Saturday, April 28, 2018

Gotami Sutta; Awal terbentuknya Sangha Bhikkhuni

0 comments

Gotami Sutta; Awal terbentuknya Sangha Bhikkhuni

Gotamī Sutta, Aṅguttara Nikāya, menceritakan awal mula terbentuknya bhikkhuni. Diceritakan Mahāpajāpatī Gotamī, memohon Buddha agar wanita diperkenankan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan masuk ke dalam Sangha menjadi bhikkhuni. Namun sampai tiga kali Buddha mengatakan, “Cukup Gotamī! Jangan menyukai pelepasan keduniawian wanita dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah dalam Dhamma dan Vinaya yang diajarkan Sang Tathāgata.” [1]

Melihat Mahāpajāpatī Gotamī menangis karena tidak mendapat izin meninggalkan kehidupan rumah tangga, Bhikkhu Ananda pergi menghadap Buddha untuk menanyakan apakah mungkin mencapai tingkat kesucian sotāpatti, sakādāgami, anāgāmi, dan arahat. Buddha menjawabnya bahwa itu mungkin saja. Apabila wanita bersunguh-sungguh mempraktikan Dhamma bisa saja mencapai tingkatan-tingkatan kesucian [2]. Mengetahui itu, akhirnya Bhikkhu Ananda memohon kepada Buddha supaya memperkenankan Mahāpajāpatī Gotamī untuk memasuki Sangha sebagai bhikkhuni sehubung jasa Mahāpajāpatī Gotamī sangat besar kepada Buddha sewaktu masih kecil. Akhirnya Buddha mengizinkan wanita menjadi bhikkhuni dengan ketentuan menjalankan Aṭṭha garudhamma atau delapan prinsip penghormatan bagi bhikkhuni [3].

Bhikkhu Ananda menyampaikan bahwa Mahāpajāpatī Gotamī bersedia mempraktikkan Aṭṭha garudhamma tersebut. Buddha berkata, “Ananda, jika wanita tidak memperoleh pelepasan keduniawian dalam Dhamma dan Vinaya yang diajarkan Sang Tathāgata, umur Dhamma akan bertahan dalam waktu yang lama, Dhamma dapat bertahan sampai seribu tahun. Namun Ananda, karena wanita diperkenankan memperoleh pelepasan keduniawian dalam Dhamma dan Vinaya yang diajarkan Sang Tathāgata, sekarang umur Dhamma tidak akan bertahan lama. Dhamma yang benar akan bertahan hanya sampai lima ratus tahun.” [4]

Buddha memberikan Tiga perumpamaan tentang bahaya mengizinkan wanita meninggalkan keduniawian.
  • Seperti para perampok akan mudah menyerang keluarga yang banyak wanitanya dan sedikit prianya. Seperti itu pula, dalam Dhamma dan Vinaya di mana wanita diperkenankan meninggalkan keduniawian, umur Dhamma tidak akan bertahan lama. [5]
  • Seperti ketika padi di ladang bukit telah matang, jika penyakit pemutihan menyerangnya, padi di ladang bukit tidak akan bertahan lama. Seperti itu pula, dalam Dhamma dan Vinaya di mana wanita diperkenankan meninggalkan keduniawian, umur Dhamma tidak akan bertahan lama. [6]
  • Seperti ladang tebu yang telah matang, jika penyakit karat menyerangnya, ladang tebu tidak akan bertahan lama. Seperti itu pula, dalam Dhamma dan Vinaya di mana wanita diperkenankan meninggalkan keduniawian, umur Dhamma tidak akan bertahan lama. [7]

Untungnya Buddha tidak hanya berhenti sampai di situ. Meskipun mengizinkan wanita meninggalkan keduniawian sangat riskan dan akan berdampak menurunnya umur ajaran yang sejati, namun Buddha juga telah membuat penanggulnya. Di sini Buddha memberikan perumpamaan lebih lanjut:

“Seperti seseorang yang membangun tanggul mengelilingi waduk yang besar untuk mencegah air yang meluap, seperti itu pula Aku telah membuat Aṭṭha garudhamma sebagai pencegahan bagi bhikkhuni sebagai peraturan yang tidak boleh dilanggar seumur hidup.” [8]

Dari sini kita tahu, selama Aṭṭha garudhamma masih dipraktikkan dan tidak dilanggar, umur Ajaran yang sejati akan tetap bisa bertahan lebih lama.

