Konsili Buddhis Keenam
Konsili Buddhis keenam kembali diadakan di Myanmar. Ini diterima sebagai konsili umum dari Buddhisme Theravada, yang diadakan di gua buatan yang dijuluki Gua Mahāpāsāṇa, Kabā Aye, Yangon, Myanmar di tahun 1954. Konsili ini dimulai di bulan Vesākha di tahun 1954 dan berakhir di bulan Vesākha di tahun 1956 bertepatan dengan peringatan 2500 tahun setelah Sang Buddha parinibbāna. Tujuan diadakannya konsili ini juga tidak beda dengan konsili-konsili sebelumnya, yaitu untuk menjaga ajaran Sang Buddha dan mempraktikkannya sebagaimana yang telah dipahami sebagai tradisi Theravada. Selain itu terdapat alasan lain yang mendorong diadakannya konsili ini.
Seperti kita ketahui, Buddha sendiri selalu menekankan bahwa segalanya tidak ada yang abadi, tetapi semua berjalan mengalami perubahan. Kalimat “aniccā vata saṅkhārā uppādavayadhammino (S. I. 158)” menjadi pengingat keras bahwa apapun yang terkondisi adalah tidak kekal, subjek dari muncul dan lenyap. Ini tidak dapat dipungkiri bahwa Buddha-sāsana juga bisa akan dilupakan seiring berlalunya zaman. Apalagi dipercaya bahwa ajaran yang benar (saddhamma) diprediksi akan hilang 5.000 tahun setelah Sang Buddha parinibbāna. Manorathapūraṇī mendeskripsikan lima kelenyapan ajaran secara bertahap dari lima aspek, yaitu: lenyapnya pencapaian spiritual (adhigama), praktik (paṭipatti), kitab suci (pariyatti), tanda-tanda luar dari kemonastikan (liṅga), dan relik-relik Sang Buddha (dhātu) AA. I. 86.
Di dalam Manorathapūraṇī, Bhikkhu Buddhaghosa Thera kembali menegaskan bahwa hilangnya kitab suci memang mampu menyebabkan lima aspek tersebut lenyap, karena ketika kitab suci lenyap, praktik juga lenyap, tetapi ketika kitab suci masih ada, maka praktik masih ada.
Dengan alasan ini, 2500 tahun setelah Sang Buddha parinibbāna sepertinya waktu yang tepat untuk menegakkan keutuhan ajaran sebelum semuanya lenyap. Apalagi kitab suci berperan penting dalam terjaganya ajaran, maka penjagaan kitab suci adalah salah satu upaya untuk mempertahankan ajaran Sang Buddha untuk eksis lebih lama. Itulah mengapa perdana menteri U Nu dalam pembukaan acara menegaskan tentang tiga pembagian dari ajaran Buddha yaitu kitab suci (pariyatti), praktik (paṭipatti), dan pencapaian (paṭivedha). Dia berargumen bahwa pariyatti-sāsana adalah dasar dari semuanya. Ketika pariyatti lenyap, praktik juga akan ditinggalkan. Sebagai akibatnya orang-orang tidak akan memiliki cahaya pencapaian spiritual lagi karena pembimbingnya tidak ada dan tak diragukan lagi dunia akan terjatuh pada lubang yang sepenuhnya gelap.
Konsili ini diadakan setelah delapan puluh tiga tahun dari diadakannya konsili kelima yang diadakan di Mandalay. Pengadaan konsili ini didukung oleh pemerintahan Myanmar, yang dipimpin oleh perdana menteri U Nu. Dia membuat kontruksi Kaba Aye Pagoda dan Maha Passana Guha atau “Gua Agung”, di mana konsili diadakan. Dikatakan tempat ini sengaja dibangun dan didesain sebagaimana konsili pertama diadakan. Meskipun terdapat perang sipil dan masalah ekonomi, dengan tekad yang kuat untuk mengadakan konsili, pemerintah menghabiskan lebih dari 16,000,000 kyat untuk membangun bangunan yang akan digunakan untuk konsili.
Konsili ini dihadiri oleh dua ribu lima ratus bhikkhu Mahāthera yang datang dari berbagai negara, diantaranya Myanmar, Kamboja, India, Laos, Nepal, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam. Namun dikatakan sebuah vihara di Jepang juga mengirimkan utusan. Ini juga dihadiri oleh bhikkhu Barat yang tidak diragukan lagi kemampuannya, mereka yaitu Bhikkhu Nyanatiloka dan Bhikkhu Nyanaponika yang tinggal di Sri Lanka.
Di sini, Bhikkhu Mahasi Sayadaw ditunjuk untuk menanyai pertanyaan dan Bhikkhu Bhadanta Vicittasarabhivamsa adalah bhikkhu yang ditujuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Selama lebih dari dua tahun period, para bhikkhu yang berpartisipasi (saṅgīti-kāraka) dari berbagai negara mengulang dari penyuntingan Kanon Pali yang mereka punya dan post-kanonikal literatur yang berhubungan. Sebagai hasilnya, konsili ini mempersatukan sebuah penyuntingan baru dari teks-teks Pali yang pada akhirnya dituliskan kedalam beberapa naskah asal.
Konsili ini menghasilkan perolehan hasil yang sangat unik dari konsili-konsili yang pernah diadakan sebelum-sebelumnya. Setelah teks-teks diteliti beberapa kali, mereka akhirnya dicetak. Terdapat lima puluh dua karya tulis dalam empat puluh volum. Sebagai hasilnya, setiap negara memiliki Tipitaka Pali yang disumbangkan ke dalam naskah asal mereka.