Tuesday, March 14, 2017

Kepada Siapa Hendaknya Kita Bergaul

1 comments

Na bhaje pāpake mitte
Na bhaje purisādhame
Bhajetha mitte kalyāṇe
Bhajetha purisuttame
Jangan bergaul dengan orang jahat,
Jangan bergaul dengan orang yang berbudi rendah
Tetapi bergaullah dengan sahabat yang baik
Bergaullah dengan orang yang berbudi luhur
(Dhammapada : Paṇḍita Vagga 78)

Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk sosial, kita semua tidak terpisah dari hubungan masyarakat, teman, saudara, dan keluarga. Sebagai peran makhluk sosial, seseorang tidak lepas dari pergaulan. Pergaulan menjadi dasar seseorang dalam bersandar untuk menemukan inspirasi, gagasan, pandangan, karakter, pengertian, dan motivasi. Salah satu faktor yang menentukan karakter seseorang adalah pergaulan. Secara konvensional, pergaulan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu pergaulan yang baik dan pergaulan yang buruk. Pergaulan yang baik akan membawa kontribusi yang baik, tetapi pergaulan yang buruk juga akan menghancurkan karakter seseorang. Ada pengaruh positif di dalam pergaulan yang baik, tetapi ada pula pengaruh negatif di dalam pergaulan yang tidak baik. Dunia masyarakat modern yang memberikan kebebasan serta keluasaan seseorang dalam bergaul, seringkali di salahgunakan dalam suatu pergaulan yang tidak baik. Dewasa ini, banyak sekali berita buruk yang beredar tentang sikap dan ulah manusia dalam pergaulan bebas. Kebebasan dalam bergaul di luar batas norma, adalah hal yang sudah umum kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat sekarang ini. Merosotnya moral manusia modern seperti ini adalah tidak lain karena pergaulan yang kurang baik.

Mengingat hal ini terjadi di masyarakat, sangat penting untuk dimengerti dan dipahami bahwa seseorang hendaknya memiliki teman yang dalam suatu pergaulan yang baik. Pergaulan yang baik berarti sebuah pergaulan di mana banyak teman yang mendukung dan saling mempengaruhi ke dalam perkembangan yang lebih baik. Pergaulan baik dapat mendukung dalam kemajuan pola pikir serta kemajuan lainnya. Lantas, kepada siapa hendaknya kita bergaul? Buddha mengajarkan kita tentang pentingnya bergaul dengan orang-orang yang baik, serta menjauhi pergaulan dengan orang-orang yang tidak baik. 

Tidak bergaul dengan orang yang jahat
Salah satu upaya untuk menghindarkan dan menyelamatkan diri dari merosotnya moral serta pola pikir yang tidak baik adalah dengan menghindari pergaulan yang tidak baik. Dengan kata lain, menghindari bergaul dekat, berteman dekat, atau bersahabat dekat dengan orang-orang yang tidak baik, yang mana orang-orang tersebut memiliki moral yang buruk.

Pergaulan dengan orang-orang yang jahat akan menjadikan seseorang terlibat dalam hal buruk. Seseorang akan terkena pengaruh dampak negatif yang dilakukan temannya. Walaupun seseorang tidak terlibat dalam perbuatan buruk itu, nama buruk akan menimpanya karena pergaulan yang buruk. Sebagaimana yang dikatakan Buddha dalam Itivuttaka:76, bahwa, “jika seseorang tidak melakukan kejahatan bergaul dengan orang yang melakukan kejahatan, dia akan dicurigai melakukan perbuatan yang buruk, dan akibatnya nama buruknya tersebar”. Ada sebuah perumpamaan seperti seekor daging ikan yang dibungkus dengan daun pisang. Sebagai pembungkus, daun pisang tersebut akhirnya menjadi bau ikan. Demikian pula dengan orang yang bergaul dengan orang yang tidak baik, maka nama buruk yang dimiliki teman pergaulan kita akan menjadi dampak negatif bagi kita sendiri. Tetapi kalau kita bergaul dengan orang yang baik, kita juga akan terkena dampak positifnya. Dapat kita umpamakan ketika seseorang bergaul dengan orang penjual minyak wangi, sekurang-kurangnya kita akan ikut merasakan dan mencium bau wangi tersebut. 

