Saturday, September 30, 2017

Pabbajjā dan Lepas Jubah Berdasarkan Literatur Pāli dan Keadaan Masa Kini

0 comments

Pabbajjā dan Lepas Jubah Berdasarkan Literatur Pāli dan Keadaan Masa Kini

Sambādhoyaṃ gharāvāso, rajassāyatanaṃ iti, abbhokāsova pabbajjā
Hidup sebagai perumahtangga adalah sesak dan diliputi kekotoran. Hidup sebagai petapa adalah bebas seperti udara terbuka.
Pabbajjā Sutta. Sn. 406
Pendahuluan
Pabbajjā secara mudah dipahami sebagai meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi seorang petapa (pabbajjita). Dalam konteks Buddhis, yang dimaksud menjadi seorang petapa adalah menjadi seorang bhikkhu, bhikkhunī, sāmaṇera, atau sāmaṇerī. Dalam bahasa mudahnya menjadi seorang biarawan atau biarawati. Kita berhadapan pada kenyataan di mana kita menjumpai orang-orang meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi sāmanera atau bhikkhu, namun setelah kurun waktu tertentu lepas jubah. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di beberapa negara Buddhis lainnya. Bagi umat Buddha Indonesia, Pabbajjā dan lepas jubah menjadi perhatian publik. Umat Buddha pun memberikan tanggapan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang Pabbajjā dan lepas jubah berdasarkan literatur Pāli dan keaadan masa kini.

Pabbajjā Berdasarkan Literatur Pāli
Tujuan utama dari Buddhisme adalah terbebas dari ikatan penderitaan. Selama empat puluh lima tahun Buddha membabarkan Dhamma, perhatian utama yang Buddha fokuskan adalah penderitaan dan akhir dari penderitaan (dukkhañceva ... dukkhassa ca nirodhaṃ. M. I. 140). Buddha membabarkan ajarannya yang baik di awal, di pertengahan, dan akhir (ādikalyāṇaṃ majjhekalyāṇaṃ pariyosānakalyāṇaṃ); dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni (kevalaparipuṇṇaṃ parisuddhaṃ brahmacariyaṃ. D. I. 62). Banyak orang yang setelah mendengarkan ajarannya mampu memahami realitas hidup yang sesungguhnya dan memilih untuk hidup sebagai petapa dengan meninggalkan kehidupan rumah tangga. Meninggalkan kehidupan rumah tangga dan hidup sebagai petapa adalah salah satu hal yang dianjurkan oleh para bijaksanawan (pabbajjā, bhikkhave, paṇḍitapaññattā sappurisapaññattā. A. I. 151). Kehidupan sebagai perumah tangga dipertimbangkan sebagai kehidupan yang sesak, diliputi kotoran (Sambādhoyaṃ gharāvāso, rajassāyatanaṃ iti), sementara hidup sebagai petapa adalah bebas seperti udara terbuka (Abbhokāsova pabbajjā. Sn. 406).

Pabbajjā dalam literatur Pāli mengacu pada tindakan meninggalkan kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa rumah (agārasmā anagāriyaṃ pabbajjā). Meninggalkan kehidupan berumah di sini juga disertai dengan tindakan mencukur rambut dan jenggot, melepas pakaian rumah tangga, dan mengenakan kain kuning (kesamassuṃ ohāretvā kāsāyāni vatthāni acchādetvā agārasmā anagāriyaṃ pabbajituṃ). Dhammapada Aṭṭhakathā memberikan definisi yang lebih lengkap sebagai kehidupan yang melibatkan pemotongan rambut dan jenggot, tidur dengan mengabaikan apakah itu di tempat tidur yang baik atau buruk, dan pergi berkeliling untuk mengumpulkan dana makanan (ohāritakesamassunā kāsāyanivatthena kaṭṭhattharake vā bidalamañcake vā nipajjitvā piṇḍāya carantena viharitabbaṃ. DhpA. I. 135).

