan tanggapan-tanggapan Buddhis mengenai ekonomi dan panduan praktis yang diberikan Buddhisme untuk menjadi mapan dalam ekonomi. Karena pada dasarnya Buddhisme adalah agama yang menekankan pada kemoralan, maka dari itu untuk menjadi mapan dalam ekonomi, panduan yang diberikan Buddhisme tidak terlepas dari kaidah moral. Ini akan sangat berguna karena seperti kita tahu, orang-orang serakah yang hanya mementingkan ekonomi biasanya mengabaikan moral demi memperoleh pendapatan yang lebih. Alhasil banyak pandangan kalau mau mapan ekonomi, seseorang harus mengabaikan moral. Tentu Buddhisme tidak menyetujui hal demikian. Cara memperoleh kekayaan dan cara menggunakan kekayaan menurut Buddhisme harus tidak menyimpang dari kaidah moral. Kekayaan bisa menuntun orang menjadi lebih baik, namun kekayaan juga bisa menjadikan orang menjadi lebih buruk. Prinsip ekonomi Buddhis harus berjalan beriringan dengan prinsip moral.

Ekonomi Buddhis
Harus diakui bahwa Buddha tidak bermaksud mengajarkan ilmu ekonomi kepada murid-muridnya atau kepada para pengikutnya. Dengan kata lain tidak ada ajaran khusus yang membahas tentang masalah ekonomi seperti apa yang dipelajari di perkualiahan-perkuliahan di dunia modern. Namun Buddhisme juga tidak miskin dengan prinsip-prinsip ekonomi yang kita sebut sebagai ekonomi Buddhis. Dengan menelusuri Tipiṭaka Pāli, kita menemukan beberapa landasan filosofis mengenai ekonomi. Ekonomi menurut Buddhis berarti pembahasan tentang cara memperoleh kekayaan, mata pencaharian, cara mengatur pendapatan, cara menggunakan kekayaan, dll. Perlu digarisbawahi bahwa pembahasan ekonomi ini khusus untuk umat awam yang menjalani kehidupan sebagai perumah tangga.

Buddhisme menyadari bahwa memiliki kekayaan adalah salah satu keinginan mendasar bagi setiap orang. Keinginan-keinginan manusia dapat dijelaskan secara hirarki sebagaimana yang dijelaskan dalam Pattakamma Sutta. Pertama seseorang menginginkan kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar (bhogā me uppajjantu sahadhammenāti). Setelah memperolehnya, seseorang menginginkan popularitas di antara sanak keluarga dan guru (yaso me āgacchatu saha ñātīhi saha upajjhāyehīti). Setelah mendapatkannya, seseorang mulai berharap untuk dapat hidup lebih panjang dan menikmati kehidupannya (ciraṃ jīvāmi dīghamāyuṃ pālemīti). Terakhir seseorang menutup keinginannya dengan harapan terlahir di alam surga setelah kematiannya (kāyassa bhedā paraṃ maraṇā sugatiṃ saggaṃ lokaṃ upapajjāmīti. A. II. 66).

Memiliki kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar adalah salah satu jenis kebahagiaan bagi umat awam (atthisukhaṃ). Dengan kekayaan yang diperolehnya dengan cara yang benar, seseorang bisa menikmatinya dan menggunakannya untuk berbuat banyak kebajikan. Menikmati kekayaan ini adalah jenis kebahagiaan yang berikutnya (bhogasukhaṃ). Oleh karena itu, ekonomi akan menunjang perolehan dua jenis kebahagiaan ini (A. II. 69). Apabila ia mampu mengelola kekayaannya dengan baik dan menggunakannya untuk kebahagiaan diri sendiri dan orang banyak, maka ia akan mendapatkan dua jenis kebahagiaan yang lain – kebahagiaan tanpa hutang (ānaṇyasukhaṃ) dan kebahagiaan tanpa cela (anavajjasukhaṃ).

