Kesehatan adalah keuntungan yang berharga melebihi apapun. Harta, kedudukan, pengikut pun tak sebanding harganya dengan kesehatan. Karena ketika seseorang sakit, meskipun ia memiliki banyak harta, ia tak dapat menikmatinya dengan bahagia. Ia bahkan akan menghabiskan sebegitu banyak hartanya untuk biaya pengobatan. Ketika seseorang sakit, kedudukan maupun pengikut pun tak dapat membuatnya bahagia. Sakit membuatnya menjadi tak nyaman serba menderita. Meskipun terdapat banyak makanan, ia juga tak dapat menikmati makanan tersebut seperti ketika ia masih sehat. Apapun menjadi berat untuk dilakukan. Badan yang tadinya perkasa pun menjadi lemah tak berdaya. Oleh karena itu, betapa bahagianya mereka yang sehat. Tidaklah salah pepatah mengatakan “Health is Wealth” yang artinya kesehatan adalah kekayaan.
Dalam agama Buddha, kesehatan sungguhlah penting. Buddha sendiri mengakui, sebagaimana yang tertera dalam Dhammapada, bahwa kesehatan adalah perolehan terbesar yang seseorang miliki (ārogyaparamā lābhā. Dhp. 204, M. I. 508). Pernyataan ini diperjelas di dalam kitab komentar bahwa siapapun yang memiliki perolehan kekayaan, kemansyuran, atau anak, kesehatan merupakan perolehan yang terbesar, tidak ada perolehan yang melebih itu (Ārogyaparamāti gāthāya ye keci dhanalābhā vā yasalābhā vā puttalābhā vā atthi, ārogyaṃ tesaṃ paramaṃ uttamaṃ, natthi tato uttaritaro lābhoti, ārogyaparamā lābhā. MA. III. 218).
Kesehatan yang dimaksud, bukan hanya sehat secara fisik, tetapi juga sehat secara batin. Dalam sebuah kesempatan, Buddha menyebutkan dua jenis penyakit, yaitu: penyakit fisik (kāyiko rogo) dan penyakit batin (cetasiko rogo. A. II. 143). Dari kedua jenis penyakit ini, penyakit batin adalah penyakit yang diderita oleh siapapun yang belum mecapai kesucian. Selama seseorang masih belum terbebaskan, ia dikatakan sebagai sakit, karena belum terbebas dari bibit-bibit penyakit batin, yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin. Penyakit fisik merupakan sifat kehidupan ini yang tak bisa dihindari, sebagaimana ketuaan dan kematian. Ini sangat alami, bahkan Buddha sendiri juga mengalaminya. Namun penyakit fisik tidaklah separah penyakit batin. Ada bahkan beberapa orang yang bisa menjaga jasmaninya supaya terbebas dari penyakit dalam kurun waktu tertentu. Hal tersebut tidak seperti penyakit batin, yang mana kekotoran batin masih selalu mempengaruhi setiap perbuatan yang dilakukan oleh ia yang belum terbebaskan dengan kadar yang tak menentu. Makanya, memiliki kesehatan fisik adalah keuntungan yang besar, namun lebih besar lagi apabila seseorang sehat sepenuhnya secara batin, yaitu dengan mencapai Nibbāna.
Agama Buddha memandang kesehatan dan penyakit sebagai sesuatu yang realistis. Ketika ada penyakit, di sana pasti ada kesembuhan atau kesehatan. Penyakit bukanlah hukuman dari makhluk adi kuasa, dan kesembuhan juga bukan hadiah darinya. Menurut agama Buddha, penyakit bisa muncul karena disebabkan oleh kondisi alamiah di kehidupan saat ini, seperti faktor makanan, iklim, cuaca, tempat tinggal, atau faktor-faktor alam lainnya yang dalam bahasa Buddhis disebut Utu Niyama. Penyakit juga bisa muncul disebabkan karena faktor hukum perbuatan yang disebut Kamma Niyama. Perbuatan di sini bisa mengacu pada perbuatan di kehidupan ini dan juga perbuatan masa lampau di kehidupan-kehidupan sebelumnya yang berbuah di kehidupan ini.
Ketika agama Buddha berbicara tentang Kamma, itu berarti berbicara tentang perbuatan dan akibatnya. Setiap perbuatan selalu menghasilkan akibat. Orang bisa menjadi sakit karena faktor Kamma saat ini. Misalnya karena kurang tidur, jarang berolahraga, bekerja melebihi batas, karena kelengahan sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan, atau sebab-sebab lainnya yang dilakukan di kehidupan saat ini juga. Agama Buddha tidak menolak bahwa penyakit bisa disebabkan oleh perbuatan di kehidupan lampau. Buddha pernah menyampaikan bahwa ia yang sering menyiksa makhluk hidup, apabila ia masih punya cukup kebajikan, ia dapat terlahir di alam manusia namun sakit-sakitan (bavhābādho). Jadi, orang yang sakit-sakitan saat ini bisa jadi karena buah dari perbuatan masa lampaunya (M. III. 204).
Untuk memperoleh kesembuhan pun, ajaran Buddha menawarkan cara yang rasional. Berdoa atau memohon kepada makhluk tertentu supaya diberikan kesembuhan tidak ditemukan dalam ajaran Buddha. Menurut Buddha, apa yang terjadi adalah sebab dan akibat. Ketika seseorang sakit, hal yang perlu dilakukan adalah pergi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan medis. Ia juga perlu menjauhkan diri dari penyebab-penyabab penyakit, menjaga diri, makan dan beristirahat cukup. Kalau belum jatuh sakit, hal yang perlu dilakukan adalah pencegahan, seperti mengatur pola makan, istirahat, cara bekerja, dan bentuk-bentuk pencegahan lainnya agar penyakit serius tidak menyerang. Meskipun seseorang tidak bisa menolak sakit, paling tidak dengan melakukan pencegahan, ia dapat meminimalisir kemungkinan terserang penyakit serius.
Agama Budddha memandang sehat sebagai kesempatan yang berharga, sebab dalam kondisi sehat, seseorang bisa memafaatkan hidupnya untuk kegiatan yang berguna. Saat sehat, seseorang memiliki kesempatan lebih banyak untuk melakukan banyak kebajikan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Agama Buddha tidak memuji perbuatan hura-hura, lengah, dan hanya menghabiskan usia dengan sia-sia. Karena kesehatan adalah keuntungan terbesar, maka diharapkan seseorang benar-benar menggunakan kesempatan sehatnya untuk hal yang bermanfaat. Dengan begitu, kehidupan seseorang menjadi benar-benar bermakna.
Terimakasih
ReplyDeleteMenambah pengetahuan saya
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih atas artikelnya yang sangat berguna, anumodami 🙏
ReplyDelete