Pergaulan buruk yang dimaksud adalah pergaulan dengan orang-orang atau teman-teman yang berperilaku buruk, yang tidak sesuai norma, serta bodoh dalam mempertimbangkan antara hal yang baik dengan hal yang buruk. Akibatnya hal buruk dianggap baik karena membawa ‘kesenangan’ serta ‘kenikmatan’ yang sesungguhnya hanya sesaat. Dengan kata lain, semua yang membuat mereka senang, itulah yang dilakukan, itulah yang dianggapnya baik, tidak peduli pihak lain, yang penting diri sendiri senang. Umumnya mereka dan kita semua memandang bahwa hal-hal yang dilarang malah sebagai yang menyenangkan, dan apa yang disebut perbuatan yang baik, bahkan sulit untuk dilakukan dan memang tidak membawa ‘kenikmatan’. Kadang-kadang kita malah beranggapan bahwa perbuatan baik malah merugikan, seperti berdana misalnya. Contoh lain adalah menjalankan sila, seseorang yang tidak memiliki pemahaman benar, praktik sila dianggap sebagai perintang kebebasan, membuat orang semakin ribet, atau pun lainnya. Karena dasar inilah seseorang malah menjauh dari pengertian benar, dan terjerumus dalam pandangan keliru. Oleh karena, menghindari, atau tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak baik sangatlah diperlukan sebagai kunci agar tidak terjebak pada pandangan keliru. 

Di sisi yang lain, menghindari pergaulan yang buruk telah dinyatakan oleh Buddha sendiri sebagai langkah awal memperoleh berkah. Sebagaimana yang diutarakan Buddha dalam Maṅgala Sutta, bahwa seseorang yang mengindari bergaul dengan orang yang dungu atau orang yang tidak bermoral, merupakan berkah utama. Dalam hal ini, Buddha sangat memuji seseorang yang tidak bergaul dengan orang yang tidak baik. Memang demikian, tetapi bukan berarti Buddha mengajarkan untuk membenci serta menjadikan mereka sebagai musuh.

Dalam Sigalāka Sutta, Digha Nikāya, dikisahkan bahwa Buddha memberikan nasihat kepada pemuda yang bernama Sigala, yang mana dalam sutta ini terdapat penjelasan Buddha tentang teman yang hendaknya harus dihindari. Buddha mengatakan, “Putra perumah tangga, ada empat jenis ini yang dapat terlihat sebagai musuh dalam teman yang palsu: pertama adalah orang yang mengambil seluruhnya, ke dua adalah orang yang banyak bicara, ke tiga adalah orang yang suka menyanjung, dan ke empat adalah teman dalam berfoya-foya.”

Buddha menjelaskan tentang teman yang hendaknya harus di hindari. Teman yang harus dihindari adalah teman yang palsu (akalyānamitta), yaitu sebagai berikut:

Teman yang tamak
Tidak jarang kita menjumpai teman yang bersifat tamak dalam pergaulan kita. Teman yang tamak, memiliki ciri-ciri sebagai berikut; ia selalu mengambil lebih banyak, ia menginginkan banyak dengan mengeluarkan sedikit, ia lakukan sesuatu karena takut, dan ia mencari demi keuntungan dirinya sendiri. 

Teman yang banyak bicara tetapi tidak berbuat apa-apa
Dalam bahasa Jawa, teman yang seperti ini dapat dikatakan sebagai orang yang “jarkoni = isoh ujar nanging ora isoh nglakoni” artinya orang yang bisa bicara, tetapi tidak dapat melakukannya, tidak ada tindakan sebagai responnya (no action, talk only). Teman yang seperti ini, memiliki ciri sebagai berikut; ia suka membicarakan masa lampau, dan masa depan, ia mengucapkan omong kosong tentang belas kasihan, dan ketika suatu harus dikerjakan, ia menghindar dengan alasan karena tidak mampu sehubungan dengan alasan tertentu.

Teman penjilat
Teman penjilat selalu menyanjung-nyanjung kita dengan harapan ada sesuatu yang kita berikan atas pujiannnya. Tidaklah mengherankan jika kita mengamati sikap mereka terhadap kita dengan bertopeng memainkan sandiwara dengan maksud tertentu. Teman penjilat memiliki ciri-ciri sebagai berikut; ia menyetujui perbuatan jahat, ia menolak perbuatan baik, ia memuji kita di hadapan kita, dan ia mencela kita di belakang.