Dalam literatur Pāli, Pabbajjā bisa diartikan menjadi dua pengertian: menjadi sāmaṇera dan menjadi bhikkhu. Kita juga menemukan dua kata yang hampir mirip, yaitu: Pabbajjā dan Upasampadā. Yang membedakan keduanya, Pabbajjā adalah pentahbisan menjadi sāmaṇera dan Upasampadā adalah pentahbisan menjadi bhikkhu. Namun Pabbajjā mencangkup arti yang lebih luas karena sebelum menjadi bhikkhu, seseorang harus menjadi sāmaṇera terlebih dahulu. Itulah mengapa, dalam literatur Pāli, orang-orang yang ingin menjadi bhikkhu memohon kepada Buddha untuk Pabbajjā. Misalnya “Labheyyāhaṃ, bhante, bhagavato santike pabbajjaṃ, labheyyaṃ upasampadaṃ. Pabbājetu maṃ bhagavā’’ti. (M. II. 56).

Literatur Pāli melaporkan bahwa orang-orang yang setelah mendengarkan ajaran Buddha dan memahaminya, memohon kepada Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Mereka memutuskan untuk meninggalkan kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa rumah dengan dasar pemahaman dan penuh keyakinan (saddhā agārasmā anagāriyaṃ pabbajitā). Tujuan utama yang ingin mereka capai adalah Nibbāna.  Nibbāna adalah landasan, arah, dan tujuan akhir dari menjalani kehidupan suci (nibbānogadhañhi, brahmacariyaṃ vussati, nibbānaparāyanaṃ nibbānapariyosāna; S. III. 190). Dengan begitu mereka sudah muak dengan kehidupan Saṃsāra. Oleh karena itu, bhikkhu adalah orang yang takut pada Saṃsāra (saṃsāre bhayaṃ ikkhatīti bhikkhu. Vism. 3).

Menurut Raṭṭhapala, setelah mendengarkan khotbah Buddha, tidaklah mudah hidup sebagai perumah tangga dalam menjalani kehidupan suci, sempurna dan murni seperti kulit kerang yang dipoles (nayidaṃ sukaraṃ agāraṃ ajjhāvasatā ekantaparipuṇṇaṃ ekantaparisuddhaṃ saṅkhalikhitaṃ brahmacariyaṃ carituṃ. M. II. 55). Raṭṭhapala kemudian memohon Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu, namun karena belum mendapat izin dari orangtuanya, Buddha tidak bisa mentahbisnya. Dengan segala cara ia miminta untuk diizinkan menjadi bhikkhu, akhirnya orangtuanya mengizinkannya. Usaha yang dilakukan Raṭṭhapala dalam meminta izin bukanlah yang mudah, tapi karena keyakinannya yang kuat, akhirnya ia berhasil.

Sebagaimana yang dikisahkan dalam Raṭṭhapala Sutta, Raja Korabya kaget melihat Raṭṭhapala meninggalkan kehidupan berumah menjadi seorang bhikkhu. Menurutnya, biasanya orang meninggalkan kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa rumah karena empat  kehilangan (M. II. 66). Empat kehilangan yang dimaksud antara lain:
  1. Kehilangan melalui ketuaan (jarāpārijuññaṃ). Seseorang dalam keadaan tua, berumur, dan berada dalam tahap hidup yang terakhir. Setelah mempertimbangkan kondisinya yang seperti itu, dia berpikir bahwa tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk memperoleh kekayaan yang belum didapat atau meningkatkan kekayaan yang sudah diperoleh. Dengan alasan itu, ia memutuskan untuk pabbajjā.
  2. Kehilangan melalui penyakit (byādhipārijuññaṃ). Seseorang sedang menderita penyakit. Setelah mempertimbangkan kondisinya yang seperti itu, dia berpikir bahwa tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk memperoleh kekayaan yang belum didapat atau meningkatkan kekayaan yang sudah diperoleh. Dengan alasan itu, ia memutuskan untuk pabbajjā.
  3. Kehilangan kekayaan (bhogapārijuññaṃ). Sebelumnya ia sangat kaya dan memiliki kekayaan yang berlimpah, tapi secara perlahan kekayaanya lenyap. Setelah mempertimbangkan kondisinya yang seperti itu, dia berpikir bahwa tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk memperoleh kekayaan yang belum didapat atau meningkatkan kekayaan yang sudah diperoleh. Dengan alasan itu, ia memutuskan untuk pabbajjā.
  4. Kehilangan sanak keluarga (ñātipārijuññaṃ). Sebelumnya ia memiliki banyak teman, kerabat, dan sanak keluarga, tetapi secara bertahap mereka meninggalkannya. Setelah mempertimbangkan kondisinya yang seperti itu, dia berpikir bahwa tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk memperoleh kekayaan yang belum didapat atau meningkatkan kekayaan yang sudah diperoleh. Dengan alasan itu, ia memutuskan untuk pabbajjā.

