Saturday, September 30, 2017

Buddhisme sebagai Agama Tanpa Kekerasan

0 comments

Buddhisme sebagai Agama Tanpa Kekerasan

Sabbe tasanti daṇḍassa, sabbesaṃ jīvitaṃ piyaṃ;
Attānaṃ upamaṃ katvā, na haneyya na ghātaye.

Semua makhluk takut pada hukuman, semua makhluk mencintai kehidupan;
Setelah membandingkan dirinya demikian, seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan yang lain terbunuh.
(Dhp. 130)

Pendahuluan
Sepanjang sejarah, ajaran Buddha disebarkan dengan jalan tanpa kekerasan. Buddha sendiri adalah salah satu pelopor ajaran tanpa kekerasan. Baginya, segala bentuk kekerasan bertentangan dengan hak dasar bahwa semua makhluk ingin hidup damai dan bahagia. Menyadari kebutuhan dasar makhluk hidup untuk hidup damai, Buddha menolak kekerasan. Apapun bentuk dan alasannya, kekerasan adalah manisfestasi dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan. Bukan hanya ruang likup manusia saja, tetapi mencakup semua makhluk hidup. Tipiṭaka Pāli dan juga komentarnya memuat beberapa prinsip ajaran yang membuat Buddhisme dipertimbangkan sebagai agama tanpa kekerasan. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tentang Buddhisme sebagai agama tanpa kekerasan.

Ajaran Tanpa Kekerasan
Ajaran tanpa kekerasan dalam Buddhisme disebut sebagai Ahiṃsā. Kata ‘Ahiṃsā’ sendiri berasal dari kata ‘hiṃsa’ dengan prefiks ‘a’. Kata ‘hiṃsa’ berasal dari akar kata  yang berarti ‘menyakiti’, ‘melukai’, ‘memukul’, atau ‘membunuh’. Karena menggunakan prefiks ‘a’ di depannya, maka kata ‘Ahiṃsā’ secara tekstual diterjemahkan ‘tidak menyakiti’, ‘tidak melukai’, ‘tidak memukul’, atau ‘tidak membunuh’. Dengan bahasa yang lebih mudah, Ahiṃsā dipahami sebagai ‘tanpa kekerasan’. Kekerasan yang dimaksud di sini mencakup aksi pembunuhan atau melukai makhluk lain. Dalam literature Pāli, kita menemukan kata yang hampir serupa dengan Ahiṃsā, yaitu Avihiṃsa dan Avihesa yang memiliki arti tanpa membahayakan, tanpa kekerasan atau tanpa kekejaman. 

Sebenarnya ajaran tanpa kekerasan bukan murni ajaran Buddhisme. Buddha sebagai pendiri Buddhisme mengadopsi ajaran baik yang sudah ada sebagai bentuk apresiasinya. Sebetulnya, kata ‘Ahiṃsā’ sudah dikenal di era Upanisad awal. Kata ini dapat ditemukan di Chāndogya Upanisad (III. 17). Buddha mengapresiasi ajaran tanpa kekerasan dan mengadopsinya di dalam ajaran-ajaran moralnya. Selain itu, Mahāvira, guru keagamaan lain yang hidup sezaman dengan Buddha, juga mengadopsi ajaran ‘Ahiṃsā’.  Hanya saja, Mahāvira atau Nigaṇṭha menerapkan ajaran tanpa kekerasan begitu ekstrim sampai-sampai para petapa Nigaṇṭha harus menyapu dahulu lantai yang akan ia lewati sebelum melangkahkan kakinya agar tidak menginjak serangga sekecil apapun ukurannya. Bagi Nigaṇṭha, berdasarkan niat atau tidak, melukai makhluk lain adalah perbuatan keji yang akan memberikan akibat buruk bagi pelakunya.  Buddha menerapkan ajaran tanpa kekerasan tidak sebegitu ekstrim, karena dalam Buddhisme ajaran hukum karma sepenuhnya bergantung pada niat (cetanāhaṃ bhikkhave, kammaṃ vadāmi. Cetayitvā kammaṃ karoti – kāyena vācāya manasā. A. III. 415). Bila tidak disertai dengan niat atau tidak disengaja, hal tersebut tidak akan menimbulkan karma buruk. 

