Saturday, August 26, 2017

Konsili Buddhis ke Empat

0 comments

Konsili Buddhis Keempat

Sebenarnya kalau kita membahas tentang konsili ke empat, terdapat dua versi. Versi pertama diadakan di Kashmir India sekitar 400 tahun setelah Sang Buddha parinibbāna saat bertahtanya Raja Kanishka. Tetapi dalam konsili ini tidak dihadiri oleh bhikkhu-bhikkhu Theravada dan juga tidak tercantumkan dalam catatan-catatan sejarah Sri Lanka. Oleh karena itu, konsili keempat menurut versi Theravada adalah konsili versi kedua yaitu konsili yang diadakan di Sri Lanka.

Lagi, terdapat dua argumen tentang konsili yang diadakan di Sri Lanka setelah konsili ketiga diadakan di India. Argumen pertama konsili diadakan di Thūpārāma, stupa pertama yang dibangun di Anurādhapura, didukung oleh Raja Devanampiyatissa, belum lama setelah Buddhisme diperkenalkan di Sri Lanka. Dikisahkan setelah Bhikkhu Mahinda thera memperkenalkan Buddhisme di Sri Lanka dan langsung diterima sebagai agama negara, Raja Devanampiyatissa bertanya apakah Buddha-sāsana sudah berdiri di negara ini kepada Bhikkhu Mahinda thera. Kemudian Bhikkhu Mahinda Thera menjawabnya bahwa ini belum sepenuhnya berdiri kokoh. Buddha-sāsana akan berdiri kokoh di sini apabila terdapat orang-orang asli Sri Lanka yang menjadi bhikkhu dan mempelajari vinaya dengan baik setelah itu mengulangnya.

Bhikkhu Ariṭṭha yang setelah ditahbis menjadi bhikkhu, mempelajari dengan baik kepada Bhikkhu Mahinda Thera sendiri. Ia dikenal sebagai ahli vinaya dan menguasainya dengan baik. Karena ia memenuhi kriteria tersebut, maka Raja mempersiapkan tempat untuk diadakannya pengungalan vinaya. Dalam kesempatan ini, Bhikkhu Ariṭṭha mengulang Vinaya Pitaka di hadapan Bhikkhu Mahinda Thera dan para bhikkhu yang lainnya.

Kejadian ini sebagian penulis mencantumkannya sebagai konsili. Namun menurut pengertian konsili yang telah kita bahas di atas, ini sebenarnya tidak bisa disebutkan sebagai konsili karena di sini kita hanya menemukan satu orang yang mengulang vinaya. Walau di sini dihadiri oleh ribuan bhikkhu, namun tidak terdapat pembahasan tentang poin-poin perselisihan atau penyelesaian teks-teks dalam pengulangan. Oleh karena itu, konsili ke empat yang diadakan di Sri Lanka adalah konsili yang diadakan di Aluvihāra atau Ālokavihāra di mana Kanon Pali pertama kali dituliskan di daun lontar untuk menjaga ajaran Buddha demi generasi mendatang.

Dīpavaṃsa (Dpv. XXII. 20-21) maupun Mahāvaṃsa (Mhv. XXXIII. 100-101) menyebutkan konsili ini dalam penjelasan yang sangat singkat. Dikatakan para bhikkhu berkumpul bersama untuk menuliskan Kanon Pali dan komentarnya yang telah mereka jaga dalam tradisi lisan ke dalam bentuk tulisan setelah melihat berpalingnya orang-orang dari agama, demi bertahannya ajaran yang sesungguhnya. Di dalam Mahāvaṃsaṭīkā tercatat bahwa para bhikkhu-bhikkhu yang bijaksana setelah melihat berkurangnya makhluk, baik umur, ingatan, dan kecerdasannya di masa mendatang, memutuskan untuk menuliskan Kanon Pali ke dalam bentuk tulisan (MhvA. II. 623).