Raja Korabya heran, karena dia tahu betul kehidupan Raṭṭhapala sebelum meninggalkan rumah. Raṭṭhapala tidak memiliki satupun dari empat kehilangan tersebut. Kemudian Bhikkhu Raṭṭhapala menjelaskan bahwa beliau memilih menjadi bhikkhu karena mendengar empat ringkasan Dhamma yang dibabarkan oleh Buddha. Empat ringkasan ini menjadi alasannya mengapa ia meninggalkan kehidupan berumah dan menjalani hidup tanpa rumah sebagai bhikkhu (M. II. 68). Empat ringkasan Dhamma itu (cattāro dhammuddesā) antara lain:
  • Hidup di dunia tidak pasti dan tersapu (upaniyyati loko addhuvo). Dalam hidup ini, seseorang mungkin kuat dan tangguh di saat usia muda, namun ketika ketuaan menghampirinya, bahkan untuk memindahkan kaki saja terasa berat.
  • Hidup di dunia tidak ada penaung dan pelindung (atāṇo loko anabhissaro). Walaupun seseorang memiliki banyak teman, kerabat, atau saudara, ketika dia sakit, dia sendiri yang harus menanggung kesakitannya. Tidaklah mungkin baginya untuk membagi rasa sakitnya kepada mereka agar rasa sakit yang dialaminya berkurang.
  • Hidup di dunia tidak ada kepimilikan yang sejati, semua harus ditinggalkan dan pergi (assako loko, sabbaṃ pahāya gamanīya). Ketika seseorang diberkati dengan kekayaan yang berlimpah ruah dan beribu-ribu kenikmatan indrawi, ketika ia mati, semuanya harus ditinggalkan dan semua kekayaan itu akan diambil alih oleh sanak keluarga. Tidaklah mungkin baginya untuk membawa kekayaanya atau membawa kenikmatan hidupnya ke kehidupan berikutnya. Perbuatan yang pernah dilakukannyalah yang akan menentukan semuanya di kehidupan berikutnya.
  • Hidup di dunia kurang sempurna, tak pernah puas, dan diperbudak oleh nafsu keinginan (ūno loko atitto taṇhādāso). Hidup di dunia ini tidak pernah terpuaskan dan diperbudak oleh nafsu keinginan sendiri. Seseorang tidak pernah terpuaskan dengan apa yang sudah dimiliki, tetapi selalu menginginkan lebih dan lebih. Ketika satu keinginan terpenuhi, bukannya puas tetapi malah menginginkan yang lebih besar.

Empat ringkasan ajaran tersebut yang membuat Raṭṭhapala meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani hidup tak berumah sebagai seorang bhikkhu. Pilihan hidup yang dijalaninya berdasarkan keyakinan sendiri dan tak tergoyahkan. Meninggalkan kehidupan rumah tangga yang ideal memang seperti itu. Namun, dalam literatur Pāli, kita juga menjumpai beberapa kasus di mana seseorang memasuki kehidupan monastik dan menjadi bhikkhu atau sāmaṇera bukan karena dasar keyakinan yang kuat. Ada alasan-alasan lain yang melatarbelakanginya.

Bhikkhu Nanda memiliki kisah yang menarik. Beliau memasuki Saṅgha karena rasa hormatnya kepada Buddha (buddhagāravena) yang menawarkannya untuk menjadi bhikkhu. Pangeran Nanda mau ditahbis karena sungkan untuk menolak tawaran Buddha (DhpA. I. 116). Bhikkhuni Rūpanandā dulunya adalah Janapada Kalyāṇī, istri Pangeran Nanda. Beliau masuk Saṅgha tidak sepenuhnya karena keyakinan, tetapi hanya cinta kepada keluarganya yang juga meninggalkan kehidupan rumah tangga (sā bhikkhunupassayaṃ gantvā pabbaji ñātisineheneva, no saddhāya. DhpA. 113). Apalagi orang yang dicintainya, Pangeran Nanda, pergi menjadi bhikkhu dan tak kembali. Hatinya semakin pupus dan memilih untuk menjadi bhikkhuni. Pangeran Rahula, menjadi sāmaṇera juga bukan karena takut Saṃsāra. Bahkan mungkin tidak terbayang sedikitpun tentang apa bahaya Saṃsāra diusinya yang masih tujuh tahun. Dia mau ditahbis karena ingin mendapatkan warisan dari ayahnya, Buddha (Vin. I. 82). Ada juga kisah anak-anak muda yang menjadi bhikkhu karena ikut-ikutan temannya. Kisah tentang munculnya peraturan Pācittiya 65 menceritakan bahwa ada tujuh belas anak muda yang yang menjadi bhikkhu di usia dibawah dua puluh tahun. Namun, karena masih anak-anak, jadi ketika malam menjelang pagi, mereka selalu menangis berteriak kelaparan (Vin. IV. 129).