Teman dalam berfoya-foya yang menyebabkan kerugian dan kehancuran
Kerugian dan kehancuran kekayaan seseorang juga dipengaruhi oleh teman. Teman yang dapat menyebabkan hal ini terjadi, hendaknya yang harus dihindari. Teman seperti ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut; ia mendampingimu ketika engkau sedang meminum minuman keras, ketika engkau sedang berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak tepat, ketika engkau mengunjungi tempat hiburan, dan ketika engkau sedang berjudi.

Selanjutnya dalam Hiri Sutta, Sutta Nipata, di dalamnya berisi khotbah Buddha kepada seorang brahmana dari savatthi, yang mana pada waktu itu bertanya kepada Buddha tentang bagimana seseorang bergaul. Dalam sutta ini terdapat dua pertanyaan brahmana kepada Buddha, yaitu dengan siapa hendaknya kita bergul? Dan dengan siapa sebaiknya kita tidak bergaul? Sebagai jawabannya Buddha mengatakan, “Ketahuilah dengan baik bahwa ‘Dia bukanlah temanku’ bila dia berperilaku tanpa malu, bila dia menghina temannya, bila dia berkata ‘Aku adalah temanmu’ namun tidak melakukan apa pun untuk membantu (Sn 253). Orang bijaksana mengenalnya sebagai orang yang hanya bicara saja, tetapi tidak bekerja; orang yang berkata-kata manis kepada teman-temannya, tetapi tidak berlaku sesuai dengan itu (Sn 254). Dia bukanlah teman sejati bila selalu senang jika ada konflik, dan hanya mencari-cari kesalahan. Yang benar-benar teman sejati adalah orang yang tidak dapat dipisahkan darimu oleh orang lain, bagaikan seorang anak yang berada dipelukan ayahnya (Sn 255).”

Dalam Khaggavisana Sutta, Sutta Nipata, Buddha mengatakan bahwa, “Kawan yang sinis, yang memanjakan diri dalam tipu muslihat, yang melekat pada pandangan salah, harus dihindari. Kawan yang tidak bertanggung jawab seperti ini harus tidak didekati …(Sn 57). Orang harus bergaul dengan kawan yang terpelajar, yang mengetahui Ajaran, yang berkembang dan memiliki pengetahuan. Setelah mengetahui arti dari segala sesuatu dan keraguannya hilang …(Sn 58).

Di dalam percakapan antara Buddha Kassapa dengan petapa Tissa tentang ‘bau busuk’, Buddha Kassapa mengatakan bahwa, “Kemarahan, kesombongan, kekeraskepalaan, permusuhan, penipuan, kedengkian, suka membual, egoisme yang berlebihan, bergaul dengan yang tidak bermoral; inilah bau busuk. Bukan makan daging (Sn 245). Dapat diketahui bersama bahwa, bergaul dengan orang yang tidak bermoral sudah dipandang sebagai bau busuk. Oleh karena itu, menghindari pergaulan yang tidak baik, dan beralih ke pergaulan yang baik adalah sangat dipuji oleh para Buddha, tidak hanya pada masa Buddha Gotama saja, tetapi di zaman Buddha Kassapa juga demikian.

Bergaul dengan orang-orang yang baik
Bergaul dengan orang-orang yang baik berarti bergaul dengan orang-orang yang selalu mendukung dan mengondisikan seseorang untuk dapat berkembang menjadi lebih baik. Bersama orang yang baik, sebagai teman yang baik, seseorang akan menjadi lebih baik, baik dari segi cara berfikir, sikap, wawasan, dan lain sebagainya.

Pertemanan yang baik pasti akan mengarah pada dampak yang baik pula. Dampak di mana terdapat hal positif yang diperoleh dari hubungan tersebut, baik secara subjektif maupun objektif. Dalam Dighajāṇu Sutta (Vyaghapajja Sutta), Aṅguttāra Nikāya, Buddha menyatakan bahwa persahabatan, pertemanan, dan hubungan dekat dengan orang yang baik adalah salah satu hal yang menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Teman yang baik selalu mendukung ke arah yang lebih baik, mendukung kesejahteraan, kebaikan, dan menunjang kebahagiaan bersama. Pertemanan yang baik merupakan salah satu dari empat hal yang membawa kesejahteraan seorang perumah tangga dalam kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya. Selain pencapaian usaha yang gigih (uṭṭhānasampadā), pencapaian perlindungan (ārakkhasampadā), kehidupan yang seimbang (sammajivitā), pertemanan yang baik (kalyāṅamittata) juga merupakan faktor yang mendorong dan mengondisikan kesejahteraan dan kebahagiaan. 

