Saturday, November 25, 2017

Tiga Karakteristik Universal (Tilakkhaṇa)

0 comments

Tiga Karakteristik Universal (Tilakkhaṇa)

Buddha melihat hidup ini diselimuti oleh tiga karakteristik universal. Dalam Buddhis, ini disebut sebagai Tilakkhaṇa. Tiga karakteristik universal itu antara lain: ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), and bukan diri (anatta). Selain nama Tilakkhaṇa tiga karakteristik umum ini juga disebut sebagai Sāmaññalakkhana. Meski istilah Tilakkhaṇa tidaklah asing bagi umat Buddha, namun ternyata kata ‘Tilakkhaṇa’ sendiri sangat jarang dijumpai di Konon pāli sendiri. Tanpa menggunakan kata ‘Tilakkhaṇa’, Uppādā Sutta, Aṅguttara Nikāya, mengatakan apakah Tathāgata muncul atau tidak, terdapat hukum, Dhamma yang tetap: ‘Semua yang terkondisi adalah tidak kekal’, ‘semua yang terkondisi adalah penderitaan’, dan ‘segala sesuatu adalah bukan diri’ (uppādā vā, bhikkhave, tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ, ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Sabbe saṅkhārā aniccā…sabbe saṅkhārā dukkhā…sabbe dhammā anattā. A. I. 286).

Ketikdakkekalan (Anicca)

Buddha melihat kenyataan bahwa segala bentukan adalah tidak kekal. Pemahaman ini berdasar pada ajaran Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (paticcasamuppāda). Menurut paticcasamuppāda, segala sesuatu muncul karena sebab dan kondisi. Oleh karena itu tidak ada yang disebut abadi atau eternal, jika segalanya muncul karena sebab dan kondisi. Tidak ada yang abadi jika itu pasti akan mengalami perubahan.

Teori ketidakkekalan menjadi dasar dari dua karakteristik universal yang lain. Umumnya, teori ini dijelaskan dengan formula “Aniccā vata saṅkhārā” dan “Sabbe saṅkhārā aniccā”. 

Sebelum Buddha wafat, beliau memberikan nasihat terakhirnya kepada para bhikkhu tentang pentingnya memahami hukum ketidakkekalan ini. 
“Handadāni, bhikkhave, āmantayāmi vo, vayadhammā saṅkhārā, appamādena sampādetha.”
“Aku katakan padamu para bhikkhu, segala sesuatu yang muncul karena kondisi adalah tidak kekal dan bisa bisa berubah. Berjuanglah dengan sungguh-sungguh (D. II. 120).”

Lima gugusan kehidupan juga tidaklah kekal. Buddha mengatakan:
“Rūpaṃ, bhikkhave, aniccaṃ, vedanā aniccā, saññā aniccā, saṅkhārā aniccā, viññāṇaṃ aniccaṃ… Sabbe saṅkhārā aniccā.”
“Bentuk adalah tidak kekal. Perasaan adalah tidak kekal. Persepsi adalah tidak kekal. Bentuk-bentuk pikiran adalah tidak kekal. Kesadaran adalah tidak kekal... Segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal (M. I. 228).

Dalam Dhammapada dikatakan bahwa:
“Sabbe saṅkhārā aniccā’’ti, yadā paññāya passati;
Atha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiyā.
“Segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal.” Ketika seseorang melihat ini dengan kebijaksanaa, seseorang berpaling dari penderitaan. Ini adalah jalan menuju kesucian (Dhp. 277).

Dalam Mahāparinibbāna Sutta, Dīgha Nikāya, dikatakan bahwa:
“Aniccā vata saṅkhārā uppādavayadhammino;
Uppajjitvā nirujjhanti, tesaṃ vūpasamo sukho’’ti.
“Segala sesuatu yang terkondisi adalah tidak kekal. Cenderung muncul dan lenyap. Setelah muncul mereka lenyap, kelenyapannya disebut kebahagiaan (D. II. 157).”

Dalam Saṅkhatalakkhaṇa Sutta, sifat dari ketidakkekalan di dijelaskan sebagai berikut: 
  • Munculnya terlihat (uppādo paññāyati)
  • Lenyapnya terlihat (vayo paññāyati)
  • Pergantian saat bertahan terlihat (ṭhitassa aññathattaṃ paññāyati)

(Tīṇimāni, bhikkhave, saṅkhatassa saṅkhatalakkhaṇāni. Katamāni tīṇi? Uppādo paññāyati, vayo paññāyati, ṭhitassa aññathattaṃ paññāyati. Imāni kho, bhikkhave, tīṇi saṅkhatassa saṅkhatalakkhaṇānī’’ti. A. I. 152).