Lepas Jubah Berdasarkan Literatur Pāli
Peristiwa bhikkhu atau sāmaṇera lepas jubah bukan peristiwa yang baru. Literatur Pāli mencatat beberapa kisah seorang bhikkhu atau sāmaṇera lepas jubah dan kembali ke kehidupan rumah tangga. Menurut literatur Pāli, lepas jubah berarti kembali ke kehidupan rendah (hīnāyāvatta). Kalau kita menelusuri literatur Pāli, di tahun-tahun awal, jarang sekali bahkan tidak ada bhikkhu yang lepas jubah, karena di tahun-tahun awal para bhikkhu umumnya sudah memahami Dhamma dan minimal mencapai tingkat-tingkat kesucian.

Di samping itu, Buddha adalah orang yang pandai dalam menangani kasus apabila bhikkhu ingin lepas jubah. Kecekatan beliau bisa membantu permasalahan yang sedang dihadapi muridnya sehingga tidak jadi lepas jubah. Salah satu contohnya adalah Bhikkhu Nanda. Diceritakan Bhikkhu Nanda sudah tidak sanggup lagi menjalani kehidupan sebagai bhikkhu. Dia selalu terngiang-ngiang tentang suara istrinya yang memperingatkannya untuk segera kembali. Pikirannya selalu pada Janapada Kalyāṇī. Dia ingin kembali kehidupan rendah dan hidup bersama dengan gadis pujaanya. Mendengar hal itu, Buddha membawanya ke alam Tāvatiṃsa. Di sana dia melihat lima ratus bidadari yang cantik. Buddha bertanya kepadanya mana yang lebih cantik, bidadari-bidadari itu ataukah Janapada Kalyāṇī. Tentu, Bhikkhu Nanda menjawab bahwa Janapada Kalyāṇī tidak ada apa-apanya. Dia hanyalah seperti kera yang ekornya terbakar yang ia lihat dalam perjalanan menuju alam Tāvatiṃsa. Dengan alasan itu, akhirnya Bhikkhu Nanda tidak jadi lepas jubah karena ingin mendapatkan bidadari-bidadari cantik. Namun, para bhikkhu lain yang mengetahuinya mengejeknya sebagai bhikkhu sewaan, karena tujuan menjadi bhikkhu adalah untuk mendapatkan bidadari-bidadari cantik, bukan untuk Nibbāna. Dan Bhikkhu Nanda kemudian menjadi malu dan berjuang dengan tekun untuk mencapai tujuan yang semestinya bagi bhikkhu. Dia akhirnya berhasil menjadi seorang arahat dan tak mungkin kembali menjadi umat awam lagi (DhpA. 118-122).

Contoh yang lain adalah Bhikkhu Cūḷapanthaka. Buddha telah menyelamatkan Bhikkhu Cūḷapanthaka karena dia sudah hampir lepas jubah karena kakaknya yang meminta lantaran tidak bisa menghafal satupun syair dalam empat bulan. Buddha menasihatinya untuk menggosok-gosok kain putih bersih dengan menghadap ke timur di mana matahari terbit sambil melafalkan ‘pembersihan kekotoran (rajoharaṇaṃ).’ Dengan melakukan itu akhirnya Bhikkhu Cūḷapanthaka berhasil memahami Dhamma tentang ketidakkekalan. Beliau mencapai arahat dan tak mungkin kembali menjadi umat awam lagi (DhpA. 247).

Secara garis besar, lepas jubah bisa dikategorikan menjadi dua jenis; lepas karena pelanggaran dan karena keinginan sendiri. Lepas karena pelanggaran terjadi ketika bhikkhu melanggar peraturan Pārājika, yaitu: berhubungan seksual, mencuri, membunuh, dan berbohong memiliki kesaktian. Bagi yang melanggar peraturan Pārājika, ia tidak bisa melanjutkan kebhikkhuannya, dan solusi terbaik adalah lepas jubah. Sementara lepas jubah karena keinginannya sendiri bisa dipertimbangkan dengan beberapa alasan; alasan sudah tidak tahan untuk menjalaninya, terpikat oleh lawan jenis, alasan sanak keluarga, atau karena alasan tertentu yang harus diselesaikan dengan cara hidup sebagai umat awam.