Ajaran tanpa kekerasan (Ahiṃsā) diapresiasi oleh berbagai sistem keagamaan di India. Ajaran Ahiṃsā juga dipertimbangkan sebagai prinsip kemoralan. Dalam agama Hindu, ajaran Ahiṃsā juga ditemukan. Dalam agama Hindu, ajaran Ahiṃsā dijunjung karena adanya gagasan bahwa semua kehidupan adalah satu. Gagasan ini ada karena menurut agama Hindu, ātman dan brahman adalah satu dan sama (Brahma-ātma-aikya). Dengan alasan ini, agama Hindu juga mengapresiasi ajaran Ahiṃsā (EOB. I. p. 287). 

Mahatma Gandhi adalah salah satu tokoh perdamaian yang menggunakan prinsip dasar Ahiṃsā. Namun, Mahatma Gandhi memberikan interpretasi Ahiṃsā secara lebih luas. Ahiṃsā menurut Mahatma Gandhi bukan hanya ajaran yang menolak kekerasan, tetapi juga ajaran tanpa pikiran jahat atau tanpa kebencian. Mahatma Gandhi mengikutsertakan perbuatan baik dan cinta kemanusiaan dalam pengertian Ahiṃsā. 

Prinsip Ajaran Tanpa Kekerasan dalam Buddhisme
Tipiṭaka Pāli dan juga komentarnya memuat beberapa ajaran dasar yang dipertimbangkan sebagai ajaran tanpa kekerasan. Teks-teks tersebut membuktikan bahwa Buddhisme memperhatikan hak dasar bahwa makhluk hidup menginginkan kehidupan dan kedamaian. 

Prinsip yang paling dasar dari ajaran tanpa kekerasan dalam Buddhisme adalah penghindaran dari pembunuhan makhluk hidup (pāṇātipātā veramaṇī atau pāṇātipātā paṭivirati). Orang yang tanpa kekerasan adalah orang yang tidak melakukan kekerasan baik melalui jasmani, ucapan, atau pikiran karena dia tidak melakukan kekerasan terhadap makhluk lain (yo ca kāyena vācāya, manasā ca na hiṃsati; Sa ve ahiṃsako hoti, yo paraṃ na vihiṃsatī’’ti. S. I. 165). Buddha sendiri adalah orang yang telah meninggalkan segala bentuk kekerasan. Buddha telah meninggalkan pembunuhan, menghindari pembunuhan, melepaskan pentung dan pedang, berhati-hati, berbelas kasih, peka demi kesejahteraan semua makhluk hidup (pāṇātipātaṃ pahāya pāṇātipātā paṭivirato samaṇo gotamo nihitadaṇḍo, nihitasattho, lajjī, dayāpanno, sabbapāṇabhūtahitānukampī viharatī’ti. D. I. 3).

Buddhisme sangat menghargai hak asasi makhluk hidup untuk tetap bertahan hidup dan mendapatkan kesejahteraan hidup. Bukan hanya peri kemanusiaan saja yang dijunjung, tetapi juga peri kehewanan. Dengan kata lain, Buddhisme menghargai hak asasi manusia dan hak asasi hewan untuk hidup. Ini karena Buddhisme memahami bahwa semua makhluk ingin  hidup (jīvitukāma), tidak ingin mati (amaritukāma), menginginkan kebahagiaan (sukhakāma) dan menolak penderitaan (dukkhappaṭikūla. M. I. 315). Menyadari hal ini, Buddha menasihati para pengikutnya untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat membahayakan atau membuat makhluk lain menderita. 