Masih dalam sutta ini, apa yang disebut pertemanan yang baik? di sini, di desa atau kota mana pun perumah tangga itu tinggal, ia berteman, bercakap-cakap, dan terlibat dalam diskusi dengan para perumah tangga dan putra-putranya, baik muda atau pun tua yang berbudaya tinggi, yang penuh dengan keyakinan, tingkah laku yang bermoral, dermawan, bijaksana. Ia bercakap-cakap dengan mereka dan berdiskusi dengan mereka, ia meniru mereka sehubungan dengan pencapaian mereka dalam hal keyakinan, kemoralan, kedermawanan, dan kebijaksanaan, ini yang disebut pertemanan yang baik.

Sementara dalam Maṅgala Sutta, Khuddakapāṭha, Buddha menjelaskan bahwa dengan bergaul dengan orang yang baik, orang yang bijaksana merupakan berkah utama. Yang disebut berkah adalah bukan karena meminta-minta atau memohon kepada makhluk lain dengan berbagai macam sesaji, atau pun melakukan ritual-ritual yang kurang wajar diterima oleh akal sehat. Sebenarnya, untuk mendapatkan berkah tidaklah begitu sulit, cukup mudah, dan sungguh rasional seperti yang diajarkan oleh Buddha. Salah satu dari tiga puluh delapan berkah yang disebutkan dalam Maṅgala Sutta yaitu bergaul dengan orang-orang yang baik. Dengan pengertian ini dapat kita melihat bahwa, dengan bergaul, berteman, atau pun bersahabat dengan orang-orang yang baik, orang-orang yang bijaksana merupakan berkah utama. Pergaulan dengan orang-orang yang baik sangatlah ditekankan oleh Buddha sebagai landasan untuk mengapresiasi diri menuju langkah yang lebih baik. Karena dengan pergaulan bersama orang-orang yang baik, akan menuntun seseorang untuk dapat berpikir lebih dewasa, lebih bijaksana. Sebagaimana yang di ajarkan Buddha dalam menumbuhkan kebijaksanaan, Buddha juga menyatakan bahwa bersama teman yang baik, teman yang bijaksana akan memberikan kondisi untuk memunculkan kebijaksanaan.

Orang yang baik atau teman yang baik yang sudah sepantasnya dijadikan teman, adalah teman yang sejati (kalyāna mitta). Masih dalam Sigalāka Sutta, Digha Nikāya, Buddha menyebutkan empat jenis teman yang patut dijadikan teman dalam pergaulan. Buddha berkata kepada pemuda Sigala, “Putra perumah tangga, ada empat jenis ini yang dapat terlihat sebagai teman setia: pertama adalah teman yang suka menolong, ke dua adalah teman yang bersikap sama dalam saat-saat bahagia maupun tidak bahagia, ke tiga adalah teman yang menunjukkan apa yang baik bagimu, dan ke empat adalah teman simpatik.” 
Empat jenis teman yang baik adalah sebagai berikut:

Teman yang suka menolong
Menolong dan ditolong, memberi dan diberi merupakan sepasang sikap yang tidak terpisahkan. Barang siapa memberi, pasti ada yang menerima. Ini dapat diibaratkan dengan sekeping uang logam, dimana ada gambar garuda, di baliknya ada gambar nominal mata uang. Sikap tolong menolong antar teman merupakan prinsip dasar yang harus diterapkan, karena dengan sikap tolong menolong ini, hubungan antar teman akan menjadi terjalin dengan baik. Di dalam sikap tolong menolong terdapat kepedulian antar teman, yang dapat menindas sifat egoisme, yang selalu mementingkan diri sendiri. Teman yang suka menolong memiliki ciri sebagai berikut: ia menjagamu ketika engkau lengah, ia menjaga hartamu ketika engkau lengah, ia adalah pelindung ketika engkau ketakutan, dan ketika suatu pekerjaan telah selesai, ia membiarkan engkau memiliki dua kali dari yang engkau minta.

Di dalam hal ini, bukan berarti kita menjadi matre, dan memanfaatkan kebaikan teman kita. Di dalam hubungan yang baik, terjadi hubungan timbal balik, di mana kita saling tolong-menolong satu sama lain. Bukan mementingkan diri sendiri, dan tidak mempedulikan kebutuhan teman kita. Kata ‘saling’ memang tepat dalam hal ini, karena ini tidak hanya ditujukan kepada satu pihak semata, tetapi ada timbal balik antara pihak satu dengan pihak yang lainnya. Hubungan ini akan menjalin simbiosis mutualisme, dimana kedua pihak sama-sama mendapat keuntungan, dan tidak ada yang dirugikan.

