Thursday, August 10, 2017

Penistaan Agama Menurut Agama Buddha

0 comments

Pokok permasalahan tentang penistaan agama semakin hari semakin memanas di kalangan masyarakat Indonesia. Belakangan ini isu agama, ras, suku, dll. memperdaya masyarakat Indonesia menuju ranah konflik dan ketidakharmonisan. Benih – benih intoleran terhadap perbedaan mulai menunjukkan diri dalam proses pertumbuhannya. Kalau ini tidak diantisipasi, toleransi yang sejak dulu menjadi lambang persatuan Indonesia akan hanya menjadi sebuah simbol saja. Permasalahan ini menggucangkan masyarakat seluruh Indonesia dan bahkan menjadi bahan perbicangan negara-negara lain. Kasus ini bermula ketika gubernur DKI Jakarta mengutip sebuah ayat suci dari agama lain. Orang yang tidak terima melaporkannya kepada pihak yang berwenang bahwa ini adalah penistaan agama dan harus diproses secara hukum sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan. Alasan ini menjadi dasar mengapa artikel ini ditulis. Pokok permasalahan yang akan dibahas di sini adalah bagaimana tanggapan Buddhisme mengenai penistaan agama.


Penistaan Agama di Mata Hukum Indonesia

Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUH-Pidana) negara Indonesia pasal 156 menyatakan bahwa “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.”

Ditambah lagi dengan pasal 156a berbunyi “Di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang yang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”


Penistaan Agama di Mata Buddhisme

Kembali ke sejarah dua ribu lima ratus tahun yang lalu, di India pada saat itu hukum penistaan agama tidak ada. Perbedaan pendapat dianggap sebagai hal yang wajar, karena setiap orang punya pandangan masing-masing tergantung dari sudut mana ia melihat. Namun yang menjadi masalah adalah, ketika seseorang memandang dari satu sudut tertentu, kemudian menyalahkan orang-orang lain yang memandang dari sudut-sudut yang berbeda dan mengklaim hanya dirinya yang paling benar dan yang lain salah (idaṃ eva saccaṃ moghaṃ aññaṃ). Umumnya, orang-orang yang dengan mudahnya mengklaim dirinya sebagai yang paling benar dan menyalahkan pihak lain adalah orang-orang yang tidak melihat secara utuh. Seperti cerita kumpulan orang buta yang mendeskripsikan gajah setelah merabanya, dan setiap orang buta mendeskripsikan gajah dengan deskripsi yang berbeda-beda tergantung bagian apa yang ia raba, kemudian sampai pada kesimpulan akhir bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar dan menyalahkan orang lain yang tidak sama. Orang-orang yang mampu melihat gajah secara utuh akan menertawakan mereka. Demikian juga orang yang melihat sepihak, dan mengklaim dirinya sebagai yang paling benar dan menyalahkan yang lain akan ditertawakan oleh orang-orang yang dapat melihat secara utuh.

Ada dua jenis agama, yaitu agama langit dan agama bumi. Dalam agama langit, semua ajaran didapat dari wahyu melelaui utusan. Dalam agama bumi, ajaran didapat dari memahami situasi yang dialami sendiri oleh guru yang menemukannya. Karena berupa wahyu, dalam agama langit tidak menyediakan sedikit pun ruang untuk menyelidiki apalagi mempertanyakan atau meragukan kejanggalan yang mungkin ditemukan. Sementara agama bumi memberikan kebebasan berpikir, berekspresi, dan bahkan menyelidikinya.