Sumber-sumber menceritakan bahwa Tipitaka ditulis oleh para bhikkhu Thera di saat Sri Lanka sedang dalam wabah kesulitan pangan. Diceritakan bahwa empat bulan atau lima bulan setelah Vattagamini Abhaya (Raja Walagamba) menjadi raja, terdapat pemberontakan yang dilakukan oleh Brahmana Tissa yang menyebabkan kekuasannya terputus. Keadaan ini diikuti pula musim paceklik yang sangat panjang sehingga untuk makan pun susah. Selain itu juga terdapat invasi Tamil. Dalam keadaan yang berbahaya ini, para bhikkhu pun pergi meninggalkan Mahāvihāra.

Sammohavinodanī menceritakan bahwa Brahmana Tissa merampas wilayah. Para bhikkhu berkumpul dan mengirim delapan thera untuk meminta bantuan kepada dewa Sakka untuk menangkal pemberontak. Namun dewa Sakka mengatakan bahwa ini tidak mungkin untuk menangkal pemberontak yang telah muncul. Dewa Sakka kemudian menyarankannya untuk pergi ke pulau lain dan ia akan melindunginya selama perjalanan (Sv. 445-446). Sāsanavaṃsa juga mencatat bahwa terdapat sesosok dewa yang meminta para bhikkhu untuk pergi ke Jambudīpa atau India dan dia akan melindunginya.

Sammohavinodanī juga melaporkan bahwa setelah kejadian itu, para bhikkhu dari semua penjuru berkumpul di Jambukola-paṭṭana di Nāgadīpa untuk menyebrang ke India. Dilaporkan terdapat tiga bhikkhu thera yang merupakan seorang pengulang Saṃyutta Nikāya (Saṃyuttabhāṇaka). Mereka antara lain Bhikkhu Cūlasiva, Bhikkhu Isidatta, dan bhikkhu Mahāsena.

Menyadari pentingnya Bhikkhu Mahāsena, untuk menjaga Buddha-sāsana di masa mendatang, terdapat dua bhikkhu yang menyarankannya untuk menyebrang ke luar negeri selama masa sulit ini dan kembali lagi kalau keadaan sudah pulih kembali. Namun karena Bhikkhu Cūlasiva dan Bhikkhu Isidatta telah memutuskan untuk tidak pergi meninggalkan pulau maka, Bhikkhu Mahāsena mengikutinya. Bhikkhu Cūlasiva pergi untuk menghormat Mahācetiya dan pada saat itu, Mahāvihāra sudah kosong dan tanaman liar sudah menutupi halaman. Sekelilingnya hanya terdapat semak belukar dan bahkan stupa atau cetiya-nya sudah tertutup oleh lumut dan semak-semak.

Kisah tragis yang dialami para thera waktu itu bisa membuat kita menangis melihat betapa sulitnya mereka berjuang untuk bertahan hidup. Bahkan sudah banyak bhikkhu yang meninggal karena sudah tidak mampu lagi hidup tanpa makanan.

Bhikkhu Cūlasiva setelah melihat Mahāvihāra kosong dan berubah menjadi semak belukar, pergi menuju dekat  sungai Jaggara dan bertahan hidup hanya dengan makan dedaunan. Bhikkhu Isidatta dan bhikkhu Mahāsena juga mengalami masa yang sulit ketika ia sedang menempuh perjalanan. Di Aḷajanapada mereka makan kulit buah madu yang tertinggal di tanah setelah orang-orang memakan bijinya. Hanya dengan itu, mereka bertahan untuk satu minggu. Di kesempatan lain mereka hidup dengan makan tangkai bunga bakung dan kulit pisang (Sv. 447-448).