Dalam Andha Sutta, Buddha memberikan perumpamaan tentang tiga jenis orang di dunia ini (A. I. 29). Tiga jenis orang tersebut antara lain orang yang buta, orang bermata satu, dan orang bermata dua. Orang yang buta (Andho) adalah orang yang tidak memiliki jenis mata yang dengannya ia dapat memperoleh kekayaan yang belum pernah diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh. Ia juga tidak mempunyai mata untuk membedakan kualitas yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, tercela dan tanpa cela, hina dan mulia, dan kualitas-kualitas gelap dan terang. Ringkasnya orang buta ini tidak mampu melihat kesempatan yang ada untuk menjadi sukses, dan parahnya lagi ia tidak memiliki pengetahuan tentang kemoralan.
Orang yang bermata satu (ekacakkhu) adalah orang yang memiliki mata yang dengannya ia dapat memperoleh kekayaan yang belum pernah diperoleh atau meningkatkan kekayaan yang telah diperoleh. Tapi sayangnya ia tidak mempunyai mata untuk membedakan kualitas yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, tercela dan tanpa cela, hina dan mulia, dan kualitas-kualitas gelap dan terang. Dengan kata lain orang bermata satu ini adalah orang yang sukses tapi tidak bermoral. Idealnya adalah orang bermata dua (dvicakkhu). Orang seperti ini selain sukses di bidang karirnya, ia juga sukses di bidang keagamaan. Dari tiga jenis orang ini, orang yang bermata dua inilah yang terbaik.

Tak bisa dipungkiri bahwa kondisi ekonomi juga akan mempengaruhi kondisi masyarakat. Masyarakat yang mapan dalam ekonomi akan lebih tentram dan sejahtera dalam menjalani hidup. Sebaliknya, masyarakat yang berada pada kondisi ekonomi yang sulit, keamanan akan menjadi terancam. Kesulitan ini akan berdampak pada munculnya tindakan-tindakan kejahatan. Cakkavattisīhanāda Sutta melaporkan kejadian yang serupa. Ketika kemiskinan merajalela, orang-orang mulai melakukan pencurian (D. III. 65). Dan ini akan menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks. Hukuman bagi yang mencuri menjadi ditegakkan dan penggunaan senjata semakin meningkat. Akhirnya kekerasan dan pembunuhan meningkat (D. III. 67-68).

Kejadian itu menyadarkan kita bahwa kondisi ekonomi juga mempengaruhi keteguhan seseorang dalam menjalankan moralitas. Itulah mengapa ada istilah bahwa seseorang tidak akan memikirkan agama di saat perut kosong. Buddha menyadarinya dan mengungkapkan bahwa kelaparan adalah penyakit yang paling serius (jighacchāparamā rogā. Dhp. 203). Itu karena ketika seseorang dalam keadaan lapar, ia tidak bisa memahami kenyataan dengan baik dan dalam kondisi itu ia tidak mampu memahami inti pesan yang disampaikan. Namun perlu dicatat bahwa, itu bukan berarti Buddhisme menyetujui pengabaian moralitas sebelum sukses. Buddhisme memberikan jalan untuk meraih kesuksesan dengan diiringi moral.

Cara Memperoleh Kekayaan
Cara memperoleh kekayaan menurut Buddhisme tidak terlepas dari kaidah moral. Dalam Sigālovāda Sutta, mengumpulkan kekayaan haruslah seperti lebah yang mengumpulkan madu (D. III. 188). Maksudnya adalah ketika lebah mengumpulkan madu ia tidak merusak bunga. Justru hubungan antara lebah dan bunga terjalin secara simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan satu sama lain. Demikian pula, kekayaan harusnya diperoleh dari pekerjaan yang menguntungkan satu sama lain dan tidak merusak ekosistem.

Pekerjaan yang benar adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak menyimpang dari norma masyarakat, aturan negara, dan ajaran agama. Sesungguhnya, kriteria moral dan pekerjaan memiliki kesamaan, yaitu tidak merugikan diri sendiri, makhluk lain, dan keduanya. Dengan kata lain, prinsip dasar dari moral dan pekerjaan adalah saling menguntungkan. Ini bisa dipahami dengan penjelasan yang diberikan Buddha dalam Ambalaṭṭhikārāhulovāda Sutta (M. I. 415-416).