Teman di saat suka dan duka
Dalam menjadi teman, tidak ada batasan atau pun kontrak berapa lama kita harus berteman dengannya. Dengan kata lain, pertemanan akan terus berlansung selama tidak ada penghalang yang memisahkannya, seperti kematian. Dalam hal ini, selama kita menjalin hubungan, melalui banyak rangkaian kisah yang menyenangkan dan ada pula kisah yang menyedihkan. Masalah-masalah tentu datang silih berganti mengisi luang persahabatan. Tetapi tidak akan menjadi masalah besar jika teman kita mau mengerti satu sama lain, saling merasakan apa yang sedang kita alami, dan mau membantu menyelesaikannya secara bersama-sama. 

Pertemanan yang sejati bukanlah sekadar pertemanan ketika ada sesuatu yang menyenangkan, tetapi juga pertemanan ketika menghadapi masalah bersama. Seringkali banyak teman yang menghindar ketika masalah datang menimpa kita, bahkan mencari-cari alasan agar tidak tersangkut paut dengan masalah tersebut. Oleh karenanya teman sejati, adalah teman yang mengerti di saat susah dan gundah. Teman sejati memiliki ciri-ciri sebagai berikut: ia memberitahukan rahasianya kepadamu, ia menjaga rahasiamu, ia tidak akan membiarkanmu ketika engkau mengalami kemalangan, ia bahkan akan mengorbankan hidupnya demi engkau.

Teman yang menunjukkan hal baik kepada kita
Seringkali kita berhadapan dengan teman yang cuek, tidak peduli, dan bahkan tidak ada perhatian sama sekali terhadap kita. Kita mau berbuat apa, dia diam saja, dia tidak mengajarkan hal yang baik, dan juga tidak melarang kita diwaktu kita sedang berbuat salah. Sedangkan teman yang sejati adalah teman yang mampu mengarahkan kita pada hal-hal yang berguna. Dari pertemanan ini, kita dapat memiliki arah yang menuntun kita dalam hal-hal yang baik. Teman seperti ini memiliki karakteristik sebagai berikut; ia mencegahmu melakukan kejahatan, ia mendukungmu melakukan kebaikan, ia memberitahukan apa yang tidak engkau ketahui, dan ia menunjukkan jalan menuju alam surga.

Berbicara tentang teman, memang begitu sulit dipahami jika seoarng teman hanya sebatas teman yang tidak memiliki ikatan khusus. Maksudnya, sulit bagi seorang teman untuk mengatur-ngatur kebebasan temannya. Mungkin ada rasa sungkan untuk menasihatinya. Temasuk ketika teman kita sedang berbuat salah, kita malah cenderung mengambil jalan lain. Hal yang sering terjadi adalah dengan diam, cuek, tidak peduli, dan mencoba menghindarinya. Itu adalah jalan keluar yang kurang sesuai dengan karakteristik teman yang baik. Hendaknya bukan seperti itu caranya. Ketika teman sedang berbuat salah, alangkah baiknya jika kita memberitahu, paling tidak ada komunikasi, bukan malah diam yang mungkin tidak diketahui oleh teman kita tersebut.

Teman yang simpatik
Ketulusan merupakan lawan dari kemunafikan. Dalam hal pertemanan yang baik dibutuhkan ketulusan dalam sebuah hubungan. Sehingga tidak ada main muka di balik semua yang dilakukan. Tidak ada sandiwara untuk menutupi diri di balik kenyataan. Dengan demikian, ketulusan dalam suatu hubungan sangat berperan penting dan dapat memberi kontribusi besar dalam hubungan yang harmonis. Sebagian besar hubungan dapat berjalan dengan baik karena didukung oleh ketulusan dan didukung oleh rasa simpatik. Jika itu tidak dihadirkan dalam suatu hubungan pertemanan, tidak menutup kemungkinan pertemanan akan memudar, bahkan yang tadinya teman dekat bisa saja menjadi musuh. Karena kurang memahami hal ini, pertemanan seringkali berubah menjadi permusuhan. 

Teman sejati adalah teman yang tulus dan simpatik. Teman seperti ini memiliki karakteristik sebagai berikut: ia tidak bergembira di atas kemalanganmu, ia bergembira di atas keberuntunganmu, ia menghentikan mereka yang berbicara melawanmu, dan ia mencela mereka yang menyanjungmu.