Bercermin pada diri sendiri dan juga makhluk lain menjadi dasar kriteria baik dan buruk dalam Buddhisme. Singkatnya, perbuatan baik adalah perbuatan yang tidak membahayakan diri sendiri (nevattabyābādhāyapi saṃvattati), tidak membahayakan yang lain (na parabyābādhāyapi saṃvattati), dan tidak membahayakan keduanya (na ubhayabyābādhāyapi saṃvattati. M. I. 415-416). Kriteria ini sangat logis dan bersesuaian dengan prinsip ajaran tanpa kekerasan. Dengan memperhatikan faktor-faktor itu, seseorang tidak akan melakukan tindakan yang dapat membayakan makhluk lain karena itu tidak sesuai dengan tata kemoralan. 

Dhammapada memuat prinsip-prinsip ajaran tanpa kekerasan yang bisa kita uraikan dalam pembahasan ini. Buddha mengatakan bahwa:

Sabbe tasanti daṇḍassa, sabbe bhāyanti maccuno;
Attānaṃ upamaṃ katvā, na haneyya na ghātaye.
Semua makhluk takut pada hukuman, semua makhluk takut pada kematian; Setelah membandingkan dirinya demikian, seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan yang lain terbunuh (Dhp. 129).

Sabbe tasanti daṇḍassa, sabbesaṃ jīvitaṃ piyaṃ;
Attānaṃ upamaṃ katvā, na haneyya na ghātaye.
Semua makhluk takut pada hukuman, semua makhluk mencintai kehidupan; Setelah membandingkan dirinya demikian, seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan yang lain terbunuh (Dhp. 130).

Salah satu metode untuk mengurangi tindak kekerasan terhadap makhluk lain yang bisa kita pelajari dari syair Dhammapada itu adalah dengan membandingkan diri sendiri atau menempatkan diri kita di posisi mereka (attānaṃ upamaṃ katvā). Ketika kita sadar bahwa semua makhluk takut pada hukuman, takut pada kematian, dan semua makhluk mencintai kehidupan, maka setelah kita menempatkan diri kita di posisi mereka, kita akan berusaha untuk tidak membunuh atau menyebabkan yang lain terbunuh.

Metode yang sama juga ditemukan di Veḷudvāreyya Sutta, Saṁyutta Nikāya. Sutta ini menekankan pentingya bercermin pada diri sendiri (attupanāyiko dhammapariyāyo: S. V. 353-356). Di sini seseorang harus merenungkan demikian ‘saya adalah orang yang ingin hidup, tidak ingin mati; saya menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan; ketika saya menginginkan demikian, jika ada seseorang yang ingin membunuh saya, ini tidak menyenangkan bagiku. Demikian orang lain yang juga menginginkan hal yang sama denganku, jika aku ingin mengakhiri hidupnya, ini tidak menyenangkan baginya.’ Dengan merenungkan demikian, seseorang akan berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap orang lain, karena orang lain juga sama dengan dirinya sendiri (ibid.). Piyatara Sutta memberikan syair yang lebih menarik. Menurutnya, walau seseorang mencari ke berbagai penjuru dengan kesadaran, ia tidak akan menemukan orang yang lebih dicintai daripada dirinya sendiri. Dengan cara yang sama, orang lain juga sangat mencintai dirinya sendiri. Oleh karena itu, seseorang yang mencintai dirinya, hendaknya tidak melukai yang lain (Sabbā disā anuparigamma cetasā, Nevajjhagā piyataramattanā kvaci; Evaṃ piyo puthu attā paresaṃ, Tasmā na hiṃse paramattakāmo’’ti. Ud. 47). 