Jadi, pekerjaan apapun yang berhubungan dengan pembunuhan, pencurian, perzinaan, penipuan, dan hal-hal yang menyebabkan pemabukan dikategorikan sebagai pekerjaan yang salah. Dalam komplek perdagangan, secara khusus Buddha memberikan lima macam perdagangan yang hendaknya dihindari, yaitu perdagangan senjata (satthavaṇijjā), perdagangan makhluk hidup (sattavaṇijjā), perdagangan daging (maṃsavaṇijjā), perdagangan minuman keras (majjavaṇijjā), perdagangan racun (visavaṇijjā. A. III. 208).

Bermata pencaharian yang benar (sammā-ājīva) adalah salah satu faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga). Apa yang dimaksud bermata pencaharian benar adalah meninggalkan mata pencaharian salah dan hidup dengan mata pencaharian yang benar (micchāājīvaṃ pahāya sammā-ājīvena jīvitaṃ kappeti. D. II. 312). Kekayaan yang benar adalah kekayaan yang diperoleh dengan usaha dan semangat (uṭṭhānavīriyādhigatehi), dikumpulkan dengan kekuatan bahunya (bāhābalaparicitehi), hasil keringat yang keluar dari dahi sendiri (sedāvakkhittehi), dengan jalan Dhamma (dhammikehi dhammaladdhehi. A. IV. 282).

Memanajemeni Kekayaan
Kemampuan seseorang dalam memanajemen kekayaan adalah dasar seseorang untuk menjadi sukses. Pendapatan dan pengeluaran harus diatur sebagaimana mestinya. Pengeluaran tidak boleh lebih daripada pendapatan. Dalam Sigālovāda Sutta, Buddha memberikan cara memanajemen penghasilan. Pemasukan harus dibagi menjadi empat bagian. Satu bagian (25%) untuk dinikmati (ekena bhoge bhuñjeyya), dua bagian (50%) untuk investasi (dvīhi kammaṃ payojaye), dan satu bagian lagi (25%) disimpan untuk keperluan sewaktu membutuhkan (catutthañca nidhāpeyya āpadāsu bhavissati. D. III. 188).

Seseorang sering kali gagal, ketika ia tidak bisa mengatur kekayaanya. Buddha juga menyebutkan beberapa faktor yang dapat membuat seseorang menjadi mundur. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemunduran itu dijelaskan secara mendetail di Parābhava Sutta. Tergila-gila dengan wanita (itthidhutto), suka minum-minuman keras (surādhutto), suka bermain judi (akkhadhutto), dan memboroskan kekayaan dalam hal yang tidak berguna (laddhaṃ laddhaṃ vināseti) adalah sebab-sebab keruntuhan (Sn. 106). Sigālovāda Sutta merinci enam saluran yang dapat memboroskan kekayaan (cha apāyamukhāni), antara lain:

  • Gemar minum minuman keras (surāmerayamajjappamādaṭṭhānānuyogo)
  • Sering berkeliaran di jalan-jalan pada waktu yang tidak pantas (vikālavisikhācariyānuyogo)
  • Mengejar tempat-tempat hiburan (samajjābhicaraṇaṃ)
  • Gemar berjudi (jūtappamādaṭṭhānānuyogo)
  • Bergaul dengan teman-teman yang jahat (pāpamittānuyogo)
  • Kebiasaan bermalas-malasan (ālasyānuyogo. D. III. 182)

Dīghajāṇu Sutta menyebutkan empat sumber pemboroskan kekayaan (cattāri apāyamukhāni), yaitu: bermain perempuan (itthidhutto); bermabuk-mabukan (surādhutto); berjudi (akkhadhutto); dan pertemanan, pergaulan, dan persahabatan yang buruk (pāpamitto pāpasahāyo pāpasampavaṅko. (A. IV. 284). Menariknya, Buddha mengumpamakannya seperti sebuah waduk besar dengan empat saluran masuk dan empat saluran keluar. Ketika saluran-saluran masuk ditutup dan saluran-saluran keluar dibuka, dan pada saat itu tidak ada hujan turun, maka air dalam waduk tersebut akan semakin berkurang dan tidak mungkin bertambah.