Itulah jenis teman yang sepatutnya dijadikan teman dalam pergaulan. Di sini juga, kita dapat melihat ke dalam diri kita, apakah kita sudah pantas dijadikan teman pergaulan? Apakah kita sudah memiliki karakteristik teman yang baik? jelas, tidaklah mungkin jika kita hanya mencari teman yang baik, sementara diri kita tidak layak untuk berteman dengannya. Maka hendaknya sebelum kita mencari teman yang baik, kita hendaknya juga berusaha untuk menjadi teman yang baik. Dengan kata lain, dalam pergaulan tersebut terdapat hubungan, serta karakteristik personal yang setara.

  Dalam menindaklanjuti hal ini, dalam Aṅguttāra Nikāya, Buddha juga menyatakan bahwa sahabat yang baik, yang patut diikuti adalah sahabat yang memiliki tujuh faktor ini, yaitu; 1) Dia memberikan apa yang sulit diberikan. (2) Dia melakukan apa yang sulit dilakukan. (3) Dia dengan sabar menanggung apa yang sulit ditanggung. (4) Dia memberitahukan rahasianya sendiri kepadamu. (5) Dia menjaga rahasiamu. (6) Dia tidak meninggalkanmu ketika kamu dalam kesusahan. (7) Dia tidak memandang rendah kamu secara kasar. 

Masih dalam Sutta yang sama, dalam Aṅguttāra Nikāya, di sini Buddha memberikan nasihat kepada para bhikkhu tentang bhikkhu yang patut dijadikan teman. Buddha juga mengatakan kepada para bhikkhu hendaknya bergaul dengan bhikkhu yang memiliki tujuh kwalitas ini, yaitu: dia menyenangkan dan dapat disetujui, dihormati, terpandang, dia adalah pembicara [dia memiliki kecakapan dalam berbicara], dia dengan sabar menjaga ucapan, memberikan ceramah yang mendalam, dia tidak memerintahkan seseorang untuk melakukan yang salah.

Tujuh kwalitas di atas dapat dikatakan sebagai tujuh macam kebajikan teman sejati (kalyāṇamitta-dhamma), yaitu:
Piyo : Yang menimbulkan sayang, lemah lembut, dan menyenangkan.
Garu : Yang dihormati, dalam pergaulan menimbulkan ketentraman hati dan terasa aman.
Bhāvaniyo : Yang menimbulkan kemajuan batin atau yang dijunjung, dapat membimbing ke arah yang baik dan menimbulkan kebijaksanaan.
Vattā ca : Pandai bicara dalam hal-hal yang baik, sehingga menimbulkan pengertian, dapat dijadikan berunding dalam kesulitan.
Vacanakkhamo : sabar dalam mendengar pembicaraan, tidak merasa jemu, dan dapat bertukar pikiran secara baik serta menyenangkan.
Gambhirañca katham kattā : Mampu memberikan penerangan/penjelasan tentang persoalan-persoalan yang sulit, sehingga timbul pengertian yang baik bagi yang bertanya dan memberikan petunjuk untuk mengatasi persolan-persoalan tersebut.
No caṭṭhāne niyojaye : Tidak menunjukkan ke jalan yang sesat atau menghancurkan kehidupan orang lain.

Dalam Saṁyutta Nikāya, Buddha juga menasihati kepada para bhikkhu tentang pentingnya sahabat yang baik sebagai perintis untuk mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di sini, Buddha berkata, “Para bhikkhu, ini adalah pelopor dan perintis terbitnya matahari, yaitu, fajar. Demikian pula, para bhikkhu, bagi seorang bhikkhu, ini adalah pelopor dan perintis bagi munculnya Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu, persahabatan yang baik. Jika seorang bhikkhu memiliki sahabat yang baik, maka dapat diharapkan bahwa ia akan mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan ini.”

