Karena kematian adalah hal yang pasti dan nyata dalam hidup ini, berarti menolak kematian sama saja menolak kenyataan. Kelahiran dan kematian adalah satu paket kehidupan yang tak dapat dipisahkan. Ketika seseorang dilahirkan, ia sudah tentu akan mati suatu saat nanti. Jauh sebelum agama-agama muncul, yang namanya kematian sudah dikenal dan terjadi. Dan tak seorang pun bisa lari dari jeratan kematian.
Munculnya seorang Buddha adalah cahaya dalam kegelapan. Buddha mengajarkan untuk tidak menolak atau menakuti kematian, tetapi menerima kematian sebagai suatu kenyataan. Kematian adalah wujud dari hukum ketidakabadian. Tidak ada yang kekal dan abadi dalam hidup ini. Semua yang merupakan perpaduan unsur akan selalu mengalami perubahan dan lenyap. Niscaya kematian akan mendatangi siapapun yang hidup. Tanpa kecuali, kita semua bergerak menuju kematian. Bila sudah waktunya tiba, tak seorang pun bisa menghindar dari kematian. Dalam Dhammapada bahwa tak ada satu pun tempat di dunia ini, baik di langit, di tengah samudra, di dalam gua atau di puncak gunung, yang dapat dipakai seseorang untuk menghindar dari kematian (Na antalikkhe na samuddamajjhe, na pabbatānaṃ vivaraṃ pavissa; Na vijjatī so jagatippadeso, yatthaṭṭhitaṃ nappasaheyya maccu. Dhp. 128).
Kematian bisa datang kapan saja tak memandang umur, status, kekayaan, baik atau buruknya seseorang. Siapapun yang sudah dilahirkan, ia adalah subjek kematian (maraṇadhammo). Buddha berkata, “Baik yang muda maupun tua, tak peduli apakah mereka dungu atau bijaksana, terjebak oleh kematian. Semuanya bergerak menuju kematian (Daharā ca mahantā ca, ye bālā ye ca paṇḍitā; Sabbe maccuvasaṃ yanti, sabbe maccuparāyaṇā. Sn. 578). Bagaikan dedaunan pohon yang gugur, kematian tidak memilih-memilih. Daun-daun yang jatuh tidak hanya yang tua saja, ada yang masih menguning, ada yang masih hijau, dan bahkan ada yang baru bertunas. Sama halnya dengan kematian, tidak hanya yang tua saja, yang dewasa gagah dan perkasa, yang masih muda, dan bahkan yang masih anak-anak juga mengalami kematian. Syarat kematian tidaklah harus tua. Maka siapapun harus siap menerima datangnya kematian yang tak bisa diprediksi.
Kehidupan tak bisa diprediksi sampai berapa lama seseorang hidup. Karena siapapun tak tahu kapan kematian akan datang. Dalam hidup, semua selalu berubah dan tak pasti. Kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Kondisi hidup bagaikan roda yang selalu berputar. Yang untung tak selamanya untung. Yang sehat tak selamanya sehat. Delapan kondisi kehidupan, seperti untung dan rugi, dipuji dan dicela, termansyur dan tidak termansyur, bahagia dan duka, selalu datang silih berganti dan tak menentu. Tapi kematian sudah tentu akan datang. Makanya dalam agama Buddha, kehidupan tidaklah menentu (addhuvaṃ jīvitaṃ), tapi kematian sudah tentu (dhuvaṃ maraṇaṃ); kehidupan tidaklah pasti (jīvitameva aniyataṃ), tetapi kematian adalah pasti (maraṇaṃ niyataṃ. DhpA. III. 171).
Cara berfikir Buddhis dalam menyikapi kematian adalah menerima kematian sebagai hal yang wajar dan nyata. Siapapun harus bijaksana dalam menyikapi kematian, baik saat melihat orang lain meninggal atau saat diri sendiri akan meninggal. Dengan pemahaman yang benar dan kebijaksanaan, seseorang akan mudah menerima kepergian orang yang dicintainnya, atau ia sendiri akan meninggal dengan tenang karena memiliki pemahaman yang benar tentang kematian. Dhamma membantu memahami realitas kehidupan, bukan menolaknya. Dhamma membimbing untuk menerima kenyataan, bukan menolaknya.
Bagi yang tidak memahami kenyataan dengan benar, mereka akan begitu tertekan dan tak terima dengan kematian. Beberapa bahkan menjadi gila karena tidak menerimanya sebagai kenyataan. Di zaman Buddha masih hidup, seorang ibu rumah tangga yang bernama Patacara, menjadi gila karena kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ia ditinggal mati suami tercintanya yang dipatuk ular saat hendak mengunjungi rumah orangtuanya. Pada saat yang sama, ia kehilangan kedua putranya, yang satu dibawa oleh burung raksasa dan yang satu hanyut terbawa oleh derasnya arus sungai. Penderitaanya tidak hanya berhenti sampai di situ. Ia dengan sangat sedih pulang menuju kampung orangtuanya. Kesedihannya memuncak tatkala mendengar bahwa sanak keluarganya telah meninggal karena rumahnya terbakar. Patacara menjadi gila karena terhantam oleh kesedihan yang bertubi-tubi ini. Akhirnya ia bertemu dengan Buddha, dan Buddha berhasil mengembalikan kesadarannya dengan memberikannya nasihat Dhamma.
Kisa Gotami adalah contoh yang lain. Diceritakan Kisa Gotami menjadi gila dan stress karena anak satu-satunya yang masih bayi meninggal. Ia menangis dan mengembara sambil membawa jenazah anaknya keliling kampung, dan teriak-teriak minta tolong supaya anaknya dihidupkan kembali. Namun tak seorang pun menolongnya, karena mana mungkin orang yang sudah mati dihidupkan kembali. Akhirnya ia bertemu dengan Buddha. Di sana Buddha mengatakan bahwa ia akan menolongnya, tapi beliau meminta Kisa Gotami untuk mencari biji lada di rumah warga di mana tidak ada kematian di sanak keluarganya. Setelah mencari ke sana kemari, tenyata tak satu pun keluarga yang terbebas dari kematian. Artinya bahwa setiap keluarga pasti pernah kehilangan orang yang mereka cintai. Akhirnya Kisa Gotami sadar bahwa kematian tidak hanya merenggut putranya saja. Kematian merenggut siapapun yang hidup. Ia pun akhirnya mengerti makna dari hukum ketidakkekalan.
Dhamma ajaran Buddha memberikan kebijaksanaan untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya. Buddha manasihati umatnya untuk melihat kematian sebagai hal yang wajar. Baik bhikkhu maupun umat awam sering diminta untuk selalu merenungkan bahwa, “Saya wajar mengalami kematian, saya takkan mampu menghindari kematian (maraṇadhammomhi, maranaṁ anatīto).” Dengan demikian, kita akan bijak menyikapi kematian orang-orang yang kita cintai, dan juga akan bijak dalam menerima kematian yang bisa menjemput kita kapan saja.