Bagi Buddhisme, apapun alasannya, pembunuhan adalah salah satu bentuk kekerasan. Tidak ada tolerasi untuk melakukan pembunuhan. Prinsip bahwa perbuatan buruk akan menghasilkan akibat yang buruk akan tetap berlaku. Pembunuhan tetaplah pembunuhan, penyiksaan tetaplah penyiksaan, dan kekerasan tetaplah kekerasan. Dalam Dhammapada, Buddha mengatakan:

Sukhakāmāni bhūtāni, yo daṇḍena vihiṃsati;
Attano sukhamesāno, pecca so na labhate sukhaṃ.
Orang yang menginginkan kebahagiaan dengan melakukan kekerasan terhadap makhluk lain yang juga menginginkan kebahagiaan, tidak akan memperoleh kebahagiaan di kehidupan selanjutnya (Dhp. 131).

Sukhakāmāni bhūtāni, yo daṇḍena na hiṃsati;
Attano sukhamesāno, pecca so labhate sukhaṃ.
Orang yang menginginkan kebahagiaan dengan tidak melakukan kekerasan terhadap makhluk lain yang juga menginginkan kebahagiaan, akan memperoleh kebahagiaan di kehidupan selanjutnya (Dhp. 132).

Ajaran tanpa kekerasan sangat perlu dijunjung mengingat ada beberapa praktik keagamaan yang melibatkan kekerasan terhadap makhluk hidup. Salah satu contoh praktik yang dikritik adalah praktik pengorbanan (yañña) yang melibatkan ribuan makhluk hidup dibunuh. Praktik ini sangat populer di era Brahmanisme. Karena Buddha tidak menyetujui pembunuhan dan penyiksaan, Buddha menginterpretasikan pengorbanan sebagai memberi atau berdana. Kata yañña, dāna, dan dakkhiṇa memiliki arti yang sama menurut interpretasi Buddhis. Sebagai contohnya dalam Niddesa, yañña diinterpretasikan sebagai deyyadhamma atau sesuatu yang pantas untuk diberikan (yañño vuccati deyyadhammo Nd. II. 523). Dalam Kūṭadanta Sutta Buddha menyebutkan pengorbanan yang akan memberikan manfaat yang besar adalah dengan berdana kepada para petapa atau bhikkhu yang bermoralitas baik dan membangun vihara atau tempat tinggal untuk bhikkhu saṅgha yang datang dari berbagai penjuru (D. I. 144-145).

Ajaran tanpa kekerasan atau penghindaran dari pembunuhan makhluk hidup mendapat perhatian penuh dan sangat penting bagi kehidupan rumah tangga maupun petapa. Ajaran tanpa kekerasan ini dapat dijelaskan dengan berbagai cara. Perbuatan benar (sammākammanta) adalah wujud dari ajaran tanpa kekerasan. Perbuatan benar meliputi penghindaran diri dari pembunuhan makhluk hidup (pāṇātipātā veramaṇī), pencurian (adinnādānā veramaṇī), dan perbuatan asusila (kāmesumicchācārā veramaṇī. M. III. 74). Prinsip ini juga dimasukkan ke dalam sepuluh dasar perbuatan baik (dasakusalakammapatha. D. III. 269). 

Jenis mata pencaharian yang benar menurut Buddhisme juga merupakan pengejawantahan dari ajaran tanpa kekerasan. Menurut Buddhisme, pekerjaan apapun yang berhubungan dengan pembunuhan, pencurian, perzinaan, penipuan, dan hal-hal yang menyebabkan pemabukan dikategorikan sebagai pekerjaan yang salah. Dalam lingkup perdagangan, secara khusus Buddha memberikan lima macam perdagangan yang hendaknya dihindari, yaitu perdagangan senjata (satthavaṇijjā), perdagangan makhluk hidup (sattavaṇijjā), perdagangan daging (maṃsavaṇijjā), perdagangan minuman keras (majjavaṇijjā), perdagangan racun (visavaṇijjā. A. III. 208). 

