Saturday, August 26, 2017

Asal Usul Terbentuknya Sekte Buddhis

0 comments

Asal Usul Terbentuknya Sekte Buddhis 

Pendahuluan
Perkumpulan para bhikkhu pada mulanya bersatu di bawah bimbingan Buddha sendiri. Ketika terdapat permasalahan yang muncul, Buddha sendiri mampu mengatasi dan mendamaikan perselisihan yang terjadi. Setelah Buddha wafat, beberapa permasalahan yang muncul diselesaikan secara serempak melalui sidang sangha. Permasalahan ini diselesaikan dalam konsili yang mana keputusan diberikan atas dasar kesepakatan bersama. Para bhikkhu yang berkumpul akan mendiskusikan permasalahan yang ada dan menarik kesimpulan setelah para bhikkhu sepakat. Konsili-konsili Buddhis yang diadakan setelah wafatnya Guru berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan dan mencapai kesepakatan. Salah satu hasil dari diadakannya konsili ini yang membuat Buddhisme terbagi menjadi beberapa kelompok tradisi. Sekte Buddhis pertama kali terbentuk di saat konsili kedua yang diadakan seratus tahun setelah Buddha wafat. Pada saat itu, Sangha terbagi menjadi dua kelompok yang dinamakan Theravāda and Mahāsaṅghika. Artikel ini akan membahas tentang alasan mengapa sekte Buddhis muncul dan memberikan sedikit gambaran tentang dua sekte awal tersebut.

Asal Usul Terbentuknya Sekte Buddhis
Menurut tradisi Theravāda, sekte Buddhis muncul sebagai akibat perbedaan pendapat yang terjadi di konsili kedua. Pada saat konsili pertama, para bhikkhu masih dalam satu kesepakatan. Ketika Bhikkhu Ānanda melaporkan bahwa Buddha telah mengijinkan untuk merubah peraturan minor bagi para bhikkhu bila itu diperlukan, para bhikkhu membahas pokok permasalahan ini di konsili pertama. Pembahasan berlangsung tegang karena Bhikkhu Ānanda lalai untuk mengklarifikasi tentang apa yang disebut peraturan minor itu ketika Buddha berkata demikian. Sebagai akibatnya Bhikkhu Ānanda mendapat teguran dari para bhikkhu senior karena kalaiannya itu. Bhikkhu Mahā Kassapa Thera selaku pemimpin konsili itu, meminta pendapat kepada para Thera yang lainnya tentang apa yang dimaksud peraturan minor yang diperkenankan oleh Buddha untuk dirubah. Para Thera memberikan definisi yang berbeda-beda.

  • Beberapa mengatakan bahwa kecuali empat pārājikā, maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor. 
  • Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā dan tiga belas saṅghādisesa, maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
  • Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā, tiga belas saṅghādisesa, dan dua aniyata, maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
  • Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā, tiga belas saṅghādisesa, dua aniyata, dan tiga puluh nissaggiya pācittiya  maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
  • Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā, tiga belas saṅghādisesa, dua aniyata, tiga puluh nissaggiya pācittiya, dan sembilan puluh pācittiya, maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.
  • Beberapa mengatakan kecuali empat pārājikā, tiga belas saṅghādisesa, dua aniyata, tiga puluh nissaggiya pācittiya, sembilan puluh pācittiya, dan empat pāṭidesanīya maka selebihnya adalah peraturan kecil dan minor.

Karena tidak mendapatkan kesepakatan yang pasti tentang apa yang disebut peraturan minor, akhirnya Bhikkhu Mahā Kassapa Thera menyarankan untuk tidak merubah peraturan kebhikkhuan atau menambahkan peraturan baru. Bhikkhu Mahā Kassapa Thera mengajukan usul bahwa terdapat peraturan-peraturan kita yang berpengaruh kepada umat perumah tangga dan perumah tangga tahu tentang kita. Jika kita hendak menghapuskan peraturan-peraturan latihan kecil dan minor maka akan ada di antara mereka yang mengatakan: “Hingga pada saat kremasi Beliau, peraturan-peraturan latihan telah ditetapkan oleh Petapa Gotama untuk para siswa-siswanya; sewaktu Sang Guru masih ada di tengah-tengah mereka, mereka berlatih dalam peraturan-peraturan latihan, tetapi karena Sang Guru telah mencapai mahāparinibbāna, sekarang mereka tidak lagi berlatih peraturan-peraturan latihan.” Akhirnya dalam konsili pertama ini para Thera setuju untuk tidak mengubah peraturan maupun menambah peraturan yang baru. Mereka tetap akan menjalankan semua vinaya yang diberikan oleh Sang Buddha tanpa adanya revisi ataupun adisi. Mereka tetap berpegang pada prinsip bahwa Vinaya adalah hidup dan dasar dari Sāsana.