Di musim paceklik yang paling panjang dan belum pernah terjadi sebelumnya ini, orang-orang benar-benar tersiksa. Tak ada makanan yang bisa mereka makan. Beberapa orang terpaksa berburu orang lain untuk dimakan dagingnya. Pada saat itu Bhikkhu Vattabbaka Nigroda dan penahbisnya yang sudah tua sedang berjalan untuk menemukan tempat yang dikiranya lebih layak untuk bisa melanjutkan hidup. Namun di perjalanan, bhikkhu yang sudah itu tertangkap oleh orang-orang untuk dimakan dagingnya. Beruntung Bhikkhu Vattabbaka Nigroda dapat melarikan diri (Sv. 449-450). Karena saking sulitnya mereka, terdapat para bhikkhu yang memilih pergi ke hutan dan mati di sana.

Sāsanavaṃsa mencatat bahwa terdapat enam puluh bhikkhu yang pergi ke dekat pantai (di sekitar sungai Mahaveli) dan belajar Tipitaka bersama-sama dengan hidup seadanya dan mempertahankan hidup dengan akar-akaran, buah, dan semacamnya. Karena saking laparnya dan lemah tak berdaya, mereka belajar mengingat ajaran-ajaran Buddha dengan berbaring di atas pasir. Demikian mereka bertahan sampai dua belas tahun untuk menjaga ajaran Buddha.

Setelah raja berhasil kembali merebut kekuasaannya, para bhikkhu yang jumlahnya tujuh ratus kembali ke Sri Lanka dan bergabung dengan enam puluh bhikkhu tersebut. Mereka kemudian membandingkan apa yang telah mereka ingat antara para bhikkhu yang pergi ke India dan para bhikkhu yang tetap tinggal di Sri Lanka. Dikatakan dua versi tersebut sama kata demi kata.

Diceritakan Raja Vaṭṭagāmini Abhaya dibantu oleh dua Thera yang bernama Mahātissa dari Kupikkalavihāra dan Tissa dari Hambugallakavihāra dalam persembunyiaan ketika Tamil menyerang negara ini. Setelah raja berhasil mengusir Tamil dan kembali merebut kekuasaanya, raja merobohkan kuil petapa Jaina yang bernama Giri, dan membangunnya Abhayagirivihāra. Sebagai bentuk terimakasihnya kepada Thera yang telah membantunya, raja mempersembahkan vihara ini ke Bhikkhu Mahātissa thera. Raja juga membangun beberapa vihara yang kemudian dipersembahkan kepada Bhikkhu Tissa thera.

Pada awalnya, Abhayagirivihāra dan Mahāvihāra masih bersatu. Namun perpecahan terjadi ketika Bhikkhu Mahātissa mendapat sanksi pengucilan dari bhikkhu-bhikkhu Mahāvihāra karena terlalu sering berkunjung kerumah umat. Muridnya yang bernama Bahalamassu Tissa pergi dengan marah menuju Abhayagirivihāra dan membentuk kelompok baru. Hingga selanjutnya para bhikkhu tidak datang lagi menuju Mahāvihāra. Ini adalah awal Sangha di Sri Lanka pecah menjadi dua kelompok.

Dikucilkannya Bhikkhu Mahātissa dari Mahāvihāra kemungkinan telah membuat Raja Vattagamini Abhaya tidak begitu senang dengan para bhikkhu Mahāvihara. Itulah mengapa dalam Mahāvaṃsa tidak menyebutkan pemberian yang berharga sebagaimana para bhikkhu di Abhayagirivihāra.

Rupanya Raja Vattagamini Abhaya berpihak pada Vihara Abhayagiri. Melihat hal ini, para bhikkhu Mahāvihara pergi menuju Matale yang jauh dari Anurādhapura, untuk melakukan penulisan Tipitaka. Sekitar empat ratus lima puluh tahun setelah Sang Buddha parinibbāna, di saat bertahtanya Raja Vattagamini Abhaya, lima ratus bhikkhu mahathera yang dipimpin oleh Bhikkhu Rakhita Mahāthera, berpikir “Di masa depan, makhluk-makhluk yang miskin perhatian, miskin kebijaksanaan, dan miskin konsentrasi, tidak akan mampu mengingat Kanon Pali secara oral,” kemudian mereka memutuskan bahwa Tipitaka beserta komentar-komentarnya harus dituliskan ke dalam buku.