Menurut Cātumā Sutta, ada empat jenis bahaya bagi bhikkhu baru. Empat bahaya seorang bhikkhu diibaratkan sebagaimana ombak (ūmibhayaṃ), buaya (kumbhīlabhayaṃ), pusaran air (āvaṭṭabhayaṃ), dan ikan hiu (susukābhayaṃ). Di sini, ombak disimbolisasikan sebagai kemarahan dan kejengkelan; buaya adalah kerakusan; pusaran air adalah kesenangan indra; dan ikan hiu adalah wanita (M. I. 459-463). Empat bahaya ini yang dapat menyebabkan bhikkhu kembali ke kehidupan rendah atau kembali menjadi umat awam.

Pabbajjā dan Lepas Jubah Berdasarkan Keadaan Masa Kini
Pabbajjā yang ideal adalah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi bhikkhu atas dasar keyakinan untuk menghakhiri lingkaran tumimbal lahir. Ditinjau dari keadaan masa kini, masih banyak orang-orang yang meninggalkan keduniawian dengan penuh keyakinan. Namun, kita juga diberi tahu bahwa masa kini, kegiatan meninggalkan keduniawian dan menjadi bhikkhu, terkadang bukan karena dorongan untuk mengakhiri lingkaran kelahiran.

Ada beberapa orang melakukan Pabbajjā untuk melatih diri agar hidupnya lebih baik daripada yang dulu. Ada juga yang melakukan Pabbajjā karena ingin mempelajari ajaran Buddha secara mendalam. Ini mungkin karena sebagai umat awam, seseorang tak punya banyak waktu untuk mempelajari ajaran Buddha dan sumbernya terbatas, maka dengan menjadi bhikkhu atau sāmaṇera, seseorang bisa mengabdikan dirinya pada niatnya untuk mempelajari ajaran Buddha sekaligus praktiknya.

Bahkan di beberapa negara Buddhis, Pabbajjā menjadi budaya mereka. Di Shan State, Myanmar, setiap pria pasti sudah pernah menjadi sāmaṇera. Ketika anak laki-laki menginjak usia sekitar 7-15 tahun, biasanya orangtuanya akan membawanya ke wihara untuk ditahbis menjadi sāmaṇera. Dan ini merupakan acara yang besar, seperti sunatan bagi orang Jawa. Sebelum ditahbis, anak itu akan dipakaikan baju dan perlengkapan-perlengkapan seperti raja dan di bawa keliling kampung. Keluarga dan orang-orang kampung menjadi sangat bahagia, seperti pada saat menghadiri upacara pernikahan. Biasanya sāmaṇera yang ditahbis akan bertahan minimal satu minggu atau dua minggu. Kalau tidak betah, setelah itu bisa lepas jubah, dan kalau mau bisa bertahan sampai kapanpun ia mau. Kegiatan ini terjadi kapan saja tanpa menunggu hari-hari tertentu. Kalau orangtua ingin, mereka bisa konfirmasi dengan bhikkhu upajjhaya dan bisa ditahbis kapan saja. Hampir seluruh daerah Myanmar juga menerapkan sistem yang sama. Bagi yang sudah berumur lebih dari dua puluh tahun, setelah mereka ditahbis menjadi samanera untuk beberapa hari, bisa langsung ditahbis menjadi bhikkhu kapan saja.



Di Myanmar pula, orangtua yang merasa keberatan untuk mendidik atau menyekolahkan anaknya, biasanya akan memberikan anaknya ke wihara untuk ditahbis menjadi sāmaṇera. Di Myanmar, wihara juga merupakan pusat pendidikan di mana para sāmaṇera bisa belajar di bangku sekolah. Dengan kata lain, wihara-wihara besar biasanya memiliki sekolahan sebagai tempat untuk menggali ilmu. Jadi selain menjadi budaya mereka, Pabbajjā juga sebagai jalan untuk mendapatkan pendidikan. Siapapun dan kapanpun bisa melakukan Pabbajjā, dan kapanpun mereka bisa lepas jubah.