Setelah itu para bhikkhu hidup dengan keputusan para bhikkhu Thera tersebut. Namun ada kelompok para bhikkhu yang menjalankan praktik di luar kesepakatan. Para bhikkhu Vajjiputtaka mempraktikkan sepuluh poin. Dan sepuluh poin inilah yang menjadi alasan utama mengapa konsili kedua perlu diadakan kembali. Para bhikkhu berkumpul bersama untuk membahas permasalahan ini. Sepuluh poin (dasa vatthūni) tersebut ditolak oleh para bhikkhu Thera karena bertentangan dengan peraturan vinaya. Sepuluh poin tersebut antara lain:

  1. Siṅgilona kappa = praktik membawa garam dalam tanduk binatang untuk digunakan apabila dibutuhkan. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 38, yang melarang bhikkhu untuk menyimpan makanan.
  2. Dvaṅgula kappa = Praktik makan setelah lewat tengah hari, yaitu ketika bayangan matahari lebarnya dua jari. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 37, yang merlarang bhikkhu untuk tidak makan setelah lewat tengah hari. 
  3. Gāmaṅtara kappa = Praktik pergi ke kampung lain untuk makan kembali setelah makan di kampung yang berbeda. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 35 yang melarang bhikkhu untuk makan berlebihan.
  4. Āvāsa kappa = Praktik melakukan Uposatha di tempat yang berbeda namun wilayah sima yang sama. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan dalam Mahavagga II.8.3, yang melarang bhikkhu untuk melakukan uposatha di wilayah sima yang sama.
  5. Anumati kappa = praktik memperoleh sangsi setelah tindakan dilakukan. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan dalam Mahavagga Ix 3.5 
  6. Ācinna kappa = praktik menggunakan penasbih sebagai autoritas atau praktik melakukan sesuatu karena itu merupakan hal yang dipraktikkan oleh penasbis. Dengan kata lain, tidak ada pembenaran tentang pelanggaran vinaya walau penabisnya juga melakukan. Namun apabila apa yang dilakukan penasbis adalah baik dan tidak bertentangan dengan vinaya, maka murid harus mengikutinya. Itulah mengapa dalam kasus ini, para Thera tidak menemukan pelanggaran dari praktik ini selama apa yang diikuti tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan vinaya.
  7. Amathita kappa = praktik minum air dadih susu setelah makan. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 35, yang melarang bhikkhu untuk makan berlebihan.
  8. Jalogim pātum = praktik minum jus palm yang berfermentasi tetapi belum menjadi tuak. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 51, yang melarang bhikkhu untuk minum-minuman keras. 
  9. Adasaka-nisīdanam kappa = praktik menggunakan alas (nisīdana) yang tidak berbordir untuk duduk. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Pācittiya 89.
  10. Jātarūpa-rajatam kappa = Praktik menerima emas dan perak. Menurut Theravāda, praktik ini bertentangan dengan peraturan Nissaggiya Pācittiya 18, yang melarang bhikkhu untuk menerima emas dan perak.

Para bhikkhu Thera menolak praktik tersebut karena itu tidak sesuai dengan peraturan yang diberikan oleh Buddha. Sebagai akibatnya sepuluh ribu bhikkhu yang menerima sepuluh poin tersebut akhirnya mengadakan konsili sendiri yang disebut sebagai Mahāsaṅghika (Mhv. p. 4). Sejak saat itu, Buddhisme terbagi menjadi dua kelompok. Para Thera yang tetap bersikukuh untuk tidak merubah peraturan dikenal sebagai Sthaviravāda atau Theravāda. Sedangkan kelompok para bhikkhu yang menerima sepuluh poin tersebut menamakan dirinya sebagai Mahāsaṅghika.