Sebagai tambahan, berbicara mengenai memilih pergaulan, tentunya ada pergaulan yang hendaknya dihindari, dan juga pergaulan yang patut kita ikuti. Sebagaimana uraian yang telah dijelaskan di atas, dalam Dhammapada, Buddha menambahkan pembicaraan tentang hal pertemanan dengan berkata,“apabila anda berhasil bertemu dengan orang yang berkelakuan baik, bijaksana, maka anda harus bergaul dengannya, sehingga anda akan hidup berbahagia dan berhati-hati mengatasi semua mara bahaya. Apabila anda tidak berhasil bertemu dengan orang berkelakuan baik dan bijaksana, maka anda harus pergi sendirian, seperti raja meninggalkan kerajaannya yang telah ditakukkan musuh, hidup dalam pengasingan, atau seperti gajah Matanga yang hidup sendiri di dalam hutan (Dh Nāga-Vagga: 328. 329. 330).” Namun, hidup sendirian bukan berarti menutup diri secara total, dan tidak mau berkomunikasi maupun bergaul dengan siapa pun, tetapi hidup dengan prinsip dan komitmen sendiri agar tidak terpengaruh oleh teman yang tidak baik.

Dalam Khaggavisana Sutta, Sutta Nipata, Buddha juga menyatakan, “Jika seseorang menemukan sahabat yang bijaksana, seorang kawan yang hidup dengan moral yang luhur, yang berhati-hati, dan telah mengatasi segala bahaya, maka hiduplah bersamanya dengan bahagia, dengan penuh perhatian dan kewaspadaan (Sn 45). Jika seseorang tidak dapat menemukan sahabat yang bijaksana, seorang kawan yang hidup dengan moralitas yang luhur, yang berhati-hati, maka bagaikan penguasa yang meninggalkan negaranya yang telah ditaklukkan…(Sn 46). Sungguh terpuji bila kita dapat menggalang persahabatan dan memperoleh sahabat – mereka yang lebih tinggi atau sejajar dalam pencapaian atau perkembangan batin harus dijadikan sahabat. Bila tidak menemukan kawan yang menikmati makanan tanpa cela seperti itu…(Sn 47).

Perlu dicatat, bahwa sekali pun kita tidak menemukan teman yang baik, kita masih berhubungan dengan orang-orang yang tidak baik, mereka semua selalu berada di sekitar kita, dan kita sudah mencoba untuk tidak bergaul dekat dengan mereka, hendaknya mereka jangan dianggap sebagai musuh. Memang kita tidak bergaul dekat dengan mereka yang berkelakuan buruk, mereka yang merupakan sahabat palsu, dan kita mencoba untuk menghindari bergaul dengan orang-orang yang seperti itu, tetapi bukan berarti kita membenci mereka, menganggap mereka sebagai musuh. Agama Buddha mengajarkan kita untuk bergaul dan berteman dengan mereka yang baik, mereka yang merupakan teman yang baik, mereka yang mendukung untuk kemajuan kita, tetapi agama Buddha tidak mengatakan bahwa kita harus membenci mereka yang tidak baik. Demikian juga bahwa agama Buddha mengajarkan untuk menghindari teman atau pergaulan yang tidak baik, tetapi agama Buddha juga tidak mengajarkan kita untuk menganggap mereka sebagai musuh dan kemudian membenci mereka karena tidak sepaham dengan apa yang kita inginkan.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan kerja, dan lain sebagainya, kita masih sering menemukan orang-orang yang tidak sesuai dengan kriteria pergaulan yang baik, kriteria teman yang baik, dan mungkin mereka yang tidak baik masih tergolong saudara kita, rekan kerja, tetangga, tetapi bukan menjadi alasan bagi kita untuk membeci dan memusuhi mereka. Walaupun demikian, kita hendaknya juga tetap menghargai mereka, menghormati mereka, menyapa mereka, bila perlu kita membantu kesulitan mereka. Menghindari pergaulan yang tidak baik bukan berarti kita malah menumbuhkan kilesa kebencian, bukan berarti kita malah menciptakan sekatan-sekatan pemisah persatuan dan kerukunan. 

Dalam hal ini, kita memang hendaknya menghindari bergaul dengan orang yang tidak baik, namun kesempurnaan sesuai kriteria teman yang baik atau kriteria yang kita inginkan memang sulit untuk ditemukan. Ini bukan berarti kita menutup diri dan juga bukan menjadi alasan untuk tidak bergaul kepada siapa pun, karena bagaimana pun juga, kita adalah makhluk sosial. Makkhluk di mana masih banyak memerlukan bantuan orang lain. Kita tidak bisa hidup sendiri tanpa pergaulan, tanpa bantuan orang lain. Mungkin ada yang beranggapan kita mampu untuk menyelesaikan urusan kita sendiri tanpa perlu bantuan orang lain, ini kelihatan konyol. Cepat atau lambat, pasti kita memerlukan bantuan orang lain, jelas sangat tidak bijaksana jika seseorang hanya meminta pertolongan ketika sedang membutuhkan, sementara menutup diri setelah urusannya selesai tanpa memedulikan pihak yang lainnya.