Pada kesempatan lain, Buddha bercerita bahwa seorang penjaga toko tidak mampu memperoleh kekayaan yang belum didapat atau meningkatkan kekayaan yang sudah didapat apabila ia tidak menjadikan dirinya rajin di dalam pekerjaan itu (A. I. 115). Jadi, rajin dan berusaha dalam bekerja adalah kunci meraih kesuksesan dan benteng agar tidak jatuh dari kesuksesan yang telah dicapai.

Kemalasan adalah penghalang keberhasilan. Orang yang malas selalu banyak alasan dan menunda-nunda pekerjaan, dengan berpikir ‘terlalu dingin, terlalu panas, terlalu pagi, terlalu terlambat, terlalu lapar, atau terlalu kenyang (D. III. 184).’

Dalam Dīghajāṇu Sutta, Buddha memberikan empat hal yang dapat menuntun umat awam menuju kebahagiaan dan kesejahteraan baik di kehidupan ini (A. IV. 281-283).

  • Memiliki ketekunan (uṭṭhānasampadā). Uṭṭhāna berarti usaha atau membangkitkan semangat. Sampadā adalah memiliki. Orang yang memiliki semangat usaha yang tinggi atau tekun dalam menggeluti pekerjaanya, dapat dipastikan ia akan menjadi orang yang sukses. Ketekunan adalah dasar kesuksesan. Sementara kemalasan adalah dasar kegagalan. Untuk meraih kesuksesan maka seseorang perlu memiliki ketekunan. Ketekunan berarti, apakah dengan bertani, berdagang, beternak, pelayanan pemerintahan, atau di bidang keterampilan-keterampilan lainnya, ia terampil, rajin, memiliki penilaian yang baik terhadapnya supaya bisa melaksanakan dan mengaturnya dengan benar.
  • Kemampuan menjaga (ārakkhasampadā). Ārakkha berarti melindungi atau menjaga. Sampadā adalah memiliki. Harus dicatat bahwa memiliki kemampuan dalam menjaga kekayaan yang sudah diperoleh merupakan aspek penting dari kesuksesan. Kalau seseorang tidak bisa menjaga apa yang sudah diperolehnya, dapat dipastikan ia akan kehilangan semuanya. Menjaga berarti melindungi kekayaannya yang sudah diperoleh dari kehilangan yang mungkin dapat terjadi akibat api, banjir, raja, pencuri, atau pewaris yang tidak disukai.
  • Teman yang baik (kalyāṇamittatā). Kalyāṇamitta adalah teman yang baik. Berteman dengan orang-orang yang baik akan memberikan banyak manfaat. Sebaliknya, berteman dengan orang-orang yang jahat akan mendatangkan banyak bahaya. Yang dimaksud berteman dengan teman-teman yang baik adalah di desa atau di kota manapun seseorang tinggal, ia bergaul dengan orang-orang yang kokoh dalam moralitas, baik muda maupun tua, yang memiliki keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Ia berbincang-bincang dan berdiskusi dengan mereka. Ia akan meniru sejauh apapun kualitas-kualitas mereka dari segi keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaanya.
  • Hidup seimbang (samajīvitā). Samajīvitā adalah hidup seimbang. Seimbang dalam arti tidak terlalu boros dan juga tidak terlalu hemat. Orang yang dapat hidup seimbang berarti orang yang tahu perhitungan tentang pemasukan dan pengeluaran. Pengeluaran mesti diatur dengan tepat agar tidak melebihi pemasukan. Dibaratkan seorang penimbang atau karyawannya, ketika mengoprasikan timbangan ia akan tahu seberapa banyak ia harus menambahkan atau mengurangi untuk mendapatkan takaran yang dimaksud. Apabila seseorang memiliki pendapatan yang kecil namun hidup berkemewahan, orang tersebut dikatakan sebagai orang yang makan hartannya bagaikan pemakan buah ara. Sebaliknya ketika seseorang berpenghasilan besar namun hidup terlalu hemat, maka orang-orang akan mencibirnya mengapa orang itu bisa kelaparan. Maka hidup seimbang adalah hidup tidak terlalu boros dan juga tidak terlalu hemat. Seseorang boleh menggunakan pendapatannya sesuai dengan kebutuhan. 