Ini adalah waktu di mana vihara ditinggalkan dan tradisi lisan untuk menjaga Kanon sangat sulit, sementara seni menulis sudah ada, makanya mereka berpikir bahwa ini sangatlah penting untuk memiliki seluruh ajaran Buddha dalam bentuk tulisan untuk menghindari kebingungan ajaran yang sesungguhnya di masa depan.

Penulisan Tipitaka dilakukan di Āloka vihāra di Malaya (sekarang disebut Matale). Ini juga dikenal sebagai Aluvihara. Ini terletak di 30 km Kandy Utara di jalan Matale-Dambulla. Dikatakan mereka mengulang Dhamma untuk memperoleh kesepakatan bersama sebelum ditulis di atas daun lontar.

Sebab-sebab yang mendorong Kanon Pali dituliskan dapat kita ringkas sebagai berikut:

  1. Sri Lanka selalu mendapat ancaman serangan oleh warga asing bukan buddhis dan kapanpun mereka berhasil, hal tersebut akan menjadi masa yang sangat buruk bagi Buddhisme. Peperangan dan gejolak-gejolak politik mungkin akan mendorong ditinggalkannya pusat-pusat pembelajaran seperti Mahāvihāra. Jelas ini akan mengakibatkan terpisahnya murid dengan guru – buku-buku yang hidup. 
  2. Wabah kelaparan Brāhamanatissa, juga membuat para bhikkhu menjadi berfikir tentang bahaya meninggalkan Kanon Pali dalam tradisi lisan. Para bhikkhu mengalami sendiri betapa sulitnya mempertahankan Kanon Pali selama masa sulit itu.
  3. Semakin berlalunya waktu, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak religius memasuki Sangha, dan tidak diragukan lagi, antusiasme untuk menjaga Kanon Pali dengan kemurniannya menyusut. Mahāvaṃsa mencatat ini sebagai sebab utama dari penulisan.
  4. Sebab yang terakhir namun bukan yang paling ringan adalah terbentuknya sekte Abhayagiri yang terpisah dari Mahāvihāra dan raja lebih berpihak kepadanya daripada Mahāvihāra. Ini membuat para bhikkhu memutuskan untuk menulis Kanon Pali di Ālokavihāra yang terletak di sekitar Matale, jauh dari dari Anurādhapura. Lebih lanjut, orang yang mendukung dalam proyek ini adalah kepala suku, bukan raja. (Adikaram. E. W. Early History of Buddhism in Ceylon. p. 79).

Usaha para bhikkhu thera dalam menulis tipitaka ke dalam daun lontar bukan usaha yang ringan. Menuliskan kata demi kata di atas daun lontar sama seperti menggambar kaligrafi. Ini tidak seperti menulis di atas buku dengan pulpen atau mengetik tulisan dengan komputer. Sebelum menulis mereka harus mempersiapkan daun lontar dengan menghaluskannya terlebih dahulu. Pada saat penulisan berlangsung, kalau terjadi kesalahan, mereka harus membuangnya dan menggantinya dengan daun yang baru.

Ini merupakan karya teragung untuk pertama kalinya Tipitaka dituliskan dalam bentuk tulisan. Kalau seandainya tidak ada gagasan untuk menuliskan ajaran Buddha ke dalam bentuk tulisan, mungkin sekarang kita tidak bisa lagi melihat ajaran Buddha. Selain itu, kisah ini juga menujukkan bahwa para bhikkhu Sri Lanka memiliki kecerdasan yang luar biasa. Walaupun agama Buddha juga menyebar ke berbagai negara setelah Raja Asoka mengirim mereka, gagasan untuk menuliskan Tipitaka muncul di otak para bhikkhu di Sri Lanka. Meski mereka harus berjuang di antara ketidaknyamanan, tapi selalu ada hikmah di balik permasalahan yang muncul.

No comments:

Post a Comment