Kesimpulan
Pergaulan merupakan pinjakan seseorang dalam membangun karakter. Kepada siapa kita bergaul, merupakan cerminan karakter dan pola pikir kita. Jika kita bergaul dengan orang yang baik dan bijaksana, mencerminkan bahwa kita akan berupaya untuk itu, berupaya menjadi baik dan bijaksana. Tetapi sebaliknya, jika kita bergaul dengan orang berperilaku buruk dan dungu, hal ini mencerminkan diri kita seperti layaknya orang yang kita jadikan sebagai teman pergaulan. Orang yang bijaksana adalah orang yang mampu menempatkan diri pada lingkungan pergaulan bersama teman-teman yang baik, bukan malah sebaliknya.
Oleh karena itu, sehubungan dengan pentingnya teman pergaulan sebagai cerminan serta kacamata masyarakat umum terhadap kita, sudah sepantasnya kita menempatkan diri pada teman pergaulan yang tepat. Tepat dalam arti bergaul dengan orang-orang yang baik, bijak, dan merupakan teman sejati yang mendukung kita menjadi lebih baik. Selain itu, kita juga dapat merefleksikan diri kita, apakah kita sudah pantas untuk menjadi teman yang baik, yang mana dapat berkontribusi menjadi pergaulan yang baik. Pergaulan yang baik, pergaulan bersama teman yang baik, dan tentunya kita juga merupakan teman yang baik, merupakan teman sejati.

Sebagai penutup, marilah kita mengingat apa yang dipesankan oleh guru Buddha, tentang pentingnya pergaulan yang dapat menuntun pada arah kebahagiaan. Buddha mengatakan, ‘‘Seseorang yang sering bergaul dengan orang yang bodoh pasti akan meratap lama sekali. Karena bergaul dengan orang bodoh merupakan penderitaan, seperti tinggal bersama musuh. Tetapi siapa yang tinggal bersama orang yang bijaksana akan bahagia, sama seperti sanak keluarga yang kumpul bersama. Karena itu, ikutilah orang yang pandai, bijaksana, terpelajar, tekun, patuh dan mulia. Hendaknya engkau selalu dekat dengan orang yang bajik dan pandai seperti itu, bagaikan bulan mengikuti peredaran bintang (Bālasaṅgatacārī hi, dīghamaddhāna socati, dukkho bālehi saṁvāso, amitteneva sabbadā, dhīro ca sukhasaṁvāso, ñātīnaṁva samāgamo. Tasmā hi- dhīrañca paññañca bahussutañca, dhorayhasīlaṁ vatavantamariyaṁ, taṁ tādisaṁ sappurisaṁ sumedhaṁ, bhajetha nakkhattapathaṁva candimā (Dh. Sukha Vagga, 207.208)).’’

Referensi
Bodhi, Bhikkhu.2012.The Numerical Discourses of The Buddha A Translation of the Aṅguttara Nikāya.Boston:Wisdom Publication.
Bodhi,Bhikkhu.2000.The Connected Discourses of the Buddha A Translation of the Saṁyutta Nikāya.Boston:Wisdom Publications. 
Hartley Moore, Justin, A.M., PH.D.1908. Sayings Of Buddha The Itivuttaka A Pali Work Of The Buddhist Canon. New York:The Columbia University Press.
Ñānamoli, Bhikkhu.1978.The Minor Readings (Khuddakapāṭha).London:The Pali Text Society.
Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 1999. Sutta-Nipāta Kitab Suci Agama Buddha (Judul asli: The Sutta-Nipāta by H. Saddatissa, translated from Pāḷi). Klaten:Vihāra Bodhivaṁsa.
Rājavarācāriya, Phra (penerjemah).2013.Kitab Suci DHAMMAPADA The Buddha’s Path of Wisdom.Bahusutta Society.
Tim Penerjemah Vidyāsenā.2012.Dhammapada Aṭṭhakathā Kisah-Kisah Dhammapada.Vihāra Vidyāloka: Vidyāsenā Production.
Panjika.2006.Kamus Umum Buddha Dharma.Jakarta:Tri Sattva Buddhist Centre.

1 comment:

  1. Artikel Dhamma yang sangat baik dan mampu membawa pada kebahagiaan

    ReplyDelete