Agama Buddha bisa dikatakan sebagai agama bumi karena ajarannya ditemukan sebagai hasil memahami kenyataan yang mana penemunya juga hidup di bumi. Buddha sebagai orang yang tercerahkan dengan usahanya sendiri, mewartakan ajaran yang ia temukan sendiri. Ajarannya bukan dari wahyu atau bisikan para dewa. Belum lama setelah mencapai pencerahan sempurna dan ingin membabarkan ajarannya untuk yang pertama kalinya, seorang Ājivaka bernama Upaka bertemu dengannya di jalan dan bertanya kepadanya tentang siapa gurunya, dan Buddha langsung menjawab bahwa ia tidak punya guru (M. I. 171). Buddha menemukan ajarannya dengan usahanya sendiri. Oleh karena, Buddha juga memiliki sikap yang terbuka bagi siapapun yang ingin menyelidikinya. Vīmaṁsakka Sutta menjawab kasus ini (M. I. 318).

Salah satu karakteristik dari ajarannya adalah datang, lihat, dan buktikan (ehipassika). Apabila seseorang mengutip kata-kata Buddha atau membawa ajaran Buddha dengan pemahamannya sendiri, dan ternyata pemahamannya kurang tepat, itu bukan penistaan agama, tetapi penyalahinterpretasian agama. Kasus penyalahinterpretasian ajaran agama dapat dijumpai ketika Buddha masih hidup. Sebagai contohnya adalah kasus Bhikkhu Sati. Sebagaimana yang dilaporkan dalam Mahātaṇhāsankhaya Sutta, Majjhima Nikāya, Bhikkhu Sati, anak dari seorang nelayan salah memahami ajaran Buddha dengan mengatakan “Sebagaimana memahami Dhamma yang diajarkan oleh Buddha, kesadaran yang sama berlari dan mengembara sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain (tathāhaṃ bhagavatā dhammaṃ desitaṃ ājānāmi yathā tadevidaṃ viññāṇaṃ sandhāvati saṃsarati anañña’’nti. M. I. 256). Pernyataan kontroversial ini mendapat respon negatif bagi para bhikkhu karena selama ini Buddha tidak pernah mengajarkan demikian. Para bhikkhu yang mendengar mencoba untuk memastikannya dan menasihatinya untuk membuang jauh-jauh pandangan kontroversial itu. Namun, Bhikkhu Sati tetap bersikukuh pada pandangan itu dan akhirnya para bhikkhu melaporkannya kepada Buddha. Setelah mengklarifikasinya, Buddha berkata kepadanya untuk tidak menyalahinterpretasikan ajarannya. Dalam berbagai kesempatan Beliau telah memberikan nasihat bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal mula kesadaran (paṭiccasamuppannaṃ viññāṇaṃ vuttaṃ, aññatra paccayā natthi viññāṇassa sambhavoti. M. I. 258).

Contoh yang lain adalah kasus Bhikkhu Aṛṛitha. Alagaddūpama Sutta mencatat peristiwa kesalahpahaman Bhikkhu Aṛṛitha dalam memahami ajaran Buddha. Menurutnya, apa yang disebut rintangan oleh Buddha tidak dapat merintangi seseorang yang terlibat di dalamnya (tathāhaṃ bhagavatā dhammaṃ desitaṃ ājānāmi yathā yeme antarāyikā dhammā vuttā bhagavatā te paṭisevato nālaṃ antarāyāyā’’’ti. M. I. 130). Dalam membuat pernyataan ini, dia secara langsung membantah empat jenis keberanian Buddha, terutama yang nomer tiga (M. I. 72). Apa yang disebut sebagai rintangan oleh Buddha adalah hubungan seksual bagi para bhikkhu, tapi menurutnya itu tidak akan merintangi para bhikkhu dan seharusnya tidak dilarang. Para bhikkhu yang mendengar pernyataanya mendesaknya untuk meninggalkan pandangan salah itu, karena Buddha dalam berbagai cara telah menunjukkan bahaya-bahaya dari nafsu kesenangan inderawi (M. I. 131). Karena tidak berhasil membujukknya, akhirnya kejadian ini dilaporkan kepada Buddha. Setelah mengklarifikasinya, Buddha mencacinya habis-habisan hingga ia terdiam dengan bahu yang membungkuk tak berkutik sama sekali. Dalam berbagai kesempatan Buddha telah menunjukkan bahaya-bahaya dari nafsu kesenangan inderawi dengan berbagai perumpamaan seperti tengkorak, sepotong daging, obor rumput, lubang batu bara, mimpi, barang pinjaman, buah-buah di pohon, pisau dan balok tukang daging, pedang kayusula, kepala ular, dan Buddha telah mengatakan bahwa kesenangan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, keputusasaan, dan masih banyak lagi bahaya-bahayanya (M. I. 132).