Kandaraka Sutta, Majjhima Nikāya, merinci empat jenis orang di dunia. Empat itu antara lain:

  1. Orang yang menyiksa diri sendiri (attantapo)
  2. Orang yang menyiksa orang lain (parantapo)
  3. Orang yang menyiksa diri sendiri dan juga orang lain (attantapo ca parantapo)
  4. Orang yang tidak menyiksa diri sendiri dan orang lain (nevattantapo na parantapo. M. I. 341)

Dari empat jenis orang tersebut, orang yang terbaik adalah orang yang tidak menyiksa diri sendiri dan orang lain. Diri sendiri memiliki hak untuk diperlakukan secara baik, demikian juga makhluk lain. Maka, Buddha sama sekali tidak mengapresiasi kekerasan, apalagi pembunuhan. 

Ajaran tanpa kekerasan yang dijunjung Buddhisme memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Objeknya bukan hanya sesama manusia saja, tetapi juga pada binatang-binatang. Dasar dari perbuatan tanpa kekerasan adalah belas kasih (ḍaya), simpati dan empati (hitānukampā), dan malu pada perbuatan kejam seperti membunuh atau menyakiti (lajjā). 

Selain dari segi penghindaran, ajaran tanpa kekerasan dalam Buddhisme juga dapat berwujud perbuatan aktif. Perbuatan-perbuatan aktif yang merupakan pengejawantahan dari ajaran tanpa kekerasan dalam Buddhisme antara lain cinta kasih (mettā), kasih sayang (karuṇa), simpati (muditā), dan keseimbangan batin (upekkhā). Mettā adalah pikiran yang mengharapkan semua makhluk hidup berbahagia dan objeknya mencakup semua tanpa batas. Karuṇa adalah pikiran untuk membantu mengurangi penderitaan pada mereka yang menderita. Muditā adalah pikiran bahagia dan turut bersuka cita atas kebahagian mahkluk lain. Upekkhā adalah sikap tenang seimbang pada apa pun objeknya.

Kesimpulan
Ajaran tanpa kekerasan diapresiasi oleh banyak sistem keagamaan di India. Buddhisme adalah satu agama yang menjunjung tinggi ajaran tanpa kekerasan. Buddhisme menghargai hak asasi makhluk hidup untuk tetap hidup dan bahagia. Bagi Buddhisme, apapun alasannya, pembunuhan, kekerasan, atau perbuatan lain yang membayakan keselamatan makhluk lain bukanlah perbuatan baik. Buddhisme mengkritik tindakan-tindakan yang tidak menghargai kehidupan makhluk hidup. Kriteria perbuatan baik menurut Buddha adalah tidak membahayakan diri sendiri, makhluk lain, dan keduanya. Salah satu cara untuk mengurangi tindak kekerasan adalah dengan berkaca pada diri sendiri atau menempatkan diri sendiri di posisi orang lain. Dengan menyadari bahwa setiap makhluk takut hukuman, takut mati, mencintai kehidupan, maka seseorang tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat orang lain menderita. Buddhisme memberikan interpretasi baru pada ritual-ritual yang sudah ada dengan cara merubah pengertian yang tidak bertentangan dengan ajaran tanpa kekerasan. Menurut Buddhisme, perbuatan yang melibatkan kekerasan, penyiksaan, atau pembunuhan adalah perbuatan yang sangat keji dan tidak akan memberikan manfaat untuk kehidupan yang akan datang. Buddhisme berpegang penuh pada prinsip tanpa kekerasan dan menghargai hak makhluk hidup untuk hidup damai. 

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Dhammapada: The Buddha’s Path of Wisdom. Trans. Ācarya Buddharakkhita. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Udāna and Itivuttaka. Trans. John D Ireland. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Malalasekera, G. P (founder editor-chief). 1997. Encyclopaedia of Buddhism. Vol. I. Sri Lanka: The Department of Buddhist Affairs.
Wanarathana, Rideegama dan Rathnayaka, Rathnasiri. 2017. Ethical & Philosophical Teaching in Buddhism. Puwakpitiya: Māgadhī.
Wimalaratana, Bellanwila. 2006. Essays on Facets of Buddhism. Nedimala: Sridevi Printers.

No comments:

Post a Comment