Di Thailand, Pabbajjā juga menjadi budaya mereka. Setiap laki-laki dianjurkan untuk menjadi bhikkhu, minimal sekali seumur hidup. Bahkan konon, sebelum menikah, pria harus pernah menjadi bhikkhu terlebih dahulu. Kalau tidak, orangtua calon istrinya tidak akan mengizinkannya untuk menikahi putrinya. Dengan kata lain, laki-laki yang ingin menikah harus pernah menjadi bhikkhu terlebih dahulu. Raja-raja di Thailand juga harus pernah merasakan hidup sebagai bhikkhu. Di samping itu, ada anggapan bahwa dengan Pabbajjā, seseorang bisa melakukan patidāna atau pelimpahan jasa kepada sanak keluarga yang meninggal. Misalnya, kalau ibunya meninggal, anak laki-lakinya akan ditahbis menjadi bhikkhu, karena beranggapan bahwa dengan cara itu, mendiang ibunya akan berbahagia melihat anaknya mengenakan jubah kuning. Pabbajjā untuk menjadi bhikkhu atau sāmaṇera bisa dilakukan kapan saja asal penahbisnya mau. Dan mereka bisa lepas kapan saja kalau mereka mau.


Di Kamboja juga begitu. Setiap laki-laki pasti pernah menjadi sāmaṇera atau bhikkhu. Dahulu, para pria sebelum menikah umumnya pergi ke wihara untuk ditahbis menjadi bhikkhu atau sāmaṇera. Di wihara, mereka akan belajar, karena pada waktu itu, satu-satunya pusat pendidikan hanyalah wihara. Jadi wihara adalah tempat menggali ilmu sebagai bekal hidup untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Namun, setelah sekolah dan institusi-institusi berdiri, tradisi ini mulai berkurang.


Di Sri Lanka kelihatannya tidak menjadikan Pabbajjā sebagai budaya. Namun, Pabbajjā juga sebagai jalan untuk mendapatkan pendidikan. Ada ribuan sāmaṇera kecil di Sri Lanka yang latar belakangnya mengikuti Pabbajjā karena untuk mendapatkan pendidikan. Orangtua mereka umumnya menitipkan anaknya ke wihara untuk menjadi sāmaṇera demi mendapatkan pendidikan yang layak. Para sāmaṇera umumnya akan belajar di sekolah yang disebut Pirivena. Di sana mereka bukan hanya belajar Buddhisme, tetapi mereka juga belajar banyak mata pelajaran seperti sekolah-sekolah umum. Bahkan mereka juga akan mengikuti ujian yang diselenggarakan pemerintah Sri Lanka untuk memasuki kuliah secara gratis. Oleh karena itu, para bhikkhu di Sri Lanka umumnya adalah terpelajar. Namun, Pabbajjā di Sri Lanka tidak bisa dilakukan setiap saat. Ada waktu-waktu tertentu, di mana orang-orang yang ingin Pabbajjā berkumpul bersama dalam sebuah program dan kemudian ditahbis bersama-sama.

Di Indonesia, kita menjumpai program-program Pabbajjā yang di selenggarakan atas nama Saṅgha atau sekolah-sekolah tinggi agama Buddha. Pabbajjā menjadi agenda tahunan bagi setiap Saṅgha di Indonesia. Umumnya ini diselenggarakan dengan durasi waktu yang telah ditentukan. Bagi yang tidak mau lanjut bisa lepas jubah setelah program selesai, dan bagi yang mau memperpanjang atau berkeinginan menjadi bhikkhu bisa melanjutkan latihannya. Kalau di negara-negara Buddhis umumnya setiap pria pernah menjadi bhikkhu atau sāmaṇera, kalau di Indonesia dalam lingkup yang lebih sempit bahwa setiap mahasiswa Buddhis yang belajar di sekolah tinggi agama Buddha pasti pernah Pabbajjā. Baru-baru ini program Pabbajjā juga tidak hanya untuk menjadi sāmaṇera saja, tetapi panitia juga menyelenggarakan Pabbajjā yang dilanjutkan dengan upasampadā atau penahbisan penuh menjadi bhikkhu. Fenomena bhikkhu atau sāmaṇera lepas jubah dalam program Pabbajjā yang diselenggarakan dengan durasi waktu tertentu diterima sebagai yang wajar. Program semacam ini memang sengaja dibuat untuk menyediakan fasilitas bagi umat awam yang ingin memperdalam ajaran Buddha sekaligus praktik menjadi seorang samaṇa. Selain ini menguntungkan bagi umat awam karena ada kesempatan untuk menjalani praktik Pabbajjā, ini juga menguntungkan bagi para bhikkhu karena dengan cara ini umat awam belajar bagaimana kehidupan bhikkhu dan juga mengetahui peraturan-peraturan dasar kebhikkhuan, sehingga umat awam tahu bagaimana mereka seharusnya melayani bhikkhu.