Tugas orang yang tahu ajaran apabila menemui seseorang yang salah memahami ajaran bukanlah menghukumnya, tetapi memperbaiki kesalahpahamannya.

Bagaimana Kalau Buddhisme Dihina?
Pujian (pasaṃsā) dan celaan (nindā) adalah dua hal dari delapan kondisi dunia (aṭṭha lokadhammā. A. IV. 157). Terkadang orang akan menerima pujian, tetapi suatu saat orang juga akan menerima celaan. Menurut Buddhisme, pujian dan celaan, keduanya dianggap sebagai rintangan. Ini persis seperti apa yang dijelaskan di dalam Brahmajāla Sutta. Sutta ini mengisahkan Buddha yang sedang menempuh perjalanan di antara kota Rājagaha dan Nāḷanda bersama dengan lima ratus bhikkhu. Pada saat yang sama, paribbajaka yang bernama Suppiya sedang menempuh perjalanan bersama dengan muridnya Brahmadatta. Dalam perjalanan, paribbajaka Suppiya mencari-cari kejelekan Buddha, Dhamma, dan Saṅgha dari berbagai cara. Namun muridnya, Brahmadatta, malah memuji mereka dengan berbagai cara. Mereka sama-sama bermalam di taman Ambalaṭṭhikā. Para bhikkhu yang melihat tingkah laku antara guru dan murid ini akhirnya melaporkan kejadian ini kepada Buddha. Kemudian Buddha menasihatinya:

“Apabila ada seseorang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, kalian seharusnya tidak marah, membenci, atau merasa terganggu kepadanya. Jika kalian berlaku seperti itu, itu hanya akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika seseorang merendahkan Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?” “Tentu tidak Yang Mulia.” “Jika orang lain menghina Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, maka kalian seharusnya menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar dengan mengatakan: “Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami.” Sebaliknya jika seseorang memuji Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, kalian tidak boleh gembira, bahagia, atau senang akan hal itu. Jika kalian bersikap seperti itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memuji Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, maka kalian seharusnya mengakui kebenaran sebagai kebenaran dengan mengatakan: “Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami (D. I. 3).””

Dari situ kita tahu bahwa apabila seseorang menghina agama Buddha, Buddha menganjurkan muridnya untuk tidak marah atau membenci mereka karena itu akan menjadi penghalang. Agama Buddha tidak seperti agama ekstrimis yang dengan mudahnya main hakim sendiri dan mengklaim hanya diri sendiri yang paling benar dan menyalahkan yang lain. Cinta kasih dan kasih sayang adalah karakteristik agama Buddha. Apabila umat Buddha menjadi ekstrimis dengan dalih membela agama, dengan melibatkan kebencian, ucapan kasar, atau bahkan kekerasan, itu sudah jauh menyimpang dari ajaran Buddha. Umat Buddha harus menyadari bahwa, orang-orang yang menghina agama Buddha pada dasarnya sedang dalam keadaan menderita karena api kebencian atau iri hati. Dan apabila kebencian dibalas dengan kebencian, maka kebencian tidak akan berakhir (Dhp. 5).