Sumber lain mengatakan bahwa sekitar lima belas tahun kemudian, bhikkhu yang bernama Mahādeva atau juga dikenal sebagai Bhadra, membuat lima pernyataan yang menentang status arahat. Kesucian arahat dari noda-noda batin dipertanyakan dengan lima poin yang diajukan oleh Bhikkhu Mahādeva. Lima poin tersebut antara lain:

  • Arahat masih punya nafsu (atthi arahanto rago) 
  • Arahat masih punya kebodohan (atthi arahanto agñanaṃ)
  • Arahat masih punya keragu-raguan (atthi arahanto kaṅkha)
  • Arahat memperoleh pengetahuan melalui bantuan orang lain (atthi arahanto paravitarana)
  • Jalan dicapai dengan seruan ‘aho’ (samapannassa atthi vacibhedo)

Kalau dilihat, lima poin tersebut secara khusus menentang status Arahat yang di dalam Theravada dianggap sebagai orang yang telah terbebaskan. Status Arahat di dalam Theravada menjadi tujuan untuk dicapai. Sementara mereka menentangnya dengan lima poin tersebut dan memperkenalkan konsep baru dengan mengangkat derajat tujuan mereka untuk menjadi Buddha, bukan untuk menjadi arahat.

Warder telah memberikan ringkasan mengenai lima poin tersebut demikian:

“Arahat tidak menunjukkan nafsu kepada manusia wanita, tetapi mereka memiliki kertertarikan di antara apsaras (kecantikan surga). Mereka menikmatinya dalam mimpi-mimpi. Mereka bertanya nama dan detail dari orang-orang yang datang kepada mereka karena mereka tidak tahu tentang informasi demikian. Para Arahat terlihat bertanya arah di persimpangan jalan dan itu membuktikan keragu-raguan mereka. Arahat memperoleh kearahatan dengan mendengarkan Dhamma dari Sang Buddha. Faktanya Sang Buddha memanipulasi pikiran mereka dan menegakkannya dalam pencapaian. Terdapat banyak laporan bahwa beberapa arahat berseru atas claim-claim pemahaman mendadak seperti ‘aho dukkhaṃ’ (O! Suffering!).”

Bhikkhu Thera menjelaskan bahwa arahat tidak memiliki mimpi-mimpi sensual. Pencapaian arahat bukan berarti mengetahui nama-nama benda atau orang-orang di seluruh isi dunia. Ketika arahat bertanya tentang arah jalan bukan berarti pencapaian kearahatannya hilang. Mengenai seruan, memang beberapa orang mengucapkan seruan ketika mencapai jhana pertama, namun bukan pencapaian yang lebih darinya.

Karena tidak percaya pada perkataan para Thera, para bhikkhu yang utamanya adalah pendukung bhikkhu Mahādeva melakukan voting. Bhikkhu-bhikkhu muda ikut berpihak kepada mereka sehingga mereka memiliki kekuatan yang lebih kuat. Menurut Chandima Wijebandara, banyak bhikkhu biasa memilih berpihak kepada Mahādeva, karena kemungkinan mereka tidak mau memperluas kelonggaran vinaya mereka (Wijebandara, Chandima. Development of Buddhist Thought. p. 14). Akhinya mereka melakukan konsili sendiri yang disebut Mahāsaṅgiti. Disebut sebagai Mahāsaṅgiti karena kelompok ini diikuti oleh mayoritas bhikkhu, bhikkhuni bahkan mayoritas pendukung umat awam. Sejak saat itu, sangha terbagi menjadi dua sekte, yaitu Sthaviravāda dan Mahāsaṅghika.