Penderitaan (Dukkha)

Teori penderitaan berdasar pada teori ketidakkekalan. Ini dijelaskan dengan fakta bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal. Dikatakan dala Yadanicca Sutta di Aṅguttara Nikāya bahwa karena itu tidaklah kekal maka itu juga penderitaan (yad aniccaṃ taṃ dukkhaṃ. A. III. 21). Dhammapada mengatakan:

 ‘‘Sabbe saṅkhārā dukkhā’’ti, yadā paññāya passati;
Atha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiyā.
“Segala sesuatu yang terkondisi adalah penderitaan.” Ketika seseorang melihat ini dengan kebijaksanaa, seseorang berpaling dari penderitaan. Ini adalah jalan menuju kesucian (Dhp. 278).

Dhammacakkapavattana Sutta menjabarkan dukkha sebagai berikut:
  • Kelahiran adalah penderitaan (Jātipi dukkhā)
  • Usia tua adalah penderitaan (jarāpi dukkhā)
  • Sakit adalah penderitaan (byādhipi dukkho)
  • Kematian adalah penderitaan (maraṇampi dukkhaṃ)
  • Bersatu dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan (appiyehi sampayogo dukkho)
  • Berpisah dengan orang yang disukai adalah penderitaan (piyehi vippayogo dukkho)
  • Tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan (yampicchaṃ na labhati tampi dukkhaṃ)
  • Singkatnya kemelekatan terhadap lima gugusan kehidupan adalah penderitaan (saṃkhittena pañcupādānakkhandhā dukkhā. S. V. 421).

Dalam Maggasaṃyutta di Saṃyutta Nikāya, dukkha tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam (S. IV. 260), yaitu:
  • Dukkha-dukkha (penderitaan karena kesakitan seperti lahir, tua, sakit, mati, bersatu dengan orang yang tidak disukai, berpisah dengan orang yang disukai, dan tidak mendapatkan apa yang diinginkan)
  • Viparināma-dukkha (penderitaan karena perubahan, seperti ketika perasaan berubah. Bahkan pencapaian meditatif yang bisa berubah juga merupakan dukkha dalam kategori ini (sukhā vedanā ṭhitisukhā vipariṇāmadukkhā. M. I. 303).
  • Saṅkhāra-dukkha (penderitaan karena melekat terhadap lima gugusan kehidupan)

Di Visuddhimagga, Bhikkhu Buddhaghosa mengklasifikasikan dukkha menjadi empat macam (Vism. XVI. 500), sebagai berikut:
  • Penderitaan tersembunyi (paṭicchannadukkha)
  • Penderitaan yang terlihat (appaṭicchannadukkha)
  • Penderitaan tak langsung (pariyāyadukkha)
  • Penderitaan langsung (nippariyāyadukkha).

Bukan Diri (Anatta)

Dalam beberapa khotbah, teori diri dijabarkan sebagai:
  • Ini milikku (etaṃ mama)
  • Ini saya (esohamasmi)
  • Ini diri saya (eso me attā. S. Iii. 67)

Buddha menyadari bahwa segala sesuatu adalah bukan diri. Teori ini berdiri dari kenyataan bahwa segala yang terkondisi adalah tidak kekal dan penderitaan. Dikatakan apa yang merupakan penderitaan, itu juga bukan diri (yaṃ dukkhaṃ taṃ anattā. A. III. 21). 

Tidak ada entitas abadi di dalam tubuh manusia. Manusia hanyalah kombinasi dari gugusan batin dan jasmani (pañcakkhandhā), meliputi: bentuk, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Dan semua itu bukan diri. Buddha mengatakan:

“Rūpaṃ, bhikkhave, anattā, vedanā anattā, saññā anattā, saṅkhārā anattā, viññāṇaṃ anattā … sabbe dhammā anattā.”
“Bentuk adalah bukan diri. Perasaan adalah bukan diri. Persepsi adalah bukan diri. Bentuk-bentuk pikiran adalah bukan diri. Kesadaran adalah bukan diri... Segala sesuatu yang terkondisi adalah bukan diri (M. I. 228).

Karena segala sesuatu adalah bukan diri, maka tidaklah tepat untuk mengatakan ‘Ini milikku’, ‘ini aku’, ‘ini diriku’ (yadanattā taṃ ‘netaṃ mama, nesohamasmi, na meso attā’ti. A. III. 22).

Segala sesuatu adalah bukan diri (sabbe dhammā anattā), baik yang terkondisi maupun yang tidak terkondisi. Buddha dalam Dhammapada mengatakan:

‘‘Sabbe dhammā anattā’’ti, yadā paññāya passati;
Atha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiyā.
“Segala sesuatu adalah bukan diri.” Ketika seseorang melihat ini dengan kebijaksanaa, seseorang berpaling dari penderitaan. Ini adalah jalan menuju kesucian (Dhp. 279).

No comments:

Post a Comment