Note;

1. Alaṃ, gotami! Mā te rucci mātugāmassa tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajjā’’ti. A. IV. 274

2.  Bhabbo nu kho, bhante, mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajitvā sotāpattiphalaṃ vā sakadāgāmiphalaṃ vā anāgāmiphalaṃ vā arahattaphalaṃ vā sacchikātu’’nti? ‘‘Bhabbo, ānanda, mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajitvā sotāpattiphalampi sakadāgāmiphalampi anāgāmiphalampi arahattaphalampi sacchikātu’’nti. A. IV. 276

3.   Delapan prinsip penghormatan yang harus ditaati oleh bhikkhuni antara lain:
  1. Meskipun bhikkhuni telah ditahbis seratus tahun, harus menghormat kepada bhikkhu yang walaupun baru ditahbis sehari (Vassasatūpasampannāya bhikkhuniyā tadahūpasampannassa bhikkhuno abhivādanaṃ paccuṭṭhānaṃ añjalikammaṃ sāmīcikammaṃ kattabbaṃ).
  2. Bhikkhuni tidak boleh bervassa di tempat di mana tidak ada bhikkhu (Na bhikkhuniyā abhikkhuke āvāse vassaṃ upagantabbaṃ).
  3. Setiap setengah bulan, bhikkhuni harus memohon kepada Sangha bhikkhu tentang dua hal; tentang uposatha dan nasihat (Anvaḍḍhamāsaṃ bhikkhuniyā bhikkhusaṅghato dve dhammā paccāsīsitabbā – uposathapucchakañca, ovādūpasaṅkamanañca).
  4. Ketika bhikkhuni telah menyelesaikan masa Vassa, bhikkhuni harus mengundang kedua Sangha, sangha bhikkhu dan bhikkhuni, untuk perbaikan dari apapun yang terlihat, terdengar, atau yang tercurigai (Vassaṃvuṭṭhāya bhikkhuniyā ubhatosaṅghe tīhi ṭhānehi pavāretabbaṃ – diṭṭhena vā sutena vā parisaṅkāya vā).
  5. Bhikkhuni yang melakukan pelanggaran berat harus menjalani setengah bulan hukuman di kedua Sangha (Garudhammaṃ ajjhāpannāya bhikkhuniyā ubhatosaṅghe pakkhamānattaṃ caritabbaṃ).
  6. Calon bhikkhuni harus menjalankan latihan dua tahun dengan enam aturan pokok, setelah itu baru meminta kedua Sangha untuk pentahbisan (Dve vassāni chasu dhammesu sikkhitasikkhāya sikkhamānāya ubhatosaṅghe upasampadā pariyesitabbā).
  7. Bhikkhuni tidak boleh mencela atau memaki bhikkhu (Na kenaci pariyāyena bhikkhuniyā bhikkhu akkositabbo paribhāsitabbo).
  8. Bhikkhuni dilarang menasihati bhikkhu, tetapi bhikkhu tidak dilarang menasihati bhikkhuni (Ajjatagge ovaṭo bhikkhunīnaṃ bhikkhūsu vacanapatho, anovaṭo bhikkhūnaṃ bhikkhunīsu vacanapatho).          


Delapan prinsip ini memliki ciri-ciri yang sama, yaitu: harus dihormati, dihargai, dipatuhi dan tidak boleh dilanggar seumur hidup (Ayampi dhammo sakkatvā garuṃ katvā mānetvā pūjetvā yāvajīvaṃ anatikkamanīyo)

4.  Sace, ānanda, nālabhissa mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajjaṃ, ciraṭṭhitikaṃ, ānanda, brahmacariyaṃ abhavissa, vassasahassameva saddhammo tiṭṭheyya. Yato ca kho, ānanda, mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajito, na dāni, ānanda, brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ bhavissati. Pañceva dāni, ānanda, vassasatāni saddhammo ṭhassati. A. IV. 278

5. Seyyathāpi, ānanda, yāni kānici kulāni bahutthikāni appapurisakāni, tāni suppadhaṃsiyāni honti corehi kumbhatthenakehi; evamevaṃ kho, ānanda, yasmiṃ dhammavinaye labhati mātugāmo agārasmā anagāriyaṃ pabbajjaṃ, na taṃ brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ hoti. Ibid.

6.  Seyyathāpi, ānanda, sampanne sālikkhette setaṭṭhikā nāma rogajāti nipatati, evaṃ taṃ sālikkhettaṃ na ciraṭṭhitikaṃ hoti; evamevaṃ kho, ānanda, yasmiṃ dhammavinaye labhati mātugāmo agārasmā anagāriyaṃ pabbajjaṃ, na taṃ brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ hoti. A. IV. 279

7.  Seyyathāpi, ānanda, sampanne ucchukkhette mañjiṭṭhikā nāma rogajāti nipatati, evaṃ taṃ ucchukkhettaṃ na ciraṭṭhitikaṃ hoti; evamevaṃ kho, ānanda, yasmiṃ dhammavinaye labhati mātugāmo agārasmā anagāriyaṃ pabbajjaṃ, na taṃ brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ hoti. Ibid.

8.  Seyyathāpi, ānanda, puriso mahato taḷākassa paṭikacceva āḷiṃ bandheyya yāvadeva udakassa anatikkamanāya; evamevaṃ kho, ānanda, mayā paṭikacceva bhikkhunīnaṃ aṭṭha garudhammā paññattā yāvajīvaṃ anatikkamanīyā’’ti. Ibid.


No comments:

Post a Comment