Kesimpulan
Pabbajjā adalah praktik meninggalkan kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa rumah atau menjadi sāmaṇera atau bhikkhu. Tujuan awal dari praktik ini adalah untuk mengakhiri penderitaan Saṃsāra. Nibbāna adalah dasar dan tujuan dari menjalani kehidupan suci. Orang-orang praktik Pabbajjā dengan dasar keyakinan dan pemahaman untuk mencapai tujuan utama tersebut. Namun, literatur Pāli juga melaporkan bahwa tidak semua orang pada awalnya melakukan Pabbajjā karena dasar keyakinan untuk mengakhiri penderitaan Saṃsāra. Ada alasan-alasan tertentu yang membuatnya meninggalkan kehidupan rumah tangga. Menurut literatur Pāli, lepas jubah berarti kembali ke kehidupan rendah. Fenomena lepas jubah, pada tahun-tahun awal sangat jarang sekali karena kebanyakan dari mereka sudah memahami hakikat hidup yang sesungguhnya dan telah sampai pada tingkat-tingkat kesucian tertentu yang membuatnya tidak mungkin berbalik arah menuju kehidupan rendah. Selain itu karena kepandaian Buddha dalam menangani kasus bhikkhu yang ingin lepas jubah. Melihat kondisi masa kini, masih banyak orang-orang yang melakukan Pabbajjā karena dasar keyakinan. Namun, Pabbajjā di masa kini juga diadopsi oleh beberapa negara Buddhis sebagai budaya mereka. Kita diberitahu bahwa di beberapa negara Buddhis, seorang laki-laki harus pernah menjadi sāmaṇera atau bhikkhu sebelum mereka menikah. Ada juga pengertian Pabbajjā sebagai cara untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada sanak keluarga yang meninggal. Yang lebih umum lagi, Pabbajjā sebagai cara untuk mendapatkan pendidikan Buddhis yang lebih mendalam bersamaan dengan praktiknya. Ini yang membuat lepas jubah menjadi fenomena umum yang sering dijumpai. Namun apapun itu bentuknya, apabila Pabbajjā bisa merubah individu menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain, praktik Pabbajjā seperti yang sekarang kita jumpai bukanlah permasalahan yang serius. Justru kita perlu mengapresiasi, karena orang yang melakukan Pabbajjā telah berusaha menjalankan nasihat Buddha bahwa praktik Pabbajjā adalah salah satu hal yang dianjurkan oleh para bijaksanawan, selain berdana dan menghormati orangtua (Dānaṃ, Pabbajjā, Mātāpitūnaṃ upaṭṭhānaṃ).

Referensi:
Aṅguttara Nikāya: The Numerical Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publication, 2012.
Dhammapada: The Buddha’s Path of Wisdom. Trans. Ācarya Buddharakkhita. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Dhammapada Aṭṭhakathā: Buddhist Legends. Vol. I, II, III. Trans. Eugene Watson Burlingame. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers, 2015.
Dīgha Nikāya: The Long Discourses of the Buddha. Trans. Maurice Walshe. Boston: Wisdom Publications, 2012.
Majjhima Nikāya: The Middle Length Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2009.
Saṃyutta Nikāya: The Connected Discourses of the Buddha. Trans. Bhikkhu Bodhi. Boston: Wisdom Publications, 2000.
Sutta-Nipāta. Trans. Hammalava Saddhatissa. London: Curzon Press Ltd, 1985.
Udāna and Itivuttaka. Trans. John D Ireland. Kandy: Buddhist Publication Society, 2007.
Vinaya Piṭaka: The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Suttavibhaṅga Vol. II. London: Pali Text Society, 1969.
The Book of the Discipline. Trans. I. B. Horner. Mahāvagga Vol. IV. London: Luzac & Company LTD, 1971.
Visuddhimagga: The Path of Purification. Trans. Bhikkhu Ñāṇamoli. Kandy: Buddhist Publication Society, 2010.

No comments:

Post a Comment