Akkosa Sutta memberikan cerita yang menarik. Diceritakan seorang brahmana bernama Akkosaka Bhāradvāja marah-marah dan memaki-maki Buddha karena temannya pindah menjadi pengikut Buddha. Setelah brahmana itu selesai memaki-maki dengan berbagai ucapan kasar, Buddha bertanya kepadanya tentang bagaimana sikapnya apabila teman-temannya atau kerabat-kerabatnya datang mengunjunginya. Brahmana itu menjawab bahwa ia terkadang menjamunya dengan beberapa makanan ringan atau keras dan minuman. Kemudian Buddha bertanya kembali, kalau orang-orang itu tidak menerima apa yang disajikan, lantas milik siapa makanan-makanan dan minuman tersebut. Brahmana tentu menjawab bahwa itu semua menjadi miliknya. Buddha menanggapinya bahwa kata-kata kasar, cacian, makian yang ditujukan kepadanya seperti makanan dan minuman yang diserahkan kepada tamu itu. Karena Buddha tidak menerima kata-kata kasar, cacian, dan makian tersebut, maka itu semua akan menjadi milik orang yang mengucapkannya (S. I. 162).

Jadi kesimpulannya, apabila orang-orang menghina atau mencela agama Buddha, kalau umat Buddha sendiri tidak mengambil hati dan tidak kembali marah-marah dan mencela mereka yang mencela, semua celaan, cacian, dan kata-kata kasar itu akan menjadi milik orang yang mengucapkannya. Umat Buddha tidak perlu khawatir dan marah apabila agama Buddha dicela, dihina, karena seperti orang yang meludah ke atas langit, ludah itu akan jatuh pula mengenai mukanya sendiri.

Dalam prasastiya, Rock Edict XII, Raja Asoka mengungkapkan “Jangan membanggakan agamanya sendiri dengan menjelekkan agama orang lain. Siapapun yang membanggakan ajaran agamanya sendiri karena keyakinan yang fanatik, kemudian menghina yang lain dengan pikiran bahwa ini untuk mengagungkan agamanya, ini sesungguhnya akan merugikan agamanya sendiri” (Dhamika, S. The Edicts of King Asoka. p. 9). Pernyataan tersebut bukan hal yang mustahil karena ketika orang-orang dengan mengatasnamakan agama melakukan kekerasan, maka orang-orang yang bijaksana akan melihat sesungguhnya kualiatas orang-orang tersebut, dan kualitas agamanya pun menjadi dipertanyakan.

Kesimpulan
Buddhisme memandang kesalahan dalam memahami ajaran Buddha sebagai penyalahinterpretasian, bukan penistaan. Tugas orang yang tahu apa yang sesungguhnya adalah meluruskan pandangannya. Apabila orang lain menghina, mencela, atau memaki Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, umat Buddha seharusnya tidak marah atau berbalik memakinya. Tugas umat Buddha kalau melihat kejadian itu adalah meluruskannya bahwa sesungguhnya tidak demikian. Respon ekstrim yang melibatkan kebencian, ucapan kasar, atau bahkan kekerasan bukanlah ajaran Buddha. Karakteristik yang menonjol dari ajaran Buddha adalah cinta kasih dan kasih sayang. Orang yang menghina agama Buddha, pada dasarnya sedang menderita karena kebencian atau iri hati. Dan mungkin mereka butuh perhatian dan kasih sayang. Jadi, sebagai umat Buddha jangan mudah terkompori dengan isu yang memecah-belah. Jadi hadapilah dengan kebijaksanaan dan cinta kasih. Kita tidak perlu mengambil hati atau menjadi marah, ketika orang lain mencaci-maki agama Buddha. Ibarat tamu yang tidak mengambil pemberian tuan rumah, maka pemberian itu akan kembali menjadi milik tuannya, demikian pula, kalau kita tidak mengambil kemarahan, kebencian, atau cacian dari orang-orang yang menghina agama Buddha, berarti semua cacian itu akan kembali menjadi milik orang yang mengucapkannya.

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Dhammapada: A path of Morals. Trans. David. J. Kalupahana. Nedimala: Buddhist Cultural Centre, 2008.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Dhammika, S. 1993. The Edicts of King Asoka: an English Rendering. Kandy: Buddhist Publication Society.

No comments:

Post a Comment