Menggunakan Kakayaan dengan Cara yang Benar
Kekayaan yang telah diperoleh dengan cara yang benar seharusnya juga digunakan dengan cara yang benar. Kekayaan yang sudah dicapai, tidak boleh digunakan untuk berpoya-poya atau memboroskannya pada hal-hal yang tidak berguna. Tetapi kekayaan itu dapat digunakan untuk membahagiakan diri sendiri, orang-orang disekitarnya, dan membantu orang-orang yang membutuhkan.

Ada beberapa manfaat dari memiliki kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar. Dengan kekayaan itu seseorang bisa:

  1. Membuat dirinya sendiri, orangtua, istri, anak, pekerja, pembantu, teman, dan kerabatnya menjadi bahagia dan gembira dan merawatnya dengan tepat dalam kebahagiaan 
  2. Membuat persediaan terhadap kehilangan yang mungkin muncul dari api, banjir, raja, pencuri, pewaris yang tidak disukai.
  3. Memberikan lima jenis pengorbanan (persembahan) kepada sanak keluarga, tamu, leluhur, raja, dan para dewa.
  4. Memberikan persembahan yang lebih tinggi, persembahan surgawi atau persembahan yang dapat membuatnya mendapatkan kebahagiaan yang melimpah dan terlahir di alam surga, kepada para petapa dan brahmana yang menghindari minuman keras dan kelengahan, yang penyabar dan lemah lembut, menahklukkan dirinya sendiri, menenangkan dirinya sendiri, melatih dirinya sendiri demi nibbāna (A. II. 67-68).


Kesimpulan
Menjadi mapan dalam ekonomi atau hidup berkecukupan dengan harta berlimpah merupakan keinginan mendasar bagi setiap orang. Menurut Buddhisme, tidak ada yang salah dengan keinginan seperti itu bagi umat awam, namun sangat salah apabila cara yang digunakan untuk mencapainya adalah melalui cara yang salah. Oleh karena itu, prinsip ekonomi bagi Buddhisme harus berjalan dengan prinsip moral. Jenis-jenis pekerjaan, cara mengelola pendapatan, dan cara menggunakan kekayaannya harus tidak menyimpang dari kaidah kemoralan. Kriteria pekerjaan yang benar sama dengan kriteria kemoralan. Keduanya memiliki karakteristik tidak merugikan satu sama lain, tetapi saling menguntungkan satu sama lain, seperti halnya lebah yang mengumpulkan madu dari bunga. Pengelolaan kekayaan dipertimbangkan dengan kebutuhan dan orang hidup seimbang dalam menggunakan kekayaannya. Hidup seimbang berarti tidak terlalu boros, tetapi juga tidak terlalu hemat. Seberapapun kekayaan yang telah diperolehnya, seseorang hendaknya menggunakan kekayaan itu dalam hal-hal yang berguna bagi diri sendiri, orang-orang di sekitarnya, dan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Dengan begitu, seseorang bukan hanya mapan dalam ekonomi, tetapi juga menjadi orang yang bermoral.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: The Buddha’s Path of Wisdom. Trans. Ācarya Buddharakkhita. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Kalupahana. David J. 2008. Ethics in Early Buddhism. Delhi: Motilal Banarsidass.
Nanayakkara, Sanath. 2016. Buddhist Philosophy, History, and Culture - Selected Essays of Sanath Nanayakkara. Colombo: S. Godage & Brothers (Pvt) Ltd.

No comments:

Post a Comment