Kartini dan Emansipasi Wanita di Mata Buddhisme
21 April diperingati sebagai hari Kartini. Peringatan kartini identik sekali dengan busana adat. Setiap tanggal 21 April, sekolah-sekolah hingga instansi-instansi pemerintah memperingati hari kartini dengan upacara bendera dengan berbusana adat. Selain itu diadakan pula perlombaan-perlombaan yang bernuansa feminisme seperti lomba memasak, berias, dan perlombaan-perlombaan lainnya.
Kartini adalah seorang pahlawan nasional wanita yang memperjuangkan kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia. Diskriminasi sosial yang menyudutkan hak wanita mendesaknya untuk merombak pemikiran dan menjunjung kesetaraan gender. Salah satunya adalah menyetarakan hak wanita untuk mengenyam pendididikan. Pada dasarnya wanita dan pria memiliki hak yang sama untuk belajar.
Selain memperjuangkan seteraan gender untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan pria, Kartini juga memperjuangkan kebebasan wanita dari jerat poligami yang sesungguhnya menyakitkan hati. Dari hati yang paling dalam, sesungguhnya tak ada wanita yang mau dimadu. Seorang wanita menginginkan cinta yang seutuhnya dari seorang pria yang dicintainya. Ini bicara tentang kebutuhan cinta, bukan kebutuhan materi. Meskipun seorang pria mampu mencukupi kebutuhan materi, namun tak seharusnya memadu hati karena sesungguhnya wanita tak ingin dimadu. Wanita tak ingin dipoligami.
Kartini seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai sebuah peringatan semata. Peringatan Hari Kartini bukan sekadar memeriahkan suasana di bulan April. Peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi media pengingat kembali perjuangan Kartini dan sekaligus sebagai momentum untuk mempelajari dan melanjutkan perjuangan-perjuangan yang belum usai. Wanita harus mendapatkan kesetaraan hak, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, atau bahkan di bidang keagamaan.
Kartini adalah sosok pejuang emansipasi wanita di Indonesia. Berbicara tentang emansipasi wanita, Buddha adalah salah satu pemimpin keagamaan yang memperjuangkan kesetaraan gender di India. Masyarakat India di abad ke enam sebelum masehi sudah terdoktrin dengan sistem kasta yang menyebabkan masyarakat terbagi menjadi empat kelas, yaitu: brahmana, khattiya, vessa, sudra. Brahmana adalah kasta yang paling tinggi. Sementara sudra adalah kasta terendah yang seringkali mendapat penindasan dan ketidakadilan. Posisi wanita pada waktu itu juga sama dengan sudra yang secara hirarki merupakan kelas yang paling rendah.
Posisi wanita pada waktu itu tertindas dengan adanya dalil dari sebuah kepercayaan lama. Wanita setara dengan kasta rendah. Wanita tidak mendapat hak pendidikan. Wanita dilarang melakukan kegiatan keagamaan. Wanita hanyalah pemuas nafsu pria semata.
Buddha menjunjung kesetaraan gender dengan mengangkat wanita sebagai posisi yang setara dengan pria. Wanita dan pria memiliki hak yang sama untuk belajar dan melakukan kegiatan keagamaan. Wanita tak seharusnya dianggap sebagai manusia hina karena bisa saja wanita lebih baik daripada pria dalam hal tertentu. Mallikā Sutta dari Saṁyutta Nikāya mencatat sebuah cerita di mana istrinya Raja Kosala melahirkan anak perempuan. Raja Kosala terlihat sedih karena pada waktu itu masih banyak anggapan bahwa posisi wanita adalah rendah. Melihat ini kemudian Buddha memberikan nasihat bahwa seorang wanita dapat menjadi lebih baik dari pada seorang pria. Seorang wanita bisa menjadi bijaksana dan bermoral, menjadi istri yang taat, dan hormat kepada mertua. Selain itu, putra yang dia lahirkan bisa menjadi orang yang bijaksana atau raja yang mulia.
Wanita pun menurut Buddhis memiliki potensi yang sama untuk mencapai pembebasan dari dukkha. Suatu ketika Bhikkhu Ananda bertanya kepada Buddha apakah mungkin seorang wanita mencapai sotāpatti, sakādāgami, anāgāmi, dan arahat. Sebagai jawabannya Buddha menjawab bahwa itu mungkin saja. Oleh sebab itulah, dalam agama Buddha wanita diberikan kesempatan untuk menjadi bhikkhuni.