Menurut Mahāvaṃsa, in terbentuk setelah para bhikkhu Thera menolak sepuluh poin yang dipraktikkan oleh bhikkhu-bhikkhu Vajji. Sementara sumber-sumber menurut versi Mahāyāna, ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan ajaran dan ketidakpuasan dengan para bhikkhu vesali dengan interpretasi baru tentang arahat. Dari kedua sumber tersebut, sumber dari versi Mahāyana kelihatannya lebih tepat karena memang Mahāsaṅghika sendiri memperkenalkan konsep baru yang menekankan setiap orang harus menjadi Buddha, bukan menjadi Arahat. Karena menurutnya Buddha adalah makhluk transenden, kekal, sementara arahat belum mencapai kesempurnaan secara komplit. Dari situ, mereka tidak menyetujui pencapaian nibbāna melalui tiga cara sebagaimana yang diterima oleh Theravāda.
Menurut Theravada, seseorang bisa mencapai nibbana melalui tiga cara, Sammāsambuddha, Paccekabuddha, dan arahat. Tetapi bagi Mahāsaṅghika, mereka menegaskan bahwa hanya dengan Sammāsambuddha seseorang bisa mencapai nibbāna.

Dīpavaṃsa mencatat bahwa mereka memalsukan banyak sutra dan menyuruh bhikkhu-bhikkhu untuk mengarang cerita demi menyangkal pandangan lain. Mereka menolak beberapa teks-teks Theravāda, dan menambahkan pandangan mereka ke dalam Sutta dan Vinaya Pitaka.  Mereka menolak Parivara, Patisambhidamagga, Niddesa, beberapa Jataka, dan enam buku dari Abhidhamma Pitaka dan membuat penggantinya yang baru (Dpv. V. 36-37). Tetapi mereka memiliki Sutta, Vinaya, dan Abhidhamma Pitaka sendiri yang disebut sebagai Pancamatuka, yang hanya terdiri dari lima buku.

Menurut Prof. G.D. Sumanapala, sebenarnya sejak Sang Buddha masih hidup, terdapat banyak bhikkhu dan bhikkhuni yang tidak begitu suka dengan Arahat dan Sang Buddha sendiri. Mereka ingin hidup lebih bebas dan ingin mengubah vinaya. Bhikkhu Devadatta, para bhikkhu di Kosambi, Chabbagiya, Sati, Meghiya, Nagasamala, Nagita, Upavana, Radha adalah contoh dari mereka yang berusaha menentang Arahat dan Sang Buddha. Namun tendensi tersebut belum keluar ketika Sang Buddha masih hidup. Setelah Sang Buddha wafat, mereka mengorganisasikan diri mereka dan akhirnya mereka menjadi komunitas yang sangat kuat sampai konsili Buddhis kedua. Apa yang terjadi setelah konsili kedua ini, sebenarnya sudah terancang lama. Tidaklah heran apabila sasaran mereka adalah untuk merendahkan status arahat. Di tambah lagi dalam konsili pertama, para Thera bersikeras untuk tidak merubah atau menambah peraturan-peraturan yang sudah ada padahal Buddha sendiri sebenarnya telah mengijinkan untuk merubah peraturan-peraturan kecil apabila dibutuhkan.

Kesimpulan
       Dari pembahasan yang telah kita bahas di atas, dapat kita ketahui bahwa asal usul terbentuknya sekte Buddhis dapat dilihat dari dua sudut pandang. Tradisi Theravāda percaya bahwa sekte Buddhis pada awalnya terbentuk karena perbedaan pendapat mengenai peraturan vinaya sebagaimana yang menjadi alasan utama untuk mengadakan konsili kedua. Sepuluh poin yang dipraktikkan oleh para bhikkhu Vajjiputtaka secara tegas ditolak oleh para bhikkhu Thera karena itu tidak sesuai dengan vinaya yang telah ditetapkan oleh Buddha. Namun menurut versi lain, terbentuknya sekte Buddhis ini bermula dari permasalahan filosofis. Menurutnya, sekte ini muncul sebagai ketidakpuasan mereka terhadap status arahat yang mana di dalam Theravāda, arahat adalah tujuan mereka. Mereka menyangakal keabsahan arahat sebagai orang suci dan terbebaskan dengan lima poin yang diajukan oleh Mahādeva. Sebagai gantinya, mereka menaikkan tujuan mereka dengan menjadikan kebudhaan sebagai tujuan mereka, bukan untuk menjadi arahat. Selain itu, mereka juga menaikkan derajat Buddha sebagai makhluk yang kekal dan transenden.

No comments:

Post a Comment